asal usul suku bajo
Asal-usul Suku Bajo
Manusia
diciptakan bukan sebagai makhluk laut seperti ikan yang dilengkapi alat
pernafasan berupa insang. Akan tetapi laut dapat menjadi pilihan medium utama
kehidupan manusia, seperti sudah dibuktikan oleh Suku Bajo -- komunitas warga
di Indonesia yang awalnya lebih banyak memilih laut sebagai tempat melakukan
aktivitas kehidupan mereka.
Dalam
berbagai catatan peneliti diketahui, Orang Bajo telah menempati hampir semua
pesisir pantai di Indonesia sejak ratusan tahun silam. Bahkan menurut
Prof.DR.Edward L. Poelinggomang, Orang Bajo sejak berabad lalu sudah ditemukan
di pesisir pantai pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan.
Meskipun
dalam paparan dosen jurusan Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Univesristas
Hasanudddin tentang ‘Orang Bajo dan Persebarannya di Nusantara’ dalam Dialog
Budaya di Festival Seni Suku Bajo Internasional, Minggu (20 Mei 2011) di Gedung
Mulo Mini Hall Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi
Selatan, juga masih cenderung mengikuti hasil penelitian bahwa asal-usul Orang
Bajoberasal dari Johor, Malaysia.
Mereka
awalnya disebut-sebut adalah komunitas warga kerajaan mendapat tugas mencari
seorang putri raja yang menghilang ke arah lautan. Dengan menggunakan perahu,
warga kebanyakan tersebut lalu menyusur laut melakukan pencarian, termasuk ke
wilayah perairan di Nusantara. Namun karena tak menemukan Putri Raja yang
dimaksud, mereka enggan kembali ke Johor dan memutuskan untuk hidup mengembara
menggunakan perahu di pesisir pantai.
Akan
tetapi dalam sejumlah penelitian yang dilakukan kemudian terhadap komunitas
Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Indonesia, diketahui mereka umumnya
memiliki bahasa yang sama yaitu Bahasa Bajo yang digunakan sebagai bahasa
percakapan dalam keluarga sehari-hari. Bahasa yang digunakan pun saling
dipahami antarkomunitas Bajo yang ada di pesisir pulau Sumatera, Kalimantan,
Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan pesisir Papua.
Bahasa
Orang Bajo yang ada di Indonesia tersebut tidak terdapat kemiripan dengan
bahasa-bahasa yang ada di Johor, yang disebut-sebut sebagai tempat asal wilayah
eksodus mereka. Bahkan, menurut Mannan, Presiden Komunitas Bajo Nasional yang
juga adalah Kepala Bappeda Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara saat mengikuti
Festival Suku Bajo di Makassar, sejumlah kata yang digunakan oleh Orang Bajo di
Indonesia banyak yang memiliki persamaan dengan bahasa Tagalog dari Filipina.
Bahkan dari peneliti lainnya juga mendapatkkan sejumlah kata-kata dalam Bahasa
Bajo di Indonesia memiliki persamaan kata dalam bahasa Vietnam.
Namun
melalui pendekatan semantik (kabahasaan) seperti itu, juga sebenarnya masih
sangat lemah untuk dijadikan bahan penguat asal-usul orang laut Indonesia
tersebut. Boleh jadi persamaan sejumlah kata-kata Orang Bajo di Indonesia
dengan kata-kata dalam bahasa Filipina dan Vietnam hanya bagian dari kata-kata
serapan sepanjang ratusan tahun koloni orang laut ini mengembara di perairan
Nusantara dan kawasan sekitarnya.
Hal itu dapat diperkuat dengan sejumlah kata-kata lainnya dalam bahasa Orang Bajo Indonesia yang juga mirip dengan kata-kata khas yang digunakan oleh sejumlah suku bangsa di Indonesia. Seperti untuk penyebutan buah Mangga, Orang Bajo menyebutTaipa sama dengan bahasa etnik Makassar di Sulawesi Selatan. Demikian pula dengan penyebutan angka tiga (Bhs Bajo: telu) dan empat (Bhs Bajo:papat), Anjing (Bhs. Bajo: Asu) mirip dengan sebutan etnik di Pulau Jawa. Dan, banyak kata Bahasa Indonesia yang sama persis dengan Bahasa Bajo, seperti Hangat (Bhs.Bajo: Panas), Kiri (Bhs.Bajo: Kidal), Langit (Bhs.Bajo: Langit), Api (Bhs.Bajo: Api), Gigi (Bhs.Bajo: Gigi), Berat (Bhs.Bajo: Berat), Batu (Bhs.Bajo: Batu), Bulan (Bhs.Bajo: Bulan), Tertawa (Bhs. Bajo: Ngakak), dan lain-lain.
Hal itu dapat diperkuat dengan sejumlah kata-kata lainnya dalam bahasa Orang Bajo Indonesia yang juga mirip dengan kata-kata khas yang digunakan oleh sejumlah suku bangsa di Indonesia. Seperti untuk penyebutan buah Mangga, Orang Bajo menyebutTaipa sama dengan bahasa etnik Makassar di Sulawesi Selatan. Demikian pula dengan penyebutan angka tiga (Bhs Bajo: telu) dan empat (Bhs Bajo:papat), Anjing (Bhs. Bajo: Asu) mirip dengan sebutan etnik di Pulau Jawa. Dan, banyak kata Bahasa Indonesia yang sama persis dengan Bahasa Bajo, seperti Hangat (Bhs.Bajo: Panas), Kiri (Bhs.Bajo: Kidal), Langit (Bhs.Bajo: Langit), Api (Bhs.Bajo: Api), Gigi (Bhs.Bajo: Gigi), Berat (Bhs.Bajo: Berat), Batu (Bhs.Bajo: Batu), Bulan (Bhs.Bajo: Bulan), Tertawa (Bhs. Bajo: Ngakak), dan lain-lain.
‘’….laut
nafasku/laut hidupku/laut cintaku/akulah suku bajo/sukma laut/sajadahku laut
biru…’’ kata H.Udhin Palisuri ketika bertindak sebagai moderator, membuka
Dialog Budaya tersebut dengan ‘Puisi Suku Bajo.
Hampir
pasti, bahwa Orang Bajo yang tersebar di Indonesia memiliki bahasa tersendiri
yang tidak mirip dengan bahasa etnik manapun di dunia. Jika bahasa juga menjadi
ciri suatu etnik, maka cukup kuat alasan jika Suku Bajo disebut sebagai salah
satu etnik di Indonesia. Mereka adalah etnit laut yang tak memiliki wilayah
teritorial etnik seperti etnik lainnya di Indonesia.
Justru
penyelenggaraan Festival Seni Suku Bajo Internasional 2012 di Makassar, seperti
diungkap Gubernur Sulawesi Selatan DR.H.Syahrul Yasin Limpo, SH,MSi,MH saat
membuka resmi festival tersebut, sebagai gagasan yang brilian dalam rangka
menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pengenalan beragam seni dan
budaya etnik di Nusantara.
Dia
berulangkali memuji H.Ajiep Padindang,SE,MM, salah seorang anggota DPRD
Provinsi Sulawesi Selatan sebagai pengagas awal Festival Suku Bajo, yang
sekaligus sejak beberapa tahun belakangan menjadi pemerhati etnik Bajo
khususnya yang menempati salah satu wilayah pesisir di BajoE, Sulawesi Selatan
sejak masa silam. Kegiatan Festival Suku Bajo ini merupakan kegiatan yang
ketiga kalinya dilaksanakan pihak Pemprov Sulawesi Selatan.
Sayangnya,
penyelenggara Festival Seni Suku Bajo Internasional 2012 yang dimasukkan
sebagai salah satu kegiatan event Visit Sout Sulawesi 2012 oleh pihak Dinas
Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan dibuat hanya meriah
dalam pemasangan baliho kegiatan. Hal itu terlihat, dalam pelaksanaan sangat
kurang pesertanya. Bahkan dalam acara ‘Dialog Budaya’ yang digelar sehubungan
dengan Festival Seni Suku Bajo yang diumbar bertaraf internasional tersebut,
hanya terlihat diikuti belasan orang peserta, dan justru tidak terdapat wakil
masing-masing komunitas Suku Bajo dari berbagai wilayah lain di Indonesia.
Pada
hal menurut Prof.Dr.Andi Ima Kusuma Chandra, sejarawan dari Universitas Negeri
Makassar (UNM), banyak hal menarik yang bisa dipetik dari perjalanan keberadaan
dan perkembangan kehidupan Suku Bajo sebagai etnik laut di Indonesia.
Lebih jauh, tentunya, melalui keberadaan Suku Bajo bisa dipetik pelajaran model nasionalisme etnik di Indonesia yang memiliki cukup banyak suku-bangsa dengan beragam tradisi, adatbudayanya.
Lebih jauh, tentunya, melalui keberadaan Suku Bajo bisa dipetik pelajaran model nasionalisme etnik di Indonesia yang memiliki cukup banyak suku-bangsa dengan beragam tradisi, adatbudayanya.
Betapa
tidak, Suku Bajo tidak memiliki wilayah teritorial etnik seperti etnik lainnya
di Indonesia. Namun sejak ratusan tahun lalu etnik Bajo ini dapat menjadikan
setiap wilayah pesisir di Nusantara sebagai tanah air mereka, dapat
menyesuaikan diri dengan adat budaya masyarakat dimana mereka berada. Dan, di
seluruh Indonesia mereka dapat diterima untuk hidup berdampingan dengan etnik
lainnya, saling kerjasama sebagai warga Negara Indonesia dengan tetap
memelihara tradisi, adat dan budaya Suku Bajo.
Dalam
perjalanan masa saat ini, masih banyak tempat di pesisir pantai Indonesia
dikenali sebagai pemukiman Suku Bajo. Namun, tidak sedikit di antara Suku Bajo
yang sudah melakukan asimilasi, berbaur dengan etnik lainnya di Indonesia dan
tidak lagi mengembara sebagai orang laut sebagaimana moyangnya dahulu.
Tahun lalu saya bertemu dengan dua orang warga di sekitar Perumnas Andonohu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang begitu fasih berbahasa Bugis. Dalam perbincangan lebih lanjut kemudian diketahui, ternyata mereka adalah Orang Bajo yang orang tuanya sebelumnya menghuni perkampungan Orang Bajo di muara Teluk Kendari, pesisir ke arah Nambo.
Tahun lalu saya bertemu dengan dua orang warga di sekitar Perumnas Andonohu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang begitu fasih berbahasa Bugis. Dalam perbincangan lebih lanjut kemudian diketahui, ternyata mereka adalah Orang Bajo yang orang tuanya sebelumnya menghuni perkampungan Orang Bajo di muara Teluk Kendari, pesisir ke arah Nambo.
Salah
seorang di antara warga tersebut adalah wanita, isteri dari seorang beretnik
Makassar yang berprofesi sopir sebuah perusahaan di Kota Kendari. Melihat rona
kulitnya yang kuning langsat, tanpa ada pengakuan dari yang bersangkutan, tak
ada kesan jika dia perempuan berasal dari etnik orang laut yang selama ini
diidentikkan suku yang memiliki warna kulit kehitaman.
‘’Orang
di lingkungan saya ini semua tahu saya adalah Orang Bajo. Saya pun selalu
memperkenalkan diri sebagai asli Orang Bajo. Jika bertemu atau kumpul dengan
keluarga saya tetap bercakap menggunakan Bahasa Bajo,’’ katanya.
Sudah tentu, selain tinggal di sejumlah pemukiman Bajo yang tersebar di banyak tempat di Indonesia, banyak warga Suku Bajo lainnya yang sudah berkiprah jauh dari laut, hidup damai di tengah wilayah etnik lainnya di Indonesia.
Fenomena nasionalisme etnik seperti yang terjadi di kalangan Suku Bajo Indonesia, tampaknya mulai terjadi dengan etnik lainnya di Indonesia.
Sudah tentu, selain tinggal di sejumlah pemukiman Bajo yang tersebar di banyak tempat di Indonesia, banyak warga Suku Bajo lainnya yang sudah berkiprah jauh dari laut, hidup damai di tengah wilayah etnik lainnya di Indonesia.
Fenomena nasionalisme etnik seperti yang terjadi di kalangan Suku Bajo Indonesia, tampaknya mulai terjadi dengan etnik lainnya di Indonesia.
Suatu
kali jelang Idul Fitri, saya bertemu satu keluarga turun dari sebuah kapal
penumpang di Pelabuhan Makassar. Mereka datang dari Kalimantan Timur. Dari bahasa
percakapannya, saya mengetahui jika mereka berasal dari etnik Jawa.
Ketika saya tanya tujuan mereka selanjutnya, di antaranya ada yang mewakili menjawab, ‘’Akan pulang kampung berlebaran!’’ ‘’Kemana?’’ Tanya saya lebih lanjut. ‘’Ke Bonebone,’’ jawabnya.
Ketika saya tanya tujuan mereka selanjutnya, di antaranya ada yang mewakili menjawab, ‘’Akan pulang kampung berlebaran!’’ ‘’Kemana?’’ Tanya saya lebih lanjut. ‘’Ke Bonebone,’’ jawabnya.
Bonebone
merupakan salah satu wilayah penempatan transmigrasi asal Pulau Jawa dan Bali
di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Unit pemukiman transmigrasi ini
dibukasejak awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Ternyata, mereka adalah
anak-anak dari para keluarga transmigrasi yang lahir, sekolah dan dibesarkan di
salah satu lokasi pemukiman transmigrasi Bonebone yang kini telah merantau dan
membuka usaha di wilayah Kalimantan Timur. Rombongan keluarga asal Jawa Timur
dari Kalimantan Timur tersebut, pulang lebaran ke kampung halamannya di
Bonebone, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Duh,
sejuknya Indonesia dengan model nasionalisme etnik seperti itu. Dapat
menjadikan dan menyintai seluruh tempat di Indonesia sebagai tumpah darah,
seperti yang sejak masa silam dilakukan Suku Bajo yang mampu berbaur dan
keberadaannya diterima oleh seluruh etnik di Indonesia.
Comments
Post a Comment