MAKALAH KERAJAAN ISLAM BANJAR
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup
untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur
kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik
maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Kerajaan Islam Banjar”.
Penulis tentu menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan
serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak khususnya kepada guru yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………………………….i
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………….ii
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………………………………..1
BAB
II PEMBAHASAN
KESULTANAN
BANJAR …………………………………………………2
SEJARAH
BERDIRINYA …………………………………………………2
SEJARAH
ISLAM KESULTANAN DEMAK ……………………………….3
MASA
KEJAYAAN ………………………………………………………….4
MASUKNYA
ISLAM DI MAKASSAR …………………………………….4
WILAYAH
KESULTANAN BANJAR ……………………………………….5
SEJARAH
KESULTANAN ISLAM KADRIAH …………………………………7
SISTEM
PEMERINTAHAN ………………………………………………8
SULTAN
BANJAR ……………………………………………………….10
BAB
III PENUTUP
KESIMPULAN ………………………………………………………….12
BAB
I
PENDAHULUAN
Tulisan-tulisan yang
membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan Selatan selalu mengidentikkan
dengan berdirinya kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari
kerajaan Daha yang beragama Hindu, dalam bab selanjutnya akan dibahas asal mula
berdirinya kerajaan Banjar dan raja-raja Banjar.
Kerajaan
Banjar adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan.
Kerajaan Banjar disebut juga sebagai kerajaan Islam karena agama Islam sebagai
agama Negara terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Wasik
Billah. Namun, sayangnya Kesultanan Banjar (kerajaan Banjar) telah sekian lama
tak terangkat ke permukaan, hal ini bisa jadi konon karena kesultanan ini
perang melawan kolonial pada 1857 sehingga kerajaannya dibumi-hanguskan oleh
Belanda. Sampai saat ini, tidak banyak yang mengetahui mengenai perkembangan
kerajaan Banjar sekarang, apakah eksistensinya masih ada atau mungkin telah
lenyap ditelan waktu?. Dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat mengenai
kerajaan banjar, sistem pemerintahan kerajaan banjar, serta kerajaan Banjar itu
sendiri pada saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau biasa disebut
juga Kesultanan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan islam di Kalimantan yang
berdiri tahun1520 dan dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat
Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada
24 Januari 1905. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha
yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota
kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Wilayah Kerajaan
Banjar saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke
beberapa tempat dan terkahir di Martapura. Ketika beribukota di Martapura
disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Pusat Kerajaan Banjar yang pertama
adalah daerah di sekitar Kuin Utara (sekarang di daerah Banjarmasin) , kemudian
dipindah ke martapura setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda.
Kerajaan ini berdiri pada september 1526 dengan Sultan Suriansyah (Raden
Samudera) sebagai Sultan pertama Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar runtuh pada
saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Perang Banjar merupakan
peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda.
Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 – 1905), yang meninggal pada
saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.
B.
Sejarah Pendirian
Berdirinya Kerajaan Banjar tidak lepas
dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu.
Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir
kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang
bernama Raden Samudera. anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari
Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara
Maharaja Sukarama . Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak
Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden
Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah
yaitu Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran
Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal
Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan
Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar
menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di
rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi
raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Di daerah hilir sungai barito Pangeran
Samudera dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu.
Kampung orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang
melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota
banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang
yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi
Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial
untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih untuk
melakukan perlawanan terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal
setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan sebagai kepala negara
menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan politik
baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini
menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya
sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka
untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara Daha.
Setelah menjadi Raja di Banjarmasih,
Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan Kerajaan
Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak,
dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam.
Syarat tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan
kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih,
kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari Banjarmasih untuk melakukan
penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito.
C.
Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Demak
Pangeran Tumenggung melakukan
penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan
kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing
memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.) Setibanya di daerah yang
bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu
dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini
berakhir dengan suatu mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera
dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden Samudera tampil sebagai
pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan banjarmasih.
Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia
menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan
Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di
Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
Setelah kemenangan dalam pertempuran,
Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke Banjarmasih dan Raden Samudera
dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk Banjarmasih yang
terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa (kontingen dari
Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden
Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasih menyebabkan daerah ini menjadi
ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura
menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan.
Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya
memeluk agama Islam. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu
berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kerajaan Banjar pertama kali dipimpin oleh
Sultan Suriansyah ini.
D.
Masa Kejayaan
Sekitar abad ke 17 Kesultanan Banjar
mulai mengalami masa kejayaan. Rempah rempah yang menjadi komoditas dagang
adalah lada. Bagian barat daya, tenggara dan timur Kalimantan membayar upeti
pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada
Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak,
Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Pada tahun 1651 Tuban dengan bantuan
Madura (Arosbaya) dan Surabaya melakukan supremasi terhadap Banjarmasin,
tujuannya untuk menaklukkan kesultanan Banjar, tetapi serangan tersebut gagal
karna mendapat perlawanan dari kesultanan Banjar.
Kesultanan Mataram semasa kepemimpinan
Sultan Agung sekitar tahun 1613-1646 mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan
Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622
Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan
kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Untuk mengantisipasi penyerangan dari kerajaan lain, kesultanan Banjar
mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai,
Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam,
Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi
pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin
bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan
logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi.
Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai
akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa
mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau
Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana
serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi
kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian
setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669)
menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke
Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
E.
Sejarah Masuk Islam di Makassar
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah
(kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan
Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan
dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya,
rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar
Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar,
termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan
kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas
kerajaan yang bergaya Hindu.
F.
Wilayah Kesultanan Banjar
Karena Kesultanan Banjar merupakan
penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan maka wilayah kekuasaannya
meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha
(Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum
(Tanjung). Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak
sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus
Majapahit.
Menurut Hikayat Banjar sejak zaman
pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar
meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas
kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu
tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap
takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar
Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan
bagian dari rakyat kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang
pertama di pulau Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar
tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi
penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan
Banjar mampu menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada
raja-raja lokal.
Teritorial kerajaan Banjar pada abad
ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam
sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1.Negara Agung
2.Mancanegara
3.Daerah Pesisir (daerah tepi/daerah terluar)
Ibukota Kesultanan Banjar awalnya di
Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura. Pada masa kejayaannya, wilayah yang
pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi
titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari
negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun)
di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas
dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar.
Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai,
Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung). Negeri-negeri bekas
milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah
barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan
besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar
merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan
wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).
Menurut sumber Inggris, Tanjung
Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala
Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim
daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu
Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu,
dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia
Belanda. Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian
Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan
Banjarmasin) yang dinamakan daerah Lawai Sanggau dan Sintang juga dimasukan
dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian timur Kalimantan
sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada
di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser,
Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar
(Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin.
Inilah yang disebut “negara Kerajaan Banjar”. Daerah-daerah kekuasaan Sultan
Banjaryang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.
Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam wilayah Kesultanan Banjar,
karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan, walaupun orang
Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke
wilayah Sungai Sambas sejak awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M
yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai
Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad
ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan
Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas
hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar)
sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan
Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan
digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei
melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas
hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah
bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu
dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga
Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat
itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu
pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak
dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh
keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
G.
Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Kadriah – Pontianak Kalimantan
Kesultanan Banjar Masa
Penjajahan Belanda
Pada abad ke-18 masa pemerintahan
Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada
dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama
sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi
raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya,
menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan
Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan
Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya
yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan
menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun
1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam.
Karena takut kehilangan tahta dan
kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata
Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan
mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan
Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri
Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan
kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda,
karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam
pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka
pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar
dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah
VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia
Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu,
berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan
permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang
mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan
salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal
dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826
atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu
juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran
lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi
antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam
perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan
Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman.
Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama
sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan
dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
1.Kerajaan Banjar tidak boleh
mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
2.Wilayah Kerajaan Banjar menjadi
lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan
langsung Hindia Belanda.
3.Penggantian Pangeran Mangkubumi
harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4.Belanda menolong Sultan terhadap
musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
5.Beberapa daerah padang perburuan
Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang
perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan.
6.Belanda juga memperoleh pajak
penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan.
Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga
pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Abad ke-19 hubungan keluar Kesultanan
Banjar yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah
hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam wilayahnya
sendiri tetap utuh, tetap berdaulat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan
regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang)
dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku
hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan
regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.
H.
Sistem Pemerintahan
Berikut sistem pemerintahan Kesultanan
Banjar
1.Raja : bergelar
Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2.Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3.Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi
: Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap,
setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4.Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia
Belanda.
5.Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6.Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7.Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8.Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan
Singapati.
9.Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung,
tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10.Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan
berburu
11.Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana
12.Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13.Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung
padi, kesejahteraan
14.Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15.Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16.Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17.Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar
negeri, dengan persetujuan Sultan.
18.Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19.Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan
Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1.Mangkubumi
2.Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3.Mantri Jaksa
4.Tuan Panghulu
5.Tuan Khalifah
6.Khatib
7.Para Dipati
8.Para Pryai
•Masalah-masalah agama Islam
dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan,
dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
•Masalah-masalah hukum sekuler
dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari
Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
•Masalah tata urusan kerajaan
merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
•Dalam hierarki struktur negara,
dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang
negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja
berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa.
Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah
keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
•Para Dipati, terdiri dari para
saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah
Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami
perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu
meliputi jabatan :
1.Mufti : hakim tertinggi, pengawas
Pengadilan umum
2.Qadi : kepala urusan hukum agama
Islam
3.Penghulu : hakim rendah
4.Lurah : langsung sebagai pembantu
Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal
(Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5.Pambakal : Kepala Kampung yang
menguasai beberapa anak kampung.
6.Mantri : pangkat kehormatan untuk
orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa
dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7.Tatuha Kampung : orang yang
terkemuka di kampung.
8.Panakawan : orang yang menjadi
suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
I. Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar Raja /
Sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Banjar.
1. Sultan Suryanullah atau Raden
Samudra (1520-1546)
2. Sultan Rahmatullah bin Sultan
Suriansyah (1546-1570)
3. Sultan Sultan Hidayatullah Ibin
Rahmatullah (1570-1595)
4. Sultan Mustain Billah bin Sultan
Hidayatullah I (1595-1641)
5. Sultan Inayatullah bin Sultan
Mustain Billah (1641-1646)
6. Sultan Saidullah bin Sultan
Inayatullah (1646-1660)
7. Sultan Ri’ayatullah bin Sultan
Mustain Billah (1660-1663)
8. Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin
Sultan Saidullah (1663-1679)
9. Sultan Agung/Pangeran Suria Nata
(ke-2) bin Sultan Inayatullah (1663-1679) Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya
Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah atau Raden Bagus sebagai
Sultan Banjar
10. Sultan Amrullah Bagus Kasuma/Suria
Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah (1679-1700)
11. Sultan Tahmidullah I/Panembahan
Kuning bin Sultan Amrullah (1700-1717)
12. Panembahan Kasuma Dilaga/Tahlilullah
(1717-1730)
13. Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning
bin Sultan Tahmidullah I (1730-1734)
14. Sultan Tamjidullah I bin Sultan
Tahmidullah I (1734-1759)
15. Sultan Muhammadillah/Muhammad
Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning (1759-1761)
16. Sunan Nata Alam(Pangeran
Mangkubumi) bin Sultan Tamjidullah I (1761-1801)
17. Sultan Sulaiman
al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801-1825)
18. Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin
Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1825-1857)
19. Sultan Tamjidullah II al-Watsiq
Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1857-1859)
20. Sultan Hidayatullah Halilillah bin
Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam (1859-1862)
21. Pangeran Antasari bin Pangeran
Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1862)
22. Sultan Muhammad Semanbin Pangeran
Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862-1905)
23. Sultan Haji Khairul Saleh
Al-Mu’tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar
bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidullah (2010).
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Sultan Samudra dengan gelar
Sultan Suryanallah atau Sultan Suriansyah yang memiliki gelar lain yaitu
Panembahan Batu Habang yang memerintaha pada abad ke-16. Sultan Rahmat Ollah
atau Sultan Rakmatullah disebut dengan Panembahan Batu Putih yang memerintah
sekitar abad-16.
Comments
Post a Comment