3 era pemerintahan di indonesia
Sistem Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Dan
Era Reformasi
1. Sistem pemerintahan orde lama
Masa orde lama
yaitu masa pemerintahan yg dimulai dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
sampai masa terjadinya G30 S PKI.
Orde
Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat keberatan
masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. Bung Karno lebih suka dengan nama Orde
Revolusi. Tapi Bung Karno tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan
militer Orde Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl.
Gatot Subroto Jakarta).
Tokoh dari
sistem pemerintahan orde lama yang dimiliki Indonesia ialah siapa lagi kalau bukan
Bung Karno. Dengan segenap pemikiran, kepintaran, dan kecakapannya, Bung Karno
perlahan mulai "membangun badan" negara ini.
Orde
Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968.
Dalam
jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal
dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno digulingkan saat
Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Demokrasi
terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan
serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.
Negara berada
dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi
masyarakat merdeka. Kondisi sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dan keamanan
dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan hampir bangkrut.
Indonesia di masa Orde
Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada agenda
ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol
keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu
sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun
1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Orde
Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan
mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan
peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan
identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi
Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.
Pada
Orde Lama terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa Orde Lama, yaitu :
- 1950-1951 - Kabinet Natsir
- 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
- 1952-1953 - Kabinet Wilopo
- 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
- 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
- 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
- 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Era
1950 - 1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana
periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
Sebelum
Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo
besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian
antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan
pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia
diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.
Pada masa Orde
lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi
dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Masa orde lama adalah masa
pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.
Pancasila
diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat
3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode
1950-1959, dan periode 1959-1966.
2. Sistem pemerintahan orde baru
Jatuhnya
Soekarno merupakan
peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah.
Disintegrasi dan instabilisasi
nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30
September 1945 sampai lahirlah Supersemar (Surat Peritah
Sebelas Maret).
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya – berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat –
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan
negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto
untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti
anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Supersemar adalah titik balik lahirnya tonggak
pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan
sistem politik Orde Lama. Orde baru berkehendak ingin melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde
lama yang telah menyimpang dari Pancasila.
Setelah
pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
pada sidang umum ke empat tahun 1967 (ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan
oleh Presiden Soekarno), Presiden Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan
mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Dalam laman berjudul saat-saat Jatuhnya Presiden Soekarno Perjalanan
Terakhir Bung Besar – terdapat kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari
berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan
Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di
Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul
Nawaksara,"
Selama masa
pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) tumbuh subur.
Pembangunan
Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan
ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi
kesenjangan pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat.
Akhirnya,
muncul rasa tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar
Jawa terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang
(transmigran) yang memperoleh tunjangan pemerintah. Penghasilan yang tidak
merata semakin memperparah kesenjangan sosial.
Pemerintah
mengedepankan pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan politik. Pemerintah
melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim Orde Baru. Kebebasan
pers dibatasi dan diwarnai pemberedelan Koran maupun majalah. Untuk menjaga
keamanan atau mengatasi kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan
bersenjata. Misalnya, program “Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah
Operasi Militer (DOM). Kelemahan tersebut mencapai puncak pada tahun 1997-1998.
Indonesia
mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997.
Krisis moneter
dan keuangan yang semula terjadi di Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke
Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kemarau terburuk dalam lima puluh tahun
terakhir.
Dari beberapa
negara Asia, Indonesia mengalami krisis paling parah. Solusi yang disarankan
IMF justru memperparah krisis. IMF memerintahkan penutupan enam belas bank
swasta nasional pada 1 November 1997.
Hal ini memicu
kebangkrutan bank dan negara.
Krisis ekonomi
mengakibatkan rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan pokok
melambung. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah.
Daya beli
masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp
17.000,00 per dolar AS. Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah
mengeluarkan “Gerakan Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan.
Krisis moneter tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi.
Krisis ini
ditandai adanya keterpurukan di segala bidang kehidupan bangsa. Kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah semakin menurun. Pemerintah kurang peka dalam
menyelesaikan krisis dan kesulitan hidup rakyat. Kabinet Pembangunan VII yang
disusun Soeharto ternyata sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan
keahliannya. Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi.
Gerakan reformasi
Gerakan
reformasi dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi
bangsa Indonesia. Semula gerakan ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus
di berbagai daerah. Akan tetapi, para mahasiswa harus turun ke jalan karena
aspirasi mereka tidak mendapatkan jalan keluar.
Gerakan
reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda antara lain (1) suksesi kepemimpinan nasional, (2) amandemen UUD
1945, (3) pemberantasan
KKN, (4) penghapusan
dwifungsi ABRI, (5) penegakan
supremasi hukum, dan (6) pelaksanaan
otonomi daerah.
Agenda utama
gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.
Puncak kekesalan demonstran ketika terjadi
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan besar-besaran
Mei 1998 (Kerusuhan
Mei 1998) sehari
setelah kejadian tersebut.
Beberapa hari mereka menduduki gedung Parlemen
kala itu. Ketika didalam gedung terjadi rapat pleno Anggota Dewan.
Akhir dari itu tanggal 21 Mei 1998 Suharto
secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia kemudian
digantikan oleh wakilnya BJ.Habibie.
Setelah Habibie terpilih menjadi presiden
menggantikan Suharto. Habibie membentuk kabinet baru yang bernama "Kabinet
Reformasi".
Seperti dilansir dari wikipedia, Tanggal 10
November 1998 dibentukan himpunan mahasiswa yang tergabung dalam Forum
Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, Universitas
Siliwangi serta empat tokoh reformasi yaitu Abrurrahman Wahid (Gus Dur), Amien
Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Sukarno Putri. Mereka mengadakan
dialog nasional di kediaman Gusdur, Ciganjur, Jakarta Selatan, dan menghasilkan
8 Butir Kesepakatan, yaitu :
- Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional.
- Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
- Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
- Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa pemerintahan transisi.
- Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
- Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya.
- Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
Pidato
pengunduran diri Soeharto
Kejatuhan
Suharto adalah peristiwa mundurnya Suharto dari jabatan Presiden Indonesia.
Suharto mundur pada Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya.
“Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan
bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana
pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak
dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi
dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat
diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII
menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya
berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan
negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan
pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan
untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak
saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.” (Pidato pengunduran diri)
Kejatuhan
Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak
tahun 1968. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun.
BJ Habibie
melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian
digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999 (melalui pemilu).
Peninggalan
Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang
disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan
ekonomi dan infrastruktur.[3][4][5][6] Suharto juga membatasi
kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan
dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15
miliar sampai $AS 35 miliar.[7] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal
karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari
2008.
3. Sistem pemerintahan pada masa reformasi
Presiden Habibie
sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mengupayakan
pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan
pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden
Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis.
Selain itu pada
masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum.
Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan
pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau
demonstrasi. Namun khusus demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang
ingin melakukan demonstrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian
dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi tersebut.
Setelah
reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi
secara bertahap yaitu 75 orang menjadi 38 orang. Langkah ini yang ditempuh
adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan
Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri
dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI
pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.
Pada masa
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum.
Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapat
sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang
dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat.
Presiden
Habibie mencabut lima paket undang-undang tentang politik. Sebagai gantinya DPR
berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang itu
disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie.
Ketiga undang-undang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan
umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Munculnya
undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya
kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu
partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai
politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak
jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum tahun
1999. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik
diberlakukan cukup ketat. Setalah perhitungan suara berhasil diselesaikan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih
suara-suara terbanyak di antaranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai
Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.
Setelah Komisi
Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR segera
melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak
tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan
menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi ketua DPR. Sedangkan pada Sidang
Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR
melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolah, 322 menerima, 9 absen dan 4
suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat
untuk mencalonkan diri mejadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini
mengakibatkan munculnya tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi
yang ada di MPR yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan
Yuhsril Ihza MAhendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra
mengundurkna diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam
pemilihan itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnopoutri. Dari hasil
pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan
pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekaroputri dan Hamzah Haz.
Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak
sampai pada akhir masa jabatannya. Beliau menduduki jabatan sampai tahun 2001
dikarenakan munculnya ketidakpercayaan parlemen padanya. DPR/MPR kemudian
memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan
Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum
tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan
Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf
Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.
Kondisi Sosial
Masyarakat Sejak Reformasi
Sejak krisis
moneter yang melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan-perusahaan swasta
mengalami kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami
kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya.
Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi
perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja
menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit
dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil
tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.
Para pekerja
yang diberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah
pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pegangguran dalam jumlah yang
sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah sosial dalam kehidupan
masyarakat. Dampak susulan dari pengangguran adalah makin maraknya
tindakan-tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Langkah yang
diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemerintah dengan serius
menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru yang dapat
menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah berusaha
menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga
dapat membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut.
Kondisi Ekonomi
Masyarakta Indonesia
Sejak
berlangusngnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai
mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan
rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Ada beberapa hal yang
dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian Indonesia
diantaranya :
a.
Merekapitulasi perbankan
b.
Merekonstruksi perekonomian Indonesia
c.
Melikuidasi beberapa bank bermasalah
d.
Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp
10.000,-
e.
Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
Dalam rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah juga memperhatikan harga
produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun
sejak krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan
petani meningkat, maka permintaan pertanian terhadap barang non pertanian juga
meningkat. Dengan ditetapkannya harga produk pertanian akan member semangat
bangkitnya para pengusaha untuk mengembangkan kegiatan perusahaannya.
Pihak
pemerintah telah berusaha ntuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi
tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu untuk
mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik
Indonesia, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Perubahan (amandemen) UUD
1945
Dalam kurun
waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Undang-Undang
Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan
pasal-pasal.
Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam
pasal
pasal sebagai
berikut :
Negara
Indonesia adalah negara Hukum.
Tercantum di
dalam Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak
asasi mansuia dan prinsip due process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman
yang merdeka diatur dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat.
(Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2
ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1
UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Sistem
Konstitusional
Sistem
Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check
and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara
dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and
balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh
undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Atas dasar
semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan
dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini
berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang
dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga
negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang
dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD,
Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan
lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat
secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan
Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.
Tata urutan
perundang-undangan RI
Pada era
reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak
dua kali, yaitu :
Menurut TAP MPR
III Tahun 2000:
- UUD 1945
- TAP MPR
- UU
- PERPU
- PP
- Keputusan Presiden
- Peraturan Daerah
Menurut UU No.
10 Tahun 2004:
- UUD 1945
- UU/PERPU
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
Sistem
Pemerintahan
Sistem ini
tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem
presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan
tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden
hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan
melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk
memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran
hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar.
Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan
Perwakilan
Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai
berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
- Dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
Presiden ialah
penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Masih
relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Presiden
adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pada awal reformasi
Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR (Pada Pemerintahan
BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri untuk masa jabatan
lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 (2001) presiden dan
wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan
memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari
Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka
ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan.
Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem
presidensial.
Menteri negara
ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam
undang-undang (Pasal 17).
Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden
sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang
memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga
DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat,
juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).
Sistem
Kepartaian
Sistem
kepartaian menggunakan sistem multipartai.
Presiden 3 era
:
1.
Orde
lama : Presiden Soekarno
2.
Orde
Baru : Presiden Soeharto
3.
Era
Reformasi : Presiden B. J. Habibie
Comments
Post a Comment