KUMPULAN HIKAYAT

 

HIKAYAT TANJUNG PURI
DAN TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI

Gusti Indra Setyawan

Dahulu kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim Mangku Praja, permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik hati. Mereka mempunyai dua putri yang cantik jelita: si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan rendah hati.
“Anakku, kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencari pendamping hidup. Ayah sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata baginda kepada kedua putrinya.
“Ya, Ayahanda…,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
“Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita? Sepeninggal ayahanda, kami tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,” Putri Roro Sulastri menimpali pembicaraan ayahnya dengan sombong.
“Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri menganggap nasihat ayahnya hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi mencamkannya benar-benar, dan dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran dari kerajaan seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata pun, nama kedua putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia beramanat:
“Anak-anakku, sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami, sebagai pendamping hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi amat mencintai ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang dapat menyembuhkan sakit ayahnya, jika perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit ayahnya sendiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada punggawa kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan mengawinkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Soal syarat, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya…”
***
Rakyat kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat baginda raja sedang sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik membicarakan kecantikan dua putri raja itu.
“Duhai, Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda kampung kepada teman-temannya.
“Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya, tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahut temannya yang lain lagi.
Tak lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja. Pengawal membacakan titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri… Pengumuman, pengumuman…! Aku, Raja Halim Mangku Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Barang siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk mengetahui syaratnya. Tertanda, Raja Halim Mangku Praja…”
***

Sepekan setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja Halim Mangku Praja. Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakitnya.
Di Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke istana untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek sekali, senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang. Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu Cakra. Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga beniat mempersunting putri Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa terpukau dengan kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai, Putri Galuh Sewangi… Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran Hanung dengan percaya diri.
“Sebentar, Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,” sahut Putri Galuh Sewangi.

 


Pangeran Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi, setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan menahan rasa malu, penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya direguk dan disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim Mangku Praja duduk di tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai suaminya, menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi ia tak sudi menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung kehilangan selera.
“Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan merendahkan orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah kumiliki. Siapa yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah, kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta prajurit dan dan orang-orang di sekitarnya.
“Kurang ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang! Timpakul! Kamu juga, Joko! Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahana membelah angkasa. Suara gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat. Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh. Pepohonan di alun-alun tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan istana. Jerit tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat Kerajaan Tanjung Puri panik dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan meluluhlantakkan istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga kerajaan.
***
Alkisah, Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek Wisata Tanjung Puri. Air danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi. Setiap malam Jumat, di danau itu konon kadang tercium bau wangi.
Konon, danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapi orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masih dipercaya oleh sebagian warga. Pasangan yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau tak ingin kapuhunan , karena dikariau buaya.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DATU PINTIT
Muhammad Fitriadi

Bahari, ada kampung nang andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung Wayau. Di situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat tuha, kada. Disambat anum, kada kawa jua.
Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung. Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan cangkul, handak turun ka kabun.
“Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang buntut mahabisakan jagungku…,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun gunung. Kada karasaan, sampai sidin ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin sampai, hari sudah tarang. Balalu ai sidin basiang rumput, mambarasihi jagung nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari, dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pinda baik haja kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa aku batutukar sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman malihat hasilnya. Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai di kabun, sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang rusak.
“Siapa satua nang maudak jagungku ni…?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan. “Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun jagungnya, kada tabulangkir. Nang panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas kana lincai. Lamunnya satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya….”
Pindanya, ni lain gawian satua nang badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun mambawa sanapang angin. Sampai di kabun, sidin basintup di higa balanai higa lalungkang. Sampai tangah hari, nang panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar ai lalu, babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu ha! Kadada nang manangati jua…!” sahut Datu Pintit.
Lawas kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah kabun, sidin liwar takajut.
“Naaah… Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintit bamula curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah tangah hari tu. Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan, rusakan.
***
Limbah tu, dihintipakan Datu Pintit ai urang tu wayah lalu.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” Kadangaran suara urang tu bapadah.
Nah, ujar Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya! Bagamat sidin bajalan, mahintipakan, mairingi. Sidin kada handak langsung manangkap urang tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya, urang tu lain manusia, tagal urang gaip! Macan jadi-jadian! Ujar, lamunnya bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya. Lamunnya handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang, bagamatan mairingi. Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap diambil sidin bajunya!
Limbah tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar abutnya, mancarii bajunya ka hulu ka hilir. Sudah tuhuk mancarii, tagal kada taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan Datu Pintit, pada inya nang mamakani jagung.

 


”Datu… Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rila. Dudi-dudi, ulun kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kada babaju tu, ulun kada kawa bulik ka alam ulun…,” ujar macan jadi-jadian tu mambari maras, parak manangis.
Nang ngaran Datu Pintit ni urang baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu. Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan lagi ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih, datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat pian.’’
Limbah baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka alamnya. Nang ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama haja jua lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam subalah tu. Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa kamalingan.
Sampai wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak daun hidup di higa kupingnya.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HIKAYAT SANG LAMBUNG MANGKURAT DAN ASAL -USUL KERAJAAN BANJAR

Dari Negeri Keling ke Hujung Tanah

Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram. Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini, bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.

Demikianlah ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir.Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.

Demikianlah ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.Tempat pemukiman keluarga Empu Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.

Pemukiman tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah Melayu.Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa tersebut.Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas, telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.

Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di negerinya.Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk, maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung "gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.

Lambung Mangkurat membangun kerajaan.

Setelah beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan negeri-negeri sekitarnya.

Diingatkan pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja, Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.Dalam keadaan putus asa tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.Dari petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri, yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar) sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.Kehadiran Putri Junjung Buih yang disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika, orang tuanya.

Sehubungan dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.Setelah peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat menuju Negara Dipa.Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).


Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara Dipa.Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan" (pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan "berarak".Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala empat ekor kerbau.

Lambung Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat).Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa.

Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia, kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka jangan disia-siakan.Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut. Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat mengawini gadis dimaksud.

Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat bersedia mengawininya.Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan (Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari. Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.Masa sesudah Lambung MangkuratDalam silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara Surya Ganggawangsa).

Dari perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan. Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Negara Daha.

Sementara itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut. Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.Demikian pula halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang yang cerdik dan bijaksana.Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama.

Disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.Peristiwa kekacawan di Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana bersama Maharaja Sukarama kakeknya.

Sebenarnya Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana.

Sehubungan dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai Martapura.Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.

Peristiwa terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui bahwa dirinya adalah Raden Samudera.Setelah diyakini benar bahwa yang bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha, maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah.

 

 

 

Tindakan para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri, setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara Sungai Martapura.

Acara perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak", dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera. Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya. Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.Dengan demikian lahirlah Kerajaan Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan Suriansyah.

Disebutkan bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta anak dan cucunya yang manggantikannya.Pusat Kerajaan Banjar kemudian dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.

Demikianlah Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28 April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat) tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang), perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Sa-ijaan  dan Ikan Todak 

 

             Menurut sahibul hikayat, pada zaman dahulu ada seorang datu yang sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.

            Siang-malam ia bersamadi di batu karang, di antara percikan buih, debur ombak, angin, gelombang dan badai topan. Ia memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau. Pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya, kelak.

            Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelimuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak pernah makan, terkecuali meminum air hujan dan embun yang turun.

            Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya. Tanpa beringsut dari tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak itu.

            Ikan itu terpelanting dan jatuh di karang. Setelah jatuh ke air, ikan itu menyerang lagi. Demikian berulang-ulang. Di sekeliling karang, ribuan ikan lain mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam, seakan prajurit siap tempur.

            Pada serangannya yang terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur membuka matanya.        

             “Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?”

            “Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku takluk...,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela-sela karang tajam.

            “Jadi, itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.

            “Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”

            Datu Mabrur mengangguk.

            Dipandanginya ikan-ikan yang berenang di sekeliling karang itu. Gigi, sirip dan sisik mereka berkilauan saat melompat di permukaan laut. Siang menjelang. Matahari mulai garang.       

            Ini hari terakhir pertapaannya, tapi belum ada tanda-tanda permohonannya akan terkabul. Pulau yang diimpikannya belum tampak. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala.

            “Datu, tolonglah aku. Obati luka-lukaku dan kembalikanlah aku ke laut. Kalau terlalu lama di darat, aku bisa mati. Atas nama rakyatku, aku berjanji akan mengabdi padamu, bila engkau menolongku...” Raja Ikan Todak mengiba-iba. Seolah sulit bernapas, insangnya membuka dan menutup.

            “Baiklah,” Datu Mabrur berdiri. “Sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya, aku akan menolongmu.” 

            “Apa pun permintaanmu, kami akan memenuhinya. Datu ingin istana bawah laut yang terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyung dan gurita? Ingin berkeliling dunia, bersama ikan paus dan lumba-lumba?”    

            “Tidak. Aku tak punya keinginan pribadi, tapi untuk masa depan anak-cucuku nanti....” Lalu, Datu Mabrur menceritakan maksud pertapaannya selama ini.

            “Kami akan memenuhi permintaanmu!”   

            “Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”

            “Akan kukerahkan rakyatku, seluruh penghuni lautan dan samudera. Sebelum matahari terbit esok pagi, impianmu akan terwujud. Aku bersumpah!”

            “Wah... Kamu bersumpah?”

            “Ya! Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”

            Datu Mabrur tak dapat membayangkan, bagaimana Raja Ikan Todak akan memenuhi sumpahnya itu. “Baiklah. Tapi kita harus membuat perjanjian: sejak sekarang kita harus sa-ijaan, seiring sejalan. Seia sekata, sampai ke anak-cucu kita. Kita harus rakat mufakat, bantu membantu, bahu membahu. Setuju?”

            “Setuju, Datu...,” sahut Raja Ikan Todak yang tergolek, lemah. Ia sangat membutuhkan air.

 

 

 

 

            Mendengar jawaban itu, Datu Mabrur tersenyum.

            Dengan hati-hati, dilepaskannya tubuh Raja Ikan Todak dari jepitan karang, lalu diusapnya lembut.

            Ajaib! Dalam sekejap, darah dan luka di sekujur tubuh Raja Ikan Todak itu mengering! Kulitnya licin kembali seperti semula, seakan tak pernah luka. Ikan itu menggerak-gerakkan sirip dan ekornya dengan gembira.

            Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat Raja Ikan Todak itu dan mengembalikannya ke laut. Ribuan ikan yang tadi mengepung karang, kini berenang mengerumuninya, melompat-lompat bersuka ria.

            “Sa-ijaan!”  seru Raja Ikan Todak sambil melompat di permukaan laut.

            “Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.

            Setelah lompatan ketiga, Raja Ikan Todak, bersama ribuan ikan yang mengiringinya, menyelam ke dalam lautan.

            Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Gemuruh    perlahan, tapi pasti.

            Laut tenang, gelombang tak ada, hanya alunan ombak dan riak-riak kecil saja. Riak-riak itu kian memanjang ke segenap penjuru. Langit terang benderang oleh ribuan bintang dan cahaya purnama, hingga Datu Mabrur dapat dengan jelas menyaksikan peristiwa di depan matanya.

            Gemuruh suara itu terdengar bersamaan dengan timbulnya sebuah daratan, dari dasar laut! Kian lama, permukaan daratan itu kian tampak. Naik dan terus naik! Lalu, seluruhnya timbul ke permukaan!

            Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! Sa-ijaan! Sa-ijaaan...!”

            Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja Ikan Todak telah memenuhi sumpahnya!

            Bersamaan dengan terbitnya matahari pagi, daratan itu telah timbul sepenuhnya. Berupa sebuah pulau. Lengkap dengan ngarai, lembah, perbukitan dan pegunungan. Tanahnya tampak subur. Pulau kecil yang makmur.

            Datu Mabrur senang dan gembira. Impiannya tentang pulau yang akan menjadi tempat tinggal bagi anak-cucu dan keturunannya, telah menjadi kenyataan. Permohonannya telah dikabulkan. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.

            Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru.

               

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Legenda Kerajaan Pulau Halimun

 

            Raja Pakurindang di Kerajaan Pulau Halimun memiliki dua putra mahkota yang gagah perkasa dan tampan rupawan. Sang kakak bernama Sambu Batung, adiknya Sambu Ranjana.

            Kakak-beradik itu memiliki sifat yang amat bertolak belakang, seperti bumi dengan langit. Sambu Batung lincah dan mudah bergaul, bersifat terbuka dan senang dengan hal-hal baru. Sambu Ranjana berperangai sebaliknya: pendiam, tertutup, tidak suka bergaul, tidak suka keramaian dan apa adanya.

            Di bawah kepemimpinan Raja Pakurindang, rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup rukun, makmur, aman dan sentosa. Mereka suka bergotong royong dan selalu berbagi dalam kebersamaan. Kebutuhan sandang pangan mereka hasilkan sendiri. Karena tinggal di satu pulau, mereka saling mengenal. Tidak ada rahasia di antara mereka. Semuanya seperti satu keluarga.

            Rakyat Kerajaan Pulau Halimun tidak pernah berhubungan dengan penduduk  pulau lain, sebab tidak pernah ada penduduk dari pulau lain yang datang ke pulau itu. Dari luar, Kerajaan Pulau Halimun memang tidak tampak, sebab selalu diselimuti kabut. Nelayan dari pulau-pulau lain yang melintas hanya melihat halimun di tengah laut.

            Pada suatu hari, Raja Pakurindang bertitah agar seluruh aparatnya berkumpul di istana, karena ia akan menyampaikan hal penting.

            “Karena rakyat sudah hidup sejahtera dan aku kian tua, sudah saatnya aku  meninggalkan istana. Aku akan bertapa,” sabda Raja Pakurindang.

            “Paduka akan bertapa di mana?” Panglima Ranggas Kanibungan bertanya sambil bersembah sujud. Karena tubuhnya tinggi dan besar sekali, lantai istana bergetar oleh langkahnya. Senjatanya, kapak raksasa yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan, tersandang di bahunya.   

            “Di pulau ini juga. Di puncak gunung yang diselimuti mega.”

            “Maaf ampun, paduka. Bagaimana kalau paduka tak ada? Siapa yang akan bertahta?” Sambu Luan, penasihat raja,bertanya sambil mengusap-usap kumisnya.

            “Putraku Sambu Batung akan bertahta dan menjalankan  pemerintahan. Tentu saja dengan bantuan kalian, panglima dan para punggawa. Tetapi, walaupun aku nanti tak lagi bermukim di sini, bukan berarti aku akan menghilang sama sekali. Dari puncak gunung, aku akan memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”

            “Apa yang harus kami lakukan, ayahanda?” tanya Sambu Batung.

            “Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana. Rukunlah dengan Sambu Ranjana. Kalian harus memberi teladan, agar menjadi  panutan. Bukankah sebelum mangkat dahulu, mendiang ibundamu sudah mengajarkan hal itu?” 

            Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk.

            Tidak ada tawar-menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima, yang semula hendak bicara, mengurungkan niatnya. Ia sadar, kalau Raja Pakurindang telah meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana, mempersiapkan keperluan terakhir sebelum bertapa, tak ada lagi yang dapat dilakukannya.

            Padahal, masalah yang akan disampaikannya penting sekali.

            Sebagai orang yang sudah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi, anak kandungnya, amat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang telah menjodohkan Sambu Ranjana dengan putrinya itu!

            Ia juga mendengar kabar bahwa Sambu Batung menaruh hati pada Putri Perak, anak Panglima Ranggas Kanibungan. Celakanya, Putri Perak mencintai Sambu Ranjana! Lebih celaka lagi, Sambu Ranjana diam-diam menaruh hati pada Putri Sewangi!

            Untuk mengurai benang kusut itu dan menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sambu Luan, untuk minta nasihat. Ia terdorong melakukan hal itu, sebab terkait dengan nasib putrinya sendiri, Putri Sewangi.

            Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan, bahwa ia sering mendengar kasak-kusuk: secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung sering memaksa bertemu dengan Putri Perak, bahkan pernah menerobos masuk ke Taman Putri! Para pengawal tak ada yang berani menghalangi.

            Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak dapat dipecahkan. Setelah mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir sekian lama, penasihat kerajaan itu mengangkat bahunya, tak bisa berbuat apa-apa. 

            Keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu hanya sampai di kaki gunung. Setelah itu, tak ada lagi yang berani mendaki.

            Konon, gunung itu angker sekali, dihuni berbagai binatang buas, raksasa, siluman dan makhluk-makhluk gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang berani mendaki hingga ke puncaknya.

            Syahdan, setelah tiga hari tiga malam bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak tiga meter di sekitar Raja Pakurindang merunduk ke arahnya, seolah memberi hormat. Setelah tujuh hari tujuh malam, semak belukar dan pepohonan besar yang berjarak tujuh meter melakukan hal serupa.

            Hal itu berlangsung terus menerus, sampai dengan pepohonan yang berjarak sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan meter! Semuanya merunduk, seakan bersembah sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan pepohonan itu berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.

            Seperti saat dipimpin Raja Pakurindang, di bawah kepemimpinan Sambu Batung pun rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup tenteram, damai, aman, makmur dan sentosa. Sebagai pendamping hidup, ia menyunting Putri Perak. Pesta perkawinan berlangsung dengan meriah dan dirayakan seluruh rakyat kerajaan.

 

 

 

 

            Beberapa tahun kemudian, suatu hari terjadi peristiwa genting.

            Dalam sidang di istana yang dihadiri seluruh aparat kerajaan, terjadi pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda cara dalam mengatasi persoalan. Dari penjuru desa, aparat kerajaan mendapat laporan tentang terjadinya peristiwa yang mengancam kelangsungan hidup warga.            

            Sidang berjalan tegang. Hanya beberapa orang yang berani bicara, yakni Panglima Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.

            “Ananda berdua, pamanda harap sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari cara mengatasinya...,” usul Sambu Luan.

            “Tidak, pamanda! Kanda Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!” Sambu Ranjana berteriak. Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk,  mengiyakan. “Di kerajaan ini tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak halimun, terkecuali dia orang berpengaruh. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan kedamaian dengan memasukkan budaya luar!”

            Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu per satu,  terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung, lainnya  memihak Sambu Ranjana.

            “Dalam keadaan genting ini, kita jangan terpecah belah,” Panglima Ranggas Kanibungan berusaha menengahi. “Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak berdasar. Pamanda harap...”

            “Cukup, pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan menantu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita kepada orang asing dengan membuka diri pada kerajaan lain!”

            Mendengar sikap adiknya yang tidak sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung tak mampu lagi menahan amarah. Apalagi, kata-kata kasar itu ditujukan kepada mertua, sekaligus guru, yang dihormatinya.

            Jeritan istrinya, Putri Perak, tak dihiraukannya lagi. Dengan sekali lompat, Sambu Batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Ketika ia akan membuka mulut, semua orang dikejutkan oleh suara gemuruh, disusul guncangan keras. Mendadak, udara terasa panas menyengat. Seketika, suasana jadi kacau balau.

            Setelah guncangan mereda, kecemasan membayang di wajah seluruh aparat kerajaan ketika melihat serombongan warga berdesakan memasuki balai sidang.

            “Mohon ampun, paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal ini. Tapi kami tak bisa masuk, karena harus menyelamatkan diri...”         

            Dengan isak tangis, mereka melapor. Tanpa sebab musabab yang jelas, hewan ternak mereka mati mendadak. Tanaman, pepohonan, sawah, ladang dan kebun menjadi kering kerontang.

            “Kami mohon perlindungan, paduka. Bencana telah melanda. Tanda-tanda dan isyarat sudah terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar bendera merah!”

            Sambu Batung dan seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka tertegun. Tenggelam dalam ketakutan. Mereka ingat amanat Raja Pakurindang: “Jika di puncak gunung berkibar bendera putih, itu pertanda datangnya kedamaian dan kemakmuran. Jika bendera kuning, pertanda kekeringan dan penyakit. Kalau benderanya berwarna merah, itu pertanda akan datangnya bencana dan malapetaka...”

            Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera menghaturkan sembah. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan nyata untuk melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.

            Namun, Sambu Batung tetap membisu.

            Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi, lebih kuat dan lebih panas daripada tadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang menyengat, lantai, dinding dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu per satu.        Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung, kau pengkhianat! Kau telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”

             “Paduka, tolong jangan bertengkar lagi! Mari bersatu mengatasi masalah ini!” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi. Bersama Punggawa Sembilan, ia berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan jahat ini!”

            Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah perintah. 

            Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah. Keduanya menggabungkan diri dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan. Panglima Ranggas Kanibungan di tengah.

            Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun kekuatan batin, menyalurkannya melalui tangan masing-masing dan serempak memukulkannya sekuat tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah arus panas berapi yang berpusar di hadapan, berpusar seperti angin puting beliung. Apa pun yang dilintasinya akan roboh dan tergulung.   

            Tetapi, bukannya berhenti, arus panas berapi itu malahan berbalik dan  memantulkan pukulan yang mereka lancarkan! Mereka terlempar, jauh sekali, terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet-lecet. Kapak besar Ranggas Kanibungan pun terpental. Jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.

            Setelah bertarung tujuh hari tujuh malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian, mereka sadar tak mungkin mengalahkan kekuatan jahat itu. Saat itulah, ketika langit mendadak gelap dan hujan deras turun, di angkasa terdengar suara. Suara yang amat mereka kenal. Suara Raja Pakurindang!

            “Wahai warga Pulau Halimun... Percuma kalian melawan. Ini sudah takdir. Tak ada yang harus disalahkan. Dan kalian, anakku, dengarkanlah titahku...”

            “Hamba, ayahanda....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut, lemah dan gemetar.

            “Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan keinginanmu membuka diri dan membaur di alam nyata... Dan engkau, Sambu Ranjana, tinggallah di selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian tempuh. Namun, ingat, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Harus tetap bantu membantu dan saling mengingatkan...”

 

 

 

 

            “Pesan ayahanda akan kami junjung....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.

            Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat dan petir membelah angkasa.

            Hujan turun deras sekali, menciptakan banjir. Dari puncak gunung, air menggelontor, bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan dan pepohonan.

            Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, tercerabut hingga akarnya, dihanyutkan air dan dengan cepat meluncur ke permukiman penduduk, melanda istana, menerjang apa pun yang menghalangi jalannya.

            Banjir besar itu juga menghanyutkan Putri Sewangi.

            Putri Sewangi menangis sedih berkepanjangan karena kasihnya yang tak sampai kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang menghanyutkannya di sebatang pohon. Arus air membawanya ke laut. Dalam gemuruh guntur, petir, angin, hujan dan badai, ia menangis tak henti-henti.

            Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata. Serudung itu diterbangkan angin, jauh sekali. Kelak, ia menjadi Pulau Serudung. Dalam duka dan nestapa, ia bersumpah takkan bersuami dan akan mengasingkan diri.

            Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma pulau tersendiri, Pulau Sewangi. Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun, ia masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang menjadi Gunung Jambangan. Gunung Jambangan masih berdekatan dengan Sambu Ranjana, yang menjadi Gunung Saranjana. Gunung yang penuh misteri dan teka-teki. Sambu Batung menjadi Gunung Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.

            Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut, ia terdampar di tempat yang kemudian bernama Desa Lontar. Punggawa Sembilan, yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan dan Markalambahu hanyut paling jauh dan menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian yang mereka miliki melebur menjadi satu, menjadi Pulau Sebuku.        

           

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Riwayat Gunung Jambangan

 

            Setelah bekerja keras semalam suntuk, Datu Mabrur melepas lelah sejenak di lepas pantai Kerajaan Pagatan. Matahari pagi telah terbit di ufuk timur, menyinari lautan dan pasir pantai tempat Datu Mabrur duduk mengaso.

            Dalam satu malam, ia telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan empat puluh satu batang pohon kayu ulin ke Kerajaan Banjar.

            Beberapa hari lalu, Patih Balit dari Kerajaan Banjar datang menemuinya. Utusan yang dikawal sejumlah prajurit itu menyampaikan amanat sultan mereka. Sultan Suriansyah ingin membeli batang pohon kayu ulin.

            Kata Patih Balit, Sultan Suriansyah ingin agar batang-batang pohon kayu ulin itu dikirimkan ke Kerajaan Banjar dalam tempo tiga hari.

            Batang-batang kayu besi itu akan digunakan sebagai tiang guru untuk membangun masjid, tempat ibadah bagi rakyat Kerajaan Banjar yang baru memeluk agama Islam, di Muara Kuin.

            Karena batang pohon kayu ulin yang terbaik di dunia berasal dari Pulau Halimun, Sultan Suriansyah sanggup membelinya, berapa pun harganya.

            Patih Balit memperlihatkan pundi-pundi berisi intan, berlian, jamrut, yakut, nilam biduri dan emas murni yang mereka bawa, sebagai alat pembayarannya.

            Melihat itu, Datu Mabrur cuma tersenyum. Ia meminta utusan itu  menyimpan kembali harta bendanya dan menyanggupi permintaan Sultan Suriansyah. Tanpa syarat apapun. Itu dilakukannya semata-mata sebagai sahabat.

            Datu Mabrur meminta utusan itu segera pulang dan menunggu. Ia berjanji akan mengantarkan sendiri batang-batang pohon kayu ulin itu.

            Setelah utusan itu pulang dan matahari terbenam di ufuk barat, seorang diri Datu Mabrur mencabut batang-batang pohon ulin yang sudah tua di hutan. Setelah  itu, ia langsung menggotong dan mengantarkannya ke Kerajaan Banjar.     

            Setiap kali, ia menggotong tiga batang. Batang pohon yang besarnya rata-rata  sepelukan orang dewasa dan panjang sembilan meter itu, dua diletakkannya di bahu, satu di kepala. Dengan kesaktiannya, Datu Mabrur melesat secepat kilat ke Kerajaan Banjar. Hal itu dikerjakannya berulang kali, hingga empat puluh satu batang pohon kayu ulin itu selesai diantarkannya sebelum terbit fajar.

            Namun, setiap kali pulang dari Kerajaan Banjar dan kembali ke Pulau Halimun, selalu ada pemandangan yang membuatnya tidak enak. Itulah yang kini membebani pikirannya.

            Sambil berdiri di pasir pantai Kerajaan Pagatan, ia memandangi Pulau Halimun. Di kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang kurang. Di sebelah utara, Gunung Sebatung tampak berdiri kokoh. Tetapi, di sebelah selatan tidak ada gunung yang menjulang. Pemandangan yang tidak seimbang.

            Datu Mabrur teringat  Datu Pujung.

            Datu Mabrur ingin merundingkan masalah itu dengan Datu Pujung, yang tengah bersamadi di goa pertapaannya di Pulau Halimun.

            Dengan kesaktiannya, mereka melakukan pembicaraan jarak jauh.

            Duduk bersila di atas ombak laut di tepian pantai, Datu Mabrur bersamadi. Dalam samadinya, ia menyampaikan pemandangan yang dilihatnya dari tempat itu dan meminta pendapat Datu Pujung.

            “Aku pun sudah lama melihatnya!” sahut Datu Pujung dalam samadinya. “Di Pulau Halimun ini tidak ada gunung yang tinggi! Padahal itu penting sekali! Sebagai rambu bagi nelayan dan petunjuk dalam pelayaran!”

            “Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?” Datu Mabrur sebenarnya ingin mengusulkan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia tahu, tidak ada yang dapat memerintah Datu Pujung. Tidak ada yang berani menguji kesaktiannya. Orang yang kulitnya sehitam jelaga dan buruk rupa itu sulit ditebak. Kalau bicara, suaranya sekeras halilintar, meledak-ledak. Datu Pujung mudah tersinggung.

            “Kau punya usul, Mabrur?!”

            “Ya...” Datu Mabrur gembira, tak menduga Datu Pujung meminta sarannya.

            “Apa usulmu, heh?!”

            “Bagaimana kalau kita mencari satu gunung lagi, dan meletakkannya di sana, di sebelah selatan?”

            “Di mana mencarinya?! Siapa yang mengerjakannya?! Apakah kita kerjakan bersama-sama?!”

            “Siapa lagi yang sanggup mengerjakannya selain Datu Pujung? Aku akan menunggu di pantai Pulau Halimun. Bagi datu,mudah saja mencari gunung berapi yang sudah mati di Jawadwipa, lalu mengangkutnya. Bagaimana?”

            “Tunggu aku di Pulau Halimun! Sebelum bintang pertama terbit malam ini, aku akan kembali!”

            “Baiklah,” sahut Datu Mabrur.

            Tanpa bicara lagi, Datu Pujung mengambil galah saktinya. Galah itu panjang sekali. Ujungnya menggapai awan. Dengan galah itu, Datu Pujung melompat dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari sungai ke laut, dari laut ke samudera, dari satu pulau ke pulau lainnya.

            Sebelum matahari terbenam, Datu Mabrur sudah kembali berada di Pulau Halimun. Sekilas, dalam cahaya jingga matahari senja, ia melihat bayangan Datu Pujung berkelebat di kejauhan. Ayunan ujung galahnya menjolok angkasa. Menghamburkan awan, menjadi hujan. Janggut dan jubahnya berkibaran.

            Di pantai Pulau Halimun, sebelum bintang malam terbit, Datu Mabrur mendengar desir angin dan suara ombak yang aneh. Seakan topan dan badai akan menjelma prahara. Tetapi, tidak. Ternyata, suara itu berasal dari riak dan kecipak ombak yang timbul dari langkah Datu Pujung yang datang memanggul gunung!

            Di atas riak ombak lautan, Datu Pujung berjalan sambil memanggul sebuah gunung yang tinggi dan besar sekali. Gunung itu diikatkan di ujung galahnya. Ia letih sekali, tapi tak mau ditampakkannya. Saat berhadapan dengan Datu Mabrur, ia berusaha keras tersenyum.

            Karena wajahnya jelek sekali, yang tampak bukannya senyum yang sedap  dipandang, tapi seringai yang aneh dan menyeramkan.

 

            “Engkau benar-benar hebat!” sambut Datu Mabrur. “Engkau telah menepati janji. Engkau kembali, sebelum bintang terbit malam ini. Istirahatlah dahulu, datu.”

            Datu Pujung tidak mempedulikan sambutan dan pujian Datu Mabrur.

            Diempaskannya galah saktinya dengan serampangan. Empasan itu membuat gunung di ujung galahnya jatuh berdebur di tengah lautan.

            Gelombang pasang yang terjadi akibat jatuhnya gunung itu menenggelamkan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halimun. Air laut yang membuncah ke udara dan jatuh berderai membuat Pulau Halimun sesaat bagai dilanda hujan badai.

            “Aku masih kuat, tidak perlu istirahat! Kita segera bekerja!” kata Datu Pujung sambil menggerak-gerakkan otot leher dan bahunya yang pegal-pegal.

            “Bagaimana caranya, datu?”

            “Dengan galahku, kita panggul gunung ini berdua! Aku di ujung sini, engkau di ujung sana! Gunungnya kita ikat di tengah!”

            “Baiklah,” sahut Datu Mabrur.

            Keduanya berjalan di atas air laut dan mengikatkan gunung itu di tengah galah. Setelah terikat, mereka memanggulnya.Datu Pujung di depan, Datu Mabrur di belakang. Dalam temaram cahaya bintang, tubuh keduanya membesar, seakan raksasa, hampir sebesar gunung yang mereka panggul.

            Ketika keduanya tengah berada di sebelah barat Pulau Halimun, tiba-tiba tali pengikat gunung itu putus. Gunung itu jatuh berdebum. Melesak ke bumi. Tanah, debu, pasir, batu, ranting, daun-daun dan pepohonan beterbangan ke udara. Sesaat, langit menjadi gelap gulita.

            Datu Pujung langsung melesat menemui Datu Mabrur. “Aduh, kenapa bisa begini?!” katanya dengan wajah cemberut. Kesal dan marah.

            “Tenanglah, datu. Kita istirahat dulu....” Datu Mabrur berusaha menyabarkan.

            “Engkau tunggu saja di sini! Aku akan mencari tali! Aku akan minta bantuan siluman-siluman di Pulau Sembilan, Pulau Kerayaan dan Kerajaan Pagatan! Kita harus menyelesaikannya malam ini juga! Tidak bisa ditunda!”

            Tanpa menunggu jawaban lagi, Datu Pujung melesat dengan galahnya.

            Datu Mabrur tercenung. Bintang-bintang terbit dan bertaburan di langit, ditemani bulan sabit. Ia mengamati gunung itu dari segala sudut. Dari sisi timur, barat, utara dan selatan. Didakinya gunung itu dan dengan cermat mengukur ketinggiannya.

            Saat itulah Datu Mabrur melihat: puncak gunung itu sudah tidak ada lagi. Rompal. Robek. Bagian yang rompal itu persis di bekas tempat tali pengikat. Rupanya, ketika putus, talinya langsung memapas puncak gunung. Kalau dilihat dari kejauhan, bentuknya seperti jambangan bunga.

            “Datu Mabrur! Gunung ini tidak usah dipindahkan lagi! Kita biarkan saja di sini!” Tiba-tiba, entah lewat mana, DatuPujung sudah ada lagi di samping Datu Mabrur.

            “Mengapa? Bukankah kita akan meletakkannya di sebelah selatan?”

            “Aku sudah memandangnya dari segala sudut, dari luar Pulau Halimun! Dari pantai Kerajaan Pagatan, Pulau Kerayaan dan Pulau Sembilan! Letak gunung ini sudah tepat, meskipun berada di sebelah barat!”

            “Kalau begitu, baiklah.”        

            “Jangan hanya ‘baiklah’, ‘baiklah’! Engkau setuju, tidak?! Jangan sampai terpaksa! Kalau memang tidak setuju, bilang saja!”

            “Aku setuju sekali. Sekarang, izinkan aku yang memberi nama gunung ini.”

            “Pilih yang sesuai dengan bentuknya! Apa namanya?!”

            “Gunung Jambangan.”

              

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

               

Mencari Putri Papu dari Kerajaan Bajau

 

            Putri Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan Bajau yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan dan dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.

            Bagaimana hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar saat  mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal mereka sudah mengikat janji setia, sehidup semati.

            “Nelayan miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah menjodohkannya dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”

            Kata-kata ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai disayat sembilu.

            Dikawal para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau mengumpat dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu mendengar semua itu dari balik pintu.

            Putri Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.

            Sebagai putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala  senggang, di saat jenuh menenun, merancang pakaian atau menata perabotan, didampingi seorang pelayan, ia sering meninggalkan istana dan bergaul dengan rakyat jelata. Karena sifatnya itu, rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.

            Pada suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu tengah memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan wajahnya yang tampan.

            Karena tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya.

            “Kenapa sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu pertanyaan yang biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.

            “Tidak. Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak ikan yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.

            “Mengapa tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus saja. Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan rakyatnya.”

            Mendengar jawaban lantang itu, Maruni menoleh.

            Ia menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya. Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.

            “Kau tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia heran, mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang berhadapan dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.

            Jantung Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia tersipu-sipu. Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya seperti perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.

            Sejak itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya. Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan. Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.

            Atas laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.

            “Sekarang juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di sini! Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih di sini, kau akan dihukum mati!” 

            Mendengar titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan ibundanya. Di kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi, ia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.

            Permaisuri Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri bukan penduduk asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di seberang lautan. Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.

            Namun, ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.

            “Sudahlah, anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah itu, istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai, menuntunnya masuk kamar.

            Tengah malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh yang membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin, badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan anak-anak.

            Raja sudah tak berada di kamar.

            Ia sudah di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi perintah untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.

            Hujan, badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir pantai itu dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan bergelora.

            Gelombang-gelombang sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai, menghanyutkan perahu, sampan dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian pantai dilulur ombak dan dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah seekor naga raksasa yang menelan mangsanya.

            Permaisuri teringat Putri Papu.

            Bergegas, dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur, bantal dan selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.

 

            “Anakku, Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis. Tergopoh-gopoh, diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar lainnya. Dua prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau disalahkan apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.

            Keesokan harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu hilang! Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar seluruh prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan, akan diberikan imbalan.

            Ruangan istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa reruntuhan. Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya dihanyutkan air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang jelas. Putri Papu lenyap tanpa bekas.

            Karena terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh tabib istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku, Papu... Papuuu....” 

            Setelah tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau mengumpulkan seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana yang terbuat dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan sedih, ia bertitah:

            “Saat matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke laut. Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum bertemu! Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa perabotanmu! Jangan kembali tanpa izinku!”

            Mendengar titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan mengumpulkan anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah keluarga, terdiri dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan anak-anak. 

            Karena titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap keluarga dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta. Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.

            Karena tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan musik alahai juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala sunyi, siapa tahu mereka takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus menjalankan titah itu. Harus menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup menanggung malu.

            Dengan dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan rakyat Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu itu berpencar ke seluruh penjuru.

            Bila malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi tidak tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang hari, mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.

            Waktu terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di saat tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu... Papuuu...!”

            Selama dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan melahirkan, orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak boleh tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.

            Sampai kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu  dihanyutkan ombak lautan. Mungkin ia sedang menunggu untuk ditemukan. Tidak ada yang pernah berpikir sampai kapan pencarian itu akan berakhir. Mereka sudah menganggapnya takdir.

            Orang-orang Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu dan   lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan dan samudera sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa Rampa (Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan), Rampa Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan Pulau Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara Pasir (Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur). 

                       

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

            

Naga Partala di Goa Temuluang

 

            Sudah beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma warisan orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak belukar, tapi ia enggan membersihkannya.

            Setiap pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk mencangkung,  tercenung di pintu pondoknya. Matanya memandang hampa. Tak ada semangat untuk bekerja. Seolah apa pun yang dikerjakannya, akan sia-sia. Lengkingan monyet-monyet yang bergelantungan, berkelahi dan berkejar-kejaran di pepohonan, tidak menarik perhatiannya.

            Beberapa hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong lehernya, dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga Partala. Itu adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan masyarakat Dusun Bangkalaan Dayak.

            Setiap tahun, seorang perawan akan dibawa ke Goa Temuluang, goa keramat yang menyimpan cahaya dewa. Ketua adat akan memotong leher korban dengan mandau. Setelah putus, tubuh dan kepala itu dilemparkan ke dalam goa. Dan cahaya dewa terus akan menyala.

            Konon, cahaya itu berasal dari mata dewa yang dijaga Datu Naga Partala. Cahaya itu tanda persembahan telah diterima, dan selama setahun masyarakat dusun akan terhindar dari segala marabahaya.

            “Aku ikhlas dipilih sebagai korban, tapi bagaimana dengan kakanda?” tanya gadis itu dengan suara pilu. Wajahnya sendu.

            Seusai musyawarah adat itu, malam harinya Buntar menyelinap ke bilik Mantir, kekasihnya. Tangga depan dan belakang rumah panggung yang dihuni ketua adat dan seluruh warga Dusun Bangkalaan Dayak itu dijaga beberapa pemuda.           Dengan mengendap-endap, Buntar masuk ke kolong rumah panggung.

            Di bawah kolong yang gelap itu tersimpan padi dan alat-alat pertanian, juga kandang ternak. Sambil membunyikan suara burung malam yang telah disepakati sebagai isyarat, Buntar menunggu di bawah kolong, dekat kandang babi. Mantir membuka lantai bambu di biliknya, dan Buntar segera naik ke atas.

            Dalam remang cahaya pelita, mereka berbisik-bisik.

            “Aku tak rela kau dikorbankan,” kata Buntar. “Aku akan mencari jalan. Aku akan membebaskanmu.”

            “Ini sudah takdirku. Sudah adat kita turun temurun, sejak nenek moyang kita. Kita tak  bisa menolaknya. Kalau tidak dilaksanakan, kita akan mendapat kutukan!”

            “Ssst...! Tenanglah. Percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Seandainya gagal juga, lebih baik kita mati bersama....” Dalam keremangan, Buntar menatap Mantir, menanamkan kepercayaan pada diri kekasihnya itu. Itu adalah tatapan mata yang sama, seperti saat pertama kali mereka bertemu, di malam pesta muda-mudi, sehabis musim panen lalu.

            Seekor monyet yang jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah, membuyarkan lamunan Buntar. Perkelahian di antara kawanan monyet itu telah menelan korban. Tampaknya, yang kalah adalah seekor induk. Kepala dan lengannya berdarah, tapi ia tetap mendekap bayinya di dada. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri, berupaya memanjat batang pohon lagi. Tapi, ia limbung dan jatuh.

            Monyet itu menyeringai, menjerit dan mencakar-cakar ketika Buntar hendak menolongnya. Karena lukanya cukup parah, akhirnya ia menyerah dan membiarkan Buntar menangkapnya.

            Saat itulah Buntar mendapat gagasan.

            Sambil membersihkan luka di tubuh monyet itu dengan tumbuhan obat, ia terus berpikir. Sepulang dari rantau, ia melihat banyak hal tetap tidak berubah dari dusun kelahirannya.

            Letaknya yang terpencil di pedalaman dan sukar dicapai, membuatnya selalu tertinggal. Dusun Bangkalaan Dayak tidak banyak berubah. Segalanya  masih sama seperti saat ditinggalkannya dahulu, sepuluh tahun lalu.

            Saat berusia dua belas tahun, pamannya yang tinggal di negeri seberang mengajaknya pergi. Dengan berat hati, kedua orangtuanya mengizinkan.

            Musim panen lalu, ia kembali setelah kedua orangtuanya dikabarkan diserang penyakit aneh yang mewabah di dusun itu. Sebelum itu, adiknya telah lebih dahulu meninggal. Sebulan setelah ia datang,  kedua orangtuanya pun berpulang.

            Dari pengetahuan yang didapatnya di rantau, ia tahu penyakit itu disebabkan gigitan nyamuk. Itulah yang dikatakannya kepada warga. Tapi, ketua adat dan warga menyangkalnya. Mereka mengatakan, itu akibat kutukan, karena masyarakat lalai  mempersembahkan korban.

            Buntar tersenyum. Ia punya rencana. Ia tahu, mustahil mengubah adat istiadat yang dianut masyarakat dalam waktu singkat. Ia harus menyusun siasat.

            Setelah melepaskan monyet yang terluka itu, Buntar naik ke pondok mengambil sumpit, mandau dan keranjang perbekalan. Semangat baru terpancar dari senyum di wajahnya. Ia menuruni anak tangga pondok dengan langkah pasti, menapaki lereng bukit dengan gesit.

            Tengah hari ia tiba di goa yang dikeramatkan itu.

            Di muara goa itu mengalir sungai yang panjangnya sekitar lima kilometer, dengan sebuah pulau kecil di atasnya. Goa itu memiliki dua pintu masuk. Di atasnya, batu-batu stalaktit menjulur, seperti jeruji, berwarna-warni.

            Ketika kecil, Buntar bersama beberapa kawannya pernah mengintip upacara persembahan korban itu. Upacara itu terlarang bagi anak-anak, tapi mereka nekat. Dikelilingi para tetua adat yang duduk merapal mantra, ketua adat menari-nari. Seorang perawan meringkuk dengan tangan dan kaki terikat.

            Setelah kerasukan roh leluhur, dengan sampan yang dikayuh beberapa pemuda, ketua adat berdiri di mulut goa, meracau dalam bahasa dewa-dewa. Di sampan lain, tetua adat menggotong tubuh perawan yang akan dikorbankan.

 

 

 

 

 

            Ketua adat mengacungkan mandau ke angkasa. Detik berikutnya, kilatan  mandau melayang di udara, dan kepala korban sudah terpisah dari badannya. Saat detik itu berlangsung, Buntar memalingkan wajahnya.

            Dengan rasa penasaran, Buntar menaiki sampan kecil yang tertambat di tepi sungai dan mendayungnya ke mulut goa. Dinding goa itu licin sekali. Lebarnya sekitar lima belas meter, dengan tinggi sepuluh meter. Dindingnya percampuran antara batu ampar, batu granit dan batu kapur berwarna merah tembaga, kuning dan putih. 

            Buntar memberanikan diri masuk lebih dalam. Ia terperanjat saat ribuan kelelawar beterbangan ke arahnya, menuju mulut goa. Mungkin terkejut dengan kehadirannya.

            Beberapa meter di dalam goa, ia terpana. Seberkas cahaya menyilaukan datang dari atas goa. Dalam kegelapan, cahaya itu terang sekali, menyorot ke dinding goa dan memantul laksana cermin. Di kejauhan, cahayanya merah menyala, bagai mata seekor naga raksasa!

            Siang hari, sebelum upacara, Mantir menangis.

            Air mata membasahi pipinya. Hatinya kian sedih, sebab sudah beberapa hari Buntar tak tampak. Setelah pertemuan mereka yang terakhir, Buntar menghilang.

            Di kamar, tetua adat perempuan membedaki wajah Mantir. Menghiasinya dan mengenakan pakaian adat, seakan ia pengantin yang akan dipersandingkan. Di ruangan tengah rumah panggung itu, masyarakat dan tetua adat berkumpul, selamatan tolak bala. Mereka memohon kepada dewa-dewa agar upacara berjalan tanpa rintangan.

            Setelah semuanya siap, ketua adat memimpin warga berangkat ke tempat upacara. Melalui jalan setapak di hutan dan menyusuri pinggir sungai, iring-iringan itu tiba di depan Goa Temuluang. Tubuh Mantir yang lemah lunglai diturunkan dari usungan.

            Ketika beberapa pemuda tengah menyiapkan sampan untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara:

            “Hai, manusia... Aku ingin persembahan korban untukku diganti....”

            Orang-orang terkejut dan menoleh ke asal suara, di mulut goa. Suara itu berat dan seram sekali. Menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri.

            “Siapa itu?” ketua adat memberanikan diri bertanya sambil menghunus tombaknya. Waspada. Diikuti para pemuda.

            “Aku Datu Naga Partala. Penunggu goa. Penerima persembahan dari kalian. Aku bosan darah perawan! Aku ingin darah hewan...!”

            “Darah hewan?” tanya pemuka adat, menghalangi ketua adat dan beberapa pemuda yang dengan tombak di tangan bermaksud menaiki sampan menuju goa.

            “Ya! Sajikan darah ayam, kambing dan kerbau, sebagai ganti darah perawan. Sajikan seperti selama ini. Masak dagingnya untuk pesta warga! Bagi yang tidak mematuhinya, akan kukutuk dan kuturunkan bala...!”

            Bersamaan dengan itu, ribuan ekor kelelawar tiba-tiba beterbangan, berhamburan keluar dari sarangnya di dalam goa. Suaranya memekakkan telinga. Mereka memenuhi angkasa. Langit menjadi gelap gulita. Orang-orang panik dan ketakutan, tunggang langgang berlarian.          

            Setelah semua orang pergi, Buntar keluar dari dalam goa sambil tersenyum. Tangannya memainkan ketapel. Benda kecil itulah yang tadi membangunkan ribuan kelelawar dari tidurnya. Dari liang lain di atas goa, ia ketapel sarang mereka. Hewan-hewan malam itu pun terkejut dan terbang berhamburan, seakan kesetanan.

            Ia yakin, usahanya mengubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di dusunnya lambat laun akan berhasil. Sambil melangkah pulang, ia membayangkan senyum manis Mantir.    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Asal Mula Sumur Manggurak di Desa Sigam

            Pada zaman dahulu, di Desa Sigam hidup sepasang suami-istri. Mereka hidup dari bercocok tanam dan tinggal di sebuah pondok di kaki gunung. Meskipun hidup sederhana, mereka bahagia. 

            Mereka memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di ladang, kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan memetik buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung.

            Pada suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan Gunung Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari perangkap yang mereka pasang hari sebelumnya.           

            “Sudahlah, tak usah dikejar. Kita pulang saja. Hari sudah senja. Nanti Ayah- Ibu cemas...,” kata Ambang kepada adiknya.

            “Kita cari lagi! Tadi aku melihatnya lari ke sini!” Anding menunjuk semak belukar di balik sebatang pohon besar. Dikuaknya semak belukar berduri itu. Karena tergesa-gesa, belukar berduri itu menggores keningnya. Darah pun menetes.

            “Cepatlah! Kalau tidak ada, kita pulang saja. Aku sudah lelah, haus, lapar!” seru Ambang. Dengan kesal, ia duduk bersandar di batang pohon besar itu.

            “Horeee, dapat! Ini dia, burungnya!” Anding tertawa gembira, keluar dari semak-semak dan mengacungkan hasil buruannya. “Lumayan buat lauk makan!”

            “Hei, keningmu berdarah! Sini, kubersihkan dulu lukanya...”

            “Eh, tunggu dulu! Kakak lapar?” Usai mengikat kaki burung, Anding mengamati pohon besar di samping mereka. “Kakak tunggu saja di sini, aku akan memetik buah kuranji...” Tanpa menunggu jawaban lagi, dengan tangkas ia memanjat.

            Setelah menjatuhkan dua biji buah kuranji, Anding segera turun. Mereka mengupas buah itu dan dengan lahap memakannya. Karena dialah yang memetik, Anding merasa berhak memakan buah yang lebih besar, yang berwarna merah. Ambang memakan yang kecil, yang putih. Walaupun kecil, tapi buah kuranji terkecil di zaman dahulu ukurannya rata-rata sebesar buah kelapa.

            Ketika tengah asyik makan, bulu tengkuk mereka tiba-tiba berdiri karena perubahan suasana di sekitarnya. Hutan mendadak sepi. Mencekam. Kicauan burung dan suara binatang hutan lainnya tak ada lagi. Sunyi sekali. Yang terdengar hanya suara napas mereka.

            Saat memakan buah kuranji itu, aneh, perasaan mereka tiba-tiba berubah. Ambang yang memakan kuranji putih, sekujur tubuhnya terasa dingin, lebih dingin daripada es. Sebaliknya, Anding menggelepar-gelepar kepanasan. Sekujur tubuhnya merah menyala, panas membara. Tak sanggup menahan rasa dingin dan panas di tubuh masing-masing, keduanya pingsan.

            Dalam keadaan tak sadar, mereka mendengar suara:

            “Hai, anak-anak... Kalian telah melanggar amanat orangtua. Kalian akan mendapat hukuman. Mulai saat ini, kalian tak dapat bersama lagi selamanya. Sebab, kalau Anding marah, tubuhnya akan panas membara. Panas yang dapat membakar lingkungan sekitarnya. Hanya Ambang yang dapat meredamnya, sebab tubuhnya sedingin es. Namun, bila itu terjadi, kalian akan tewas...”

            Ketika siuman, dua kakak-beradik itu bergegas pulang dengan ketakutan.

            Di pondok, Ambang menceritakan kejadian itu kepada kedua orangtuanya. Ayahnya terkesima mendengarkan, Ibu langsung menangis sesenggukan.    

            “Aku sudah melarang kalian bermain di hutan Gunung Sebatung, apalagi memakan buah itu. Tapi, kalian telah melanggarnya....” Ayah menyesalkan. Matanya berkaca-kaca. “Mungkin ini sudah takdir kalian. Aku tak bisa berbuat apa-apa.”      

            “Sekarang, kita harus bagaimana?” tanya Ibu. “Ayah, jangan pisahkan anak kita!”

            “Ini keputusan sulit, tapi terpaksa harus diambil. Ambang, kau tetap tinggal di sini, bersama kami. Anding, engkau terpaksa harus pergi, Nak. Kalau tidak, kalian berdua akan celaka...”

            “Dia pergi ke mana? Dia masih kecil!” Ibu menangis keras dan memeluk tubuh Anding erat-erat, tak rela berpisah dengan anak yang dilahirkannya.

            “Biarlah, Bu. Ini memang salahku. Akulah yang memetik buah itu. Esok pagi, aku akan pergi,” sahut Anding.          

            Beberapa tahun kemudian, Desa Sigam maju dengan pesat. Penduduk dari daerah lain banyak yang pindah ke desa itu, sebab tanahnya subur. Selain berladang dan berkebun, penduduk mencari penghasilan dengan berburu, berdagang kulit binatang, mencari rotan, damar, madu dan hasil hutan lainnya.

            Pada suatu hari, seorang pemuda asing tiba di desa itu. Kepada pemilik penginapan, ia mengaku berdagang kulit binatang. Pemilik penginapan memberinya kamar yang menghadap ke sebuah rumah besar, rumah orang terpandang di desa itu.

            Suatu pagi, dari beranda kamar penginapannya, pemuda itu melihat seorang perempuan cantik berambut panjang sedang membersihkan taman di halaman rumah besar itu. Setelah selesai menyapu, ia berdiri di tepi kolam, tersenyum memandangi bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Pemuda itu takjub melihat perempuan itu. Terpesona oleh kecantikannya.

            Tapi, perempuan itu tak pernah menoleh, seakan tidak tahu ada orang yang dengan diam-diam memerhatikannya. Tak acuh, ia meneruskan pekerjaannya hingga selesai, lalu masuk rumah. Hal itu berlangsung setiap pagi.

            Setelah tiga hari, pemuda itu tak tahan lagi.

            “Gadis cantik, siapa namamu? Aku ingin mengenalmu...”

            Perempuan itu terperanjat.

            Ia sedang tersenyum senang memandang bunga-bunga teratai yang mekar di kolam ketika sekonyong-konyong ada orang asing datang, menyeruak dari rimbun dedaunan. Wajahnya cukup tampan, tapi ada sesuatu yang aneh. Rambutnya tipis, sorot matanya merah menyala, seakan menyimpan bara.

 

            “Ayolah,” sambung pemuda itu lagi lebih berani, sambil berjalan mengitari kolam, menghampiri. “Aku orang-orang baik-baik. Aku tidak bermaksud jahat, apalagi mempermainkanmu. Kalau kau mau, aku akan langsung melamarmu.”

            Tanpa menjawab sepatah kata pun, perempuan itu bergegas pergi. Pemuda itu berlari mengejarnya. Tapi, pintu rumah langsung ditutup, tepat di depan matanya. Giginya gemeletuk. Darahnya langsung mendidih. Ia tersinggung dan marah sekali.

            Keesokan harinya, pemuda itu datang lagi ke tepi kolam. Tapi, begitu melihatnya, perempuan cantik itu langsung pergi. Merasa terhina, pemuda itu nekat.     Saat perempuan itu bergegas ke rumah, ia langsung menangkap tangannya. Saat itu, seorang pelayan lewat dan melaporkan kejadian itu kepada majikannya di dalam rumah.

            Ketika perempuan itu menjerit dan meronta-ronta, tiba-tiba sebuah dorongan menjatuhkan tubuh pemuda itu ke tepi kolam.   

            “Hei, lepaskan tangan istriku! Mau apa kamu?!”

            Perempuan itu langsung berlindung di balik punggung seorang pemuda yang baru datang. Di sudut taman, beberapa pelayan memerhatikan.

            “Siapa kamu?! Beraninya kamu mencampuri urusanku?!” Pemuda itu berdiri dengan marah. Tubuhnya bergetar. Matanya membara. Merah menyala.

            “Hei, akulah yang berhak bertanya. Ini rumah dan taman kami. Kata pembantuku, sudah beberapa hari ini kamu mengganggu istriku. Siapa kamu?”

            “Kau tak pantas jadi suaminya! Aku mampu membelikannya taman dan istana yang lebih baik dan lebih besar daripada ini. Kalau kau tak mau menyerahkannya padaku, mari berkelahi sebagai lelaki!” sahut pemuda itu sambil memasang kuda-kuda. Tubuhnya tampak merah dan panas sekali, melebihi lahar gunung berapi.

            “Hei, tunggu dulu! Rasanya, aku mengenalmu... Kamu Anding, adikku?”

            “Omong kosong! Aku bukan orang sini!”

            “Ya, kamu adikku! Ini aku. Kakakmu, Ambang! Tidak salah lagi, kamu adikku yang pergi dulu! Aku ingat itu, ada bekas luka di keningmu!”

            “Persetan dengan bualanmu! Jangan coba menggangguku!” Sambil berteriak, pemuda itu melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Ambang.

            Karena tidak siap dengan serangan mendadak itu, Ambang terjengkang roboh. Istrinya menjerit ketakutan. Para pelayan lari berhamburan.

            Di siang bolong itu, tiba-tiba petir menyambar. Langit mendadak mendung. Awan hitam menggantung. Gelegar guntur dan petir sambung-menyambung, lalu hujan deras turun. Terkena siraman air hujan, tubuh pemuda asing itu berasap.

            “Kamu harus menyerahkannya padaku!” Dengan ganas dan beringas, pemuda itu  menendangi tubuh Ambang yang lemah lunglai, terluka dan tak berdaya.

            “Jangan! Jangan sakiti dia, tolonglah...” Perempuan itu menangis dan menjerit-jerit, berusaha melindungi wajah suaminya dari tendangan dan pukulan. “Apa pun permintaanmu, akan kuturuti. Tapi, tolong jangan sakiti dia...” 

            “Aku akan membunuhnya! Kalau masih hidup, dia akan menimbulkan masalah! Pergilah!”

            Tepat ketika pemuda asing itu kembali akan melancarkan pukulan, perempuan itu merangkul dan mendorongnya sekuat tenaga. Keduanya tercebur ke dalam kolam.

            Bagaikan besi panas yang dicelupkan ke air, tubuh pemuda asing itu tiba-tiba mendesis dan mengeluarkan asap tebal. Ia berkelojotan di dalam air. Menjerit-jerit kesakitan. Air kolam pun langsung mendidih, panas sekali! Sepanas air yang dimasak di kuali.       

            Air di kolam mendidih itu dengan cepat meluap dan membanjiri desa.

            Melihat adik dan istrinya tenggelam di kolam mendidih, Ambang terjun ke dalamnya, berusaha menolong mereka. Tapi, ia hanya mampu menyelamatkan istrinya. Diseretnya tubuh istrinya, mendorongnya ke atas kolam dan memintanya segera lari ke atas bukit. Setelah istrinya pergi, ia berusaha naik ke pinggir kolam. Namun, ia sudah kehabisan tenaga.

            Akibat luka parah yang dideritanya, Ambang tak mampu lagi bergerak. Dengan rasa sesal mendalam, dirangkulnya tubuh Anding. Perlahan, tubuh keduanya  mengambang dan tenggelam ke dasar kolam.

            Ajaib! Dengan berlalunya waktu, air di kolam itu berkurang panasnya, menjadi hangat-hangat kuku.

            Seakan menangisi kejadian itu, hujan deras turun tiga hari tiga malam, disertai angin kencang dan banjir bandang. Tanah di lereng-lereng bukit longsor, pohon-pohon tumbang. Sebagian rumah penduduk hancur dan hanyut terseret arus banjir.   

            Konon, yang tersisa dari kolam itu kemudian hanya sebuah sumur. Masyarakat menyebutnya Sumur Manggurak(mendidih). Di hari libur, banyak orang yang datang untuk berendam dan mandi di situ. Airnya dianggap berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hilangnya Kota Sebelimbingan

 

            Pada zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan.

            Konon, empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan Belanda melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka tiba di pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau Laut.

            Dari pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada penduduk setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan Belanda ada di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan ke Pulau Jawa, dibuang atau dipenjara.

            Penduduk pantai menyarankan agar mereka bertani di Desa Sebelimbingan. Di desa kecil itu hanya ada beberapa pondok yang dihuni beberapa keluarga. Masih berupa hutan, hanya sebagian kecil yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.

            Untuk tempat berteduh, mereka membangun pondok. Selama enam bulan pertama, dengan bekal uang yang dibawa, mereka membeli lahan, alat-alat pertanian dan bahan makanan, menanam sayuran dan umbi-umbian.

            Pada suatu hari, saat mengolah tanah, cangkul Sudarmo membentur benda keras. Dengan penasaran dan hati-hati, ia menggali benda itu. Setelah lapisan tanah dan batu-batuan di atasnya diangkat, tampak benda hitam legam yang tadi mengenai cangkulnya.

            Sudarmo memungut benda hitam itu dan melihatnya dengan saksama. “Muradi, Sukarmo, Sastro...! Kemari! Lihat ini!” serunya kepada tiga temannya yang tengah membersihkan semak belukar, membakar ranting dan daun-daun kering.

            Khawatir terjadi sesuatu pada Sudarmo, ketiganya bergegas menghampiri.

            “Apa itu?” Sastro bingung melihat sekepal benda hitam di tangan Sudarmo.

            “Batu bara...,” jawab Sukarmo. Diambilnya benda itu dari tangan Sudarmo, membolak-baliknya.

            Dahulu, ayah Sukarmo bekerja sebagai mandor kereta pengangkut tebu di sebuah pabrik gula di Jawa. Lokomotif kereta itu digerakkan tenaga batu bara. Waktu kecil, ia pernah diajak ayahnya naik kereta itu dan melihat beberapa kuli memasukkan batu hitam itu ke tungku pembakarannya.

            “Kita akan kaya raya!” seru Sudarmo gembira. “Kita harus mencari pemodal untuk menambangnya, hasilnya kita jual ke kapal uap dan pabrik gula!”

            Sejak penemuan itu, Desa Sebelimbingan menjadi ramai. Orang-orang dari berbagai penjuru berdatangan. Hanya dalam hitungan bulan, dua pengusaha keturunan Tionghoa berkongsi membiayai penambangan batu bara itu, menyediakan alat-alat tambang yang dibutuhkan.

            Untuk memperluas tambang, lahan dan hutan dibeli dari penduduk. Sebagai penemu, mereka berempat mendapat bagian yang sama. Mendapat rejeki yang tak disangka-sangka itu, mereka bersyukur. Sebagai muslim, mereka terpanggil untuk membangun tempat ibadah. Mushola pun didirikan.

            Setelah keadaan membaik, Sudarmo, Sukarmo dan Sastro menjemput anak-istri mereka di Tanah Jawa. Mereka kembali dengan membawa keluarga dan kerabat dekat yang akan bekerja sebagai kuli. Hanya Muradi yang masih sendiri.            

            Dengan kapal uap, para kuli beserta keluarganya masing-masing didatangkan langsung dari Tanah Jawa. Mereka dipekerjakan membangun pabrik pengolahan batu bara. Sebagai pelengkap sarana dan prasarana, jalan dan dermaga pun dibangun. Karena setiap keluarga membutuhkan tempat tinggal, kompleks permukiman didirikan.

            Ketika tambang batu bara itu mulai berproduksi, suatu hari serombongan serdadu Belanda datang. Dengan bersenjata lengkap, mereka menemui Tuan A Cai dan Tuan A Seng.

            Entah apa yang dibicarakan, tapi Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi waswas melihat serdadu Belanda yang tampak siap siaga di pintu kantor. Mereka waswas, kalau-kalau rahasia mereka telah terungkap dan mereka akan ditangkap.

            Sepulangnya rombongan serdadu Belanda itu, Tuan A Chai dan Tuan A Seng mengajak Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi bertukar pikiran.

            Keempatnya merasa lega setelah Tuan A Chai, sambil tersenyum, berkata, “Tuan Robert Suurhof mengajak kita berkongsi, memperbesar pertambangan ini. Mereka setuju dengan syarat yang kita ajukan dan akan menjamin keamanan...”

            “Dan kita tetap mendapat bagian seperti yang sudah kita terima, ditambah bonus lainnya,” tambah Tuan A Seng dengan gembira. “Mereka menanamkan modal. Sebagian lahan akan dijadikan boerderij[1]). Pekerjaan kita akan menjadi lebih ringan. Orang-orang Belanda akan menangani semuanya, dari penambangan hingga pemasaran. Kita jadi mandornya...”

            Beberapa pekan kemudian, mesin-mesin pertambangan yang lebih modern didatangkan. Gedung, kantor, rumah sakit dan rumah-rumah beton dibangun, untuk tempat tinggal orang-orang Belanda yang akan mengawasi langsung proses produksi, sejak penambangan, uji kendali mutu dan pengapalan antarpulau.

            Beberapa tahun kemudian, Sebelimbingan menjadi kota yang makmur. Barang-barang mewah dan bahan keperluan sehari-hari didatangkan langsung dari Tanah Jawa, Andalas dan Selebes, melalui kapal uap yang rutin singgah dalam  perdagangan antarpulau.

            Belanda juga membangun sarana hiburan, gedung dansa dan tempat-tempat perjudian. Itu memang siasat yang licik dan cerdik, agar uang yang mengalir dari kuli tambang tetap masuk ke saku mereka dan dapat digunakan untuk membiayai daerah jajahannya di Hindia Belanda.

            Masalah datang bersamaan dengan kemakmuran.

            Pada suatu malam, jeritan perempuan dari gedung kediaman pimpinan pertambangan, Tuan Robert Suurhof, membuat para serdadu di gardu jaga berlarian.

 

            Cahaya senter berseliweran, diiringi salak anjing dan suara tembakan. Para serdadu mengejar sesosok bayangan yang dengan cepat menghilang ke dalam hutan.

            Dalam sekejap, penduduk Sebelimbingan terjaga dari tidurnya. Sebagian warga mendatangi kediaman Tuan Robert Suurhof. Dengan hanya berpiyama, Belanda totok itu marah-marah dan mengumpat dalam bahasa nenek moyangnya.

            Pagi harinya seluruh penduduk Sebelimbingan tahu, malam itu Mevrouw Annelies, istri Tuan Robert Suurhof, kemalingan. Seluruh perhiasan yang tersimpan di lemari kamarnya digondol maling.

            Itu adalah pencurian ketujuh dalam tiga bulan terakhir, selain perkelahian akibat minuman keras yang kian sering terjadi di antara sesama kuli tambang. Pelacuran pun kian marak, karena jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki.

            “Kita harus mengatasi masalah ini. Akhlak warga sudah rusak sekali!” kata Sastro kepada tiga rekannya. “Kita sudah mulai tua. Keadaan ini tak baik bagi anak-cucu kita. Kalau dibiarkan, Sebelimbingan akan dilaknat Tuhan. Mushola kini selalu sepi. Tidak ada lagi yang sembahyang dan mengaji... ”

            “Ya, tapi bagaimana caranya? Kita tak punya kuasa. Semua ditentukan Tuan Robert,” sahut Sudarmo. “Aku pernah membicarakan ini dengan Tuan A Chai. Dia sudah menyampaikannya.  Tapi, Tuan Robert tidak peduli.”

            “Kita harus bicara langsung!” tukas Sukarmo. “Tentu saja dia tak peduli soal akhlak warga. Baginya, yang penting kuli dan tambang menghasilkan uang. Tapi, jiwa prajurit kita tak bisa membenarkannya! Kau setuju, Muradi?”

            Dengan tubuh limbung akibat terlalu banyak menenggak alkohol, Muradi menyahut, “Ah, aku sudah cukup senang begini. Terserah kalian saja...”

            Tiga bulan kemudian, bersama Tuan A Chai dan Tuan A Seng, mereka menemui Tuan Robert Suurhof di kantornya. Pemimpin tambang dan boerderij itu baru kembali dari perjalanan ke Tanah Jawa, Andalas dan Selebes.

            “Bagus sekali kowe orang datang!” seru Tuan Robert Suurhof sambil menyodorkan botol jenewer, yang langsung disambut Muradi, Tuan A Chai dan Tuan A Seng. “Ik tak usah panggil kowe orang lagi untuk omong soal ini.”

            “Ada kabar apa, Tuan?” tanya Tuan A Seng.

            Jawaban Tuan Robert Suurhof membuat mereka terkejut. “Gubernur Jenderal Starkenborgh Stachouwer di Batavia bilang, batu bara di sini tinggal sedikit. Mutunya sudah tak bagus en tambang ini harus ditutup. Kalau diteruskan, gubernemen bilang rugi. Tidak seimbang antara bea yang keluar, dengan hasilnya. Tambang baru telah ditemukan. Di Ombilin, Andalas...”

            “Tapi, Tuan...,” Sastro memberanikan diri menyela.

            “Inlander seperti kowe tak usah membantah! Gubernemen tahu apa yang harus dikerjakan. Tahun depan, tambang enboerderij ini akan brenti. Kalau mau, kowe orang boleh teruskan. Atau, kowe bisa jadi mandor di Ombilin, sebagai kuli kontrak biasa. Keadaan mulai tidak aman. Nippon akan serang Hindia Belanda... ”

            Seperti dikatakan Tuan Robert Suurhof, setahun kemudian peralatan tambang dibongkar dan dikapalkan ke Andalas. Orang-orang Belanda dan kuli-kuli kontrak, yang menerima tawaran Tuan Robert Suurhof, menumpang di kapal yang sama. Perpisahan antara mereka yang pergi dan yang tetap tinggal, amat mengharukan.  

            Meskipun dengan jumlah kuli dan hasil tambang yang kian sedikit, penambangan batu bara tetap berlangsung. Beberapa tahun kemudian, setelah Perang Dunia II berakhir dan kepulauan Nusantara menjadi Republik Indonesia, sebuah peristiwa penting terjadi di Sebelimbingan.

            Malam itu, ketika kuli-kuli sedang berkumpul di tempat hiburan dan arena perjudian, tiba-tiba terdengar pekikan, disusul suara teriakan dan rentetan tembakan dari atas gunung.

            Entah datang dari mana, puluhan lelaki bersenjata api tiba-tiba telah menguasai Sebelimbingan. Mereka membakar dan mengobrak-abrik tempat hiburan dan perjudian. Gerombolan! Dalam remang cahaya obor, penduduk dikumpulkan, dipaksa berbaris dan berjongkok di lapangan.

            “Kami lasykar Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas... Kami menjalankan perintah junjungan kami, Ibnu Hajar, membasmi tempat-tempat maksiat di Bumi Lambung Mangkurat. Sebelimbingan dalam kekuasaan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia! Tak ada lagi pertambangan dan kemaksiatan...!” teriak salah seorang di antara mereka sambil mengacungkan senjata.

            Ketika ada penduduk yang terlambat mematuhi perintah berkumpul, anggota gerombolan itu tanpa belas kasihan melayangkan popor senapan. Anak-anak dan perempuan menangis dan menjerit ketakutan.

            Diiringi ancaman, teriakan dan tembakan, mereka membakar pertambangan, kantor, rumah sakit, gedung dansa, tempat-tempat perjudian dan permukiman. Nyala api membesar menerangi langit malam, diiringi tangisan perempuan dan anak-anak. Seiring dengan padamnya api di pagi hari, gerombolan itu menghilang di belantara Pegunungan Meratus.

            Tanpa aksi bumi hangus gerombolan gerilyawan itu pun Sebelimbingan sudah seperti lampu kehabisan minyak. Cahaya kemakmuran telah padam. Sehabis perang, keadaan ekonomi seluruh negara di dunia dalam keadaan sulit. Batu bara tidak dibutuhkan lagi. Mesin diesel yang menjalankan pabrik, kereta api, kapal dan mobil, sudah menggunakan solar. Kapal uap yang memakai batu bara tak ada lagi.   

            Dengan berlalunya waktu, Sebelimbingan seakan kembali ke titik nol. Kembali seperti sebelumnya, sebelum ditemukannya batu bara. Namun, beberapa bangunan yang tersisa dan banyaknya jumlah warga keturunan Jawa di sana menjadi tanda, bahwa di masa lalu ia adalah daerah yang kaya dan sejahtera.

                

            

 

 

 

 

 

Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa

 

            Melalui pesta perkawinan yang meriah dan berlangsung empat puluh hari empat puluh malam, Putri Perak resmi menjadi istri Raja Sambu Batung. Sebagai permaisuri, namanya menjadi Putri Perak Intirawan. Rakyat Kerajaan Pulau Halimun gembira dan bersuka ria. Selama pesta, aneka hidangan dan segala jenis hiburan disajikan.

            Kegembiraan rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan senjata andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan, ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di dalam maupun di luar kerajaan.      

            Usai pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri sebagai raja baru di Kerajaan Pulau Halimun, menggantikan Raja Pakurindang yang mengundurkan diri untuk bertapa, ia sekaligus akan berbulan madu.

            “Selama aku bepergian, pimpinan kerajaan sementara kuserahkan kepada adinda Sambu Ranjana,” titah Raja Sambu Batung. “Ayahanda Panglima Ranggas Kanibungan dan pamanda Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit kerajaan akan ikut bersamaku, juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri dan Punggawa Mardapan...”

            Keesokan harinya, perahu yang ditumpangi Raja Sambu Batung, Putri Perak Intirawan dan rombongan, berlayar. Perjalanan direncanakan tujuh bulan, dengan tujuan akhir Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir, rombongan singgah di pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun hanya kerajaan kecil di pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya menghasilkan hubungan perdagangan antarkerajaan, tapi penting untuk memperkuat tali silaturahmi.

            Setelah sepekan berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung memanggil empat punggawanya untuk membicarakan rencana pulang.

            “Pamanda punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana caranya,” titah Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang bersembah sujud di hadapannya.

            “Hamba, paduka,” jawab Punggawa Margalap. “Kalau kami boleh tahu, mengapa? Tanpa perlu singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.”

            “Permaisuri sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut. Janinnya mungkin akan terganggu. Alasan lain...”

            “Ya, pamanda,” sambung permaisuri. “Aku mengidam buah durian.”

            “Durian?”

            “Ya. Tadi malam aku bermimpi makan durian. Lezat sekali. Buahnya besar-besar dan harum. Dagingnya tebal. Kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...”

            Karena permintaan raja dan permaisuri sama artinya dengan perintah, empat punggawa Kerajaan Pulau Halimun itu tak berani membantah. Apalagi, itu permintaan dari perempuan hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari pengalaman istri masing-masing.

            Agar perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada Raja Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas rombongan Raja Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di hutan, Raja Kutai Kertanegara mengutus dua warganya sebagai penunjuk jalan.       

            Sepanjang perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri Perak Intirawan tak henti-hentinya mengingatkan punggawa dan prajurit agar memerhatikan sekitarnya; kalau-kalau ada pohon durian yang tengah berbuah.

            Saat melewati dusun dan perkampungan, prajurit disebar untuk mencari keterangan dari penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya, Putri Perak Intirawan diharuskan memakan buah durian yang dipetik langsung dari pohonnya.

            Pada suatu hari, rombongan memasuki wilayah Goa Ranggang (sekarang bernama Garunggang dan duriannya terkenal sebagai durian Tanjung Batu). Medan jalan yang harus dilalui sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang lebat, lorong gunung batu dan terowongan di dalamnya tak dapat dilalui dengan berdiri tegak. Terowongan itu hanya dapat dilewati dengan membungkuk (daerah itu sekarang bernama Bungkukan).

            Ketika rombongan memasuki rimba belantara, empat punggawa dengan wajah cemas mengajak Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon besar, menghindari tatapan mata anggota rombongan lainnya. Saat itu, prajurit-prajurit melompat kegirangan tatkala melihat buah durian yang besar-besar bergantungan di pohonnya. Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan memetiknya.

            “Maaf ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah rawan. Ini daerah kekuasaan Pangga Dewa!” Punggawa Margalap waswas. Matanya jelalatan, melihat kesana-kemari.

            “Siapa dia?”

            “Raja begal yang terkenal, paduka!” sambung Punggawa Marsiri. “Ia sakti mandraguna dan terkenal sadis. Kabarnya, tak ada yang mampu mengalahkannya!”

            “Penduduk dusun harus membayar upeti kepadanya,” sambung Punggawa Mardapan. “Ia suka perempuan. Istri dan selirnya puluhan!”

            Jeritan permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan prajurit pengawalnya mengejutkan Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat, bergegas menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, dari balik semak belukar dan pepohonan, muncul ratusan orang bertampang garang!

            Raja Sambu Batung dengan sigap melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit, atas perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak dan perisai disiagakan.

            “Maaf, siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami?” tanya Raja Sambu Batung kepada pria tinggi besar bertampang sangar yang menyeringai, yang tampaknya pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.

 

 

            “Kalian rombongan kerajaan, heh?! “

            “Ya,” Punggawa Marbatuan maju selangkah, “rombongan Kerajaan Pulau Halimun. Ini Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?”

            “Puih! Aku tak punya raja di sini! Di hutan ini, akulah raja! Akulah dewa!” Dalam satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja Sambu Batung dan permaisuri. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri Perak Intirawan.

            “Saudara, boleh aku bicara?” Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa, membujuknya. Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa mengikuti Raja Sambu Batung yang mengajaknya bicara empat mata di balik semak belukar. Raja Sambu Batung menceritakan riwayat perjalanan, permaisuri yang hamil muda dan sedang mengidam durian.

            Mendengar penjelasan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa tersenyum penuh arti. Ia memperbolehkan permaisuri memakan durian yang tumbuh di daerah  kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat itu akan disampaikannya setelah Putri Perak Intirawan dan anggota rombongan selesai makan durian.

            Sementara Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya menikmati durian di bawah pohon, Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, di sebuah goa terpencil, di tempat tersembunyi.

            Setelah memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga Dewa menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat itu, tubuh Raja Sambu Batung dan empat punggawanya langsung bergetar menahan marah.

            “Kami membawa banyak emas dan permata. Ambillah semuanya, asalkan bukan itu,” sahut Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam, ia mampu mengendalikan diri.

            “Tidak! Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda! Serahkan istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam keadaan hidup!” jawab Pangga Dewa dengan mata melotot.

            Gigi Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawa takkan sanggup melawan ratusan anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu langsung kepada istrinya, Raja Sambu Batung minta waktu sejenak.

            “Esok pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!” teriak Pangga Dewa.

            Kepada permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan Pangga Dewa, sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak Intirawan marah besar. Darah panglima perang yang mengalir di tubuhnya menggelegak. Namun, mengingat janin dalam perutnya, ia berusaha menahan diri.

            Bersama empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah malam, permaisuri dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah empat punggawa berhasil melumpuhkan para penjaga, anak buah Pangga Dewa. Dalam jarak tertentu, Raja Sambu Batung bersama prajuritnya menyusul.

            Pagi harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para tawanan kabur. Dengan marah, ia membawa anak buahnya mengejar rombongan dari Kerajaan Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan Raja Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama empat punggawa telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.

            Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tapi Raja Sambu Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak kian terdesak. Semangat tempur mereka kalah jauh dengan anak buah Pangga Dewa yang terbiasa hidup di hutan. Untuk menghindari lebih banyak lagi prajuritnya tewas, Raja Sambu Batung berteriak lantang untuk menghentikan pertempuan.

            Sambu Batung menantang Pangga Dewa bertarung satu lawan satu. Dengan pongah, Pangga Dewa meladeni tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun berlangsung. Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.

            Saat Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung. Angin yang merobohkan ratusan anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan pohon-pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menghumbalang bersamaan dengan datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan meluap-luap, kapak besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur berkeping-keping.

            Dari jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa dan Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan terhuyung-huyung.

            Dalam satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di antara keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian pendatang baru yang tidak dikenalnya itu.

            “Hei, kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur!” seru Pangga Dewa.

            “Perbuatanmu yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut campur! Sekarang, terimalah hukumanmu!”

            Sebuah serangan yang telak, cepat dan mematikan tak mampu dielakkan Pangga Dewa. Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang seketika tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya membelah tubuh Pangga Dewa, sekaligus batang pohon nangka itu.

            Karena Pangga Dewa sakti mandraguna, tubuhnya yang terbelah dua dan batang pohon nangka itu dikubur di tempat terpisah. Para prajurit khawatir: bila dikubur di satu tempat, raja begal itu akan bangkit lagi. Dengan memisahkannya, itu tak mungkin terjadi.

            Konon, dua tempat penguburan jenazah Pangga Dewa itu menjadi Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka Besar dan Pulau Nangka Kecil.

 

 

 

 

 

Koyaknya Halimun Pulau Laut

 

            Raja Banjar tercenung dengan wajah murung di anjungan perahu kerajaan yang tengah berlayar. Matanya menatap ombak lautan dan burung camar yang beterbangan di kejauhan. Hatinya risau.

            Pekan lalu, nakhoda perahu dagang asal Hindustan bersama anak buahnya datang ke istana. Gugup dan terbata-bata, nakhoda keling itu melapor. Di perairan muara Kerajaan Banjar, tanpa sebab yang jelas, perahu yang dikemudikannya kandas.

            Itu adalah laporan yang sudah kesekian kalinya ia terima, baik yang langsung datang dari korban maupun yang dari laporan aparat kerajaan. Kejadian aneh itu juga sering didengarnya dari nelayan dan pelaut dari kerajaan lain. Dalam selimut kabut, sampan dan perahu mereka tiba-tiba kandas.

            Kejadian aneh itu biasanya malam hari. Saat diperiksa, di bawah sampan atau perahu tak ditemukan batu karang maupun gosong. Lebih aneh lagi, di tengah kabut dan halimun itu terdengar bunyi gamelan bertalu-talu. Padahal, itu di lautan, tak ada pulau dan daratan!

            Di anjungan, Raja Banjar bertopang dagu.

            Misteri perahu kandas itu membuatnya berpikir keras. Dalam sidang di istana, ia memerintahkan panglima dan prajurit kerajaan ikut bersamanya untuk menguak misteri itu. Sebagai raja, ia harus mampu mengatasi persoalan rakyatnya. 

            Wilayah laut dan kabut yang misterius itu masih jauh.

            Perahu akan tiba di tujuan menjelang tengah malam. Setelah salat isya dan salat sunat dua rakaat, Raja Banjar mengajak Panglima Perang makan malam bersamanya.

            “Pamanda, aku akan istirahat sejenak. Awasi prajurit yang bertugas malam ini. Aku tak mau ada prajurit yang hanya menjadi benalu dan lalai saat  menjalankan tugas. Bila memasuki perairan itu, semuanya harus waspada...”     

            “Segala titah paduka, hamba laksanakan,” sahut Panglima Perang.

            Menjelang tengah malam, perahu layar memasuki muara laut Kerajaan Pagatan. Pesisir pantai kerajaan kecil itu tampak samar-samar di kejauhan. Tiap tahun, raja yang berasal dari keturunan Kerajaan Bugis itu dengan setia menyerahkan upeti ke istana Kerajaan Banjar.

            Permukaan laut yang sebelumnya bergelombang, kini tenang. Laut bagai hamparan kain, rata tanpa riak. Saat itulah, ketika kabut luruh semakin tebal, nakhoda heran. Perahu tak bisa jalan! Kandas. Seakan ada kekuatan luar biasa yang menahannya.

            Bersamaan dengan itu, sayup-sayup terdengar bunyi gamelan. Ditingkah suara tembang, bunyi gamelan itu terdengar kian nyaring, padu dan harmonis.

            “Di mana bunyi gamelan itu, nakhoda?” tanya Panglima Perang yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang nakhoda. Haluan dan buritan perahu sudah dipenuhi prajurit. Dengan obor di tangan kiri dan tombak atau mandau di tangan kanan, mata mereka berusaha keras menembus kabut.

            “Saya tidak tahu, paduka. Mungkin di sana...” Nakhoda menunjuk seberang haluan. Tangannya gemetaran. Ia ketakutan!

            Panglima Perang mengalihkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk nakhoda, tapi tak tampak apa-apa. Hanya kabut dan halimun yang kian tebal menyungkup perahu. Bunyi gamelan dan suara tembang mendayu-dayu.

            “Subhanallah, merdu sekali bunyi gamelan dan tembang itu. Terampil sekali tangan yang memainkannya.Suara tembangnya pun merdu dan menghanyutkan. Ingin rasanya kuundang mereka untuk main di istana...”

            “Oh, baginda!” Panglima Perang dan nakhoda serempak berseru, terkejut atas kehadiran junjungannya.

            “Aku sudah terjaga saat mendengar bunyi gamelan ini, pamanda panglima. Tadi aku menengok keluar dari jendela kabin. Di situ, suaranya jelas sekali. Tapi,  aku tak melihat apa pun.”

            “Baginda, bunyi gamelan dan tembang itu mulai sayup-sayup!” bisik nakhoda.

            “Subuh hampir tiba, nakhoda,” sahut Raja Banjar. Dengan wajah berbinar, seakan mendapat kesimpulan yang menggembirakan, ia berseru: “Subhanallah! Aku mulai memahami misteri ini...”

            “Misteri apa, baginda?” Panglima Perang bingung, heran dan penasaran.

            “Mereka sedang ada hajatan. Ada perhelatan! Seperti di alam kita, di alam mereka pun rupanya pertunjukan berakhir menjelang subuh! Kau mengerti, pamanda?”

            Entah mengerti atau tidak, Panglima Perang dan nakhoda mengangguk bersamaan.

            “Kita harus menguak misteri ini, pamanda panglima!” seru Raja Banjar dengan bersemangat. Ia meminta Panglima Perang mengumpulkan prajurit untuk mendirikan salat subuh berjamaah.

            Usai salat wajib, Raja Banjar mendirikan salat sunat dua rakaat. Dalam doa, ia memohon petunjuk dan perlindungan. Memohon agar Allah membukakan misteri itu.

            Ajaib! Bagai tirai kain yang sobek, tiba-tiba kabut dan halimun terkoyak! Di kejauhan, sebuah pulau dan daratan terbentang, dengan gunung yang menjulang!

            “Bunyi gamelan itu tampaknya berasal dari sana,” kata Raja Banjar sambil berdiri dari tempatnya salat. “Nakhoda, perahu terasa bergoyang. Apakah air laut sudah mulai pasang?”

            “Benar, paduka.”

            “Kita berlabuh di sana. Pamanda panglima, kita turun berdua. Nakhoda dan prajurit di perahu saja. Berjaga-jaga.”

            Setelah perahu merapat di tepi pantai, anak buah nakhoda dan para prajurit menurunkan sampan. Dalam kabut tipis yang mengambang di permukaan air, Raja Banjar menaiki sampan yang dikayuh Panglima Perang.

            Aneh! Di pantai tampak dermaga, perahu, sampan dan kesibukan para nelayan yang sedang bekerja memindahkan ikan-ikan hasil tangkapan!

 

 

 

            Ketika Raja Banjar dan Panglima Perang menginjakkan kaki di pasir pantai, muncul keajaiban lain. Di depan mereka telah berdiri pria gagah berbusana mewah yang diapit dua pengawal.

            “Assalamu’alaikum...,” ucap Raja Banjar sembari mengangkat tangannya.

            “Salam, paduka. Selamat datang di Kerajaan Pulau Halimun. Hamba Panglima Perang di negeri pulau ini. Hamba diutus pemimpin kami, Tumenggung Datu Belang Ilat, untuk menyambut paduka.”

            “Tumenggung Datu Belang Ilat?” Panglima Perang Kerajaan Banjar heran. Ia mengenal kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi baru kali ini mendengar nama kerajaan dengan nama pemimpin seperti itu.

            “Ya, tuan panglima. Bukankah paduka ini Raja Banjar dan Panglima Perang? Kami mendapat kehormatan dikunjungi. Mari menemui pemimpin kami...”

            Sementara Raja Banjar dan Panglima Perang dalam perjalanan, di balai sidang istana Kerajaan Pulau Halimun terjadi perdebatan. Tampak hadir Datu Ning Karang Kabunan, Datu Ning Karang Bainsang, Datu Ning Karang Jangkar, Datu Ning Kurung, Datu Ning Karang Kintang dan para pemuka adat.

            Sidang dipimpin langsung oleh Tumenggung Datu Belang Ilat. (Julukan belang ilat berasal dari lidah pemimpin yang sakti mandraguna itu, yang berwarna hitam kemerahan.)

            “Saudara saudara... Halimun telah terkoyak. Kita tak mungkin lagi menyembunyikan diri dalam selimut kabut. Mungkin inilah takdir kita. Kita tak bisa menghindarinya. Entah ilmu apa yang ia miliki, hingga Raja Banjar itu dapat menembus halimun negeri kita. Bagaimana pendapat datu-datu dan pemuka adat?” tanya Tumenggung Datu Belang Ilat.

            “Ramalan leluhur kita, bahwa pulau ini akan dikuasai bangsa lain yang kepercayaannya berbeda dengan kita, mendekati kenyataan. Jadi, waspadalah!” sahut seorang pemuka adat.

            “Adat budaya leluhur kita akan musnah, ananda Tumenggung!” tambah pemuka adat lainnya. “Dewata akan murka. Kita akan menerima hukumannya!”

            “Maaf ampun, kanda Tumenggung,” ucap Datu Ning Karang Jangkar. “Mengapa kita tidak menjadikan ini kesempatan untuk melakukan perubahan?”

            “Benar, kakanda,” sahut Datu Ning Kurung. “Mengapa mati-matian mempertahankan adat budaya warisan leluhur, bila hati kita menyangsikannya?”

            “Ini sudah keterlaluan!” seru pemuka adat. “Apakah kita ingin mengulang sejarah dan bencana seperti yang dialami nenek moyang kita? Mereka dahulu musnah akibat pertikaian dan sengketa, antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana...”

            “Ya,” sahut pemuka adat lainnya, “padahal di zaman Paduka Yang Mulia Raja Pakurindang, negeri kita tenang dan...  

            Belum sempat pemuka adat menyelesaikan kata-katanya, di pintu masuk balai sidang terdengar suara: ”Assalamu’alaikum  warrahmatullahi wabarakatuh...”

            Peserta sidang serempak berdiri, menoleh kepada pemilik suara itu.

            “Salam, paduka Raja Banjar...,” sahut Datu Ning Karang Kabunan.

            Raja Banjar dan panglima perangnya, dikawal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun, memasuki balai sidang.

            “Apakah kedatangan kami mengganggu, Tumenggung?”

            “Oh, tidak, paduka. Silakan duduk. Kami sedang membicarakan kehebatan paduka yang berhasil menembus kabut dan halimun yang melindungi negeri kami. Paduka benar-benar sakti.”

            “Tidak, Tumenggung. Semua atas izin Allah. Hanya kepada-Nya aku menyembah dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan.”

            “Maaf, siapa yang paduka maksudkan?” tanya pemuka adat.

            “Allah. Dialah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kami menyembah-Nya, menaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia maha pengasih dan maha penyayang, maha pemurah dan maha pengampun terhadap hamba-Nya yang berdosa...”

            “Menarik sekali. Apa nama kepercayaan paduka itu?” tanya Tumenggung Datu Belang Ilat.

            “Islam.”

            “Ya, dewata... Ramalan itu menjadi kenyataan!” seru pemuka adat.

            “Pamanda...?!” Tumenggung Datu Belang Ilat tersentak melihat pemuka adat yang seakan terpukul, terhenyak di kursinya.

            “Maafkan kami, ananda Tumenggung. Ini soal keyakinan. Soal pilihan. Jika ada yang ingin menganut keyakinan seperti yang dianut Raja Banjar ini, kami tidak melarang. Tapi, perkenankan kami menganut keyakinan seperti yang telah kami anut selama ini. Kami akan mengasingkan diri di pedalaman yang sunyi dan gunung yang tinggi...,” sahut pemuka adat.

            Melihat suasana kikuk itu, Raja Banjar berdiri dari tempat duduknya. “Pamanda Tumenggung dan pemuka adat yang saya hormati... Saya mohon maaf bila kehadiran kami menimbulkan perselisihan di antara kalian.”

            “Oh, tidak, paduka,” sahut Datu Ning Karang Bainsang. “Duduklah kembali. Perbedaan pendapat tidak dilarang di Kerajaan Pulau Halimun ini. Seluruh keputusan dan peraturan memang harus melalui pembahasan di persidangan.”

            “Kami merasa tidak enak...”

            “Jangan sungkan, paduka,” Datu Ning Kurung meyakinkan, yang lain mengangguk-angguk mengiyakan.

            “Cara mengatasi perbedaan pendapat yang seperti itu juga diajarkan dalam Islam. Malahan, perbedaan dianggap sebagai rahmat. Tak ada paksaan dalam Islam.”

            “Kami makin tertarik, paduka,” sahut Datu Ning Karang Kintang. “Apa saja syarat bagi pemeluknya?”

 

 

 

 

 

 

            Dengan lancar, Raja Banjar menjelaskan asal usul, riwayat, sejarah dan syarat yang diwajibkan bagi umat Islam, termasuk tata cara beribadah dan sebagainya. Tanpa sadar, Raja Banjar telah dikerumuni tokoh-tokoh dan pimpinan Kerajaan Pulau Halimun yang tertarik dengan pemaparannya. Waktu berlalu tanpa terasa. Pemaparan itu disela rehat, saat Raja Banjar mendirikan salat zuhur, ashar, magrib dan isya.             Ketika Raja Banjar salat, para tokoh dan pemimpin Kerajaan Pulau Halimun memerhatikan dengan saksama.

            Setelah makan malam bersama, Raja Banjar menyampaikan niatnya untuk pamit dan kembali ke perahu. Namun, Tumenggung Datu Belang Ilat menahannya.    “Nanti dulu, paduka. Sebagai hiburan, kami akan menampilkan musik gamelan...”

            Gamelan!

            Suara gamelan dari istana Kerajaan Pulau Halimun inilah yang telah menghebohkan banyak nakhoda, nelayan dan  pelaut itu!

            Sepanjang malam, Raja Banjar dan panglimanya menyaksikan pertunjukan gamelan dan tembang dari para nayaga istana Kerajaan Pulau Halimun.

            Di perahu, nakhoda dan para prajurit pun mendengarnya. Bunyi tabuhan dan lantunan tembang mengalun seirama gelombang lautan, seiring dengan kabut dan halimun yang turun perlahan.

            Keesokan harinya, sebelum melepas kepergian Raja Banjar dan Panglima Perang, Tumenggung Datu Belang Ilat menyampaikan keinginan rakyat Kerajaan Pulau Halimun memeluk Islam.

            “Sebelum menyerahkan Kerajaan Pulau Halimun dalam kewenangan Kerajaan Banjar, ada tujuh syarat yang harus diingat, paduka,” kata Tumenggung Datu Belang Ilat, “Dan paduka harus bersumpah untuk menaatinya.”

            “Aku bersumpah. Insya Allah...”

            “Pertama, paduka berwenang memerintah rakyat kami, tapi harus dengan adil dan bijaksana. Kedua, kepada pelanggar aturan dan perundang-undangan berilah hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Ketiga, paduka harus memperlakukan rakyat kami seperti paduka memperlakukan keluarga sendiri. Seumpama paduka duduk di kursi, rakyat juga harus duduk di kursi; walaupun tidak sebaik kursi paduka.

            “Keempat, paduka tak boleh menghukum rakyat yang tidak bersalah. Kelima, paduka harus baik dan jujur. Rakyat harus mendapat keadilan dan perlindungan atas hak milik, hak atas pekerjaan dan ketenangan dalam menjalankan adat dan budaya dan kepercayaannya masing-masing.

            “Keenam, paduka tak boleh merusak, merampas atau membawa harta kekayaan milik rakyat Kerajaan Pulau Halimun untuk kepentingan pribadi, apalagi membawanya ke luar pulau ini. Ketujuh, paduka tak boleh sewenang-wenang.          “Bila paduka melanggar sumpah ini, kami akan mengutuk paduka menjadi manusia hina dan nista, dirundung penyakit dan bencana yang tak ada habisnya....” 

***

 

 

 

ASAL MULA NAMA JARO
Loki Santoso

Di antara gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua pasang kaki telanjang pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukit di sepanjang pesisir sungai.
“Jek adhoh to kang gone sing diparani kui?” tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo, embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“ jawab Marto Kuncung, sambil terus melangkah.
Di kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
“Kae` koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“ sahut Muhiman.
Keduanya bergegas ke gubuk itu.
“Kulo nuwuuun….“ Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang, bekas panen bulan lalu.
“Kulo nuwun…,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam. Pemilik pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi, Pak…,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman…“
“Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk masuk ke gubuk berukuran empat meter per segi, yang beratap ilalang dan berdinding kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya yang membawa buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya, terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
“Umanyaaa…! Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan…,” Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya, mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati puncak gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
***
Nyala lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu bercakap-cakap.
”Terima kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kami ingin membantu Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
“Kami tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun, cukup,” sahut Marto Kuncung.
“Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karena telah membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat ke situ.
***
Kokok ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari tidur beralaskan tikar purun . Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya hari baru.
Muhiman membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang. ”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan pisang goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa menanak nasi…,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
***
Tiga pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap untuk ditanami.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
“Tidak ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit Batu Kumpai.

 


“Kalau panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”
”Ke pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
Milir mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk. Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga menjual hasilnya.
Beberapa waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah panen.
“Besok kita jual ke pasar…,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih, Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto Kuncung.
“Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
Di bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai, tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan di antara mereka, dengan punggung menggendong lanjung . Saat mereka tiba di Pasar Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
Setelah kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu…”
Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan masing-masing.
Muhiman yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan tingkah lakunya yang tampak kebingungan.
”Handak manukar apa pian, Cil?” tanya seorang pedagang.
Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhiman hanya menjawab singkat, “Inggih…”
Jawaban Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
“Sampian matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?” Pedagang lain menghujani Muhiman dengan pertanyaan.
“Inggih, inggih….”
“Andika urang mana?”
Meskipun bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama, makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan terbata-bata.
“Bapak berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero , Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo…. Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
“Njero kono, adhoh.”
“Ooo… Ya, ya, ya…”
Para pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan, meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”. Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian menyebutnya “Jaro”.
Sejak saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DATU PINTIT
Muhammad Fitriadi

Bahari, ada kampung nang andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung Wayau. Di situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat tuha, kada. Disambat anum, kada kawa jua.
Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung. Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan cangkul, handak turun ka kabun.
“Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang buntut mahabisakan jagungku…,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun gunung. Kada karasaan, sampai sidin ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin sampai, hari sudah tarang. Balalu ai sidin basiang rumput, mambarasihi jagung nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari, dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pinda baik haja kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa aku batutukar sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman malihat hasilnya. Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai di kabun, sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang rusak.
“Siapa satua nang maudak jagungku ni…?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan. “Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun jagungnya, kada tabulangkir. Nang panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas kana lincai. Lamunnya satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya….”
Pindanya, ni lain gawian satua nang badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun mambawa sanapang angin. Sampai di kabun, sidin basintup di higa balanai higa lalungkang. Sampai tangah hari, nang panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar ai lalu, babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu ha! Kadada nang manangati jua…!” sahut Datu Pintit.
Lawas kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah kabun, sidin liwar takajut.
“Naaah… Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintit bamula curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah tangah hari tu. Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan, rusakan.
***
Limbah tu, dihintipakan Datu Pintit ai urang tu wayah lalu.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” Kadangaran suara urang tu bapadah.
Nah, ujar Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya! Bagamat sidin bajalan, mahintipakan, mairingi. Sidin kada handak langsung manangkap urang tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya, urang tu lain manusia, tagal urang gaip! Macan jadi-jadian! Ujar, lamunnya bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya. Lamunnya handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang, bagamatan mairingi. Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap diambil sidin bajunya!
Limbah tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar abutnya, mancarii bajunya ka hulu ka hilir. Sudah tuhuk mancarii, tagal kada taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan Datu Pintit, pada inya nang mamakani jagung.
”Datu… Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rila. Dudi-dudi, ulun kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kada babaju tu, ulun kada kawa bulik ka alam ulun…,” ujar macan jadi-jadian tu mambari maras, parak manangis.
Nang ngaran Datu Pintit ni urang baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu. Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan lagi ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih, datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat pian.’’
Limbah baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka alamnya. Nang ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama haja jua lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam subalah tu. Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa kamalingan.
Sampai wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak daun hidup di higa kupingnya.
***

 

 

 


LEGENDA GUNUNG HALAT
Loki Santoso

Di lembah hutan belantara yang dikelilingi pegunungan, bertapa pria bertubuh raksasa dan berpakaian kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman sekarang, lebar dadanya lima jengkal.
Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta petunjuk dewata, agar mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah 45 tahun, tapi belum juga mendapat jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga pada suatu hari:
”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini…?”
Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya getaran suara orang tua itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu tempatnya duduk.
Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan waspada. Siapa orang ini? Ini bukan orang sembarangan, batinnya
“Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada luasnya dunia, dalamnya laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Dengan siapa gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan.
“Aku penguasa hutan dan pegunungan di wilayah ini. Namaku Marlung!“ sahut orang tua itu dengan nada tinggi. ”Mengapa engkau di sini, tanpa seizinku?”
“Sekali lagi, maaf. Saya tidak tahu. Sudah bertahun-tahun saya bertapa di sini, tapi tak pernah bertemu seorang pun,” sahut Tilan. ”Saya pengembara dari negeri seberang.”
“Baiklah, anak muda. Engkau kumaafkan. Tapi, jawablah pertanyaanku dengan jujur. Apa tujuanmu bertapa di sini?”
“Saya mencari petunjuk tentang jodoh saya. Sebab, hingga kini saya belum bertemu jodoh.”
Orang tua bertubuh raksasa itu senang dengan kejujuran anak muda itu. ”Baiklah. Engkau kuizinkan bertapa di sini. Setelah dua belas purnama, aku akan kemari lagi.”
“Terima kasih,“ jawab Tilan.
Tanpa Tilan sadari, orang tua itu sudah menghilang.
Tilan duduk lagi di tempat semula untuk melanjutkan pertapaannya. Namun, pikirannya tak lagi terpusat pada tujuan semula, tapi pada orang tua tadi. Siapakah Marlung? Benarkah raksasa itu penguasa hutan dan pegunungan ini?
Yang membuat hatinya lega, ternyata masih ada orang berwujud raksasa seperti dirinya. Itu membuatnya berpikir, jika ada orang lain yang bertubuh sama besar dengannya, mustahil dewata tidak menciptakan orang lain dengan wujud sebesar itu, terutama yang berjenis kelamin perempuan.
***
“Hai, siapakah engkau…?”
Suara perempuan membangunkan Tilan dari pertapaannya.
Sembari menarik napas dalam, Tilan membuka mata dan menoleh ke arah suara itu. “Maafkan saya yang hina ini. Nama saya, Tilan. Ada apakah gerangan?“
“Sudah berapa lama engkau bertapa di sini? Apa yang kau cari?”
Seorang perempuan tua bertubuh raksasa, berbaju kulit kayu dan rambut awut-awutan, menghujani Tilan dengan pertanyaan.
“Saya mau mencari jodoh. Sudah tujuh belas purnama bertapa di sini. Maafkan jika tidak berkenan,” jawab Tilan.
“Baiklah, anak muda. Teruskanlah tapa bratamu. Semoga berhasil…”
Belum hilang suaranya, perempuan tua raksasa itu sudah lenyap dari pandangan.
Kedatangan perempuan tua raksasa itu membuat Tilan makin yakin, masih ada perempuan muda raksasa lainnya yang diciptakan dewata untuknya. Soalnya, dewata telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
Pada suatu hari, telinga Tilan yang sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi di sekitarnya mendengar senandung kecil di antara suara burung dan dedaunan yang gemerisik ditiup angin. Penasaran, ia bangkit dari pertapaan dan menyusuri jalan, menyibak rimbun dedaunan dengan perlahan.
Langkah kakinya terhenti, saat mendengar senandung perempuan di balik rumpun bambu. Ia ingin tahu, siapa pemilik suara itu.
Sesaat Tilan terpaku. Rasa penasaran membuatnya mendekat dengan hati-hati, agar kehadirannya tak diketahui gadis cantik bertubuh raksasa berkulit bersih, berambut panjang, hitam dan legam, yang jika berdiri mungkin panjang rambutnya mencapai tumit.
“Siapa itu…?!” seru gadis raksasa itu saat melihat kehadiran Tilan.
“Maafkan aku. Suara nona yang merdu membuatku datang kemari. Suara nona ternyata secantik orangnya..,” jawab Tilan sambil menampakkan diri.
“Siapa kamu? Beraninya mengintipku? Apa maksudmu?”
“Namaku Tilan. Aku bertapa di lembah sebelah sana. Aku ingin minta petunjuk kepada dewata tentang jodohku. Nah, pertanyaan nona sudah kujawab. Sekarang, giliran nona. Siapa nona, dan dari mana?”
“Namaku Ambar, asalku di sebelah bukit ini. Orang tuaku bernama Mratung,” sahut perempuan itu dengan nada lunak.
Tilan lega, tapi kaget setelah tahu, bahwa gadis raksasa itu adalah putri orang tua raksasa yang pernah menemuinya. Saat mata Tilan beradu pandang dengan mata Ambar, dadanya berdegup kencang. Begitu pula Ambar. Wajah gadis raksasa itu bersemu merah, tertunduk malu tersipu-sipu.
“Ambaaar….!“
Suara yang nyaring dan menggelegar tiba-tiba memanggil nama gadis itu. Suara itu merontokkan dedaunan kering di atas pepohonan. Demikian nyaringnya suara itu, membuat sepasang muda-mudi yang sedang beradu pandang itu tersentak ke belakang, hingga jarak mereka berjauhan.
Belum hilang rasa kagetnya, Tilan dikagetkan lagi dengan kehadiran pemuda bertubuh raksasa berbaju kulit kayu. Pemuda itu berdiri tegap dan tegak, dengan mata kemerahan, langsung membentak, “Siapa kamu?!”
“Aku, Tilan. Anda sendiri, siapa?”

 

 


“Aku Marlung, putra Mratung, penguasa wilayah ini. Mengapa kau mengganggu adikku!?”
“Maaf, tapi aku tak melakukan apa-apa. Kami baru saja berkenalan.”
“Apa maksud kedatanganmu?!“
“Mencari jodoh. Tak disangka, di sini bertemu dengan keluarga bertubuh sama besar denganku, dengan anak gadisnya yang cantik.”
“Apa maksudmu?!”
“Aku ingin menyunting Ambar,” jawab Tilan terus terang.
Marlung tampak kurang senang. “Kami tinggal satu kelompok. Semuanya raksasa. Pergilah ke sebelah bukit sana, akan kau jumpai raksasa seperti kami. Di sana juga banyak gadis raksasa. Jika ingin menyunting adikku, kau harus adu ilmu denganku dulu. Agar kami tidak salah pilih. Engkau dari mana, keluarga siapa?!”
Tilan berpikir sejenak. Selama bertapa, hanya Ambar raksasa perempuan yang pernah ditemuinya. Jika perempuan itu memang jodohnya, adu kesaktian untuk mendapatkannya cukup sepadan.
“Baiklah. Aku yakin, Ambar adalah jodohku. Mari kita bertarung…”
Tilan dan Marlung kemudian adu kesaktian.
Bagi Ambar, menyaksikan pertarungan seperti itu sudah biasa. Sebab, ia dibesarkan dalam adat istiadat seperti itu. Pertarungan itu menumbangkan pepohonan, akibat terkena pukulan dan tendangan keduanya. Perkelahian mereka berlangsung siang-malam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Semakin lama, arena perkelahian mereka semakin meluas, mendekati lembah tempat Tilan bertapa.
Dalam satu kesempatan, keduanya mengeluarkan ilmu tingkat tinggi. Saat keduanya mengangkat tangan, keluar cahaya putih menyilaukan mata, lalu mereka melontarkannya dan beradu di udara. Hawa panas pukulan itu mengenai sebatang pohon besar. Pohon itu langsung hangus dan terbakar, terbelah dua dengan warna berbeda. Belahan pohon pertama yang berwarna merah roboh ke arah utara, yang kehitaman roboh ke selatan.
Saat pertarungan telah berlangsung tiga purnama dan mencapai puncaknya, mereka masing-masing mengeluarkan ilmu beralih rupa. Tilan berubah wujud, menjadi ikan bermulut lancip, dengan punggung berduri tajam tanpa sisik; sementara Marlung menjadi belut besar berkepala mirip ikan gabus, bertubuh bulat dan panjang.
Keduanya menceburkan diri ke dalam kolam. Di dalam kolam, keduanya membelit dan saling tusuk dengan senjata masing-masing. Air kolam keruh menjadi lumpur, bergolak dan mengeluarkan gelombang udara.
Saat itulah Mratung dan Ambar datang.
Mratung murka dan membentak keduanya agar menghentikan perkelahian. Namun, keduanya tak menghiraukan.
“Kalau kalian tak henti berkelahi, kalian takkan kembali ke wujud semula…!” seru Mratung.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Mratung mengucapkan mantra. Tangannya mengeluarkan cahaya keemasan. Cahaya itu diarahkannya ke kolam. Air kolam yang semula keruh berlumpur dan bergolak, tiba-tiba menjadi tenang. Mratung memisahkan tubuh keduanya yang kelelahan, dan berkata, “Untuk selamanya, wujud kalian akan begini! Kalian harus pergi dari kolam ini!“
Dengan tubuh lemah lunglai, keduanya pergi meninggalkan tempat itu, masing-masing ke arah utara dan selatan, membuat jalan dengan sisa-sisa tenaganya. Dari jalan yang mereka buat, terbentuk dua aliran sungai. Sungai di utara kini dinamakan Sungai Maliri, yang banyak ikan malung-nya. Tapi, di sungai itu tidak ada ikan tilan. Sebaliknya, sungai di selatan kini dikenal sebagai Sungai Pupuh. Di dalamnya, banyak ikan tilan, tapi tak ada ikan marlung.
***
Dari cerita orang-orang tua, dahulu di perbatasan Gunung Halat ada pohon besar bercabang dua, yang berbeda jenis dan warna daunnya. Konon, itulah pohon yang pernah terbelah dua akibat perkelahian Tilan dan Marlung. Pohon itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang mempunyai ilmu kebatinan. Kini, daerah itu merupakan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan Selatan.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UTUH TALUNGKUP WAN PILANDUK
Gusti Indra Setyawan

Bahari, di Kampung Mahe, ada bibinian nang batianan. Uma Idang ngarannya. Lakinya sudah kadada lagi, hanyar am mati ditimbak patir wayah di pahumaan. Rumahnya rumbis banar. Hatapnya daun rumbia. Lamunnya ada angin tutus, takipaian hatapnya. Liwar buruk rumahnya. Gawian Uma Idang saban hari maambil upah manurih gatah, sapalih batanam gumbili, sapalihan lagi bahuma. Parutnya sudah masuk itungan lapan bulan. Ujar urang, sabulan haja lagi mambarubus. Tagal, sidin cangkal haja lagi bagawi.
“Aduhhhh… Parutku ganal sudah. Parak sudah baranak. Laki, kadada. Dingsanak, kadada. Duit, kada tapi ada. Dimapa juakah kaina nasip anakku ni…,” ujar Uma Idang marista diri.
Saban hari, siang malam, Uma Idang asa marista. Satutumat, manangis saurangan, sampai bantal batahi lambuan.
Kada karasaan, sampai sudah sambilan bulan, sambilan hari. Manunggu wayahnya haja lagi. Saharianan Uma Idang badangsar, kasakitan parut. Hadap kiwa, hadap kanan, batilungkup, tatap ai sakit. Maka, tumatan rumahnya ka rumah dukun baranak, jauh banar. Untungnya, ada haja urang nang hakun manulungi, mangiauakan dukun baranak.
“Buka sadikit lagi… Tarus hajan… Tarussss, sadikit lagi…!” ujar dukun baranak, manyuruh Uma Idang.
“Aduuuh… Nangapa lagi nang dibuka? Asa lain nang dihajan, nah! Asa takaluar nang sabutingnya!” sahut Uma Idang.
“Iya am, tu! Parak sudah! Hajan tarussss…!”
Kada lawas mahajan, mambarujul takaluar jabang bayi lakian.
“Uaaa… Uaaa… Uuuaaaa…!” Nyaring banar suara tangis anak Uma Idang.
Anak tu dingaraninya Utuh Talungkup. Maraganya, wayah maranakakan, Uma Idang tatalungkup-talungkup mahajan. Balalu, anaknya dingarani Utuh Talungkup. Urang bahari nang nyaman-nyaman haja mangarani anak, kada pati ngalu kapala mamikirakan.
Dilihatinya anaknya, dipusutinya. Kaingatan Uma Idang wayah batianan talu bulan. Nang dikidamnya, buah pitanak, buah urang bahari. Wayah ini, buah pitanak sudah kadada lagi. Buahnya hirang. Rasanya masam sadikit.
“Pantas haja anakku ni hirang. Aku pang mangidam pitanak…,” ujar Uma Idang dalam hati.
Uma Idang kaingatan lawan kai nang mambari buah pitanak tu, wayah inya batianan. Kai tu baucap, ”Lamun ikam mamakan buah pitanak ni, anak ikam kaina ganalnya pintar, pawanian, raja akal. Tagal, awaknya hirang….”
Nang ngaran urang mangidam, napa haja dituruti Uma Idang. Sakalinya, dasar bujur hirang awak anaknya. Kada karasaan, satahun, dua tahun, sapuluh tahun, sampai dua puluh tahun umur Utuh Talungkup. Uma Idang sudah sasain tuha. Muha takarisut. Kulit mangariput. Awak kandur. Mata kaur. Bajalan tamaju taundur.
***
Uma Idang kahandakan banar makan daging pilanduk. Nang kaya mangidam ha lagi. Bakiau ai Uma Idang lawan anaknya. “Tuh… Uuu, Tuhhhh… Ka mari satumat, Nak!”
“Inggih, Ma. Napa, Ma?”
“Cariakan pilanduk. Mama handak banar makan daging pilanduk.” “Inggih. Ayuha, Ma ai.”
Limbah maambil tumbak wan karung, tulak ai Utuh Talungkup ka hutan. Nang ngaran ganal hampadal, inya kada takutan masuk ka hutan. Limbui sudah paluh, tagal kada taulih jua pilanduk. Tagal, lamunnya kada bakulih, inya pantang bulik ka rumah. Maginnya, nang bakahandak tu umanya. Basarusup inya, mahintipakan pilanduk di higa batang kayu ganal. Kada lawas, ada pilanduk balinjang.
“Naaah… Ninya satua nang kuhadangi tumatan tadi!” ujar Utuh dalam hati.
Wayah Utuh Talungkup handak manumbak, ada suara di atas puhun, managurnya:
“Wak, wak, wak…! Ngik, ngik, ngik…! Jangan ditumbak, Tuh ai!”
Hulingang-hulingang Utuh Talungkup, kapulingaan mancari asal suara. Limbah dilihatinya, sakalinya nang bapandir tadi tu warik.
Takajut Utuh.
“Ikamkah, Rik, nang bapandir tadi?”
“Ngik, ngik, ngik…! Wak, wak, wak…! Hi’ih, Tuh ai! Ikam jangan manumbak pilanduk tu!” ujar warik pulang.
“Napa garang, jadi aku ditangati manumbak?”
“Ngik, ngik, ngik…! Wak, wak, wak…! Lamun ikam handak, jangan ditumbak! Tangkap haja!”
Utuh bingung, kada paham sahama-hama.
“Tangkap haja pilanduknya! Inya kada pacangan bukah jua!”
Dasar bujur ujar warik.
Bagamat Utuh manangkap pilanduk. Nang kaya mahadang ditangkap jua, pilanduknya kada bukah lalu wayah dikacak Utuh di puhun gulunya. Pilanduk tu dibuat Utuh dalam karung, dibawanya bulik ka rumah.
Sampai di rumah, Utuh baasa maasah parang, sakira sasain landap. Wayah parang bahuyung ka gulu pilanduk, Utuh takajut kada sakira, malihat pilanduk tu titik banyu matanya! Maginnya wayah mandangar pilanduk tu baucap:
“Ka Utuh…! Jangan disumbalih ulun, ka…!” ujar pilanduk mambari maras.
Malihat pilanduk tu bisa bapandir, Utuh kada purun manyumbalih. Bapadah ai inya lawan mamanya. Untungnya, mamanya kada manangati jua, pinda kada pati baliur lagi lawan daging pilanduk.
***
Baisukan hari, Utuh takajut malihat di bawah tatudung banyak banar makanan nang nyaman-nyaman. Batakun inya lawan mamanya. “Ma, piankah nang maulah makanan di tatudung tu?”
“Lain. Kada tahu jua mama, Tuh ai!” sahut mamanya.
“Siapa pang, nang bamasak ni?” ujar Utuh pulang.
“Tahu jua! Tang ada ha! Makan ha. Nyaman ai masakannya.”
Nang ngaran handak tahu, limbah tuntung makan, dihintipakan Utuh ai tatudung tu di buncu dapur. Saharianan, sampai taka malam. Satumat-satumat, dibukanya tatudung.

 

 


“Siapa jua nang mambari makanan ni? Banyak bangat,” ujar Utuh.
Saban hari, makanan nang nyaman-nyaman ada tarus. Utuh sasain panasaran. Pas malam Jumahat, dihintipakan Utuh pulang tatudung tu. Liwar takajutnya inya, malihat ada bibinian bungas parahatan bamasak di dapur.
“Siapa ikam…?!” ujar Utuh mangajuti tumatan balakang.
“Ampun, kaka Utuh! Niat ulun baik lawan pian wan mama pian,” ujar binian tu. Muhanya liwar langkarnya.
Manggatar lintuhut Utuh malihat bibinian tu. Hatinya gadugupan kada karuan. “Uuu, jadi ikam nang bamasak saban hari di rumah ni?” ujar Utuh, unggut-unggut, bapandir tapuntal-puntal, liwar gugupnya.
“Inggih, ka ai. Ulun nang saban hari bamasak di dapur, maulahakan makanan gasan pian badua. Ulun pilanduk nang pian tangkap. Ulun tamakan sumpah, lalu baubah jadi pilanduk. Lamun ada lalakian nang hakun mangawini, ulun baubah jadi manusia lagi…”
Nyata ai Utuh Talungkup hakun. Siapa jua nang kada hakun mangawini bibinian jelmaan pilanduk nang liwar langkarnya tu? Limbah dikawini Utuh Talungkup, pilanduk tu baubah jadi manusia salawasan. Habis kisah, Utuh Talungkup hidup nyaman lawan bini wan mamanya.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


LEDAKAN TIGA BIJI LIMPASU
Mahfuzh Amin

Alkisah, dahulu kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang sekarang bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu Garang, karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu amat zalim. Ia suka memeras keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagai selir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana, untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana. Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecuali menggunakan tangga. Raja memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambung, hingga setinggi pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi, harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di seberang rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia mengira kabut itu hanya embun, yang biasanya turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap di jendela kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.

 


Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang. Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun kembali ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat yang hadir dalam pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ASAL MULA KISAH KAMBING TAKUTAN LAWAN BANYU
Gusti Idra Setyawan

Wayah malam hari, di hutan Samulung, nang andakannya parak Kampung Wayau, kadangaran suara kambing. Maraga banyak binatangnya, hutan tu jarang didatangi urang. Ada dua ikung kambing nang baluman guring. Kambing anak wan mamanya.
Bujur banyak binatangnya, takananya ada haja urang nang wani masuk ka dalam hutan tu. Nang wani masuk ka hutan tu biasanya urang nang ganal hampadal, kada balampu, atawa urang nang kada takutan mati.
Saban malam, sabaluman guring, anak kambing minta kisahakan dahulu lawan mamanya.
“Ma, bakisah dahulu, hanyar ulun hakun guring…,” ujar anak kambing pinda ungah.
“Ayuha. Asal ikam guring, Mama hakun ai bakisah,” ujar Mama kambing. “Di hutan ni, Mama kada takutan lawan nangapa haja, Nak ai,” ujar mamanya kambing pulang, piragah jagau.
“Umai, Ma? Haratnya pang, pian, nih? Lawan macan pang, wanilah pian?”
“Mama kada takutan! Lawan landakkah, taranggilingkah, katikihkah, ular sawakah, tadung murakah, hadupankah, macankah… Lawan gajah nang saling ganalan haja gin, Mama kada takutan. Nang Mama takutani di dunia ni, saikung haja, Nak ai. Handak tahulah, ikam?”
“Siapa, Ma? Siapa nang pian takutani?”
“Tangguhi. Siapa, nah?”
Bingung anak kambing mamikirakan.
Ayungannya, anak kambing bawani manangguh: “Pasti raksasa! Kada lain lagi! Iya, kalu, Ma?”
“Lain! Luput tangguhan ikam!” Mama kambing takurihing mandangar jawapan nang anak.
“Siapa pang, Ma?”
“Ngarannya… Eee… Handak ai Mama padahi, tagal ikam baluman cukup umur lagi, Nak ai. Lamunnya sudah ganal, kaina ikam pasti tahu saurang. Kusambat ngarannya haja gin, lah? Ngarannya, si R-i-n-t-i-k. Nah, Mama sudah bakisah, sadang sudah ikam guring….”
***
Rupanya, wayah mama kambing tu bakisah, ada macan nang umpat manalinga. Macan tu parahatan mancari makan. Sudah saharianan inya kada tadapat makanan. Niatnya nang handak marungkau kambing, batal, limbah mandangar pandiran kambing nang badua baranak tu.
Macan bapikir: “Nangapa maka kambing kada takutan lawan diaku? Nangapa maka inya takutan lawan si Rintik? Siapa si Rintik tu? Raksasakah?” ujar macan, mandam kapiu. Lawas inya bapikir, mangalamun, bakadap di bawah rapun hambawang. Padahal, inya kada macan sambarang macan, tagal dasar raja hutan bubujuran!
****
Wayah macan asyik mangalamun, kada jauh pada situ ada dua ikung urang nang bagarit minjangan. Ngarannya, Adul wan Amat.
“Dapat juakah, Dul, kita malam ini, yu? Lamunnya kada minjangan, pilanduk atawa kijang barang…,” ujar Amat, pinda hawai.
“Tanang haja. Nang musti, kita bausaha dahulu,” sahut Adul.
Adul wan Amat maingkuti lampu damar, bajalan tarus padang kadap. Limbah anu, taranjah rapun kayu. Kada tahu dilapah, masuk hutan, kaluar hutan. Sanapang dumdum, parang, tumbak, timbaku wan makanan, langkap dibawa. Karung gin, ada jua.
Tagal, sasain jauh masuk hutan, kada talihat saikung-ikung minjangan, pilanduk atawa kijang. Baunya haja gin, kadada.
Kanapakah, parahatan Adul wan Amat bamula pusang, panglihat nang badua tu ada kijang nang saling ganalan, mancugut di padang kadap, di bawah rapun hambawang.
“Mat, napa jarku tadi! Tuh, yat, di padang kadap… Napa nang saling ganalan tu?”
“Banaran. Kada salah lagi! Kijang!” Amat kahimungan.
Nang ngaran liwar himungnya, Amat langsung maambil sanapang dumdum nang sudah baisi pilur. Tinggal ditimbakakan haja lagi.
Tagal, baluman lagi ditimbakakan, Adul sudah manangati. “Jangan ditimbak, Mat ai. Kaina mati! Kita tangkap hidup-hidup haja!”
Bajingkit-jingkit, Adul wan Amat mamaraki satua tu. Bagamat Adul maurak karung, sagan manangkap wan mambuat ka dalamnya.
“Naaah…! Dapatku…!” Adul mambuat satua tu ka karung sambil bakuciak kahimungan.
“Pacangan cair, kita, Dul ai…!”
Adul wan Amat kada tapikir, nang dibuatnya ka karung tu lain kijang, tagal macan! Macan mangira jua, nang wani manangkapnya tu pasti si Rintik!
“Aduhhh… Iya, pang…. Ni pasti si Rintik nang disambat kambing tadi. Wani banar inya manangkap diaku, padahal aku raja hutan ni…,” ujar macan dalam hati.
Macan panasaran. Handak banar inya tahu, dimapa garang sabujurannya nang bangaran si Rintik tu? Inya bapikir, pasti si Rintik tu ganal banar awaknya.
Nang ngaran kahimungan, Adul wan Amat kada bagaduh lagi lawan isi karungnya. Naik gunung, turun gunung, masuk hutan, kaluar hutan, nang badua tu bulikan, banyanyian kahimungan.
Di tangah jalan, nang puhunnya kada tapi banyak, bulan salau-salau manarangi jalan. Muha Adul wan Amat sudah kalihatan. Dalam karung, si macan handak tahu jua, siapa si Rintik.
Bagimit, macan marabit karung lawan kukunya nang panjang landap. Dirabitnya sadikit-sadikit, asal muat di kapala. Dijinguknya satumat, masuk pulang. Dijinguknya lagi, masuk pulang.
Wayah kapala macan cangul di karung, kabalujuran Adul malihat tumatan balakang.
“Mat…! Napa nang kita bawa ni, Mat…?!” Suara Adul manggatar.

 


“Kijang, Dul ai!” Amat manyahuti sambil tatawa. Inya kada paham, napa maka suara Adul pinda manggatar?
“Lain, Mat ai! Babalang, awaknya…! Tu, tu, tu… Ma, ma, macaaan…!”
Asa kada parcaya, bagamatan Amat bajinguk, malihati isi karung nang dihambinnya. Inya liwar takajutnya! Mata macan tu pas parahatan cangang ka inya! Saitu-saini, dihampasnya karung nang dihambinnya.
“Brukkkkk…!” Malabuk bunyi karung dihampas saling nyaringan.
“Aduh… Aduhh… Liwar gancangnya si Rintik ni… Dihampasnya aku, nah…,” ujar macan kasakitan.
“Macan, macan, macaaan…! Tulung, tulung, tuluunggg…!”
Amat wan Adul bukahan kada katanahan, bakuriak saling nyaringan, katakutanan.
Limbah dihampas tadi, macannya bukah jua ka hutan saling lajuan. Adul wan Amat kada ingat di diri lagi, banaik ka rapun puhun nang tinggi.
***
Di dalam hutan, macan bahabar lawan kakawalannya.
“Siapa nang handak malihat si Rintik, raja hutan nang hanyar? Iringi aku…” ujar macan, awaknya manggatar katakutanan.
Saitu-saini, macan-macan lain takumpulan, umpatan tulakan, bairingan.
Di bawah puhun, wadah Adul wan Amat basambunyi, takumpulan macan, saling banyakan.
Adul wan Amat magin katakutanan, banaik sasain tinggi. Sakira takurang jua rasa takutan, kaduanya barukuan.
“Uma, uma, umaaa…! Api haja dimakannya! Dasar harat banar si Rintik tu!” ujar macan katakutanan.
Nang ngaran liwar takutannya, Adul wan Amat takamih-kamih di salawar.
“Aduh, aduh…! Aku diludahinya…! Liwar hancingnya…!” ujar macan pulang.
Malihat macan datangan tarus, Adul wan Amat batingggi lagi naik.
Kada disangka, ayungannya:
“Krak… Krak… Ciuuutttt… Dabukkk…!”
“Aduh, aduh! Digugurinya pulang aku…! Sakiittt…! Bukahan, bukahaaan…!” Raja hutan bakuriak manyuruh anak buahnya.
Limbah macannya kadadaan lagi, Adul wan Amat bagamat turunan. Sambil maurut ka pinggang, nang badua tu hancap bulikan, bukahan mancincing, katakutanan.
Ayungannya, raja hutan mangaku kalah, lalu maanggap si Rintik raja hutan nang paharatnya. Padahal, “si Rintik” nang disambat kambing tu maksudnya “rintik banyu hujan”. Cucuk ai sampai wayah ini kambing takutan lawan banyu…
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ASAL MULA NAMA KAMPUNG LIANG TAPAH
Loki Santoso

Liang Tapah adalah nama kampung di utara kaki Gunung Batu Kumpai, Kampung Garagata, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Liang Tapah berasal dari kata “liang”, yang berarti “rongga yang menyerupai goa”, “tapah” adalah nama ikan besar yang hidup di air tawar. Kini, ikan tapah kian langka. Dua nama itu digabungkan menjadi “Liang Tapah”, yang berarti “goa (ikan) tapah”.
***
Dahulu kala, dipinggiran hutan, hiduplah pemuda bernama Salman. Ia rajin bekerja dan taat beribadah. Di sekeliling tempat tinggalnya masih berupa hutan belantara. Banyak tumbuh pepohonan besar, termasuk pohon kayu ulin .
Asal muasal Salman tidak diketahui. Untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia menanam padi dan sayuran, membuat gubuk dari batang kayu ulin sebagai tiang penyangga, dan kayu lain sebagai bangunan gubuknya. Waktu terus berputar, hari berganti. Lama kelamaan, warga terus bertambah di kampung tak bernama itu. Usai salat Magrib, Salman rajin berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alqur`an. Alunan suaranya yang merdu kadang terdengar sampai jauh. Padahal, Salman merasa tak terlalu nyaring saat mengaji. Suaranya membuat warga kampung tetangga memintanya menjadi guru mengaji bagi anak-anak. Dengan senang hati, Salman bersedia.
Kehidupan terus berjalan. Tak terasa, usia Salman terus bertambah, tapi ia belum berniat hidup berumah tangga. Di samping bercocok tanam, sehari-hari ia mencari ikan dengan cara bagalau dan memasang lukah .
Pagi-pagi sekali, usai salat Subuh, Salman mengambil lanjung .
Dengan menggendong lanjung dan parang di pinggang, Salman bermaksud melihat lukah yang dipasangnya kemarin. Di pinggir sungai, ia dikejutkan oleh daun-daun pakis yang bergoyangan, seakan dilanda sesuatu yang besar sekali.
Setiba di tempat tujuan, Salman kaget bukan kepalang saat melihat lukah-nya hancur berantakan. Sambil memeriksa perangkap ikan itu, ia bertanya-tanya dalam hati: ikan sebesar apa yang telah merusak lukah-nya?
Salman mengambil lukah-nya untuk diperbaiki di pondok.
Ketika melewati daun-daun pakis yang bergoyang-goyang tadi, Salman mengamati lagi dengan lebih cermat. Ia ingin menyusuri sungai yang menyerupai danau itu, untuk mengetahui apa gerangan yang membuat daun-daun pakis tadi bergoyangan. Tapi, diurungkannya niatnya. Hari sudah jelang siang. Ia harus menyirami tanaman jagungnya yang mulai berbunga. Saat di gubuk, hatinya gelisah, penasaran dengan yang dilihatnya di danau tadi.
***
Tengah malam di musim kemarau itu, Salman bermimpi bertemu dengan orang yang berpakaian seperti pengawal kerajaan. Orang itu berkata, “Susuri danau dan sungai berbatu itu, hingga ke kaki bukit. Niscaya akan kautemukan jawaban atas pertanyaanmu…”
Tanpa berpikir panjang, esok harinya Salman mengikuti petunjuk dalam mimpinya. Disusurinya sungai, hingga ke kaki bukit. Ia terkejut melihat ombak besar bergulung, dan alur gelombang yang menghilang di kaki bukit batu kapur.
Setibanya di alur air itu, ia makin terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Seekor ikan besar sedang menyelinap masuk ke sebuah liang! Didekatinya liang itu, sambil berpikir: bagaimana cara menangkapnya? Kalau dapat, daging ikan itu akan dibagi-bagikannya kepada tetangga dan murid-murid mengajinya.
***
Di gubuknya, Salman terus memikirkan cara agar dapat menangkap ikan itu. “Aku harus bangun lebih pagi,” pikirnya. “Akan kuintai dahulu ikan itu saat keluar. Kujaga di muara liangnya, sebelum ia kembali masuk. Hanya itu caranya …”
Malam harinya, Salman bermimpi didatangi sepasang manusia berpakaian aneh, dengan raut wajah sedih. Yang perempuan menatapnya dengan wajah memelas. “Kumohon, jangan kauteruskan niatmu itu…,” katanya, sebelum lenyap.
Salman bingung, hingga tak dapat memejamkan matanya hingga subuh. Setelah salat Subuh, diambilnya lanjung dan parang, berangkat dengan tekad bulat menangkap ikan besar itu.
Tak berselang lama, Salman tiba di tempat tujuan.
Diturunkannya lanjung dan dihunusnya parang, mengendap-endap perlahan mendekati liang. Matanya meneliti tanda-tanda di sekitarnya. Tampaknya, ikan itu tengah keluar mencari makan, karena dedaunan pakis tampak rebah, berlawanan arah dengan muara liangnya.
Di tempat persembunyiannya, Salman melihat ada gerakan-gerakan lembut pohon pakis, beberapa meter di depannya. Jantungnya berdebar-debar, saat gerakan itu kian mendekati tempat di mana ia berada. Ikan itu sedang menuju liangnya!
Saat melihat ikan itu berkelebat di bawah permukaan air, secepat kilat Salman menghunjamkan parangnya. Air bergolak dan tiba-tiba berwarna merah darah. Seekor ikan besar menggelepar-gelepar meregang nyawa, tepat di muara liang.
Dengan senyum penuh kepuasan, Salman menyeret ikan besar itu, memotong-motongnya, dan memasukkannya ke dalam lanjung. Di gubuk, Salman memperkecil potongan ikan itu untuk dibagi-bagikan, sesuai dengan jumlah tetangganya.
“Di mana guru mendapatkan ikan ini?” tanya warga yang berdatangan.
“Di muara liangnya,” jawab Salman.
“Ini ikan tapah!” seru warga lainnya.
“Alhamdulillah. Semua ini berkat dari Allah,” sahut Salman. “Bagaimana kalau kampung ini kita namai Kampung Liang Tapah?”
“Barrakkallaaah… “ sahut warga, setuju.
***
Di sekitar liang itu, ada lubuk yang pernah dipenuhi ikan tapah. Lubuk itu kini dinamakan Luk Hijau. Menurut warga, kadang-kadang terlihat ikan tapah di situ, tapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Warga yakin, itu adalah pasangan ikan tapah yang telah ditangkap Salman.
***

 

 

PUHUN BINJAI WAN PUHUN JINGAH
Muhammad Fitriadi

Ujar urang, di Luuk Suntul, nang wayah ini bangaran Kampung Wayau, bahari ada karajaan. Karajaan tu wadah singgah wan mandian bubuhan raja-raja, bila bubuhan raja-raja tu handak tulakan bakapal.
Rajanya bangaran Raja Simamarta. Raja Simamarta banyak baisian tanaman, nang kakaya langsat, rambutan, tiwadak, kapul, ramania, banyak ai lagi.
Raja Simamarta baisian tanaman nang paling disayanginya: puhun jingah wan binjai, nang tumbuh di tabing sungai, di balakang istana karajaan. Raja mandangar habar, ada tanaman nang lamunnya diparaki, urang bisa gatalan.
Balalu, Raja mangiau Patih.
‘Patih Tangkar, cuba pang ikam lihatiakan tatanaman nang ada di karajaan ni. Pandangarku, ada tanaman nang bisa maulah urang gatalan wayah diparaki. Tanaman napa tu?’’ ujar Raja.
“Ayuha, Raja ai. Halaman pian pasti ulun jaga, Kada pacangan ada maling nang wani masuk. Lamunnya ada jua, nih, bahadapan lawan ulun, Patih nang panjagaunya di karajaan ni…,’’ ujar Patih Tangkar kapiragahan.
‘’Nah, ham. Luput sakalinya! Ni duit, nah! Tagal, ikam lihatiakan dahulu tatanamanku nang ada di kabunku, limbah tu hanyar sabarataan nang ada di karajaan.’’
“Bah, Raja ni… Jaka bapadah tumatan tadi handak minta lihatiakan kabun pian, sudah am ulun lihatiakan…’’
Balalu, Patih Tangkar tulak ka kabun.
Patih Tangkar ni urang paling jagau, paling sakti. Kadada tu pang nang wani malawaninya. Sauting haja kakurangannya: urangnya tuli biruangan, tatulian, kada tapi mandangar. Lamunnya diunjuki duit atawa pamakan, hanyar inya mandangar.
Sampai di kabun karajaan, Patih Tangkar tulih kanan, tulih kiwa. Kadada nang pinda ganjil. Tarus ai inya bajalan ampah ka tabing sungai, tadapat puhun binjai wan jingah. Ni-kah satua nang bisa maulah warga karajaan gatalan?
‘’Ui, jingah…! Ikamkah nang maulah urang gatalan?’’ ujar Patih Tangkar.
‘’Kada, Patih ai!’’ ujar jingah.
‘’Iya banar, Patih ai! Bujur! Inya nang maulah urang gatalan! Limbah urang gatalan, disuruhnya urang mangawininya, jujuran -nya harang wan duit binggul, baigal kada babaju, mangulilingi rapunnya…!” ujar binjai, manyahuti
‘’Ikam bangat lagi, binjai ai! Lamunnya urang gatalan, ikam suruh urang mamupuri, sambil baigal-igal!’’ ujar jingah kada hakun kalah.
‘’Hau…? Ampihan, ampihan sudah! Jangan bakakancangan lagi! Biar masalah ni kukisahakan dahulu lawan Raja. Kalu pinda sidin tahu, dimapa maurus ikam nang badua ni…,’’ Patih Tangkar manangahi.
Bulik Patih Tangkar ka istana, balapur lawan Raja.
***
Di istana, Raja sudah basadia duit sagan Patih Tangkar. Raja tahu banar lawan panyakit anak buahnya nang saikung tu.
‘’Badimapa, Patih? Nangapa garang maka rakyat karajaan gatalan?”
‘’Tahu ai sudah ulun, Raja ai,’’ Patih Tangkar hancap manyahut, limbah talihat duit
‘’Lakasi padahi! Nangapa maraganya maka rakyat gatalan?!’’ ujar Raja Simamarta, kada sabar lagi.
‘’Maraganya, puhun jingah wan puhun binjai bakalahi, Raja ai. Inya badua tu bahaharatan, bagaganalan awak!”
‘’Hau…? Dintukah? Lamun damintu, ikam haja sudah nang maurusnya. Ikam nang pamintarnya, panahunya, di karajaan ni. Lamunnya ikam nang maurusnya, bahara kadada masalah lagi,’’ ujar Raja, maambung Patih Tangkar.
Patih Tangkar liwar himung diambung. ‘’Ulun ni lambat disuruh haja, Raja ai. Baya masalah puhun ha…’’
***
Talu hari talu malam Patih Tangkar mahaluwat, kada taulih jua dimapa caranya. Balalu, inya manukui puhun jingah wan puhun binjai tu. Sampai di tabing banyu, diitihinya puhun nang badua tu.
‘’Asa mustahil puhun bisa maulah urang gatalan. Mustahil lamun kadada sababnya….’’ Patih Tangkar gagarunum dalam hati. Dikulilinginya rapun jingah wan binjai tu. Parahatan inya bakuliling, titik banyu nang kaya gatah, matan atas puhun tu.
Dijapainya banyu nang titik tu. Kada lawas, di awaknya timbulan habang-habang, babaial-bial, gatal!
‘’Bah…. Ni pang sakalinya nang maulah urang gatalan tu! Kada maraga napa-napa sakalinya. Ni maraga kana gatah jingah wan binjai haja!’’
Rupanya, wayah turun mandi ka batang, urang diguguri gatah jingah wan binjai nang banyak tumbuh di tabing. Bisa jua urang kada singhaja tajapai rapunnya, balalu kana gatahnya. Urang nang gatalan tu lalu disambat “kajingahan”, “kabinjaian”.
Bulik ai Patih Tangkar ka istana, baulah tatamba gatalan, balapur lawan Raja. Mandangar lapuran Patih, Raja mangiau pangawal, lalu baucap: “Wayah ini jua, jauhakan puhun binjai tu pada puhun jingah! Jangan diparakakan lagi!”
Tulakan ai bubuhan pangawal, manjauhakan puhun badua tu. Makanya, wayah ini kaduanya kada lagi tumbuh bahigaan. Jingah tumbuh di tabing sungai, binjai di tangah hutan. Di kampung, lamunnya “kajingahan” atawa “kabinjaian”, urang kada lagi baigal wan mamupuri puhun tu. Tagal, ada haja jua pang nang masih damintu.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 


SI PUJUNG JADI BATU
Lilies MS

Di Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, ada Kampung Pujung. Di pinggiran kampung itu, ada patung batu. Patung yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria itu konon alat kelamin Pujung, setelah dikutuk ibunda Putri Tunjung Sari, istri Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri.
Sebelum Kerajaan Banjar berdiri, ada kerajaan Dayak Maanyan bernama Kerajaan Nan Sarunai. Seiring dengan itu, ada Kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri dipimpin raja yang bijak bestari. Dalam memimpin, raja didampingi patih yang arif, tangkas dan cerdas, bernama Mahapatih Mahe.
Mahapatih Mahe yang berdarah Melayu hidup berbahagia dengan istri dari keturunan Raja Nan Sarunai. Dari perkawinannya, ia mendapat anak laki-laki, yang kemudian bermukim di Barito (Barito Timur sekarang), dan menjadi damang di sana. Seorang lagi, Putri Tunjung Sari, kecantikannya sudah tersohor ke mana-mana, bukan hanya ke Sungai Bahan dan Sungai Negara, tapi ke seluruh penjuru negeri.
Putri Tunjung Sari bersahaja, berbudi luhur, terampil dan cerdas. Teman-temannya sangat menyukainya. Ia pandai menari dan menyanyi. Setiap panen raya, Putri Tunjung Sari dan teman-temannya memeriahkan pesta dengan menarikan tarian kurung-kurung dan gintur . Banyak pria jatuh cinta padanya.
***
Berseberangan sungai dengan Kerajaan Tanjung Puri, ada seorang saudagar yang kaya raya. Ia memiliki kebun yang amat luas, bermukim di daerah Pitab, batang Balangan . Saudagar itu berasal dari Suku Dayak Pitab, Balangan. Ia menjual hasil ladang dan kebunnya di Kerajaan Tanjung Puri.
Saudagar kaya itu memiliki putra bernama Pujung.
Pujung memiliki kesaktian yang luar biasa. Tenaganya luar biasa. Tubuhnya tinggi, besar dan kekar, mata agak sipit, alisnya tebal seperti golok. Konon, dengan tangan telanjang saja ia mampu mematahkan dan membelah batung .
Pujung pandai memainkan mandau , sumpit dan kuntau , juga menari. Di balik tubuhnya yang kekar, dapat menari dengan lincah, mengikuti irama kenong, dengan gerak gintur-nya. Tapi, sifatnya tidak sabaran, kalau sedang marah meledak-ledak.
Saat panen raya tiba, rakyat Kerajaan Tanjung Puri bergembira ria atas hasil ladanga dan kebun yang melimpah ruah. Mereka mengelar pesta rakyat, aruh adat. Aruh adat selalu diramaikan dengan tari-tarian. Tari gintur dan kurung-kurung digelar, Putri Tunjung Sari bersama empat temannya pun menari.
Setelah tari kurung-kurung usai, dilanjutkan tari gintur, dengan iringan musik kenong, gong, babun dan kulimpat . Penarinya masih Putri Tunjung Sari bersama kawan-kawannya, tapi dengan jumlah penari lebih banyak, ditambah balian . Pada saatnya, balian mengajak penonton menari, menariknya dengan selendang kuning atau putih, dan bersama-sama memainkan tongkat batang patake. Ini dinamakan bagintur , salam penghormatan kepada para tokoh yang hadir di pesta.
Pujung juga diundang bagintur.
Tak disangka, ia dipasangkan menari dengan Putri Tunjung Sari, gadis yang telah mencuri perhatiannya saat mandi di batang banyu . Bagi Pujung, ini bagai mukjizat, peristiwa yang dimpikan banyak pria. Hati siapa tidak berdebar, saat menari bersama gadis pujaannya?
Sambil menari, Punjung berkata, ”Tunjung, aku masih boleh menemuimu, ‘kan?”
Putri Tunjung Sari hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis.
Ketika tarian usai, Pujung tak menyia-nyiakan kesempatan. Sembari menutup langkah akhir gerakan kaki, ia menatap mata indah Putri Tunjung Sari, dan berbisik, “Putri yang jelita, terima kasih untuk kesempatan ini. Aku takkan melupakannya…”
Putri Tunjung Sari hanya menampakkan giginya yang berkilau rapi, sambil undur diri.
***
Pertemuan itu memberi kesan yang mendalam bagi Pujung. Tak sedetik pun waktu berlalu tanpa bayangan Putri Tunjung Sari. Hatinya tak keruan. Ia tergila-gila pada gadis itu dan bermaksud memilikinya.
Pagi harinya, di pinggiran sungai, Pujung menyanyi sambil menjaga babi-babi piaraannya. Suling ditiupnya, dibawakannya sebuah nyanyian. Syair lama tentang peristiwa tragis di Kerajaan Nan Sarunai, akibat serangan Majapahit , yang akhirnya memunculkan kepemimpinan Uria Pitu .
Suara suling Pujung yang merdu membuat yang mendengarnya terlena.
Tapi, tiba-tiba suara suling itu berubah dengan nada lain yang memekakkan telinga. Sepasang jin telah merasuki jiwa Pujung. Jin jahat itu menggoda, membujuk, dan membakar syahwatnya.
Pujung tak kuasa menahan syahwatnya.
Dengan mata merah, liar dan beringas, ia bergegas ke tebing sungai. Saat itu Putri Tunjung Sari dan teman-temannya sedang mandi dan mencuci. Pujung berteriak-teriak, memanggil Putri Tunjung Sari dan mengajaknya bercinta.
Putri Tunjung Sari dan teman-temannya ketakutan melihat tingkah Pujung yang aneh. Mereka lari ketakutan, hingga akhirnya Putri Tunjung Sari tertinggal sendirian di belakang.
Pujung semakin menggila, nafsu berahi makin menguasainya. Putri Tunjung Sari lari lintang pukang.
Saat terpojok di tebing, tubuh Putri Tunjung Sari limbung dan terjatuh ke dalam sungai. Ia menjerit sekuat tenaga. Suaranya menghilang, saat tubuhnya masuk ke dalam pusaran arus air yang bergolak.
Saat itulah, Pujung sadar. Sepasang jin terkekeh, keluar dari jiwanya. Pujung panik dan kebingungan. Ia mengiba-iba, penuh penyesalan. “Tunjung… Maafkan aku, Tunjung! Maafkan aku, wahai pujaanku…!”
Pujung melompat dan menceburkan diri ke dalam sungai, menyelam sekuat tenaga, dengan cinta dan penyesalan. Dengan kesaktiannya, dibendungnya sungai itu hingga kering dan terbelah dua . Tapi, usahanya sia-sia. Putri Tunjung Sari tak ada. Penyesalan menyiksa hati Pujung. Gadis pujaannya telah lenyap terbawa arus, dan hilang entah kemana.

 

 


Senja pun tiba. Langit gemuruh. Hujan turun amat derasnya, bagai gelombang yang ditumpahkan dari langit. Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh, marah dan murka. Dimaki-makinya Pujung, karena telah membuat anak gadisnya hilang. Dengan air mata berlinang dan tubuh gemetar, istri Mahapatih Mahe itu bersimpuh, bersujud ke langit, dan memohon:
“Ya, Tuhan… Karena menuruti hawa nafsu, terkutuklah engkau, Pujung! Agar setimpal dengan perbuatannya, buatlah alat kelamin Pujung menjadi batu! Tuhan, tunjukkan kekuasaan-Mu! Terkutuklah engkau, Pujung, terkutuklah…!”
Langit semakin gemuruh. Hujan dan badai mengamuk, mengaduk-aduk seisi alam. Guntur dan petir bersahut-sahutan, membahana membelah angkasa.
***
Ketika hujan dan badai reda, alat kelamin Pujung telah berubah menjadi batu. Putri Tunjung Sari konon terbawa arus sungai ke Kerajaan Negara Dipa, yang terletak di Hujung Tanah, pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai Negara. Di pinggir sungai, Putri Tunjung Sari diselamatkan Empu Jatmika, yang kemudian bergelar Maharaja di Candi Laras .
Empu Jatmika memiliki dua putra, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Sepeninggal Empu Jatmika, Lambung Mangkurat mengangkat Putri Tunjung Sari, yang entah benar atau tidak, juga disebut “Putri Junjung Buih”, menjadi Raja di Negara Dipa; dan kekuasaannya meliputi batang Tabalong, batang Balangan, batang Perak, batang Alai, batang Amandit dan pegunungan di sekitarnya. Tempat di mana patung alat kelamin Pujung itu berada, sekarang disebut Kampung Pujung, di Kecamatan Bintang Ara; berbatasan dengan Kecamatan Haruai, terhubung dengan jembatan panjang peninggalan kolonial.
Kalau sedang menuju Kecamatan Tanjung, orang akan melewati Jembatan Mahe, yang terletak di Kampung Mahe, Kecamatan Haruai. Nama itu berasal dari nama Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri, ayahanda Putri Tunjung Sari.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SI DIANG BAKUT
H. Akhmad T. Bacco

Syahdan, di Kampung Timbuk Bahalang , Haruai, hiduplah seorang petani bernama Raden Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita, baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin.
Mereka keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai. Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja. Akhirnya, mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang.
Kampung itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyan, Deah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau , kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda kepahlawanan.
Di kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya. Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang, barahmata, hadungan, singgah manginang, buntal, dan lain sebagainya. Ikan daratnya, haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan yang sekarang mahal harganya, yakni bakut . Di sinilah awal kisah.
***
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
Duduk melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya, “Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan….”
“Ya, Kakanda.”
”Betapa bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.”
“Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang cantik dan berkuasa.”
“Huss, Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan lagi…”
”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.”
“Ya, tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu. Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita akan repot…”
“Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.”
Jelang sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat cantik.
Upacara syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat dan baaruhan . Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya diadakan karasmin , dengan manuping .
Penari wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka , diiringi gendang karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul .
Semakin malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir menjelang dini hari.
***
Dengan berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut, Putri Aima suka menyendiri.
Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohon lua. Putri Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi pendamping hidupnya kelak.
Ia selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang tahun. Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu.
Putri Aima mampu bicara dengan pelanduk.
“Hai, pelanduk!”
“Hai, Putri Aima…,” sahut pelanduk.
Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
“Dekat sini saja,” jawab pelanduk.
“Boleh aku ke tempatmu?”
”Boleh,” jawab pelanduk lagi.
Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang. Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa.
Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan.
”Selamat datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hati Putri Aima bergetar memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk!
Putri Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman. Dengan ramah, pemuda itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di sana ada kolam yang luas dan berair jernih. Saat pemuda tampan itu mengajaknya berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air. Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran ke sungai.
Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikan berwarna hitam. Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang sama, berusaha menenangkan Putri Aima yang terkesima, dan mengajaknya bicara.
“Putri Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk Bahalang ini. Kami sering kehilangan warga kami. Warga senang menangkap ikan. Mereka telah menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aima kami ambil sebagai pengganti…,“ kata ikan hitam itu.

 


“Oh… Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
“Bisa. Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci…”
***
Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunya yang amat dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh warga kampung berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru .
Semua upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukun dimintai bantuan. Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup, tapi entah di mana.
Kenanga Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah Putri Aima, dalam wujud ikan bakut, melompat ke atas lanting .
”Ibundaaa….!”
Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh… Siapa engkau? Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
“Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima diminta sebagai gantinya.”
“Oh, Anakku… Bisakah engkau kubawa pulang?”
“Bisa, Bunda. Ulun bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu Ibunda dan Ayahanda.”
Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada suaminya.
“Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harus bersabar,” kata Raden Pelewangan.
Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri Aima.
“Ayahanda…! Ibundaaa…!” seru Putri Aima sambil menangis dan memeluk kedua orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima disebut “Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”.
***
Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati banyak ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap ikan itu, sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga berhasiat sebagai obat.
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LEGENDA ARYA TADUNG WANI
Abdul Hanafi

Pada zaman dahulu kala, di pinggir Kampung Paramian , hidup orang yang bergelar “Datu Harung”. Nama aslinya “Datu Magat”. Dahulu, gelar “datu” hanya diberikan kepada orang-orang yang dihormati dan mempunyai keistimewaan.
Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli bercocok tanam, juga ahli dalam mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi berkebun. Sebelumnya, masyarakat mendapat buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar di hutan, atau dari pohon yang tumbuh dari biji yang dibuang orang. Datu Magat kemudian memulainya dengan berkebun, dengan cara tumpang sari.
Kebun Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanak, mundar, katapi suntul, kalangkala. Dari jenis rambutan, ada maritam, siwau, pitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin, kamundai, likul, layung, karatungan. Dari jenis mangga, ada hambawang, hampalam, kuini, pulasan, rarawa, kasturi, kulipisan, sampai tandui.
Bukan hanya nangka, tiwadak, tarap dan pupuan yang ditanam Datu Magat, tapi juga langsat. Langsat Tanjung dikenal paling manis dibandingkan langsat dari daerah lain. Pohon belimbing tumbuh hampir di setiap pekarangan rumah penduduk. Cara bertanam kebun buah-buahan yang dilakukan Datu Magat disebut harung. Oleh sebab itu, Datu Magat juga dijuluki “Datu Harung”.
***
Datu Harung memiliki adik perempuan bernama Diang Dadukun. Parasnya tidak terlalu cantik, tapi wajahnya membuat damai hati yang memandangnya. Wajahnya bulat telur, selalu tersenyum, rambutnya panjang, lurus, terurai indah. Kesejukan wajahnya cermin kelembutan hatinya, yang terungkap dari tutur katanya. Tutur katanya halus dan lemah-lembut.
Karena keelokan wajah dan kehalusan budi pekertinya, orang-orang memanggilnya “Putri Mayang”. Ada pula yang memanggilnya “Diang Wangi”. Walaupun belum bertemu orangnya, kehadirannya dapat diketahui dari aroma tubuhnya yang tercium di kejauhan.
Tapi, rupanya wajah yang elok tidak selalu mendatangkan kebahagiaan.
Tubuh Diang Wangi yang harum ternyata mengundang berahi makhluk lain yang berkeliaran di malam hari. Ketika itu, sejak sore hujan turun dengan lebatnya. Tengah malam, udara dingin menusuk tulang. Tanah becek dan berlumpur. Tak ada suara jangkrik, hanya gemercik sisa air hujan yang menetes di dedaunan. Suasana sunyi senyap. Warga malas keluar dan lebih suka tidur di rumah.
Saat itulah, sesosok bayangan hitam berkelebat di rumah Datu Harung yang bertiang tinggi. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar pekik tertahan, disusul suara rintihan dari rumah kayu beratap rumbia itu. Menjelang dini hari, bayangan hitam itu berkelebat secepat kilat ke arah hutan, dan menghilang di kegelapan.
Pagi harinya, Datu Harung dan istrinya Diang Sasar terkejut melihat Diang Dadukun menangis tertelungkup, mendekapkan bantal ke wajahnya. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tangisan.
“Kenapa, ding ? Kenapa menangis? Sakit perut?” tanya Diang Sasar.
Diang Wangi tidak menjawab. Bantal kapuk yang basah bersimbah air mata, menutupi wajahnya.
Datu Harung menangkap gelagat lain. Ia bertolak pinggang. Napasnya tertahan. Di antara aroma kamar Diang Wangi, hidungnya mencium bau asing. Seperti bau keringat lelaki. Matanya menyapu sekeliling, dan terkejut ketika melihat jendela yang terbuka.
Datu Harung menghampiri jendela. Tangannya bertumpu pada bingkai jendela, lalu menengok ke bawah. Di tanah, tampak bekas-bekas jejak kaki. Ia memberi isyarat kepada istrinya, yang segera menghampiri.
Datu Harung berbisik kepada istrinya. Diang Sasar duduk kembali di pinggir dipan, merangkul bahu adik iparnyanya itu. Diang Wangi juga merangkulnya, sambil terisak-isak. Datu Harung berdiri tegang memandangi adiknya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.
“Katakan, siapa laki-laki yang masuk ke kamarmu tadi?!” Datu Harung marah.
“Aku tak dapat mengatakannya, Kak, karena…”
“Karena apa?!“
Diang Sasar mengedipkan mata kepada suaminya. Datu Harung diam mematung, menahan marah.
“Ading kenal laki-laki itu?“ tanya Diang Sasar lembut.
Diang Wangi menggeleng..
“Lalu, siapa durjana itu…?!” Datu Harung membentak.
Diang Sasar menempelkan telunjuk ke bibirnya, kembali memberi isyarat pada suaminya. Datu Harung membalikkan badan, membelakangi istri dan adiknya dengan wajah merah padam. “
“Jadi, kau benar-benar tidak tahu?” tanya Diang Sasar lagi, setelah menyuguhkan secangkir air putih untuk menenangkan Diang Wangi.
“Ulun tidak tahu, Kak. Saat ulun guring tiba-tiba dada ulun terasa sesak…,” sahut Diang Wangi. “Ulun terkejut… Ada tubuh besar menindih ulun…”
Datu Harung dan Diang Sasar menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut Diang Wangi. Wajah Diang Wangi tertunduk, bercerita sambil memainkan kuku jari-jarinya.
“Kau sempat melihat wajahnya?” tanya Diang Sasar lagi.
Diang Wangi menggelengkan kepalanya lagi. Menangis semakin nyaring.
“Aku tak dapat melihat. Pandangan mataku gelap…”
“Maksudmu?”
“Aku tak bisa membuka mata, Kak. Rambutnya panjang sekali, menyapu dan menusuk mataku. Ketika aku hendak berteriak, tangannya membekapku. Tubuhnya besar sekali, berat dan berbau. Aku tak dapat bernapas! Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi…”

 

 


Datu Harung dan Diang Sasar sadar, Diang Wangi telah digauli makhluk asing.
“Ini tak dapat dibiarkan! Aku harus menangkapnya! Jahanam itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru Datu Magat sambil mengulung kain sarung yang dikenakannya, mengikatkannya ke pinggang. Tanpa menoleh lagi, ia pergi.
***
Datu Magat mengikuti jejak-jejak kaki yang masih membekas di tanah basah. Ukuran tapak kaki itu tidak normal. Besar sekali! Tapak kaki itu mengarah ke hutan, tampak dari lumpur basah yang menempel di rerumputan.
Setibanya di bawah sebatang pohon besar, alangkah terkejutnya Datu Magat. Seorang pria raksasa sedang tertidur lelap di bawah sebatang pohon pulantan!
Pria raksasa yang hanya mengenakan cawat kulit kayu itu mendengkur keras sekali. Kemarahan Datu Magat mengalahkan rasa takut pada makhluk yang telah menodai adik kandungnya itu. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak menendang raksasa itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.
Sifat ksatrianya, muncul. “Kalau ia kubunuh selagi tidur, berarti aku seorang pengecut…,” ujar Datu Magat dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, dicobanya membangunkan raksasa itu dengan menghentakkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. Tapi, makhluk itu masih terlelap. Ditendangnya banir pulantan tempat makhluk itu bersandar, tapi raksasa itu bergeming.
Datu Magat hampir kehabisan akal. Untuk menyentuhnya, ia merasa jijik.
Datu Magat kemudian menggunakan cara lain untuk membangunkannya. Bulu kaki raksasa itu ditapung-nya . Setelah ikatannya dirasa cukup kuat, disentakkannya bulu kaki itu dengan sekuat tenaga. Raksasa itu tiba-tiba terbangun, meringis memegangi tungkainya. Ketika melihat Datu Magat bertolak pinggang dengan marah di hadapannya, raksasa itu langsung bersimpuh.
“Oh, Kakak…!” seru raksasa itu, mengiba-iba.
“Hei…! Beraninya kau menyebutku kakak!? Perbuatanmu telah menghancurkan martabat keluargaku!” Datu Magat menuding wajah raksasa itu.
Wajah raksasa itu seketika pucat pasi. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia sadar sedang berhadapan dengan Datu Magat. Raksasa itu tidak berani mengangkat wajahnya. “Ampuni aku, Kakak! Maafkan kesalahanku. Aku suka Diang Wangi, tapi tak berani berterus terang. Tiap kali melihat Diang Wangi, aku tak dapat menahan diri. Kalau Andika ingin membunuhku, bunuhlah sekarang. Aku takkan melawan…,” jawab raksasa itu.
Mendengar pengakuan jujur raksasa itu, hati Datu Magat luluh. Lebih-lebih, raksasa itu telah berterus terang mengakui perbuatannya.
“Engkau kuampuni,“ jawab Datu Magat pendek.
“Ulun akan mempertanggungjawabkan perbuatan ulun. Kalau kakak berkenan, kawinkan ulun dengan Diang Wangi.”
Datu Magat terpaku sejenak. Maukah adiknya dikawinkan dengan makhluk gaib bertubuh raksasa itu? Kalau tidak, bagaimana dengan aib yang ditanggungnya?
“Baiklah, kau akan kukawinkan dengan Diang Wangi,” sahut Datu Magat.
Maka, dikawinkanlah Diang Wangi dengan makhluk raksasa yang telah menodainya itu. Saat ditanyai, raksasa itu tak dapat menyebutkan asal muasalnya. Dia hanya mengaku berasal dari “daerah atas”. Mungkin maksudnya adalah “atas bukit”, sebab ia menunjuk ke arah Pegunungan Meratus.
Suami Diang Wangi yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki berbagai kesaktian. Tubuhnya kebal, bisa menghilang dan, yang menakjubkan: ia mampu menembus tanah.
Tapi semua kesaktian itu tak mampu meluluhkan hati isterinya. Diang Wangi membenci pria raksasa yang telah menodainya. Ia tidak mampu melupakan peristiwa jahanam itu, lebih-lebih kalau melihat tubuh suaminya yang besar, kekar, kasar, dan bersisik seperti ular.
Perkawinan mereka tak berlangsung lama. Sepekan kemudian, suami Diang Wangi menyampaikan kata perpisahan. Ia merasa percuma bertahan dalam hubungan yang tidak sejalan.
***
Tiga purnama setelah suaminya pergi, Diang Wangi menyadari, bahwa ia telah hamil. Ia takut sekali, kalau-kalau wajah anaknya akan mirip ayahnya. “Ih, jauhakan bala… ,” katanya sambil meludah.
Kian hari, perut Diang Wangi kian membesar. Ia malu keluar rumah, akibat perkawinannya yang tidak diaruhakan seperti kebiasaan.
Setelah sembilan bulan sembilan hari, tanda-tanda kelahiran mulai dirasakan Diang Wangi. Sehari semalam perutnya sakit luar biasa. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi, setelah dukun beranak berkata, bahwa bayi yang dikandungnya besar sekali.
“Duh, Gusti… Anakku akan serupa dengan ayahnya yang raksasa…,” keluh Diang Wangi.
Setelah meminum ramuan pilungsur , lahirlah seorang bayi laki-laki. Diang Wangi merasa lega. Ternyata, wajah putranya tidak mirip ayahnya! Hanya tubuh besarnya saja yang ukurannya melebihi bayi normal. Ada tanda aneh di leher bagian belakang, serupa sisik, sebesar binggul.
Bayi besar itu diberi nama “Arya”. Diduga, sisik di lehernya adalah keturunan dari ayahnya. Ternyata, anak itu juga kebal sejak lahir. Pisau dan benda tajam tak dapat melukainya.
Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan, dan rajin membantu ibunya. Ia anak yang baik dan disukai kawan-kawannya. Arya mahir bagasing , balugu atau bacirak . Ia selalu unggul dalam permainan.
Menjelang remaja, Arya sudah menguasai berbagai kecakapan hidup, seperti berburu, membuat perangkap ikan, dan ilmu pertanian yang ia pelajari dari saudara tua ibundanya, Datu Harung, yang disebutnya Julak . Dari julak-nya itu pula, ia mempelajari pencak silat bangkui . Meskipun gerakannya persis monyet, seni bela diri bangkui tak bisa dianggap sepele. Apa lagi saat dipadukan dengan jurus tadung sawa , makin sempurnalah ilmunya.

 

 


Saat menggunakan jurus tadung sawa, Arya tampak bergerak tenang, meliuk-liuk lembut, layaknya seekor ular. Saat posisi lawannya terbuka, secepat kilat ia menyambar dan menguncinya, membuat lawannya tak berkutik. Karena ilmunya itu, namanya menjadi “Arya Tadung Wani” .
***
Suatu hari, Arya duduk santai bersama ibunya di beranda rumah. Entah mengapa, tiba-tiba Diang Wangi menjunjuk tiga ekor burung yang hinggap di dahan: “Lihatlah burung itu, Nak. Salah satu di antaranya, pasti anaknya.”
“Lalu, yang dua ekor lagi?” tanya Arya
“Pasti induknya.“
Arya menatap mata ibunya dalam-dalam, kemudian bertanya dengan hati-hati:
“Bunda, di mana ayahku?”
Diang Wangi terkejut mendapat pertanyaan itu.
Memang, selama ini Diang Wangi tak pernah menceritakan siapa ayah Arya yang sebenarnya. Ia khawatir, anaknya akan malu. Lama ia terdiam. Wajahnya yang tadi ceria, seketika berubah muram. Bayangan masa lalunya kembali teringat. Matanya berkaca-kaca. Perlahan air mata turun membasahi pipinya.
Melihat ibunya menangis, Arya menyesal. Ia merasa bersalah telah menanyakan hal itu. “Maafkan Arya, Bunda. Arya membuat Ibunda sedih….”
“Tak apa-apa, Nak. Sudah saatnya engkau mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya,” sahut Diang Wangi, sambil membelai rambut Arya Tadung Wani. Diang Wangi menceritakan peristiwa yang dialaminya, hingga kelahiran putranya itu.
Sejak saat itu, setiap malam Arya Tadung Wani tak bisa lagi tidur nyenyak. Cerita ibunya telah menghantuinya. Ia ingin menemui ayahnya. Saat keinginan itu disampaikannya kepada ibunya, Diang Wangi tidak melarang atau mengiyakan.
“Kita rundingkan dahulu dengan Julak-mu. Sebab, selama ini Julak-lah yang mendidik dan merawatmu. Julak sudah seperti ayahmu,” jawab ibunya. “Nanti niatmu Bunda sampaikan.”
Arya mengiyakan.
Malam harinya, Arya dipanggil Julak-nya, Datu Magat. Jantungnya berdebar-debar menantikan jawaban.
“Kalau niatmu seperti itu, Julak tak bisa melarang. Engkau telah dewasa. Julak yakin dengan ilmu yang kau miliki. Ke manapun pergi, kau tidak akan kelaparan,” kata Datu Magat sambil menepuk bahu keponakannya yang bersimpuh di hadapannya.
Arya merasa lega.
Datu Magat melirik Diang Wangi yang juga bersimpuh di samping anaknya. Gurat kesedihan tergambar di wajah adik kandungnya itu.
“Diang…”
“Pun , Kakak…,” sahut Diang.
“Ibarat burung, anakmu sudah punya sayap. Wajar kalau sekarang ia ingin menggunakan sayapnya untuk terbang, ke mana pun, termasuk untuk mencari ayahnya,” sahut Datu Magat. Pandangannya kembali diarahkan kepada Arya. “Dan, kau, Arya, untuk mencari ayahmu, mungkin kau harus madam cukup lama. Ilmumu belum cukup…”
Datu Magat menahan kata-katanya, membuat hati Arya berdebar. Ia tak dapat membayangkan hal-hal yang akan ditemuinya di perantauan. Ia belum punya arah tujuan. Arah kepergian ayahnya itulah satu-satunya petunjuk. Tapi, hati kecilnya berkata, “Percuma aku dijuluki Arya Tadung Wani, kalau tidak berani pergi,” pikirnya.
“Lalu, apa lagi, Julak? “ tanya Arya.
Datu Magat menyuruh Diang Wangi mengambil lima lembar daun sirih yang harus dipetik dengan tangkainya.
Sementara Diang wangi pergi, Datu Magat melanjutkan petuahnya. “Di perantauan nanti, kau tidak hanya akan menghadapi alam, tapi juga masuk kampung, keluar kampung, dengan adat istiadat berlainan. Bertemu orang-orang dengan sifat dan tabiat bermacam-macam. Agar selamat, kau harus memiliki lima sifat utama…”
“Pertama, jangan sombong. Pandai-pandailah membawa diri. Jujurlah dalam perbuatan. Hindari menggunjing orang lain. Kedua, kalau bicara dengan yang lebih tua, atau dituakan, jangan kasar.
“Ketiga, dalam musyawarah jangan suka memotong pembicaraan orang lain. Dengarkan dahulu perkataan orang, hargai pendapat orang, baru mengemukakan pendapat sendiri. Keempat, bersikaplah seperti keris. Jangan salah menggunakannya. Pelihara dan asahlah selalu. Keris itu ibarat ilmu. Ilmu yang kita miliki dapat meningkatkan derajat dan wibawa kita. Itu sebabnya, keris selalu menjadi pelengkap pakaian pembesar kerajaan. Lambang kebesaran dan wibawa. Jadilah orang yang disegani, bukan ditakuti.
“Kelima, jadikanlah dirimu seperti bajak. Bajak adalah alat bertani. Dengan bajak, kita menggarap ladang. Bajak digunakan untuk mempersiapkan lahan. Makin luas lahan yang dibajak, makin banyak yang bisa ditanam, banyak pula hasilnya. Tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala sesuatu….”
Datu Magat berdiri, mengambil sebuah cupu dari peti kayu tua, dan secarik kain kuning selebar sapu tangan, lalu memotong tangkai daun sirih yang diserahkan Diang Wangi.
Datu Magat menggoreskan gagang sirih itu di tengah kain kuning, membentuk lingkaran dengan lima pancaran, seperti gambar matahari yang bersinar. Kemudian, memotong lagi setangkai daun sirih, menggambar dua buah tanduk kepala kerbau yang diletakkan pada salah satu garis pancaran. Tangkai sirih kedua membentuk gambar burung pada pancaran berikutnya. Tangkai sirih ketiga, bergambar gamelan. Tangkai sirih keempat, gambar keris, dan tangkai sirih yang kelima gambar tajak . Kelima gambar itu melingkari gambar matahari yang bersinar.
Diang Wangi dan Arya Tadung Wani yang mengamati, tapi tak mengerti, memberanikan diri bertanya:
“ Apakah ini rajah ?” tanya Diang Wangi
“Atau, jimat?“ timpal Arya.
Datu Magat melipat kain kuning bergambar itu, memasukkannya ke dalam cupu, lalu menjawab, bahwa gambar yang dibuatnya bukan rajah. Tapi, kalau mau dibilang jimat, boleh jadi. Gambar itu adalah lambang lima keutamaan, untuk menjaga keselamatan, yang disampaikannya tadi.


Datu Magat belum mengenal baca tulis. Cupu kecil seukuran buah jambu itu disumpalnya dengan empulur kayu pulantan, lalu diserahkannya pada keponakannya. Cupu keramik itu diberinya nama “Cupu Astagina”.
***
Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali Arya Tadung Wani bersujud mencium tangan dan kaki ibundanya dan Datu Magat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi mencari ayahnya.
Dengan bekal secukupnya, Arya Tadung Wani melangkahkan kaki kanannya lebih dahulu, berjalan ke arah matahari terbit, mengikuti petunjuk ayahnya. Di tengah perjalanan, ia singgah dan bertanya pada kerabat ibunya bernama “Ma Bu’un” . Lalu, singgah lagi di kediaman “Ma Burai” , dan di kediaman “Ma Ridu” . Sudah tiga kerabat disinggahinya, tapi ia belum mendapat titik terang.
Lalu, ia melanjutkan perjalanan ke “daerah atas”, melewati Gunung Jajar Walu, Gunung Kakait, hingga Upau. Di situ, ia menemui jalan buntu. Tanpa lelah dan putus asa, ia naik ke puncak tertinggi Pegunungan Meratus, membuat janur pucuk enau dan mengikatkannya di pucuk pohon tertinggi. Saat diterpa angin kencang, janur enau itu roboh. Mengikuti arah robohnya janur, ia menentukan tujuan berikutnya.
Nun di kejauhan, terlihat kepulan asap, yang menandakan permukiman penduduk. Arya ingat pesan Julak-nya tentang “lima sifat utama”, yang tertuang dalam cupu manik “Astagina”. Ia bimbang: pulang kembali ke kampung halaman, atau meneruskan perjalanan? Dalam ragu, ia duduk bersila di bawah sebatang pohon besar, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikiran dan bersemedi.
Saat itulah, tiba-tiba di hadapannya hadir sesosok pria kekar bertubuh raksasa dengan kulit bersisik. Arya berusaha menyapa, tapi lidahnya kelu. Ia menggerakkan tangan untuk menyentuh raksasa itu, tapi tak mampu.
Akhirnya, makhluk raksasa itu mengatakan, bahwa ia adalah ayah kandung Arya Tadung Wani. Arya Tadung Wani tak dapat menyentuh jasad ayahnya, karena telah berbeda alam. Ayahnya berpesan, agar Arya tetap meneruskan perjalanan, akan melindunginya selama dalam perjalanan, dan akan membantunya saat diperlukan.
Konon, Arya Tadung Wani kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Simpur, Kandangan , bermukim di Kampung Pelajau hingga wafat, dan dimakamkan di Jajuluk, Pelajau Hulu .
***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HIKAYAT DAYAK & BANJAR VERSI URANG BANUA

Sekitar tahun 3000-1500 S.M untuk pertama kalinya Pulau Kalimantan kedatangan Imigran yang berasal dari daerah Yunan di China Bagian Selatan. Imigran dari Yunan inilah yang menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan atau dikenal pula dengan istilah suku “Melayu Tua”. Dari Legenda suku Melayu Tua (Dayak) ini disebutkan bahwa terdapat lima kelompok besar yang dipimpin Lima bersaudara yaitu Abal, Anyan, Aban, Anum dan Aju. Kelima bersaudara ini sangat sakti, bijaksana dan berwibawa. Menurut cerita suku Dayak Tua, kelima saudara ini titisan dari Dewa Batara Babariang Langit, yaitu : titisan Dewa Batahara Sangiang Langit. Batara Babariang Langit kawin dengan Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan Melahirkan Maanyamai, dan Maanyamai beristri dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap Konon sangat sakti. Dan membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Kelima saudara inilah kelak menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan. Mereka mengembara ke pelosok pulau Kalimantan, konon si Abal ke daerah Timur menurunkan suku Aba, Anyan ke daerah Selatan menurunkan suku Manyan, Aban ke daerah Barat menurunkan suku Iban, Anum ke Utara menurunkan suku Otdanum dan Aju ke daerah Tengah menurunkan suku Ngaju. Dan mereka diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) terkutuk apabila bakalahi satamanggungan.

Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan “cucu urang 10” yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).

Pada abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan di Kalimantan Selatan bernama Kerajaan Tanjungpuri. Berdirinya kerajaan ini bermula dari kedatangan para Imigran Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatera pada sekitar abad ke- 4 M. Para Imigran Melayu yang mempunyai kebudayaan lebih maju dibanding penduduk lokal pada masa itu mendirikan perkampungan kecil di daerah pesisir sungai Tabalong. Para imigran tersebut berbaur bahkan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat yakni suku Dayak. Hasil dari perpaduan antara suku Melayu dan Dayak itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal Suku Banjar. Semakin lama perkampungan di pesisir sungai Tabalong itu semakin ramai sehingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Tanjungpuri (diperkirakan terletak di kota Tanjung sekarang).

Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti “Kedukan Bukit” yang terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi tulisan “Daputra yang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur”. Bukti lainnya adalah Prasasti Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606 Saka. Isi tulisannya adalah “Jaya Sidda Yatra” yang artinya perjalanan Ziarah. Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu berhuruf Pallawa. Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke Candi Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang mengatakan bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun 1387 M. Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.

Pada Tahun 1309 M orang-orang Maanyan mendirikan sebuah Kerajaan bernama Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai ini konon lanjutan dari periode sebelumnya dimana dahulu pernah berdiri juga kerajaan Nan Marunai (Nan Sarunai) oleh lima orang bersaudara yang merupakan leluhur orang Dayak di Kalimantan. Pada periode kedua ini Nan Sarunai didirikan oleh Japutra Layar. Nan Sarunai sendiri berasal dari kata Marunai = memanggil dengan suara nyaring, Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling, Nai = Seruling (dalam bahasa arab/melayu tua) sehingga dapat di artikan bahwa Nan Sarunai adalah rakyat yang gemar bermain musik/bernyanyi. Kerajaan Nan Sarunai ini rakyatnya sangat makmur disebabkan mereka melakukan perdagangan sampai ke Sumatera, Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke Madagaskar. Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain. Rakyat kerajaan nan Sarunai ini menganut kepercayaan Kaharingan.

Pada masa itu kerajaan Majapahit di pulau Jawa sedang berusaha menancapkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Adalah Maha Patih Gajah Mada (1313-1364) seorang mangkubumi terkenal Majapahit yang melakukan sumpah saat diangkat menjadi Mangkubumi Kerajaan pada Tahun 1336 M di masa kekuasaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350) dikenal dengan “Sumpah Palapa” yaitu sebuah tekad untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Ambisi Maha Patih Gajah Mada berlanjut sampai Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) naik tahta.

Salah satu kerajaan incaran Majapahit untuk ditaklukkan adalah kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan Tanjungpuri. Pada masa itu dua kerajaan ini merupakan wilayah perdagangan yang ramai, rakyatnya hidup makmur bahkan diceritakan dinding-dinding Istana kedua kerajaan ini berlapis emas sebagai tanda kemakmuran. Maha Patih Gajah Mada mengutus seorang panglima handalnya untuk memata-matai kedua kerajaan ini yaitu Laksamana Nala, seorang berdarah Melayu asal Melaka yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Atas hasil penyelidikan Laksamana Nala akhirnya Majapahit mengetahui kelemahan kedua kerajaan ini, sehingga pada Tahun 1356 M Majapahit mengirimkan ekspedisi militer pertamanya ke kerajaan Nan Sarunai sebagai batu loncatan untuk selanjutnya menyerang Tanjungpuri. Serangan pertama ini mengalami kegagalan sebab kerajaan Nan Sarunai bersatu dengan kerajaan Tanjungpuri dalam menghadapi serangan Majapahit.

Tersebutlah dalam legenda lima orang panglima Tanjungpuri yang terkenal ketika membantu kerajaan Nan Sarunai menghadapi serangan Majapahit yaitu Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Kelima orang panglima ini merupakan lima bersaudara dimana si bungsu yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin adalah saudara kembar. Mereka berlima anak dari Datu Intingan yang terkenal dalam legenda masyarakat di pegunungan Meratus. Datu Intingan adalah saudara dari Datu Dayuhan mereka berdua ini masih keturunan dari legenda Dayak Maanyan “cucu urang 10” dimana salah satu anak dari Datu Anyan yaitu Datu Alai (Alai Tua) menetap di wilayah Birayang (Meratus) yang menurunkan Datu Dayuhan dan Datu Intingan. Datu Intingan kawin dengan para Imigran Melayu dan mempunyai lima orang putera yang sekarang menjadi Panglima di Kerajaan Tanjungpuri.

Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpsedisi militer kedua pada Tahun 1358 M. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung oleh Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan “Bhayangkara”. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan. Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai di bunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya. Laksamana Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara. Setahun sebelum ekspedisi militer kedua ke Tanah Borneo yaitu pada Tahun 1357 M, Laksamana Nala terlibat dalam “Perang Bubat” melawan pasukan Pajajaran mendampingi Maha Patih Gajah Mada. Perang ini terjadi akibat kesalah pahaman di antara kedua pasukan. Dalam perang tersebut Prabu Lingga Buana Raja Pajajaran beserta seluruh pengawalnya terbunuh, karena menghadapi pasukan Majapahit yang berkali-kali lipat lebih banyak, melihat ayahnya terbunuh anak Prabu Lingga Buana yang bernama Putri Dyah Pitaloka bunuh diri, padahal Putri Dyah Pitaloka ini rencananya hendak di lamar oleh Prabu Hayam Wuruk. Akibat dari peperangan ini hubungan Maha Patih Gajah Mada dengan Prabu Hayam Wuruk menjadi terganggu, dan juga mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan antara orang Sunda dan Majapahit, konon tak satu pun daerah di Sunda (Jawa Barat) menggunakan nama berbau Majapahit.

Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang hebat dari pasukan dan rakyat Tanjungpuri terutama dari lima orang panglima kerajaan yang terkenal tersebut. Setelah berhari-hari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan. Pasukan Majapahit kembali ke pulau Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai, sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana Infrastruktur kerajaan banyak yang rusak. Akibat dari peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan.

Sebagai tanda terima kasih kepada lima orang Panglima kerajaan, Raja Tanjungpuri memberikan kelima orang Panglimanya wilayah kekuasaan. Panglima Alai di daerah Batang Alai, Panglima Tabalong di daerah Batang Tabalong, Panglima Balangan di daerah Batang Balangan, Panglima Hamandit di daerah Batang Hamandit dan Panglima Tapin di daerah Batang Tapin. Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit. Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan. Kekuasaan kerajaan Kuripan melingkupi daerah yang sama dengan kekuasaan kerajaan Tanjungpuri.

Pada Tahun 1387 M seorang bangsawan dari Keling (Kediri) yang merupakan wilayah Majapahit melakukan ekspedisi ke tanah Borneo, pertama-tama mereka menaklukkan kerajaan Candi laras di Marga Sari. Ekspedisi ini di pimpin oleh Empu Jatmika, di bantu oleh dua orang putranya yaitu Lambungmangkurat dan Mandastana. Dalam rombongan itu juga turut serta Pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan 1000 tentara Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Tatah Jiwa. Empu Jatmika sendiri sebenarnya adalah seorang buronan politik masa lalu Majapahit. Karena Empu Jatmika adalah keturunan bangsawan kerajaan Kediri yang merupakan musuh kerajaan Singosari (leluhur Majapahit) di masa lalu. Setelah berhasil menguasai Candi Laras Empu Jatmika mendirikan kerajaan Negaradipa dan diangkat sebagai kepala pemerintahan dengan gelar Maharaja di Candi. Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat. Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai”. Walau Negaradipa cukup kuat tapi untuk menyerang kerajaan Kuripan masih berpikir dua kali karena walau bagaimana pun kekuatan Kuripan waktu itu masih diperhitungkan, apalagi ada lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh mantan Panglima kerajaan Tanjungpuri ada dibelakangnya. Untuk memuluskan rencananya Maharaja di Candi merayu Raja Kuripan agar mau mengawinkan putrinya dengan putranya, namun Raja Kuripan menolak, tidak putus asa Lambungmangkurat yang bertindak sebagai Mangkubumi menawarkan penggabungan kedua kerajaan dan mengangkat Putri Junjung Buih anak Raja Kuripan sebagai ratu Negaradipa. Akhirnya Raja Kuripan menerima tawaran tersebut dengan berbagai pertimbangan, walau banyak ditentang oleh para kerabat dan pejabat Kahuripan. Negaradipa pun memindahkan pusat kerajaan ke Kuripan. Atas keputusannya yang kontroversi itu membuat Raja Kuripan merasa bersalah dan akhirnya mengasingkan diri diikuti beberapa kerabat ke daerah Batu Piring (Paringin). Di Batu Piring Raja Kuripan mendirikan kerajaan kecil bernama Kerajaan Batu Piring dan saudara raja diangkat sebagai kepala pemerintahannya.

Walau pun Junjung Buih sudah diangkat menjadi Ratu di Negaradipa namun semua kebijakan tetap ditangan Patih Lambungmangkurat. Negaradipa ternyata kepanjangan tangan Majapahit di Pulau Kalimantan, Beberapa Pangeran Kuripan yang kecewa pergi meninggalkan Istana, namun diburu oleh pihak Negaradipa karena dikawatirkan akan melakukan pemberontakan. Para Pangeran melarikan diri ke daerah Batang Alai dan diangkat menjadi pemimpin di daerah tersebut. Merasa terancam Patih Lambungmangkurat memerintahkan menyerang daerah Banua Lima, yaitu Batang Alai, Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Hamandit dan Batang Tapin. Kerajaan Batu Piring sendiri luput dari penyerangan karena bersedia menjadi bagian dari kerajaan Negaradipa. Dibantu oleh pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa kelima daerah itu bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan berhasil diselamatkan oleh para Panglima dan disembunyikan di daerah Mangga Jaya (Wilayah Kec. Batang Alai Timur sekarang) di pegunungan Meratus. Daerah Mangga Jaya sendiri konon sulit ditaklukkan oleh Negaradipa beberapakali pasukan Negaradipa dikirim kesana namun tidak pernah berhasil menaklukkan daerah Manggajaya, sebab menurut legenda setempat di sana tempat berkumpulnya para Panglima Banua Lima yang sakti dan juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.

 

 

 

 

 

 

KESAH BALAI KALIH


Bahari kala di Pagunungan Maratus nang wadanya kira-kira diapit Gunung Tambung wan Gunung Mangkurung suah ada kampung nang bangaran Balai Tangga Amas. Bubuhan kula-kula kita nang ba’utu (begana) disia ti hidupnya damai, tantram, wan makmur bangat, sualnya di kampung Balai Tangga Amas tanahnya subur kada bataha kakurangan makanan. Kapala adatnya nang maatur disia ti bijaksana bangat jua. Kada hiran munnya paharatan Aruh Ganal, banyak bubuhan nang tumatan kampung subalah bailang umpat maramiakan, sualnya pasti banyak makanan nang kawa umpat dimakan.

Pas limbah katam, bubuhan urang kampung Balai Tangga Amas paharatan Aruh Ganal. Liwar banyak bangat bubuhan kampung subalah nang datang bailang. Ada nang umpat manyusunakan lamang, ada nang umpat manyumbalih hadangan, ada nang umpat batandik, ada nang umpat bakanjar, ada nang umpat bagandang, ada jua nang rami basalikur. Pukuknya rami bangat ti pang di kampung nitu. Saking kaasikannya bubuhan nang di kampung Balai Tangga Amas baaruhan, bubuhannya nitu kada tahu pang kada jauh dari kampung nitu Datu Sumali’ing lagi guring di atas puhun kariwaya nang ganal.

Bunyi gandang sing nyaringan babunyi maumpati bubuhan balian nang batandik. Magin lawas magin banyaring bunyi gandang nang dicatuk, sampai-sampai Datu Sumali’ing nang guring takajut mandangarnya.

Bakajutan Datu nitu tabangun. Matanya tabunceleng maitihi wan bacari muasal bunyi gandang nang nyaring nitu. Limbahnya nitu, Datu nang panyarikan nangini badiri sambil bakacak pinggang di atas puhun kariwaya nang ganal, lalu sidin bakuciak, “Bubuhan ikam ne tumbur wan gaduh bangat, maulah diaku kada kawa guring!” ujar Datu Sumali’ing bakacak pinggang.

Liwar takajutnya urang kampung nang lagi baaruhan nitu mandangar suara sing nyaringan. Lalu bubuhan nang ada di balai mamparapas kaluar maitihi nang bakuciak tadi. Magin takulipik bubuhannya nitu wayahnya tahu urang nang bahalulung tadi, limbahnya nitu, saikung bubuhan balian bapander maminta maaf. “Maafi kami, kami kada bamaksud mangganggu pian, kami paharatan aruh wan kami kada tahu pian lagi guring,” ujar saikung dari buhan balian nitu.

Lamun Datu Sumali’ing tatap karas wan tatap sangit bangat sampai-sampai habang muha sidin nitu. “Bubuhan ikam tahu luku wan diaku ne, siapa haja nang mangganggu diaku ne kada diaku ampuni tu pang!” ujar Datu Sumali’ing sambil talunjuknya manunjuki urang-urang kampung nitu.

Limbahnya baucap nang kaya itu, seerrrrr…. Datu Sumali’ing tarabang sambil mangaluarkan kajian sidin.. cchuuuhhhh…cchhuuuuhhhh… cchhhuuuuuhhhh…!!! Urang-urang nang ada di kampung Balai Tangga Amas saikung pada saikung diludahi sidin. Urang kampung kada-kada nang kawanya bukah wan mailak. Apa haja nang kana ludah sidin nitu, situ saini jadi batu. Urang kampung, binatang, gandang sampai balai adatnya nang kana ludah sidin barubah jadi batu. Limbahnya samuaan nang ada di kampung nitu manjadi batu,lalu sidin bakuciak pulang.

“Tumatan damini, kampung nang bangaran Balai Tangga Amas diaku alih manjadi kampung Balai Kalih! Hahahahaahaaa.,.” ujar Datu Sumali’ing sambil takihing bajalan maninggalakan kampung nang jadi batu nintu.

Kampung Balai Tangga Amas atawa nang talah baubah ngaran manjadi Balai Kalih nitu, damini masih ada. Di sana ada batu nang ganal bangat, ujar tatuha kampung Buhul, batu nang ganal nitu balai adat Tangga Amas nang kana ludah Datu Sumali’ing. Dahulu, urang-urang kampung nang maliwati batu nitu musti mambari tanda atawa tulisan di batu nitu gasan mahurmati urang kampung Balai Tangga Amas nang sudah jadi batu. Di atas batu nitu ada lagi batu nang tagantung, ujar habar batu nitu gandang nang kana ludah Datu Sumali’ing jua. Ada jua batu nang kaya urang paharatan manyusui anaknya, ada jua batu nang kaya payau wan bayi (babi hutan), wan masih ada lagi batu-batu nang kaya manusia ada di sana. Urang-urang kampung nang parak situ parcaya batu-batu nitu dulunya urang kampung Balai Tangga Amas, binatang-binatang, wan banda-banda pakakas aruh nang kana ludah si Datu Sumali’ing.

 

 

 

 

 

 

 

 

ASAL MULA KOTA BANJARMASIN

Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan candi dan lingga terbesar di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak menggantikan tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.

Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.
Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.

Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.

Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.

Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.

Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.

Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.

Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.

Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.

Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.

Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul. la mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri. Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.

Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.

Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.

Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Datu Banua Lima

 (Cerita ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)

Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).

Semantara sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.

Kerajaan Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima. Yang Partama bergelar Panglima Alai, yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang Kedua, Panglima Tabalong, orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Yang Katiga, Panglima Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu, sedangkan yang keampat dan kelima si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini orangnya cepat emosian, keras kepala, dan suka berkelahi. Kelimanya bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kapala suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak ‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’ diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara. Ada mata-mata Majapahit yang berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan tadi, didapatlah informasi bahwa kedua kerajaan tersebut sangat makmur. Istananya saja berlapis emas. Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai.

Pada Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sakitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja Tanjungpuri dikirim lima orang Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai. Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri. Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara manaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat tak terkira. Banyak tentara Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima atau banyak juga yang dilemparkan ke tubuh musuh yang berani mendekat. Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pangawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit. Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para pendekar Majapahit. Banyak sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan orang-orang bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan Senopati Arya Manggala penggal kepalanya terkena Mandau terbang “Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan Nan Sarunai yang terkenal sakti. Sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.

Di Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter” berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus sebagai hadiah dari Sri Baginda Darmapala. Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong), Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).

 

 

Ada kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan, Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu, orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orang Alai kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima Tabalong dan Panglima Balangan yang mengetahui soal cinta sagi empat di antara saudaranya tersebut lebih memilih netral, tidak memihak ke mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat hal tersebut akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan persaudaraan mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh Ganal’ di daerah pahuluan sana.

Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa. Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala). Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.

Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih. Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat perpindahan kekuasaan dari Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak kembali mendapat tempat di kerajaan).

 

Mendengar hal tersabut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang. Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh karena masih menghormati Putri Junjung Buih sabagai cucu Sri Baginda Darmapala, kalima Panglima tersebut mampu menahan diri. Setelah itu kelima panglima ini tidak pernah muncul lagi baik di dunia politik maupun di dunia parsilatan. Mereka masing-masing mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus. Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran ke-10 mengikuti para Datu Banua lima. Tempat berkumpulnya para kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.

Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri (keturunan Panglima Hamandit).

 

 

 

 

 

 

 

KESAH BALAI KALIH


Oleh: TumanggungArga Sandipa BatanggaAmas

Bahari kala di Pagunungan Maratus nang wadanya kira-kira diapit Gunung Tambung wan Gunung Mangkurung suah ada kampung nang bangaran Balai Tangga Amas. Bubuhan kula-kula kita nang ba’utu (begana) disia ti hidupnya damai, tantram, wan makmur bangat, sualnya di kampung Balai Tangga Amas tanahnya subur kada bataha kakurangan makanan. Kapala adatnya nang maatur disia ti bijaksana bangat jua. Kada hiran munnya paharatan Aruh Ganal, banyak bubuhan nang tumatan kampung subalah bailang umpat maramiakan, sualnya pasti banyak makanan nang kawa umpat dimakan.

Pas limbah katam, bubuhan urang kampung Balai Tangga Amas paharatan Aruh Ganal. Liwar banyak bangat bubuhan kampung subalah nang datang bailang. Ada nang umpat manyusunakan lamang, ada nang umpat manyumbalih hadangan, ada nang umpat batandik, ada nang umpat bakanjar, ada nang umpat bagandang, ada jua nang rami basalikur. Pukuknya rami bangat ti pang di kampung nitu. Saking kaasikannya bubuhan nang di kampung Balai Tangga Amas baaruhan, bubuhannya nitu kada tahu pang kada jauh dari kampung nitu Datu Sumali’ing lagi guring di atas puhun kariwaya nang ganal.

Bunyi gandang sing nyaringan babunyi maumpati bubuhan balian nang batandik. Magin lawas magin banyaring bunyi gandang nang dicatuk, sampai-sampai Datu Sumali’ing nang guring takajut mandangarnya.

Bakajutan Datu nitu tabangun. Matanya tabunceleng maitihi wan bacari muasal bunyi gandang nang nyaring nitu. Limbahnya nitu, Datu nang panyarikan nangini badiri sambil bakacak pinggang di atas puhun kariwaya nang ganal, lalu sidin bakuciak, “Bubuhan ikam ne tumbur wan gaduh bangat, maulah diaku kada kawa guring!” ujar Datu Sumali’ing bakacak pinggang.

Liwar takajutnya urang kampung nang lagi baaruhan nitu mandangar suara sing nyaringan. Lalu bubuhan nang ada di balai mamparapas kaluar maitihi nang bakuciak tadi. Magin takulipik bubuhannya nitu wayahnya tahu urang nang bahalulung tadi, limbahnya nitu, saikung bubuhan balian bapander maminta maaf. “Maafi kami, kami kada bamaksud mangganggu pian, kami paharatan aruh wan kami kada tahu pian lagi guring,” ujar saikung dari buhan balian nitu.

Lamun Datu Sumali’ing tatap karas wan tatap sangit bangat sampai-sampai habang muha sidin nitu. “Bubuhan ikam tahu luku wan diaku ne, siapa haja nang mangganggu diaku ne kada diaku ampuni tu pang!” ujar Datu Sumali’ing sambil talunjuknya manunjuki urang-urang kampung nitu.

Limbahnya baucap nang kaya itu, seerrrrr…. Datu Sumali’ing tarabang sambil mangaluarkan kajian sidin.. cchuuuhhhh…cchhuuuuhhhh… cchhhuuuuuhhhh…!!! Urang-urang nang ada di kampung Balai Tangga Amas saikung pada saikung diludahi sidin. Urang kampung kada-kada nang kawanya bukah wan mailak. Apa haja nang kana ludah sidin nitu, situ saini jadi batu. Urang kampung, binatang, gandang sampai balai adatnya nang kana ludah sidin barubah jadi batu. Limbahnya samuaan nang ada di kampung nitu manjadi batu,lalu sidin bakuciak pulang.

“Tumatan damini, kampung nang bangaran Balai Tangga Amas diaku alih manjadi kampung Balai Kalih! Hahahahaahaaa.,.” ujar Datu Sumali’ing sambil takihing bajalan maninggalakan kampung nang jadi batu nintu.

Kampung Balai Tangga Amas atawa nang talah baubah ngaran manjadi Balai Kalih nitu, damini masih ada. Di sana ada batu nang ganal bangat, ujar tatuha kampung Buhul, batu nang ganal nitu balai adat Tangga Amas nang kana ludah Datu Sumali’ing. Dahulu, urang-urang kampung nang maliwati batu nitu musti mambari tanda atawa tulisan di batu nitu gasan mahurmati urang kampung Balai Tangga Amas nang sudah jadi batu. Di atas batu nitu ada lagi batu nang tagantung, ujar habar batu nitu gandang nang kana ludah Datu Sumali’ing jua. Ada jua batu nang kaya urang paharatan manyusui anaknya, ada jua batu nang kaya payau wan bayi (babi hutan), wan masih ada lagi batu-batu nang kaya manusia ada di sana. Urang-urang kampung nang parak situ parcaya batu-batu nitu dulunya urang kampung Balai Tangga Amas, binatang-binatang, wan banda-banda pakakas aruh nang kana ludah si Datu Sumali’ing.

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Banjar - Datu Patih Ampat

Alkisah pada jaman dulu kala hiduplah seorang laki-laki sakti. Pada jaman lelaki sakti ini hidup dunia ini masih dipenuhi dengan air/sebelum air es dikutup utara dan selatan membeku yang ada hanyapegunungan Meratus daratan sedangkan yang lain adalah lautan nan luas.

Pada suatu hari laki-laki tersebut kencing disemak belukar tanaman perdu dikaki sebuah gunung. Pada saat kencing bukan air seni yang keluar namun air mani(sperma). Laki-laki sakti tersebut meninggalkan tempat itu dengan wajah masih bingung. Sampai datanglah seekor singa memakan daun ditumbuhan perdu tersebut. Begitu pula secara bergantian 4 binatang lain yaitu macan, kijang dan pelanduk(kancil).

Keempat binatang tersebut kebetulan berjenis kelamin betina. Dari memakan dedaunan dari tumbuhan perdu tersebut membuat hamil. Sampai 9 bulan 9 hari lahirlah kandungan dari binatang-binatang itu. Anak yang lahir dari induk singa, macan, Kijang dan pelanduk itu bukan anak binatang namun anak manusia. Karena merasa aneh binatang tersebut maka ditinggallah anak menusia tersebut didalam suatu goa.

Hari berganti hari ketiga menjadi remaja dan akhirnya dipelihara oleh ayah kandungnya yang tidak lain lelaki sakti yang mengencingi tanaman perdu itu. Insting bawaan lebih didominasi kepada manusianya. Walaupun mereka mendapat gelar sesuai dari induknya. Anak pertama bernama Tumbak Sagara dengan gelar Singa (Panimba Sagara), anak kedua Pambalah Batung dengan gelar macan sedangkan anak ketiga bernama Surampit mendapat gelar Minjangan (Garuntung Waluh) dan anak paling bungsu bernama Garuntung Manau dengan gelar Pelanduk.

Kesaktian ayah kandungnya diturunkan kepada 4 bersaudara tersebut, sehingga mereka menjadi sakti dan kesaktiannya berdasarkan bawaan induknya. Keempat saudara itu menjadi patih Kerajaan Nara Dipa. Kerajaan Dipa saat itu belum memiliki raja sebagai pemimpin. Hanya ada empat orang pemuka yang dikenal sebagai 'Patih Ampat' atau 'Mantri Ampat'. Mereka adalah orang-orang yang kuat sakti mandraguna. Kekuatan dan kesaktian mereka terkenal ke seluruh pelosok negeri.

o   Panimba Sagara
Penampilannya sangat rapi
orangnya necis, suka bersolek. Warna pakaian kesukaannya adalah kuning. Senjatanya bernama Naga Runting.
Panimba Sagara memiliki kesaktian sanggup menimba air lautan dengan kedua tangannya. Jika ingin mengeringkan air laut, ia bisa mengubah dirinya menjadi lebih besar daripada raksasa. Kalau ia berdiri di tengah lautan yang paling dalam, air laut hanya sampai pada tumitnya. Kalau ia berdiri di daratan, gunung yang tinggi hanya sebatas lututnya. kalau Pambimba Sagara berjalan selangkah saja, satu bukit bisa dilewatinya. Teriakannya mampu membuat seluruh binatang ketakutan. Suaranya bisa terdengar dari arah matahari terbit ke arah matahari terbenam. Kedua telapak tangannya menjadi sebesar telaga saat ia menimba air laut.

o   Pambalah Batung
Orang kedua dari Patih Ampat bernama Pambalah Batung. Ia suka memakai baju hijau. Pandai berbicara dan berdiplomasi. Senjata andalannya adalah Sampana Carita.
 Ia mempunyai kesaktian kuat seperti raksasa (kajian gancang)Lelaki ini dapat membelah apa saja yang ada di bumi. Dia dapat membelah sungai menjadi dua bagian, membelah gunung menjadi dua gundukan, memindahkan hutan dari utara ke selatan, dan memindahkan apa saja yang dia inginkan.

o   Garuntung Waluh
Garuntung Waluh adalah orang ketiga dari Patih Ampat. Ciri khasnya adalah berpakaian merah
, sederhana, pendiam, dan keras hati. Senjatanya dinamakan Tilam Upih.
Seperti anggota Patih Ampat yang lainnya, Garuntung Waluh pun memiliki kesaktian yang mengagumkan. Dia dapat menghilang dan mengecilkan tubuhnya sekecil yang dia inginkan. Tubuhnya bisa lebih kecil dari semut. Mampu bersembunyi di pucuk pohon, di rambut kepala, dan bisa juga bersembunyi di dalam sarung mandau. Ia mempunyai keahlian dalam ilmu pengobatan dan dapat melihat jauh (tembus pandang).

o   Garuntung Manau
Pakainnya hitam, orangnya pendiam, dan jujur. Senjata pamungkasnya bernama Balitung.
Kesaktian Garuntung Manau adalah ilmu mengubah diri. Karena itu dia bisa berada di segala tempat. Dia bisa m
enjadi ikan laut, ikan sungai, atau menjadi kutu.
Jika Garuntung Manau ingin menjadi burung, dia menirukan suara dan gerakan burung yang diinginkannya. Tidak lama kemudian dia pun menjadi burung. Dan jika dia ingin menjadi harimau, dia akan mengaum, dalam sekejap saja Garuntung Manau sudah berubah menjadi harimau.
 Ia juga dapat berlari secepat angin

 

Kesaktian keempat bersaudara ini terdengarlah seantero dunia. Sampai suatu saat ada petapa disuatu gunung diseberang pulau. Pertapa sakti ”Kasubalahan”(½ Manusia dan Jin) bergelar Hantu Bao itu mempunyai pengikut yang banyak dan penganut ilmu hitam mengetes kesaktian keempat bersaudara tersebut dengan mengirim bongkahan batu besar dari gunung tapaannya.

Bongkahan batu besar tersebut dilempar kearah mereka (Empat Bersaudara) namun karena saktinya batu itu tidak sampai menyentuh bumi dimana mereka bertempat tinggal. Kempat bersaudara sakti tersebut berunding untuk membalas serangan sang sahabat iblis tersebut. 

Diputuslah untuk melempar kembali batu tersebut, tetapi bukan sekedar melemparnya saja, batu tersebut menjadi penjemput orang sakti diseberang pulau menjadi terperangkap dan ditarik lagi ke pulau meratus (sekarang pegunungan meratus) alasan kemaslahatan masyarakat luas karena ini akan menjadi bibit penghancur dunia.

 

 

 



Garuntung Manau mengatur cara memenjarakan sasaran dengan jampi-jampi di batu yang melayang antara langit dan bumi itu, Pambalah Batung memecah batu menjadi 4 bagian. Dengan kesaktian Tumbak Sagara mefokuskan sasaran yang dituju, Surampit menendang / melempar batu tersebut dan langsung batu-batu itu mengepung Hantu Bao. 

Sampai akhirnya salah satu batu itu memperangkap Hantu Bao. Pertarungan tersebut hingga beberapa jaman dari dunia penuh dengan laut sampai air laut mengering dan menggumpal di kutup Utara dan Selatan. 
  
Kempat batu tersebut kembalilah ke pulau pegunungan meratus. Batu yang berisi pertapa dari seberang tersebut karena berat jatuhlah disuatu aliran sungai yaitu kali pura, ujung dari puncak yang terbenam kedalam bumi membuat terbelah sungai menjadi dua. Batu yang kedua jatuh dan saking beratnya yang berisi ilmu-ilmu karantinaan pertapa kesebuah daratan sehingga membentuk gubangan air atau danau. Sedangkan batu ketiga terbenam diPaliwara dan batu ke empat beban agak ringan dari batu lainnya jatuhnya didaerah keras maka membentuk gunung sekarang disebut Batu Bulek. 

Masing-masing batu itu akhirnya dihuni kakak beradik dengan membagi daerahnya masing-masing. Batu yang kembali ketempat mereka dilahirkan dan dibesarkan adalah batu Bulek dan diberikan kuasa penuh kepada Garuntung Manau. 

Batu bulek yang diserahkan kepada adik bungsu itu adalah tempat keempat beradik berkumpul apabila ada masalah yang perlu dirundingkan dan menjadi tempat reoni keempat


Keempat patih tersebut menurut legenda sangat sakti, sehingga sulit dikalahkan. Banyak pendekar yang mencoba kesaktian mereka akhirnya pulang dengan kekalahan. Bahkan menurut legenda, diceritakan ada seorang Mpu sakti mandraguna dari Majapahit yang mengirimkan sebuah keris yang mampu terbang. Keris itu dikatakan bernama Condong Campur dengan tujuan mau memporak -porandakan tanah Banjar, tampillah senjata – senjata para Datu ini menghadang senjata Cundrung Campur diudara, dengan disaksikan Datu Patih Empat, bunga api pun berpijaran di angkasa, pecahan pecahan besi berkilauan menyilaukan mata. Keris Sampana Crita bertugas menyerang, keris Naga Runting menghadang diatas air, Belitung membantu Keris sampana Cerita dan keris Tilam Upih mengahadang lawan di darat. Setelah terjadi perkelahian selama 3 hari 3 malam antara keris Condong Campur dengan Patih Ampat, keris tersebut hancur berkeping-keping, sekaligus mengakhiri hidup Sang Mpu.
 

Setelah berkelana ke tanah Jawa untuk mencari calon raja untuk tanah Banjar. Akhirnya Patih Ampat mendapat ijin dari raja Majapahit untuk membawa cucunya, Pangeran Suryanata, untuk di bawa ke Banjar dan dinobatkan menjadi raja disana. 
 

Ketika agama Islam masuk ke Kalimantan, Pangeran Suryanata pun memeluk agama Islam. Sejak saat itu namanya diubah menjadi Pangeran Suryansyah atau Suriansyah. Sewaktu Pangeran Suriansyah memeluk Islam, Patih Ampat pun sebenarnya juga ingin ikut masuk agama Islam. Tetapi oleh Khatib Dayan mereka disuruh bersunat terlebih dahulu. Dikarenakan Patih Ampat takut bersunat, akhirnya mereka tidak jadi untuk bersyahadat dan memilih mengasingkan diri. Konon menurut legenda, mereka menjadi Orang Gaib di Pegunungan Maratus.

M
enurut kepercayaan masyarakat, Datu Patih Ampat meskipun sudah gaib, mereka bisa dipanggil melalui balampah atau bertapa. Kalau ingin mempunyai kekuatan tubuh bisa bersahabat dengan Datu Pambalah Batung, kalau ingin kuat diatas dan didalam air bersahabat dengan Datu Panimba Sagara, kalau ingin berlalri secepat angin bersahabat dengan Datu Garuntung Manau begitu juga kalau ingin mendapatakan ilmu pengobatan dan ilmu tembus pandang bersahabat dengan Datu Garuntung Waluh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Banjar Nagara Dipa (Amuntai) dan Nagara Daha

Sebuah hikayat Banjar yang diwariskan secara tuttur Lisan ( tutur candi ) yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat banjar. Orang-orang yang sudah berpikiran modern meaanggap itu hanya sebuah dongeng dan bagi masyarakat awam kejadian yang diluar akal manusia seperti kesurupan dan lain-lain biasa dikaitkan dengan hikayat banjar ini. Tapi berdasarkan prasasti yang satu-satunya ditemukan di Banjarmasin kemudian mahasiswa Sejarah menggali dan menelusuri wilayah-wilayah yang sesuai dengan hikayat banjar maka ditemukanlah candi Agung ( Amuntai ) dan Candi Laras ( Margasari rantau).

Diawali dengan sebuah pelayaran yang dilakukan oleh Mpu Jatmika dengan Siprabayaksa, dan ia merupakan seorang saudagar dari negara Keling yang sebelum pergi diwasiati oleh orang tuanya bahwa ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karna dirasa sesuai dengan wasiat tadi. Karna Mpu Jatmika menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan kesatria maka ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan “ Candi Agung”. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.

Di ketahui Mpu Jatmika mempunyai dua orang Anak yaitu Mpu Mandastana dan Lembu Amangkurat ( Lambung Mangkurat ), dan kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih pada saat itu. pada suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau kerajaan Dipa tidak mempunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu ( Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terkhir pertapaannya sebuah petunjuk datang melalui sebuah suara yang mengatakan “ ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang” yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada kerajaan Dipa pada saat itu, setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa dan ritual dilasanakan tdak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di kerajaan Dipa yan diberi nama Putri Junjung Buih.

Mpu Mandastana yang merupakan saudara Lambung Mangkurat mempunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa yang keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapapun.

 

Karna merasa kedua putra Mpu Mandastana ini tidak sesuai untuk sang putri maka Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “ lubuk Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.

Sebuah Wangsit yang mengatakan bahwa jodoh putri Junjung Buih berada di seberang lautan yaitu di kerajaan Majapahit. Maka diutuslah seorang pengawal ke Majapahit namun sesampainya disana Maha Raja Patih Majapahit mengatakan ia memiliki anak tapi tidak sempurna yang tidak mempunyai tangan dan kaki, orang menyebutnya raja Bulat Bulaling. Walaupun seperti itu seorang utusan tadi tetap meminta untuk putra Maha Raja Patih tetap di bawa karna ingin melaksanakan wangsit yang didapat.

 Sesampainya di Muara Banjar, Putri Junjung Buih mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di tanah Banjar. Tapi sang putri ingin mempunyai suami yang sakti dan gagah perkasa agar tidak kalah dengan kesaktiannya. Maka putri Junjung Buih mengutus Naga di Langit untuk menghalau air agar kapal mandek di tengah lautan. Para pengawal pun bingung apa yang harus dilakukan samapi akhirnya mereka bertanya kepada Pangeran Bulat Bulaling dan kemudian ia mengatakan bahwa lemparkan saja dirinya ke air. Pengawal pun menurutinya, setelah lama di air lalu muncul seorang Pangeran yang gagah perkasa yang disebut “ Pangeran Suryanata “. Akhirnya Putri Junjung Buih mengakui kesaktian sang Pangeran dan bersedia untuk dijadikan istri.

Melalui Hikayat ini pula banyak tempat-tempat sepeti lapangan, nama jalan atupun tempat-tempat umum lain nya di beri nama seperti nama raja dan putri Nagara Daha. Artinya hikayat ini tidak berakhir sebagai dongeng atau legenda semata. Tapi terserah para pembaca aja bagaimana menanggapi. Cerita ini saya ketahui lebih dalam saat matakuliah Sejarah Lokal hari ini. Dan tunggu aja cerita tentang Kerajaan NagarA Daha…………….

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hikayat Putri Junjung Buih

Puteri Junjung Buih atau Poetrie Djoendjoeng Boeih atau Poetri Djoendjoeng Boewih adalah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. 

Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai keturunan dari puteri pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer dan merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat yang diperolehnya ketika "balampah" (bahasa Banjar : bertapa) yang muncul sebagai wanita dewasa dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri), kemudian mereka berdualah yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kepangeranan Kotawaringin.

Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih.

Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih/Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.

Menurut Drg Marthin Bayer, Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).

Dalam Perang Banjar, salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.

 

 

 

 

 

 

 

“PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”



 Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:

 

 

Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"

 

Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"

 

Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."

 

Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.

 

Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."

 

Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.

 

Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati."

 

Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.

 

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"

 

Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba."

 

Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."

 

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"

 

Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."

 

 

 

 

Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

 

Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."

 

Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"

 

Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"

 

Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."

 

Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?"

 

Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"

 

Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya

 

Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.

 

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Legenda Telaga Bidadari

Legenda Telaga Bidadari ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam keindahan di dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal di atas dengan berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai. Para penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa pohon buah-buahan tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung, tinggal dengan aman di sekitar telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya menghisap madu bunga.
“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.
Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari.
Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama Datu Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal terjadi pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar telaga. Selendang itu yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang yang ditaruh di sebuah dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat tempat Datu Awang Sukma mengintip.
“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.
Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang Sukma dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta yang dalam kepada suaminya.


“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.

Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik apa yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya. Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang Sukmapun semakin melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang Gadung mematuhi larangan itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Pangeran Biawak Cerita Rakyat Dari Kalimantan Selatan

Dahulu di pedalaman Kalimantan ada sebuah kerajaan. Rakyat kerajaan itu hidup dengan kemakmuran yang melimpah, tentram dan damai karena kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.

Raja mempunyai 7 orang putri, Semuanya belum bersuami. Lalu raja mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membangun istana megah di seberang sungai maka merekalah yang akan beroleh kesempatan menjadi menantunya.

Pengumuman pun disebar ke pelosok negeri. Hasilnya luar biasa. Ada enam orang pemuda yang menyanggupi permintaan raja. Keenam pemuda itu bekerja keras siang dan malam, hasilnya luar biasa. Dalam tempo yang tidak terlalu lama berdirilah sebuah istana yang megah di seberang sungai, lengkap dengan isinya dan tanah lapang yang mengelilinginya.

Karena istana tersebut letaknya berada di seberang sungai. Raja mengadakan sayembara kembali untuk dibuatkan jembatan agar orang yang hendak ke sana tidak usah naik perahu cukup berjalan kaki saja. Namun sungguh aneh hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu tidak ada seorangpun yang menyanggupi sayembara itu.

Tiba-tiba entah darimana datangnya ada seorang nenek tua dan seekor biawak hadir di ruang persidangan.

"Hamba meminang putri Paduka untuk anak hamba."

"Apa?" teriak sang Raja kaget.

"Benar Paduku, biarpun kami berasal dari keluarga miskin kami sanggup mengikuti sayembara itu?" kata perempuan tua itu dengan mantap.

"Oh, ya tidak masalah." kata Raja." sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Kaya miskin, tampan jelek tidak masalah, kamu tidak memandang rupa."

"Benarkah Paduka tidak mamandang rua?"

 

"Benar ucapanku adalah jaminan. Pantang bagi raja menjilat ludah sendiri." sang raj menegaskan." Tetapi perlu kau ingat bila anakmu gagal maka akan diberi hukuman pancung!"

"Nah, anakku Kau sudah mendengar sendiri perkataan sang raj tadi."

Tak disangka biawak yang diajak bicara adalah tidak lain anaknya sendiri.

Semua orang yang berada di ruang persidangan menjadi kaget. Tidak disangka jika anak yang dimaksud perempuan tua itu adalah biawak itu. Mereka semua mengira bahwa anaknya berada di rumah.

Sepeninggal nenek tua lalu raja memanggil tujuh orang putrinya untuk diajak bermusyawarah. Masing-masing ditanya satu-satu siapa yang mau dipinang oleh seekor biawak. Enam putri menolak mentah-mentah tinggal satu orang putri yang belum menjawab yaitu si putri bungsu. Kini sang ibu permaisuri menegaskan untuk bertanya kembali. Si putri bingsu itu langsung menjawab "Ucapan raja pantang ditarik kembali. Demi kehoramatan ayahanda selaku raja negeri ini, saya sanggup menerima pinangan Biawak itu."

Permaisuri langsung jatuh pingsan karena jawaban dari putri bungsu tersebut. Keenam putri yang lain malah terheran-heran. Keesokan harinya semua orang kaget ternyata biawak itu sudah menyelesaikan pekerjaannya bahkan dia mampu menyelesaikannya hanya dalam tempo kuarng dari satu malam.

Rajapun kemudian menepati janjinya untuk disandingkan dengan calon menantunya. Keenam pasangan tersebut terlihat serasi kecuali hanya satu pasang saja yaitu putri bungsu yang cantik bersanding dengan seekor biawak.

Pada saat malam hari tiba,Keenam pasangan tersebut terdengar canda dan tawa. Namun hanya kamar putri bungsu saja yang tidak terdengar canda ria seperti hal yang lain. Ketika malam semakin larut Putri bungsu semakin mengantuk, Biawak yang yang menjadi suaminya ditinggal begitu saja di sudut kamar. Ia segera tertidur pulas. Namun di tengah malam ketika ia terjaga, ia kaget bukan kepalang. di sampingnya telah berbaring sorang seorang pemuda tampan.

Ia memekik sekuat-kuatnya. Para pengawal istana segera memriksa ke dalam putri bungsu namun setelah di jumpai tidak ada satupun yang dilihat kecuali seekor Biawak tersebut.

 

 

 

Lalu semua pengawalpun pergi karena menganggap sudah aman. Namun Putri Bungsu masih terheran-heran. Ia yakin sedang tidak bermimpi. Tapi kemana ya perginya pemuda tampan itu.

Pada malam ketiga sebelunya putri untuk tdak tidur pada siang harinya dengan pulas agar nanti malam ia bisa bangun dengan pura-pura tidur nyenyak. Ternyata benar tidak lama kemudian terasa ada benda berat merebahkan diri disampingnya. Putri bungsu segera membalik. Benar saja pemuda yang dua malam berturut-turut hadir di kamarnya kini malah makin berani mendekatinya.

Dengan mata beringas putri Bungsu berkata," Hai lelaki asing ! sungguh kau tak tahu malu, berani masuk ke kamar orang. walau suamiku seekor binatang ia jauh lebih baik dibanding kau yang tidak tahu tatakrama !"

Habis memaki-maki putri bungsu langsung menghunuskan pisau ke arahnya tiba-tiba dengan mudahnya lelaki itu menagkisnya sehingga pisau itu terlempar ke lantai. Kini sang putri malah berada didalam rangkulan ketat si pemuda tampan.

"Sabar istriku sebenarnya aku adalah suamimu sendiri karena waktu itu ada beberapa hal akhirnya aku dikutuk oleh dewa senhingga menjadi seekor biawak."

Putri bungsu langsung menganguk-angguk mendengar penuturan lelaki itu. ketika rangkulan pemuda di lepaskan. Putri Bungsu segera melompat ke sudut kamar, di sana ia menemukan kulit biawak. Sarungan yang biasa dimasuki suaminya itu segera dibawa ke luar istana. Lalu dibakar sampai hangus musnah. Lalu ia kembali ke kamarnya lagi. Di sana ia mendapati seorang perjaka tampan yang lagi gerah, karena sarungan yang biasa dia pakai kini hangus terbakar, selanjutnya ia pulih sedia kala.

Keajaiban itu membuat iri keenam saudaranya. Hampir bersamaan mereka menyuruh suaminya untuk berdagang yang jauh. Lalu mereka memelihara seekor biawak liar di dalam kamarnya. Mereka berharap kejadian serupa yang dialami adiknya.

Tapi apa yang terjadi? di malam pertama mereka sudah menjerit-jerit kesakitan karena di gigit oleh biawak liar tersebut. Akhirnya biawak itu dibuang ke sungai.

Esok harinya mereka bersama-sama menemui adik mereka tercinta yaitu si Putri Bungsu. Mereka merangkul adiknya dengan penuh rasa haru. Mereka sadar bahwa adiknya itu bersuamikan Biawak bukan karena keinginan sendiri melainkan demi berbakti dan menjaga kehormatan ayahandanya. Niat tulus itu akhirnya membuahkan nasib yang baik dan membahagiakan Putri Bungsu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gunung Batu dari Perahu yang Terbelah

Asal Usul Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki

Angui adalah seorang pemuda yang cekatan dan rajin bekerja. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua bernama Diang Ingsung.

Sewaktu kecil, Angui sering diajak oleh ibunya mencari ikan di sungai dengan manggunakan jukung, yaitu sejenis sampan dari kayu.

Ketika sudah dewasa, setiap hari ia pergi mencari rotan ke hutan untuk dijual. Setelah mengumpulkan rotan, ia membersihkan dan mengikatnya dengan sangat rapi. Kerapian dalam mengerjakan tugas memang selalu diajarkan oleh ibunya.

Pada suatu hari, seorang saudagar datang ke desa itu untuk mengambil rotan dan menukarkannya dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Angui pun ikut menyerahkan hasil hutan yang didapatnya untuk ditukar dengan beras, nasi, dan gula merah. Saudagar tersebut terkesan melihat ketelatenan Angui membersihkan dan mengikat rotan-rotannya. Ia lalu memanggil pemuda itu.

"Siapa namamu?" tanya sang saudagar. "Angui, Tuan," jawab pemuda itu.

"Aku melihat kau sangat rapi dan cekatan. Batang-batang rotan yang kau jual pun cukup tua dan kering. Aku butuh orang-orang sepertimu. Apakah kau mau ikut berlayar denganku?" ajak sang saudagar.

Angui merasa terkejut sekaligus gembira.

"Terima kasih, Tuan! Tentu saja saya mau, tetapi izinkan saya meminta izin kepada ibu saya"

"Pergilah, besok ku tunggu kau di sini," kata saudagar itu.

Angui pulang ke rumah dengan perasan gembira. Ia menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya.

"Bu, apakah aku boleh pergi berlayar supaya kehidupan kita lebih baik lagi?" tanya Angui.

Meskipun berat, Diang Ingsung tidak ingin menahan keinginan anaknya untuk mencari kehidupannya yang lebih baik.

"Ibu mengizinkanmu pergi, Nak. Namun, setelah berhasil pulanglah, Ibu pasti sangat merindukanmu," jawab ibunya dengan perasaan sedih.

Angui memeluk ibunya dengan bahagia sekaligus sedih, karena harus meninggalkannya sendiri.

Keesokan paginya, Angui pamit kepada Ibunya untuk pergi berlayar.

"Jaga diri Ibu baik-baik. Aku titip ayam jagoku ini Bu, ia sahabatku semenjak aku kecil. Biarlah ayam ini jadi pengingat Ibu terhadapku. Doakan aku berhasil, Bu," kata Angui.

Diang Ingsung menahan air matanya, "Tentu, Nak. Ibu akan menjaganya:'

Angui pun pergi berlayar bersama saudagar pemilik kapal.

Bertahun-tahun lamanya Angui bekerja dengan baik don rajin. Saudagar itu sangat menyayangi Angui. Ia pun menikahkan putri satu- satunya dengan Angui. Tidak berapa lama kemudian, saudagar itu meninggal dunia. Semua hartanya diwariskan kepada putrinya dan Angui. Dengan demikian, nasib Angui pun berubah menjadi saudagar yang kaya raya dengan istri yang cantik.

Kemudian, Angui teringat dengan ibunya. Ia berniat mengunjungi ibunya. Istrinya menyambut gembira ajakan suaminya.

"Mari kita berangkat, Bang. Aku belum pernah bertemu dengan mertuaku," kata sang istri.

Angui pun meminta anak buahnya menyiapkan perjalanan mereka ke kampung Angui dengan menggunakan kapal yang besar dan megah. Setelah berlayar beberapa lama, sampailah kapal besar tersebut di pelabuhan.

Orang-orang kampung terkejut melihat sebuah kapal besar dan megah mendarat di kampung mereka. Lebih terkejut lagi ketika mereka melihat seorang laki-laki muda dan perempuan muda di geladak kapal.

"Bukankah itu Angui, anak Diang Ingsung?" kata salah seorang penduduk, "Wah ia sudah menjadi saudagar kaya!"

"Iya betul, itu Angui, anak Nenek Ingsung. Lebih balk aku ke rumah Nenek Ingsung dan memberitahukannya bahwa anaknya datang!"

Beberapa orang berlarian ke gubuk Diang Ingsung.

"Nek, Nenek Ingsung! Cepatlah ke pantai! Angui anakmu datang! Ia sudah jadi saudagar kaya!"

Diang Ingsung yang sudah tua renta dan sakit-sakitan bersusah payah keluar rumah.

"Apa kalian bilang? Angui pulang?"

"Iya Nek, cepatlah ke sana!"

Diang Ingsung merasa sangat bahagia. Angui anak yang dirindukannya telah pulang. Ia akan menggunakan jukung, ia yakin Angui akan segera mengenali jukung tua mereka.

"Ah, akan kubawa juga ayam jago si Angui, ia pasti senang, karena ayam jagonya berumur panjang!"

Diang Ingsung pun mulai mendayung jukung dengan susah payah. Ayam jago Angui diletakkan di ujung jukung. Tubuhnya yang telah letih karena penyakit terasa lebih bersemangat, karena sebentar lagi akan bertemu dengan anaknya.

Jukung tua itu didayung mendekati kapal besar milik Angui. Diang Ingsung melihat sosok anaknya di anjungan kapal. Ah, betapa tampon anaknya sekarang. Diang Inngsung merasa sangat bahagia.

" Angui! Angui, Anakku! Kamu datang, Nak!" teriak Diang Ingsung dengan susah payah. Sauaranya yang serak hampir kalah oleh angin laut.

Angui terkejut melihat seorang nenek kumal dengan jukung tua mendekati kapalnya. Ia tahu itu ibunya, tetapi melihat keadaan ibunya yang kumal dan dengan pakaian yang kusam, ia menjadi malu mengakuinya.

"Siapakah ibu yang memanggilmu itu, Bang?" tanya istri Angui, Betulkah itu ibumu? Kalau iya, suruhlah awak kapal menjemputnya naik."

Angui masih memandang nenek tua yang sedang berusaha merapat ke kapalnya dengan masam.

"Hei, Nenek! Siapakah kau? Mengapa kau memanggil aku anakmu? Ibuku bukan nenek-nenek miskin sepertimu!" hardik Angui .

Diang Ingsung terkejut, "Nak, ini betul Ibumu. Lihatlah Nak, ini jukung yang selalu kita gunakan untuk mencari ikan dan ini ayam jago yang kau titipkan kepada ibu!""

"Dasar penipu! Tidak mungkin seekor ayam bisa hidup selama itu! Cepat pergi dari sini!!"

"Abang, jika memang itu ibumu, akuilah. Aku menerimanya apa adanya," kata istrinya lagi.

"Sudah kubilang ia bukan ibuku!" Angui memerintahkan anak buah kapal mengusir ibunya.

Angui juga memerintahkan untuk meninggalkan tempat itu. Kapal besar itu pun perlahan menjauh dari pantai.

Betapa hancur hati Diang Ingsung. Anak yang dirindukannya kembali justru tidak mengakuinya sebagai ibu. Air matanya berlinang.

Dengan menangis ia berdoa, "Tuhan, anakku tidak mengakui aku lagi sebagai ibunya. Celakakanlah ia. Biarkanlah ia menjadi batu beserta segala milik dan kekayaannya!"

Tiba-tiba, langit mendung. Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir menyambar. Kapal Angui diterjang badai dan petir berkali-kali. Kapal besar tersebut terbelah menjadi dua, satu bagian berisi istri dan dayang-dayangnya, satu bagian lagi Angui dan para awak kapal. Kedua bagian yang terbelah itu pun pelan-pelan karam.

"Ibu, ampun Ibu. Aku memang anakmu! Tolonglah aku Ibu," terdengar teriakan Angui meminta tolong.

Diang Ingsung tidak bergeming mendengar teriakan anaknya, ia tetap mendayung jukungnya menuju ke daratan.

Daratan kampung yang tergenang air, lama-kelamaan surut. Ketika air surut, munculah dua belahan kapal yang sudah membatu. Satu bagian kapal yang berisi istri Angui dan dayang-dayangnya kemudian dinamakan Gunung Batu Bini. Sementara itu, bagian lainnya yang berisi Angui dan anak buah kapalnya dinamakan Gunung Batu Laki.

Gunung Batu Laki ada sebuah pohon besar yang tinggi. Konon, pohon itu berasal dari tiang layar kapal yang mencuat setelah tenggelam. Lokasi Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki ada di sebelah barat Pegunungan Meratus.

 

 

Asal Muasal Gunung Batu Bangkai

Dahulu, di Loksado ada seorang anak bernama Andung yang tinggal berdua saja dengan ibunya yang ia panggil dengan Uma. Ibunya adalah seorang janda yang miskin. Andung mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit. Bakat ini ia peroleh dari almarhum ayahnya.

Meskipun hidup mereka sangat sederhana, Andung dan ibunya saling menyayangi. Setiap hari, Andung pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjualnya ke pasar, sedangkan ibunya mencari buah-buahan.

Pada suatu hari ketika baru menyelesaikan pekerjaannya di hutan, tiba-tiba Andung mendengar suara orang menjerit. Andung segera mendatangi arah suara itu. Ternyata, ia menemukan seorang kakek yang terluka, karena kakinya terjepit batang pohon yang tumbang. Andung segera menolong kakek itu dan mengobati lukanya.

Sang kakek merasa sangat berterima kasih kepada Andung. Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam kantong kulit yang dibawanya. Ia mengeluarkan seutas kalung.

"Nak, aku tidak punya apa-apa untuk membalas budi kepadamu. Namun, ambillah kalung ini untukmu. Mudah-mudahan, suatu saat akan membawa keberuntungan bagimu," ujar sang kakek.

Andung pulang ke rumah dan menceritakan kepada ibunya.

"Kakek itu memberiku kalung ini, Uma. Biarlah Ibu yang menyimpannya," kata Andung.

Ibunya memerhatikan kalung tersebut dengan saksama, "Ibu yakin ini bukan kalung biasa. Kalung ini terlihat sangat indah."

Suatu saat, Andung berniat merantau mencari kehidupan yang lebih baik.

Namun, ia bingung karena jika ia pergi, ibunya tak ada yang menemani. Itulah hal yang selalu menghantui pikiran Andung. Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan untuk pergi merantau lebih besar daripada kekhawatirannya tentang hidup ibunya. Karena itu, ia pun mengutarakan niatnya itu.

Semula ibunya sangat keberatan. Namun, melihat keinginan keras anaknya, ia merasa tak mungkin dapat menolak selain merestuinya.

"Berjanjilah kepada Ibu. Jika kau sudah berhasil, kau harus pulang. Jangan tinggalkan Ibu terlalu lama" kata lbu Andung sambil berlinang air mata.

"Andung berjanji, Ibu. Andung akan cepat kambali," ucap Andung

"Berangkatlah sebelum gelap sampai di hutan. Bawalah kalung yang diberikan kakek yang kau tolong waktu itu. Mungkin ini akan membawa keberuntungan juga untukmu," Ibu Andung memberikan kalung itu kepada anaknya.

Andung berangkat merantau. Ia berjalan sangat jauh, keluar masuk hutan dan lembah, melewati perkampungan-perkampungan. Di tengah perjalanan, ia menyempatkan diri mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Setelah beberapa bulan berlalu, sampailah pemuda itu di Kerajaan Basiang. Kerajaan itu terasa sepi, tidak banyak orang berlalu-lalang di luar rumah. Andung bertemu dengan seorang petani yang sedang sakit. Tubuhnya dipenuhi kudis. Andung mengobati petani itu hingga sembuh.

Ia baru mengetahui bahwa tengah terjadi wabah penyakit kulit di kerajaan itu.

Petani tersebut berhasil disembuhkan oleh Andung. Ia meminta Andung untuk tinggal bersamanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Akhirnya, kesembuhan petani tersebut membawa penduduk lain datang dan meminta pertolongan Andung. Semakin hari, semakin banyak yang berhasil disembuhkan oleh Andung.

Keberhasilan Andung menyembuhkan banyak orang terdengar ke telinga Raja Basiang. Lalu, Sang Raja meminta Andung untuk datang ke istana untuk mengobati putrinya yang sudah beberapa minggu terbaring sakit.

"Ampun, Paduka. Hamba bukanlah seorang tabib. Hamba mohon ampun jika ternyata hamba tidak berhasil."

Andung memerhatikan Sang Putri yang sedang terbaring lemah. Wajahnya cantik sekali. Diam-diam ia mengagumi wajah Sang Putri yang cantik jelita. Ia mulai mempersiapkan bahan-bahan ramuan untuk mengobati Sang Putri. Namun, kali ini ia tidak berhasil. Putri Raja tidak bergeming sedikit pun dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

Andung kemudian teringat kalung pemberian kakek tua yang pernah ditolongnya. Kalung tersebut direndam di dalam sebuah wadah yang sudah disediakan. Kemudian, Andung berdoa pada Yang Maha Kuasa di depan air hasil rendaman kalung itu. Setelah berdoa, air tersebut diminumkan kepada putri.

Keajaiban terjadi, Sang Putri perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Lalu, ia duduk dengan wajah berseri. Andung berhasil menyembuhkan putri kerajaan.

Raja Basiang sangat bersuka cita. Sebagai imbalan, ia menikahkan Andung dengan putrinya. Pesta pernikahan dilangsungkan dengan sangat meriah.

Kini Andung menjadi menantu Raja Basiang. Tidak lama setelah menikah, istri Andung pun hamil. Sifatnya menjadi lebih manja. Ia mengidam buah kasturi. Buah itu hanya ada di Pulau Kalimantan. Andung tahu di mana bisa mendapatkan buah kasturi. Ia mengerahkan para pengawalnya untuk berangkat ke Loksado. Sesampainya di Loksado Andung menyadari bahwa pohon kasturi itu tertanam persis di depan rumah ibunya.

Andung enggan bertemu dengan ibunya. Lalu, ia mengajak semua pasukannya untuk meninggalkan tempat itu dan mencari buah kasturi di tempat lain.

Namun, kedatangan mereka terdengar oleh ibu yang sedang berada di dalam rumah.

"Andung! Andung! Anakku!"" panggil sang ibu sambil berlinang air mata. Ia sangat bahagia telah menemukan putranya kembali.

Andung merasa malu kepada para pengawalnya.

"Hai, nenek miskin. Kau bukan ibuku. Aku adalah keturunan bangsawan, pergi kau dari sini!"

Ibunya terkejut bukan main. Ia tidak menyangka, Andung bisa sekasar itu. Sementara itu, Andung masih saja berteriak mengusirnya.

Dengan perasaan hancur, Ibu Andung pergi meninggalkan putranya. Hatinya benar-benar kecewa.

"Ya, Tuhan, anakku telah menjadi anak yang durhaka. Tunjukkanlah kekuasaan-Mu!" ujar Ibu Andung.

Tidak lama kemudian, cuaca menjadi mendung dan hujan turun disertai badai yang dahsyat. Petir menyambar tubuh Andung. Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi batu. Bentuk batu tersebut seperti bangkai manusia. Akhirnya, penduduk menamakan wilayah itu sebagai Gunung Batu Bangkai.

Gunung Batu Bangkai terletak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Tengah. Tepatnya, di sebuah wilayah Kecamatan Loksado.

 

Asal Mula Burung Punai

Konon, di daerah Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang pemuda pengembara yang bernama Andin. Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya Abah dan Uma. Ia juga tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Ia mengembara dari satu desa ke desa lain, menjelajahi hutan belantara dan melewati berbagai negeri seorang diri.

Suatu hari, tibalah Andin di Desa Pakan Dalam yang berawa-rawa dan bersungai. Di permukaan rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang sangat indah. Beraneka ragam bunga yang tumbuh mekar dan harum, sehingga burung yang senang mengunjungi daerah itu. Karena banyak burung yang cantik dan merdu di desa itu, banyak penduduk yang bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan masyarakat di daerah itu makmur, maka Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah, lebih baik aku menetap di sini saja. Aku tidak akan kesulitan menghidupi diriku,” gumam Andin. Meskipun tidak memiliki lahan untuk bertani atau beternak hewan, ia masih memiliki sebuah harapan yaitu mamulut burung. Dari situlah ia bisa menghidupi dirinya.

Hari dan bulan telah berganti. Tak terasa, sudah satu tahun Andin menetap di Pakan Dalam. Penduduk setempat sangat menyukai Andin, karena perangainya baik dan santun. Setiap hari Andin pergi mamulut burung. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, dan kembali setelah hari mulai senja. Karena setiap hari pergi mamulut burung, penduduk desa memanggil Andin dengan sebutan Andin Pulut. Karena keahlian Andin mamulut burung tidak ada yang menandingi di desa itu, maka sebagian besar penduduk memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang sangat pandai dan berpengalaman mamulut burung.

Seperti biasa, pagi itu Datu Pulut bersiap-siap berangkat mamulut. Tak berapa lama kemudian, ia sudah terlihat di atas jukungnya menuju hilir. Ia terus mengayuh jukungnya menyusuri sungai. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun turun dari jukungnya. Lalu, ia memasang pulut di sejumlah pohon di pinggir sungai. Setelah itu, ia kembali ke jukungnya menunggu pulutnya terkena burung sambil tiduran . Tengah asyik tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia pun cepat-cepat naik ke daratan. Tak jauh dari tempatnya memasang pulut, ditemu­kannya beberapa pohon yang besar lagi rindang. Di bawah pepohonan itu terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan berair jernih. Ia sangat senang menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…, aku dapat berteduh di sini sambil menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut. Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai reda. Datu Pulut kemudian manukui jebakan pulutnya. Namun, saat akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang bergembira. Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat bersem­bunyi di balik pohon seraya mengintip.

Kini suara itu semakin jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat tujuh bidadari melayang-layang turun dari langit menuju telaga. Ketujuh bidadari tersebut mengenakan selendang berwarna pelangi. Dari ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Datu Pulut sangat terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali bidadari yang berselendang jingga itu,” gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari itu turun dan meletakkan selendangnya di atas bebatuan. Mereka mandi sambil bercengkerama dan bersuka ria. Pada saat itulah, Datu Pulut memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia mengambil selendang yang berwarna jingga itu, lalu dimasukkannya ke dalam butahnya. Kemudian, ia cepat-cepat kembali bersembunyi di balik pohon.

Tak terasa, hari mulai senja. Saatnya bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Satu per satu mereka mengenakan kembali selendangnya. Tetapi bidadari yang tercantik itu tidak menemukan selendangnya. Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke sana  ke mari. Namun tak kunjung mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan bidadari cantik yang malang itu seorang diri. Bidadari yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh saudara-saudaranya. “Abah, Uma, tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib ananda begini malangnya?”  Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya.

Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu menghampirinya. “Apa yang telah terjadi, Adingku? Mengapa berada di tepi telaga seorang diri?” sapa Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang Bidadari. “Selendang saya hilang, tuan! Tahukah tuan dimana selendang saya?” bertanya pula bidadari itu. Datu Pulut tidak menjawab pertanyaan itu, ia tidak ingin sang Bidadari  kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang Bidadari pulang bersamanya. Setelah sampai di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita kepada sang Bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk memperistrinya. “Wahai, Adingku! Bersediakah kamu menjadi istriku?” tanya Datu Pulut kepada bidadari. Mendengar pertanyaan itu, sang Bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut, karena ia tidak mungkin kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Setelah itu, mereka hidup bahagia dan saling menyayangi.

Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan keluarga itu. Datu Pulut semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia sering pergi mamulut hingga petang. Sementara, bidadari menyiapkan berbagai masakan yang lezat untuk suaminya.

Pada suatu hari, sang Bidadari hendak menanak nasi. Namun, persediaan beras di padaringan habis. “Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras di padaringan. Ini kok habis?” kata sang Bidadari dalam hati. Kemudian, ia masuk ke dalam kindai untuk mengambil padi. Sejak menikah dengan Datu Pulut, ia tidak pernah mengambil padi di tempat itu. Baru mengambil padi beberapa takaran, sang Bidadari terpana melihat sebuah butah tergeletak di sela-sela timbunan biji padi. Ia penasaran ingin mengetahui isi butah itu. Maka dibukanya tutup butah itu. Tanpa diduga-duga, dilihatnya selendang kahyangannya. Kini, sang Bidadari tersadar, ternyata suaminyalah yang telah mengambil seledangnya beberapa tahun yang lalu. Ia pun Kahimungan, dan segera menyimpan selendang itu baik-baik.

Menjelang senja, Datu Pulut pun datang membawa hasil pulutannya. Sang Bidadari menyambutnya seperti biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga sedikit pun, jika istrinya telah menemukan selendang kahyangannya. Malam semakin larut, Datu Pulut sudah tertidur pulas di samping anaknya, karena letih mamulut sepanjang hari. Sang Bidadari masih belum juga dapat memejamkan matanya. Pikirannya melayang-layang, teringat orang tua dan saudara-saudaranya di negeri Kahyangan. Perasaannya bercampur baur, sedih dan bimbang. Ia ingin kembali ke negeri asalnya, tetapi tidak tega meninggalkan suami dan anaknya. “Oh… Abah, Umah! Aku sangat merindukan kalian. Tapi bagaimana dengan nasib anak dan suamiku jika aku meninggalkan mereka?” keluh sang Bidadari kebingungan. Namun, sang Bidadari harus mengambil keputusan antara kembali ke kahyangan atau tinggal di bumi. Akhirnya, setelah dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan bumi. “Aku harus kembali ke Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati.

Keesokan harinya, Datu Pulut pulang dari mamalut. Ia tersentak kaget ketika melihat istrinya sudah berpakaian lengkap dengan selendang warna jingganya sambil mendekap anak mereka. Belum sempat Datu Pulut berkata-kata, sang Bidadari langsung berpesan kepadanya, “Maafkan Ading, Kaka! Ading harus kembali ke Kahyangan. Peliharalah putri kita baik-baik. Jika ia menangis, buatkanlah ayunan di pohon berunai. Saat itu Ading akan datang menyusuinya, dengan syarat Kaka tidak boleh mendekat.” Mendengar pesan istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu mengingat pesan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang ke angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya.

Sejak saat itu, jika putrinya menangis, Datu Pulut segera membuatkan ayunan di pohon berunai yang tak jauh gubuknya. Tak lama setelah itu, datanglah istrinya untuk menyusui anaknya dengan dikawal oleh saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa melihat dari arah jauh dengan penuh kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan istrinya, perasaan itu terpaksa ia pendam dalam hati. Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu. Setiap manusia memiliki batas kesabaran. Datu Pulut tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada istrinya.

Pada suatu hari, saat istrinya sedang menyusui anaknya, secara diam-diam Datu Pulut mendekat. Rupanya ia lupa pada pesan istrinya. Pada saat ia akan menyentuh istrinya, tiba-tiba terjadi keajaiban yang sangat luar biasa. Sang Bidadari dan saudara-saudaranya berubah menjadi tujuh ekor burung punai. Ketujuh burung itu pun terbang ke alam bebas dan meninggalkan Datu Pulut beserta putrinya. Datu Pulut hanya mampu menyesali dirinya. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Setiap kali putrinya menangis, ia membawanya ke bawah pohon berunai. Namun, istrinya yang telah menjadi burung punai tak pernah datang lagi.

Menurut kisah diatas burung punai yang ada di daerah Kalimantan Selatan merupakan penjelmaan dari tujuh bidadari cantik yang jelita. Konon, sampai saat ini sebagian penduduk di Desa Pakan Dalam, Kecamatan Daha Utara, tidak mau memakan burung punai, sebab mereka menganggap burung punai itu penjelmaan bidadari.

 

Hikayat Banjar Nagara Dipa (Amuntai) dan Nagara Daha

Sebuah hikayat Banjar yang diwariskan secara tuttur Lisan ( tutur candi ) yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat banjar. Orang-orang yang sudah berpikiran modern meaanggap itu hanya sebuah dongeng dan bagi masyarakat awam kejadian yang diluar akal manusia seperti kesurupan dan lain-lain biasa dikaitkan dengan hikayat banjar ini. Tapi berdasarkan prasasti yang satu-satunya ditemukan di Banjarmasin kemudian mahasiswa Sejarah menggali dan menelusuri wilayah-wilayah yang sesuai dengan hikayat banjar maka ditemukanlah candi Agung ( Amuntai ) dan Candi Laras ( Margasari rantau).

Diawali dengan sebuah pelayaran yang dilakukan oleh Mpu Jatmika dengan Siprabayaksa, dan ia merupakan seorang saudagar dari negara Keling yang sebelum pergi diwasiati oleh orang tuanya bahwa ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karna dirasa sesuai dengan wasiat tadi. Karna Mpu Jatmika menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan kesatria maka ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan “ Candi Agung”. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.

Di ketahui Mpu Jatmika mempunyai dua orang Anak yaitu Mpu Mandastana dan Lembu Amangkurat ( Lambung Mangkurat ), dan kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih pada saat itu. pada suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau kerajaan Dipa tidak mempunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu ( Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terkhir pertapaannya sebuah petunjuk datang melalui sebuah suara yang mengatakan “ ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang” yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada kerajaan Dipa pada saat itu, setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa dan ritual dilasanakan tdak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di kerajaan Dipa yan diberi nama Putri Junjung Buih.

Mpu Mandastana yang merupakan saudara Lambung Mangkurat mempunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa yang keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapapun.

 

Karna merasa kedua putra Mpu Mandastana ini tidak sesuai untuk sang putri maka Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “ lubuk Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.

Sebuah Wangsit yang mengatakan bahwa jodoh putri Junjung Buih berada di seberang lautan yaitu di kerajaan Majapahit. Maka diutuslah seorang pengawal ke Majapahit namun sesampainya disana Maha Raja Patih Majapahit mengatakan ia memiliki anak tapi tidak sempurna yang tidak mempunyai tangan dan kaki, orang menyebutnya raja Bulat Bulaling. Walaupun seperti itu seorang utusan tadi tetap meminta untuk putra Maha Raja Patih tetap di bawa karna ingin melaksanakan wangsit yang didapat.

Sesampainya di Muara Banjar, Putri Junjung Buih mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di tanah Banjar. Tapi sang putri ingin mempunyai suami yang sakti dan gagah perkasa agar tidak kalah dengan kesaktiannya. Maka putri Junjung Buih mengutus Naga di Langit untuk menghalau air agar kapal mandek di tengah lautan. Para pengawal pun bingung apa yang harus dilakukan samapi akhirnya mereka bertanya kepada Pangeran Bulat Bulaling dan kemudian ia mengatakan bahwa lemparkan saja dirinya ke air. Pengawal pun menurutinya, setelah lama di air lalu muncul seorang Pangeran yang gagah perkasa yang disebut “ Pangeran Suryanata “. Akhirnya Putri Junjung Buih mengakui kesaktian sang Pangeran dan bersedia untuk dijadikan istri.

Melalui Hikayat ini pula banyak tempat-tempat sepeti lapangan, nama jalan atupun tempat-tempat umum lain nya di beri nama seperti nama raja dan putri Nagara Daha. Artinya hikayat ini tidak berakhir sebagai dongeng atau legenda semata. Tapi terserah para pembaca aja bagaimana menanggapi. Cerita ini saya ketahui lebih dalam saat matakuliah Sejarah Lokal hari ini. Dan tunggu aja cerita tentang Kerajaan NagarA Daha…………….

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Asal Mula Gunung Batu Banawa (Cerita Rakyat Kalimantan Selatan )

Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan seorang anaknya yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa mereka.

Karena itulah maka pada suatu hari Raden Penganten berminat untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang. Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya.

Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak, karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri tersebut yang cantik paras mukanya.

Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah lama ia tinggalkan.

Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta.

Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat bersahaja itu sebagai ibunya.

Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka.

Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa, Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya.

Seketika itu juga datanglah badai dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa. Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa.

 

 

 

 

GUNUNG BATU HAPU

Tidak berapa jauh dari kota Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatan terdapat dua desa bernama Tambarangan dan Lawahan. Menurut cerita orang tua-tua, dahulu kala di perbatasan kedua desa itu hiduplah seorang janda miskin bersama putranya. Nama janda itu Nini Kudampai, sedangkan nama putranya Angui.

Mereka tidak mempunyai keluarga dekat sehingga tidak ada yang membantu meringankan beban anak beranak itu. Walaupun demikian, Nini Kudampai tidak pernah mengeluh. Ia bekerja sekuat tenaga agar kehidupannya dengan anaknya terpenuhi.

Saat itu, Angui masih kecil sehingga ia masih senang bermain, belum ada kesadaran untuk menolong ibunya bekerja. Angui tidak mempunyai teman sebaya sebagai teman bermain. Sebagai gantinya, ia ditemani tiga ekor hewan kesayangannya, yaitu ayam jantan putih, babi putih, dan seekor anjing yang juga putih bulunya. Ke mana pun ia pergi, ketiga ekor hewan kesayangan itu selalu menyertainya. Mereka tampak sangat akrab.

Pada suatu hari, ketika Angui sedang bermain di halaman rumah, melintaslah seorang saudagar Keling. Saudagar itu amat tertarik kepada Angui setelah menatap Angui yang sedang bermain. Ia berdiri tidak begitu jauh dari tempat Angui bermain. Angui terus diamatinya. Dari hasil pengamatan itu, ia mendapatkan sesuatu yang menonjol pada penampilan Angui. Air muka Angui selalu jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan berlembah. Dahinya lebar dan lurus. Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung. Di ujung-ujung jari itu terdapat kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang memikat adalah adanya tahi lalat yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu dinamakan kumbang bernaung.

Saudagar Keling mendapat firasat bahwa tanda-tanda fisik yang dimiliki Angui menunjukkan nasib balk atau keberuntungannya. Barang siapa memelihara anak itu akan bernasib mujur.

“Aku harus mendapatkan anak itu,” katanya dalam hati. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saudagar itu segera menemui Nini Kudampai, sang ibu. Dengan keramahan dan kefasihan lidahnya berbicara selain janji-janji yang disampaikan, ia dapat menaklukkan hati Nini Kudampai. Nini Kudampai tidak keberatan jika Angui diasuh dan dipelihara saudagar itu. Angui pun amat tertarik untuk mengikuti saudagar itu pulang ke negerinya.

“Anak lbu tidak akan hilang,” kata saudagar itu meyakinkan. “Percayalah Bu, suatu saat kelak ia pasti kembali menemui ibunya, bukan sebagai Angui yang sekarang ini, tetapi sebagai orang ternama.”

Walaupun Nini Kudampai telah merelakan kepergian anaknya, ia tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika akan berpisah. Kesedihan dan keharuan kian bertambah ketika Angui meminta agar ketiga hewan teman bermainnya selama ini dipelihara sebaik-baiknya oleh ibunya.

 

“Bu, tolong Ibu jaga babi putih, anjing putih, dan ayam putihku. Jangan Ibu sia-siakan!” kata Angui sambil mencium tangan ibunya dengan linangan air mata.

Saudagar Keling pulang ke negerinya dan tiba dengan selamat bersama Angui. Angui diasuh dan dipeliharanya, tak ubahnya memelihara anak kandung. Angui hidup bermanja-manja karena kehendaknya selalu dikabulkan orang tua asuhnya. Kemanjaan itu berakibat buruk kepadanya. Ia lupa diri dan menjadi anak nakal, pemalas, serta pemboros.

Saudagar Keling sering tercenung seorang diri.

“Firasatku ternyata salah,” katanya dalam hati, “rupanya keadaan lahir belum tentu mencerminkan sifat dan watak seseorang.”

Saudagar Keling merasa tidak mampu lagi menjadi orang tua asuh Angui. Kehadiran Angui dalam keluarga itu hanya menyusahkannya saja. Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain mengusir Angui. Saudagar Keling itu tidak mau memeliharanya lagi.

Angui amat menyesali kelakuannya selama ini. Apa dayanya karena sesal kemudian tiada guna. Ia hidup luntang-lantung tiada arah. Kesempatan baik telah disia-siakannya.

Syukurlah, lambat laun Angui mampu mengatasi keputusasaannya.

“Aku harus menjadi manusia yang berhasil,” katanya penuh tekad.

Ia menanggalkan sikap malasnya dan mau bekerja membanting tulang. Ia tidak merasa malu melakukan pekerjaan apa pun, asal pekerjaan itu halal.

Beberapa tahun kemudian, berkat kerja keras dan kejujurannya dalam bekerja, is menjadi seorang saudagar kaya. Kekayaannya tidak kalah dibanding kekayaan saudagar Keling yang pernah menjadi orang tua asuhnya. Ketenarannya melebihi saudagar Keling itu.

Akhirnya, kekayaan Angui melebihi kekayaan siapa pun di negeri Keling itu. Namanya makin terkenal setelah is berhasil menyunting putri raja Keling menjadi istrinya. Sejak menjadi menantu raja, Angui mendapat nama baru, yakni Bambang Padmaraga.

Meskipun sudah kaya, Angui alias Bambang Padmaraga sering terkenang kampung halamannya. Ia amat rindu kepada ibunya, Nini Kudampai. Ia juga teringat pada babi putih, anjing putih, dan ayam putih, ketiga teman bermain yang disayanginya. Selain itu, ia ingin memperkenalkan istrinya kepada ibunya dan menunjukkan keberhasilannya di perantauan. Ia ingin membahagiakan ibunya yang bertahun-tahun ditinggalkannya tanpa berita.

Pada suatu hari, Angui mempersiapkan sebuah kapal yang lengkap dengan anak buahnya. Tidak lupa pula bekal untuk perjalanan jauh dan cendera mata, Inang pengasuh bagi istrinya turut serta dalam pelayaran ke negerinya. Ia dan istrinya menempati sebuah bilik khusus di dalam kapal yang ditata begitu apik seperti dalam sebuah istana.

 

 

 

 

Berita kembalinya Angui dan istrinya, putri raja Keling, dengan naik kapal segera tersiar ke seluruh penjuru. Nini Kudampai pun mendengar dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Apalagi kapal putranya itu konon merapat dan bersandar tidak berapa jauh dari kediamannya.

Nini Kudampai segera berangkat ke pelabuhan dengan menggiring ketiga hewan piaraan teman bermain Angui, yaitu babi putih, anjing putih, dan ayam putih. Ia berharap agar Angui segera mengenalinya dengan melihat ketiga hewan itu.

Nini Kudampai pun berseru melihat Angui berdiri berdampingan dengan istrinya di atas kapal, “Anakku!”

Sebenarnya, Angui mengenali ibunya dan ketiga hewan piaraannya. Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya karena penampilan ibunya sangat kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia memalingkan muka dan memberi perintah kepada anak buahnya, “Usir perempuan jembel itu!”

Hancur Iuluh hati Nini Kudampai diusir dan dipermalukan putra kandung yang dilahirkan dan dibesarkannya. Angui mendurhakainya sebagai ibu kandung. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah. Tiba di rumah, is memohon kepada Yang Mahakuasa agar Angui menerima kutukan.

Belum pecah riak di bibir, begitu selesai Nini kudampai menyampaikan permohonan kepada Tuhan, topan pun mengganas. Petir dan halilintar menggelegar membelah bumi. Kilat sabung-menyabung dan langit mendadak gelap gulita. Hujan deras bagai dituang dari langit. Gelombang menggulung kapal bersama Angui dan istri serta anak buahnya. Kapal dan segenap isinya itu terdarnpar di antara Tambarangan dan Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya berubah menjadi batu.

Itulah sekarang yang dikenal sebagai Gunung Batu Hapu, yang telah dibenahi pemerintah menjadi objek pariwisata. Setiap saat, terutama hari libur, tempat itu banyak dikunjungi orang.

 

 

 

 

 

 

 

DATU KALAKA

Menurut cerita orang tua-tua beberapa abad yang lalu, di suatu kampung tinggallah seorang lelaki bernama Datu Kalaka. Ia amat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu karena ia menjadi pemimpin masyarakat di sana. Itu pula sebabnya ia diberi gelar datu oleh masyarakat.

Datu Kalaka disegani dan dihormati masyarakat, tetapi ia dibenci dan ditakuti Belanda. Ia sangat menentang Belanda dan memimpin perlawanan yang banyak meminta korban di pihak Belanda. Anehnya, walaupun pernah berkali-kali terkepung pasukan Belanda, Datu Kalaka selalu dapat meloloskan diri.

Tersebar berita di masyarakat, khususnya di kalangan orang Belanda, bahwa Datu Kalaka mempunyai kesaktian menghilangkan diri. Walaupun orang biasa dapat melihat, orang Belanda tetap tidak mampu melihat. Hal itu membuat penasaran pihak Belanda. Dengan segala tipu daya, mereka berusaha menangkap Datu Kalaka. Mereka menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mampu menyerahkan Datu Kalaka hidup maupun mati kepada pihak Belanda

Oleh karena itu, Datu Kalaka selalu pindah tempat tinggal untuk menghindarkan diri dari Belanda. Jadi, jika Belanda berusaha mencarinya di kampung pasti sia-sia. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu, ia kembali ke rumah, berkumpul dengan keluarga dan masyarakat sekitar.

Karena sudah cukup lama Belanda tidak pernah datang ke kampungnya, Datu Kalaka merasa aman dan tidak perlu pindah tempat tinggal. Ia menetap di kampung sambil mengerjakan ladang dan kebun serta memimpin masyarakat.

Pada suatu hari, ketika Datu Kalaka sedang bersantai di rumah, ada orang datang memberitahu bahwa pasukan Belanda memasuki kampung. Tentu mereka akan menangkap Datu Kalaka.

Sebagai seorang datu, Datu Kalaka tidak mau menunjukkan kekhawatirannya di hadapan orang lain. Ia juga tidak ingin menyelamatkan diri sendiri jika masyarakat menjadi korban karenanya. Oleh karena itu, ia menyuruh penduduk menyelamatkan diri. Setelah itu, ia memikirkan cara untuk meloloskan diri. Sayang, tempat tinggalnya sudah dikepung Belanda. Tidak mungkin lagi ia lepas dari sergapan. Jika sampai tertangkap, ia tidak dapat membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya. Mungkin ia akan disiksa, dikurung, bahkan dibunuh. Jika ia melawan, berarti bunuh diri.

Datu Kalaka tidak ingin ditangkap dan tidak mau mati konyol. Ia berpikir cepat dan memutuskan mengambil jalan nekat yang tidak masuk akal. Jika jalan yang ditempuh itu ternyata meleset, nyawa taruhannya.

Ketika pasukan Belanda memasuki kampung, mereka amat penasaran karena kampung sepi. Rumah-rumah kosong. Belanda marah dan melampiaskan kemarahan mereka dengan menghancurkan kampung itu. Mereka berpencar dan memeriksa segenap pelosok kampung.

Mereka kaget ketika tiba-tiba melihat suatu pemandangan aneh tapi nyata di suatu lorong. Sebuah ayunan raksasa! Kedua sisi kain panjang yang dijadikan ayunan itu diikat wilatung (sejenis rotan yang besar batangnya) ditautkan ke puncak betung (bambu besar) yang ada di kiri kanan lorong itu. Mereka amat terkejut ketika menengok ke dalam ayunan yang berada di tengah-tengah lorong. Di dalam ayunan itu terbaring dengan tenangnya seorang bayi raksasa sebesar ayunan. Bayi itu menatap serdadu Belanda yang berdiri di sekeliling ayunan, kemudian ia memejamkan mata. Ukuran bayi itu lebih besar dan panjang daripada ukuran orang dewasa yang normal. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu, bahkan berkumis dan bercambang lebat.

 

Seluruh anggota pasukan Belanda gemetar ketakutan. Jika bayinya saja sebesar itu, apalagi orang tuanya. Pasukan Belanda pun hilang keberaniannya. Mereka segera meninggalkan bayi raksasa dan kampung yang telah kosong itu untuk kembali ke markas.

Bayi raksasa itu ternyata Datu Kalaka. Sebelum pasukan Belanda datang, ia sempat membuat ayunan. Kemudian, ia berbaring di dalam ayunan itu dan berlaku seperti bayi.

Di Kabupaten Hulu Sungal Tengah Propinsi Kalimantan Selatan sekarang masih ada sebuah desa bernama Kalaka. Konon, nama itu diambil dari nama Datu Kalaka. Di sana juga ada sebuah makam, menurut orang tua-tua makam itu makam Datu Kalaka. Makam itu luar biasa besarnya, jarak antara nisan yang satu dengan nisan lainnya kucang lebih dua meter. Orang percaya bahwa tubuh Datu Kalaka itu tinggi besar, lebar dadanya kurang lebih tujuh kilan (jengkal).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MANDIN TANGKARAMIN

Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.

Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam.

Di dasar air terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, bernama Manggu Masak.

Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam.

Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik kepadanya.

Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.

Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.

Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya.

Bukan hanya orang tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.

“Sekali ini pasti ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati.

Belum lagi usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku Iebih dulu!”

Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!”

“Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.

“Musuh tidak kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang Kuratauan. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!”

Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding, itulah yang akan terjadi.

 

Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.

Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.

“Gunakan senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai.

Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan Bujang Alai.

Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.

Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.

“Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar Bujang Alai.
“Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
“Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai.
“Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.

Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.

Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.”

Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul seperti bagian belakangnya.

Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.

Tersiarlah berita tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab utang darah harus dibayar darah.

Pihak Bujang Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu.

Pihak Bujang Alai mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan. Setelah sampai di puncak air terjun Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.

Melihat nyala obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.

Kelompok Bujang Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak

 

Kisah Naga di Sungai Kandangan Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan)

kisah ini berasal dari  masyarakat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan, Masyarakat disana rata-rata hampir mengetahui kisah keberadaan sang Naga penghuni sungai Kandangan. Penulis sendiri lahir di desa Simpur kota Kandangan, sehingga sedikit banyak mengetahui kisah tersebut, dan ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua untuk lebih mengenal kisah daerah langsung dari Kota Kandangan.

Konon di sungai Kandangan , dulu ada sebuah jembatan gantung dan dibawahnya dipercaya ada sebuah liang Naga, sehingga tidak ada satupun tiang jembatan yang bisa dibangun sampai sekarang, dan konon juga air sungai tersebut tidak pernah kering.

Kisah ini bermula, ada sepasang suami istri yang ketika itu mencari ikan di sungai dengan cara tradisional yaitu “tangguk”, mereka menangguk ikan-ikan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari.

Namun suatu ketika, mereka mendapatkan dua butir telur yang sangat besar, mereka kebingungan karena itu jelas bukan telur yang wajar. Mereka membuang telur itu dan pindah ketempat lain untuk encari ikan, tapi apa yang didapat? Ternyata itu dua butir telur yang serupa, sungguh aneh tapi karena bujukan/rayuan sang istri sebab hari itu mereka tidak mendapatkan ikan, maka telur tersebut akhirnya dibawa pulang kerumah, dan berniat untuk memakannya saat malam hari, tanpa memberitahukan anak mereka.

Saat malam hari, sepasang suami istri tersebut merebus dua butir telur itu dan memakannya tanpa fikir panjang, tiba-tiba setelah memakan telur itu, seluruh tubuh mereka tumbuh sisik dan membesar sehingga rumah mereka tidak sanggup menahan pertumbuhan tubuh mereka, kemudian pintu depan rumah mereka dihancurkan untuk keluar dan meloloskan diri, dengan tali blaran mereka langsung pergi kesungai, dan pada saat itu banyak masyarakat sekitar mengetahui peristiwa itu termasuk anak mereka.

Mereka menjadi siluman jadi-jadian, namun disungai tersebut masih ada satu kehidupan yaitu naga asli yang menghuni, akhirnya naga tersebut terjadi perselisihan antara naga jadi-jadian, memperebutkan alam mereka masing-masing, naga asli menantang duel apabila kalah maka akan pergi jauh meninggalkan sungai tersebut untuk selamanya.

Setelah itu naga sepasang suami istri tersebut, meminta anaknya untuk dibuatkan tanduk seperti naga asli, dan berpesan kepada anaknya kalau dalam pertarungan seandainya darah berwarna biru yang keluar itu berarti naga yang asli kalah tapi apabila darah tersebut berwarna merah berarti orang tuanya kalah, akhirnya waktu duel pun terjadi, dan darah yang keluar ternyata berwarna merah, maka dapat diketahui pemenangnya adalah naga yang asli, maka sesuai perjanjian naga yang kalah akan pergi jauh meninggalkan tempat itu.

Peristiwa tersebut menjadi kisah dari dulu sampai sekarang, bahkan keturunan-keturunan dari anak mereka sampai saat ini masih hidup dan konon katanya salah satu dari keturunannya pernah didatangi oleh naga tersebut namun dalam wujud lain yang sangat kecil pada malam hari. Demikianlah kisah ini, untuk membuktikannya Allahualam bissawab, hanya Allah yang Maha Tahu.

 

 

 

 

 

MACAN PANJADIAN

Banyak cerita rakyat Banjar yang sudah musnah. Ini karena tidak ada yang peduli untuk menghimpun cerita rakyat Banjar tersebut. Walau ada pula yang terhimpun, tetapi oleh sebuah lembaga yang tergantung adanya proyek. Pun sangat terbatas publikasinya di masyarakat Banjar. Ada sebuah cerita rakyat Banjar yang menarik yang sudah musnah, yaitu Macan Panjadian. ( Macan jadi-jadian ). Menceritakan 5 bersaudara, semuanya laki-laki, Lamboi, Adan, Akhmad, Selamat, dan yang bungsu Isbat. Mereka pergi kesebuah hutan mencari rotan. Hutan tersebut terletak di gunung Gumpa yang banyak rotannya dan terkenal angker. Waktu mereka asyik bekerja hujan turun rintik-rintik, padahal hari dalam keadaan panas, kebetulan hari itu hari jumat. Mereka pun beristirahat di bawah pohon rindang. Limboi berkata pada adik-adiknya : “ Seandainya ada perempuan cantik menemani kita makan-makan alangkah senangnya”. Tiba-tiba angin berembus dan seiring dengan itu terlihat oleh Isbat lima orang perempuan cantik-cantik dari balik semak-semak. Kakak-kakaknya seakan-akan tak percaya perkataan adiknya. Benar ada lima perempuan mendekati mereka sambil membawa nasi ketan. Tampaknya perempuan-perempuan itu sudah tahu pilihannya masing-masing. Mereka pun bergembira ria sambil memakani nasi ketan. Di antara mereka itu hanya Isbat tak ikut makan. Ia selalu di bujuk rayu oleh perempuan bungsu yang paling cantik. Karena takut “ kepuhunan” ( mendapat bahaya karena makanan, karena tidak mencicipi makanan ) Isbat akhirnya mencicipi nasi ketan itu dengan ujung jarinya. Isbat curiga terhadap perempuan-perempuan itu lalu menjauh. Merasa tak enak, ia menengok kebelakang, apa yang terjadi kakaknya sudah tak bernyawa lagi. Macan-macan itu sedang memakan daging dan menghirup darah kakak-kakaknya. Isbat kemudian lari, tapi kemana pun ia lari dan bersembunyi selalu saja ketahuan macan bungsu itu. Manakala Isbat tak terlihat macan itu berseru,” U...” Tiba-tiba jari Isbat yang tadi diletakkan di ketan menyahut,”U...”Dalan hati Isbat, kalau begini terus aku tak mungkin lepas darimacan itu, lalu ia mengambil mandau dan memotong jarinya. Dan perempuan macan panjadian itu kehilangan jejak Isbat. Ia meratap, sedih karena tak sempat memakan daging Isbat hanya jarinya saja. Selesai memakan jari Isbat, macan itu berkata,” Isbat, selamatlah engkau. Apabila engkau mengetahui tentang diriku engkau tahu akan namaku, maka aku akan musnah dan hancur olehmu”. Kemudian ia menyebutkan namanya Sangatak, Sangitik nama ibunya dan nama ayahnya Maharajapati. Kebetulan persembunyian Isbat tak jauh dari macan itu dan mendengar jelas kata-kata macan itu. Isbat keluar dari persembunyiannya dan membaca mantra itu. Seketika, macan panjadian itu pun hancur musnah. Sesampainya di rumah, ia ceritakan kejadian itu pada orang tuanya. Orang tuanya pun bersedih, lalu berkata, “ Makanya jangan sembarangan berkata-kata yang tak keruan di tengah hutan atau di mana pun tempat yang angker “pamali” (pantangan).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terjadinya Pulang Kambang

Dahulu di antero nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik yang berskala besar maupun kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri sebuah Kerajaan. Dalam penuturan yang diterima masyarakat secara turun temurun diceriterakan pada kerajaan tersebut ada seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa bernama Datu Pujung.

Datu Pujung ini menjadi andalan dan merupakan benteng pertahanan terhadap orang-orang yang ingin mengusai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin. Suatu ketika seperti yang dituturkan dalam cerita para orang tua dahulu datang sebuah kapal Inggeris dengan membawa penumpang atau awak kapal yang kebanyakan orang Cina. Mereka diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan Kuin. Untuk melaksanakan niat mereka itu tentu saja harus berhadapan dengan Datu Pujung. Ketentuan dan persyaratan dari Datu Pujung kalau ingin mengusai kerajaan Kuin harus dapat melewati ujian yang ditetapkan, yaitu bisa membelah kayu besar tanpa alat atau senjata. Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang ingin menguasai kerajaan tesebut. Sebaliknya Datu Pujung memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu besar itu tanpa alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang berkapal itu bahwa persyaratan yang diajukannya bukanlah omong kosong atau sesuatu yang mustahil.

Disebabkan para pendatang yang ada di dalam kapal Inggeris itu tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka oleh Datu Pujung diminta untuk membatalkan niat menguasai kerajaan Kuin dan agar kembali ke negeri asalnya Namun mereka bersikeras ingin tinggal menetap dan menguasai kerajaan Kuin sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena mereka tetap memaksakan kehendaknya, akhirnya Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal beserta seluruh penumpang yang ada didalamnya.

Setelah sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu menghalangi setiap batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin bertumpuk kayu-kayu yang tersangkut dan kemudian tumbuh pepohonan yang menjadi sebuah pulau di tengah sungai. Pada pulau yang ditumbuhi pepohonan ini telah pula dihinggapi oleh burung-burung dan bersarang disana.

Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sehingga mereka yang berasal dari keturunan Cinapun banyak yang mengunjungi pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan terhadap jasad yang berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa nadzar, terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan pulau itu.

 

Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian kambang (bunga), dan karena berlangsung sepanjang waktu terjadilah tumpukan kambang yang sangat banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan kambang yang begitu banyak. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk menyebutnya diberi nama Pulau Kambang.

Lama kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengkeramatkannya atau sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah melegenda itu. Sekarang pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang punya hajat tertentu dan berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan lainnya setelah mengunjungi pasar terapung.

Keberadaan Warik Pulau Kambang

Bagaimana pula dengan Warik yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang merusak atau mengganggunya.

Petugas kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini membawa dua ekor warik besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur. Konon menurut ceritanya setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara gaib, tak diketahui kemana perginya. Sedangkan warik yang ditinggalkannya beranak pinak dan menjadi penghuni pulau kambang. Para orang tua dahulu ketika mengunjungi pulang kambang masih bisa melihat si Anggur yang memang berbeda dari warik biasa.

Keberadaan warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang semakin menarik untuk dikunjungi. Berdasarkan hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap keberadaan warik di pulau kambang ini diketahui ada dua kumpulan kera yang keluar dari persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama yang keluar sekitar pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung oleh kumpulan warik sip kedua yang berada di tengah pengunjung pulau kambang. Kalau rombongan sip pertama tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati batas waktu operasional, maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu itu mungkin hanya sesama warik yang tahu.

Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN CERITA RAKYAT DALAM BAHASA INGGRIS

soal sejarah kelas 11 semester 1

CONTOH DOKUMEN LITERAL DAN KORPORIL