ANAK ADHD
1.
Perbedaan anak ADHD dan Autis
Anak dengan ADHD dan autisme sama-sama memiliki masalah
dengan perhatian. Perilaku mereka suka berubah tiba-tiba (impulsif) dan juga
sulit berkomunikasi. Mereka mempunyai masalah dalam berhubungan dengan orang
lain.
Karena
terlihat mirip, kadang orang menyamakan kondisi ADHD dengan autisme. Tapi,
sebenarnya keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Lalu, apa bedanya?
Jika
diperhatikan dengan seksama, anak dengan ADHD akan berbeda dengan anak dengan
autisme. ADHD lebih memengaruhi bagaimana cara otak tumbuh dan berkembang.
Sedangkan, autisme adalah rangkaian gangguan perkembangan yang memengaruhi
kemampuan bahasa, perilaku, interaksi sosial, dan kemampuan belajar.
Dari segi perhatian…
Anak ADHD
cenderung menghindari hal-hal yang perlu fokus tinggi, seperti membaca buku.
Mereka bahkan dari awal sudah terlihat tidak minat dengan hal-hal tersebut.
Sedangkan, anak dengan autisme cenderung ingin berusaha untuk fokus pada
hal-hal yang mereka sukai. Mereka bisa mempelajari hal-hal yang mereka sukai
dengan baik, seperti bermain dengan mainan tertentu.
Dari segi interaksi dan komunikasi dengan orang lain
Anak
dengan ADHD cenderung berbicara tanpa henti. Mereka bisa mengganggu saat orang
berbicara dan suka jika ia menjadi dominan saat diskusi. Sedangkan, anak dengan
autisme sering mengalami kesulitan memasukkan kata-kata ke dalam pikiran dan
perasaan. Sehingga, mereka mungkin akan lebih sulit dalam mengutarakan
pendapatnya. Mereka juga sulit untuk melakukan kontak mata.
Dalam segi rutinitas
Anak
dengan ADHD cenderung tidak suka jika melakukan rutinitas yang sama setiap hari
atau dalam waktu lama. Sedangkan anak dengan autisme cenderung suka dengan
hal-hal yang sudah tertata, mereka suka dengan ketertiban, dan tidak suka jika
rutinitas mereka tiba-tiba berubah.
2.
Dengan modifikasi perilaku
diharapkan kita bisa fokus pada perubahan perilaku, alih-alih memahami mengapa
atau bagaimana perilaku tersebut bisa terjadi. Ada beberapa metode atau
pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu sebagai
berikut:
1.
Positive
reinforcement
Pendekatan
yang pertama adalah positive reinforcement. Pendekatan ini akan
memasangkan stimulus positif dengan perilaku. Teknik ini sangat umum dilakukan
dengan memperkuat perilaku menggunakan system reward. Sebagai
contohnya adalah ketika guru memberi rewarduntuk muridnya ketika
mereka mendapat nilai yang bagus menggunakan stiker tertentu. Pendekatan ini
juga sangat umum digunakan dalam terapi perilaku.
Misalnya
ketika terapis membuat sebuah perjanjian dengan klien tentang
ketentuan-ketentuan reward selama menjalani terapi.
2.
Negative
reinforcement
Berkebalikan
dengan poin sebelumnya tentang positive reinforcement, pendekatan
yang kedua adalah negative reinforcement. Pendekatan ini adalah
pasangan antara perilaku tertentu dengan penghilangan stimulus yang negatif.
Metode ini akan memberi ‘latihan’ terhadap subjek perilaku menggunakan penguat
yang sifatnya negatif. Dengan penguat negatif ini, perilaku akan dicoba untuk
dihilangkan.
Salah
satu contoh dari negative reinforcement adalah penerapan
tindakan pendisiplinan oleh supervisor untuk membuat para karyawan memastikan
pekerjaannya sesuai dengan target. Dalam hal ini, tindakan pendisiplinan adalah
penguat negatif dan menyelesaikan pekerjaan sesuai target adalah perilaku yang
diharapkan.
3.
Punishment
Punishment atau
hukuman mungkin merupakan pendekatan yang paling umum dalam modifikasi
perilaku. Hukuman biasanya dibuat bukan untuk menghilangkan perilaku tertentu,
melainkan untuk memperlemahnya dengan memasangkan stimulus yang kurang
menyenangkan terhadap perilaku tersebut.
Contoh
yang paling mudah pendekatan ini adalah dengan memberi anak detensi tidak boleh
menonton televisi ketika mereka tidak mematuhi guru atau orang tuanya.
Tidak
diizinkan menonton televisi adalah hukuman yang tidak menyenangkan bagi anak,
meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan anak kembali tidak patuh di kemudian
hari.
4.
Flooding
Biasanya
ketika seseorang memiliki ketakutan atau fobia terhadap sesuatu, dia akan
menunjukkan perilaku menghindar dan menjauhinya. Hal ini bisa jadi mengganggu
karena tidak setiap saat kita bisa menghindari objek fobia sehingga mengubah
perilaku ‘menghindar’ ini perlu diatasi.
Salah
satu pendekatan dalam psikologi untuk hal ini adalah dengan flooding.
Dengan
flooding, terapis akan mengekspos subjek atau klien dengan objek yang ditakuti
dengan intens. Subjek akan ‘dipaksa’ untuk menghadapi ketakutannya sehingga
diharapkan subjek tersebut bisa berubah perilakunya terhadap benda yang
ditakutinya.
5.
Systematic
decensitization
Jika
pendekatan sebelumnya seakan terlalu keras dalam menyembuhkan fobia, pendekatan
dalam modifikasi perilaku yang satu ini terlihat lebih ‘halus’ untuk bisa
mengubah perilaku seseorang. Pendekatan ini disebut systematic
decentization, yaitu mencoba untuk mengekspos subjek dengan benda yang
ditakuti secara perlahan.
Pendekatan
ini biasa digunakan untuk mengatasi fobia dan melatih klien untuk tetap tenang
selama menghadapi fobianya.
Misalnya,
ketika seseorang merasa takut terhadap jembatan. Dia akan secara perlahan
dihadapkan dengan ketakutannya melalui tahapan-tahapan. Dia akan diperlihatkan
foto jembatan terlebih dahulu. setelah dia berhasil mengatasi foto, dia akan
diminta untuk membayangkan dirinya berdiri di atas jembatan, hingga pada
akhirnya dia akan berjalan di atas jembatan sungguhan.
3.
Terapi untuk ADHD
Terapi untuk anak ADHD meliputi:
1. Terapi Perilaku (Behavioral Therapy)
Anak dengan ADHD mungkin menunjukkan reaksi berlebihan terhadap situasi tertentu.
Anak mungkin juga menunjukkan perilaku lebih agresif dibandingkan dengan teman-temannya.
Pada kasus ini, terapi perilaku membantu anak untuk lebih bisa mengontrol perilaku dan mengendalikan tindakan mereka.
Diharapkan anak mampu mengendalikan reaksi berlebihan, kemarahan, serta menjadikannya lebih tenang.
Terapi perilaku menyasar perubahan cara berpikir serta perilaku anak.
2. Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)
Sisi kognitif membantu seseorang untuk merasa, belajar, dan berargumen. Dengan demikian, sisi kognitiflah yang mengendalikan emosi dan perasaan.
Sebagian orang mungkin mengalami gangguan emosi yang mengarah pada tindakan negatif dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengatasinya.
Terapi perilaku kognitif ditujukan untuk membantu seseorang mengendalikan pikiran dan emosi yang akan mewujud pada perilaku yang lebih positif.
Terapi ini akan melatih anak dengan ADHD untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.
Terapi kognitif sering digunakan bersama dengan terapi perilaku.
3. Terapi Membaca (Literary Therapy)
Terapi membaca juga merupakan salah satu pilihan pengobatan untuk ADHD.
Terapi ini menggunakan buku, artikel, dan bahan bacaan lain untuk membantu pasien mengatasi gejala ADHD.
Terapi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk remaja dan orang dewasa.
Terapi membaca ditujukan membuat seseorang memahami masalah yang dihadapinya secara mendalam dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya perihal masalah tersebut.
Informasi yang diberikan juga harus disertai dengan solusi untuk mengendalikan masalah hiperaktif.
Membaca juga membantu pasien untuk memfokuskan seluruh energi pada kegiatan tertentu dalam waktu lama yang bermanfaat untuk menyalurkan energi secara konstruktif.
4. Terapi Bicara
Orang tua umumnya sering mengatakan pada anak-anak apa yang tidak boleh dilakukan.
Jika terlalu berlebihan, anak justru tidak akan mendengarkan dan cenderung malah melakukan hal yang dilarang.
Kecenderungan ini juga berlaku pada anak yang menderita ADHD. Mengatakan anak apa yang tidak boleh dilakukan (melarang) tidak akan menunjukkan hasil yang positif.
Melalui terapi bicara, orang tua didorong untuk selalu berkomunikasi dengan anak serta membicarakan apa yang dirasakan anak.
Terapi bicara didasarkan pada prinsip bahwa ADHD dapat disembuhkan, jika anggota keluarga menunjukkan dukungan, cinta dan perhatian dengan memberikan waktu untuk mendengarkan anak.
Comments
Post a Comment