KUMPULAN HIKAYAT
HIKAYAT TANJUNG PURI
DAN TANGISAN PUTRI GALUH
SEWANGI
Gusti Indra Setyawan
Dahulu kala ada kerajaan bernama
Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim Mangku Praja, permaisurinya
Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik hati. Mereka mempunyai dua putri
yang cantik jelita: si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri
Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali perangainya. Putri Roro Sulastri
berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri Galuh Sewangi lemah lembut, baik dan
rendah hati.
“Anakku, kalian sudah mulai dewasa. Sudah saatnya kalian mencari pendamping
hidup. Ayah sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,”
kata baginda kepada kedua putrinya.
“Ya, Ayahanda…,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan lemah-lembut.
“Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari kita?
Sepeninggal ayahanda, kami tak akan kelaparan. Aku tak mau kawin dengan rakyat
biasa,” Putri Roro Sulastri menimpali pembicaraan ayahnya dengan sombong.
“Jangan menilai orang dari harta, pangkat dan kedudukannya saja, Roro. Lihatlah
hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri
menganggap nasihat ayahnya hanya sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh
Sewangi mencamkannya benar-benar, dan dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan
pendidikan kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke
mana-mana. Pangeran dari kerajaan seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung
Puri memiliki dua orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata
pun, nama kedua putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua
putrinya, ia beramanat:
“Anak-anakku, sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami,
sebagai pendamping hidup kalian kelak,” kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan
sakit.
Dilanda kesedihan, air mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh
Sewangi amat mencintai ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau ada orang yang
dapat menyembuhkan sakit ayahnya, jika perempuan akan dijadikannya saudara,
kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih
suka berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit
ayahnya sendiri. Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan napas satu-satu dan sisa semangat hidupnya, Raja Halim bertitah kepada
punggawa kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok negeri, bahwa aku akan
mengawinkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih. Soal syarat,
kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya…”
***
Rakyat kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat
baginda raja sedang sakit, para pemuda dan rakyat jelata berbisik-bisik
membicarakan kecantikan dua putri raja itu.
“Duhai, Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang
pemuda kampung kepada teman-temannya.
“Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah akulah. Memangnya, mengkhayal dilarang?”
“Ya, tidak. Terserah kamulah, asal jangan sampai gila saja!” sahut temannya
yang lain lagi.
Tak lama berselang, datang beberapa pengawal kerajaan, mengumumkan titah raja.
Pengawal membacakan titah yang ditulis langsung oleh Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri… Pengumuman, pengumuman…! Aku, Raja Halim
Mangku Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka pilih.
Barang siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk
mengetahui syaratnya. Tertanda, Raja Halim Mangku Praja…”
***
Sepekan setelah pengumuman, tak
seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja Halim Mangku Praja.
Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin
memburuk. Beberapa tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu
menyembuhkan penyakitnya.
Di Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang
ke istana untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya
jelek sekali, senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang.
Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu
Cakra. Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga beniat
mempersunting putri Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah
prajurit.
Hampir bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri.
Merekaa terpukau dengan kecantikan Putri Roro Sulastri dan Putri Galuh Sewangi.
“Wahai, Putri Galuh Sewangi… Aku ingin jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran
Hanung dengan percaya diri.
“Sebentar, Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila
pangeran dapat menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,”
sahut Putri Galuh Sewangi.
Pangeran Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra.
Tapi, setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan
menahan rasa malu, penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran Joko Jaroli dipanggil. Setelah mengucapkan mantra, air suci yang
dibawanya direguk dan disemburkannya ke sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika
Raja Halim Mangku Praja duduk di tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli
sebagai suaminya, menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui
kekalahannya, tapi ia tak sudi menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik,
tabiat Putri Roro Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung kehilangan
selera.
“Maafkan aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan sifatmu yang suka menghina dan
merendahkan orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah
kumiliki. Siapa yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah, kesombonganmu itulah yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu, Putri Roro marah dan memaki-maki Pangeran Hanung beserta
prajurit dan dan orang-orang di sekitarnya.
“Kurang ajar! Dasar buaya, kamu, Pangeran Hanung! Bidawang! Timpakul! Kamu
juga, Joko! Kamu jelek, bau, dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi
kakak iparmu!”
Putri Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap
angkuh dan sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu, tiba-tiba petir membahana membelah
angkasa. Suara gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin mendekat.
Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh. Pepohonan di alun-alun
tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan
istana. Jerit tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat
Kerajaan Tanjung Puri panik dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk
membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan meluluhlantakkan
istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga kerajaan.
***
Alkisah, Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek
Wisata Tanjung Puri. Air danaunya konon berasal dari air mata Putri Galuh
Sewangi. Setiap malam Jumat, di danau itu konon kadang tercium bau wangi.
Konon, danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapi orang-orang
tertentu saja yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masih dipercaya oleh
sebagian warga. Pasangan yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau
tak ingin kapuhunan , karena dikariau buaya.
***
DATU PINTIT
Muhammad Fitriadi
Bahari, ada kampung nang
andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung Wayau. Di
situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat tuha, kada.
Disambat anum, kada kawa jua.
Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung.
Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya
urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain
pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa
ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan
salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan
cangkul, handak turun ka kabun.
“Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang
buntut mahabisakan jagungku…,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun
gunung. Kada karasaan, sampai sidin ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin
sampai, hari sudah tarang. Balalu ai sidin basiang rumput, mambarasihi jagung
nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari, dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pinda baik haja
kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa aku batutukar
sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman malihat
hasilnya. Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai
di kabun, sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang
rusak.
“Siapa satua nang maudak jagungku ni…?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan.
“Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun jagungnya, kada tabulangkir. Nang
panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas kana lincai. Lamunnya
satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya….”
Pindanya, ni lain gawian satua nang badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya
ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun mambawa sanapang angin. Sampai di kabun,
sidin basintup di higa balanai higa lalungkang. Sampai tangah hari, nang
panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar ai lalu,
babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu ha! Kadada nang manangati jua…!” sahut Datu Pintit.
Lawas kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki
jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah
kabun, sidin liwar takajut.
“Naaah… Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintit bamula
curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah tangah hari tu.
Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan, rusakan.
***
Limbah tu, dihintipakan Datu Pintit ai urang tu wayah lalu.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” Kadangaran suara urang tu bapadah.
Nah, ujar Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya! Bagamat
sidin bajalan, mahintipakan, mairingi. Sidin kada handak langsung manangkap
urang tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya, urang tu lain manusia, tagal urang gaip! Macan jadi-jadian! Ujar,
lamunnya bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya.
Lamunnya handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang,
bagamatan mairingi. Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap diambil
sidin bajunya!
Limbah tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar
abutnya, mancarii bajunya ka hulu ka hilir. Sudah tuhuk mancarii, tagal kada
taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan
Datu Pintit, pada inya nang mamakani jagung.
”Datu… Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rila. Dudi-dudi, ulun
kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kada babaju tu, ulun
kada kawa bulik ka alam ulun…,” ujar macan jadi-jadian tu mambari maras, parak
manangis.
Nang ngaran Datu Pintit ni urang baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu.
Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan lagi
ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih, datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan
dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya
ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa
kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat pian.’’
Limbah baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka
alamnya. Nang ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama
haja jua lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam subalah
tu. Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa kamalingan.
Sampai wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan
Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak daun
hidup di higa kupingnya.
***
HIKAYAT SANG LAMBUNG
MANGKURAT DAN ASAL -USUL KERAJAAN BANJAR
Dari
Negeri Keling ke Hujung Tanah
Dalam
buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu daerah
bernama Keling, yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Sebagai daerah kekuasaan Majapahit maka negeri ini tentunya mempunyai kewajiban
menyampaikan upeti kepada raja Majapahit. Adanya kewajiban yang dirasakan
memberatkan itulah menyebabkan penduduk negeri kecil ini tidak merasa tenteram.
Usaha kaum pedagang umumnya sudah tidak menguntungkan lagi. Hal inilah yang
menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negeri Keling ini,
bernama Mangkubumi dan isterinya Sitira pada suatu hari berwasiat kepada
anaknya yang bernama Empu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan
bahwa apabila ia meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta isteri, anak-anak
dan pengikutnya meninggalkan negeri Keling ini berpindah mencari suatu tempat
kediaman yang tanahnya panas dan wangi baunya.
Demikianlah
ketika peristiwa kematian orang tuanya tersebut telah berlalu, Empu Jatmika
bersama keluarga dan sejumlah pengiringnya meninggalkan negeri Keling di daerah
Jawa Timur sesuai wasiat orang tuanya. Pelayaran ke utara untuk mencari negeri
yang tanahnya panas dan berbau wangi tersebut dipimpin sendiri oleh Empu
Jatmika dengan menggunakan kapal layar bernama Prabayaksa dan beberapa buah
kapal layar lainnya. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan raja
Majapahit terakhir.Setelah berlayar lama mengarungi lautan, rombongan kapal
layar yang dipimpin oleh Mpu Jatmika tersebut akhirnya sampai di Pulau Hujung
Tanah. Rombongan kemudian memasuki muara sungai Barito. Mengingat bahwa sesuai
dengan pesan orang tuanya untuk mencari lokasi yang tanahnya panas dan berbau
wangi, Empu Jatmika yang memperhatikan keadaan tanah di sepanjang tepi Sungai
Barito tersebut merupakan rawa-rawa yang senantiasa digenangi air, sehingga
selama beberapa hari mereka harus meneruskan pelayarannya menuju ke daerah hulu
sungai tersebut. Karena setelah lama berlayar belum juga menemui lokasi tepi
sungai yang bebas dari rawa, akhirnya mereka mencoba membelok menyusuri anak
Sungai Barito yang kemudian dikenal sebagai Sungai Negara. Dengan harapan agar
segera mendapatkan lokasi sesuai dengan petunjuk orang tuanya, yakni tanah yang
panas dan berbau harum, yang ditafsirkan sebagai daerah yang tanahnya subur.
Demikianlah
ketika rombongan sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan anatara Sungai
Negara dan Sungai Balangan, konon Empu Jatmika dan rombongannya memutuskan
untuk bermukim di sekitar daerah tersebut. Dibawah pimpinan Empu Jatmika mereka
mulai membuka hutan di daerah tersebut. Selanjutnya mereka kemudian mendirikan
tempat tinggal (astana) dengan balairung dan pengadapan serta beberapa buah
rumah perbendaharaan. Bahkan sebagai kelompok yang berasal dari masyarakat
beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah candi yang kemudian disebut Candi
Agung. Candi ini untuk tempat menyelenggarakan upacara-upacara yang berkaitan
dengan kepercayaan yang dianut di daerah asalnya.Tempat pemukiman keluarga Empu
Jatmika tersebut sekarang terdapat di lokasi Sungai Malang, di pinggiran kota
Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.
Pemukiman
tersebut seperti diceriterakan dalam buku Hikayat Lambung Mangkurat, kemudian
terus berkembang dan bertambah luas karena makin ramainya perdagangan dengan
datangnya pedagang-pedagang dari Jawa maupun pedagang-pedagang dari Tanah
Melayu.Negeri baru yang tadinya dibangun oleh Empu Jatmika beserta
pengikut-pengikutnya tersebut kemudian diberi nama Negara Dipa, dan Empu
Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Diceriterakan bahwa oleh
karena Mpu Jatmika takut "ketulahan" (kualat) bergelar Maharaja di
Candi, sebab ia bukan keturunan raja, maka ia memerintahkan kepada
pembantu-pembantunya untuk membikin patung dari kayu cendana dan patung itu
ditaruhnya di dalam candi untuk dipuja sebagai ganti raja di negeri Negara Dipa
tersebut.Bersamaan dengan itu pula beberapa daerah di sekitarnya seperti daerah
Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Labuan Amas,
telah melakukan hubungan dengan Negara Dipa.
Diceriterakan juga bahwa dalam mengatur negeri, Empu Jatmika memakai adat
istiadat yang berlaku di Kerajaan Majapahit. Selain itu Empu Jatmika juga
kemudian menyuruh beberapa pengikutnya untuk kembali ke Negeri Keling guna
mengambil harta benda milik keluarganya yang masih ketinggalan di
negerinya.Sementara itu ketika Patung Kayu Cendana yang diletakkan di dalam
Candi Agung sebagai perlambang raja di negeri Negara Dipa tersebut telah lapuk,
maka untuk menggantikannya Empu Jatmika memesan sebuah patung
"gangsa" bikinan orang Cina. Patung itupun kemudian diantarkan
sendiri oleh utusan dari Tiongkok ke Negara Dipa.
Lambung
Mangkurat membangun kerajaan.
Setelah
beberapa tahun memimpin masyarakat yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmika di
akhir usianya sempat berpesan kepada kedua anaknya yang bernama Empu Mandastana
dan Lambung Mangkurat. Ia mengingatkan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia
meninggal nanti supaya patung gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung itu
supaya dibuang ke laut, dan anaknya berdua agar pergi bertapa memohon kepada
Dewa Batara supaya menunjukkan seorang raja untuk bertahta di Negara Dipa dan
negeri-negeri sekitarnya.
Diingatkan
pula oleh Empu Jatmika bahwa jangan sekali-kali keduanya mengangkat diri
sebagai raja, karena keluarga mereka bukan turunan raja, Demikianlah setelah
Empu Jatmika meninggal kedua anaknya tersebut melakukan apa yang dipesankan
orang tuanya. Sementara untuk mencari petunjuk Dewa Batara guna menemukan raja
bagi negeri Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan di darat sedangkan
Lambung Mangkurat melakukan pertapaan di atas air. Dua tahun lamanya mereka melakukan
pertapaan namun tidak juga mendapatkan petunjuk apa-apa.Dalam keadaan putus asa
tersebut pada suatu malam Lambung Mangkurat bermimpi, di mana ayahnya mmenyuruh
ia membuat rakit yang dihiasi mayang pinang. Agar ia (Lambung Mangkurat) duduk
di rakit tersebut yang dihayutkan di sungai pada waktu malam hari. Nanti ia
akan bertemu dengan seorang putri yang akan menjadi raja di Negara Dipa.Dari
petunjuk mimpi itu Lambung Mangkurat memang kemudian menemukan seorang putri,
yang kemudian terkenal dengan nama Putri Junjung Buih (Tunjung Buih), karena ia
ditemukan di "ulak" sungai (bagian sungai yang arusnya berputar)
sehingga menimbulkan buih. Setelah Lambung Mangkurat berdialog dengan putri
tersebut, dan setelah segala permintaan putri termasuk upacara dalam rangka
penyambutannya di istana dipenuhi oleh Lambung Mangkurat, putri tersebut
bersedia dibawa ke istana Negara Dipa.Kehadiran Putri Junjung Buih yang
disiapkan untuk menjadi raja di Negara Dipa ternyata meragukan bagi Lambung
Mangkurat. Kehawatiran Lambung Mangkurat tersebut karena kedua kedua
keponakannya yang bernama Patmaraga dan Sukmaraga (putra Mpu Mandastana) telah
saling jatuh cinta dengan Putri Junjung Buih. Dimana apabila terjadi perkawinan
dengan salah satu keponakannya dengan putri tersebut, berarti kekuasaan sebagai
raja di Negara Dipa masih ada sangkut-pautnya dengan keturunan Empu Jatmika,
orang tuanya.
Sehubungan
dengan itulah kemudian terjadi peristiwa berdarah, yakni dengan dalih mengajak
kedua keponakannya naik perahu pergi "melunta" (menjala ikan) Lambung
Mangkurat membunuh Sukmaraga dan Patmaraga keponakannya sendiri.Setelah
peristiwa tersebut Lambung Mangkurat berusaha agar kekuasaan di Negara Dipa
supaya betul-betul orang yang mempunyai tutus (turunan) raja. Karena itulah ia
kemudian bersama dengan beberapa pembantunya berlayar ke tanah Jawa untuk
menghadap raja Majapahit, meminta salah seorang putra raja Majapahit untuk
menjadi raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat tersebut ternyata
disambut baik oleh raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah
putra raja Majapahit yang bernama Pangeran Suryanata bersama Lambung Mangkurat
menuju Negara Dipa.Setelah berlayar empat hari empat malam kapal yang membawa
Pangeran Suryanata dan Lambung Mangkurat beserta pengiringnya sampai di muara
Sungai Barito. Tetapi ketika memasuki sungai Barito kapal yang membawa mereka
kandas. Dalam Hikayat Banjar digambarkan dengan bahasa "kias" dimana
kedatangan Pangeran Suryanata disambut oleh tetuha-tetuha adat dengan berbagai
upacara adat daerah serta saling sapa dan berdialog, yang digambarkan dalam
Hikayat Banjar perahu yang dipakai Suryanata karena dicegat oleh beberapa Naga
Putih rakyatnya Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata turun
menyelam ke dalam air untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga setelah
delapan hari delapan malam dalam air, Pangeran Suryanata melakukan pertemuan
dengan beberapa Naga Putih tersebut, kemudian ia (yang digambarkan tidak punya
kaki dan tangan tersebut sebagai perlambang belum punya kekuasaan) muncul di
permukaan air sambil berdiri di atas gong, lengkap kaki tanganya, serta telah
memakai keris (sebagai perlambang telah mendapat restu dari tetuha-tetuha dan
tokoh-tokoh adat di daerah tersebut).
Demikianlah ketika Pangeran Suryanata beserta Lambung Mangkurat dan para
pengiringnya sampai di Negara Dipa, mereka disambut oleh rakyat yang
berduyun-duyun datang dari daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Negara
Dipa.Peristiwa selanjutnya adalah pelaksanaan "pedudusan"
(pelantikan) raja di Balai Pedudusan. Kepada Pangeran Suryanata lebih dahulu
dipakaikan mahkota, kemudian "bedudus" dan
"berarak".Mahkota yang ternyata cocok dengan kepala Pangeran
Suryanata, mengisyaratkan bahwa yang memakainya telah direstui untuk menjadi
raja di negeri tersebut. Peristiwa ini sekaligus juga pelaksanaan perkawinan
Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih. Karena itu Pangeran Suryanata dan
Putri Junjung Buih dibawa kedalam pedudusan, keduanya berdiri di atas kepala
empat ekor kerbau.
Lambung
Mangkurat sebagai pemimpin upacara pelantikan Pangeran Suryanata menjadi raja
dan sekaligus perkawinannya dengan Putri Junjung Buih, kemudian menyiramkan air
ke ubun-ubun Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih sebagai pemberian
selamat kepada keduanya. Pembertian selamat ini selanjutnya diikuti oleh para
pemuka masyarakat antara lain Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan
tokoh-tokoh tua lainnya. Selanjutnya keduanya, raja dan permaisuri duduk
bersanding di astana sambil menyantap nasi "adap-adap". Sementara itu
bunyi-bunyian dipalu serta beberapa meriam disulut sehingga menimbulkan bunyi
yang gemuruh. Upacara pedudusan dan perkawinan Pangeran Suryanata dan Putri
Junjung Buih tersebut dirayakan selama tigahari tiga malam. (Demikian
digambarkan tentang kedatangan dan pelantikan Pangeran Suryanata sebagai raja
serta perkawinannya dengan Putri Junjung Buih sebagaimana termuat dalam buku
Hikayat Lambung Mangkurat).Suryanata dan Putri Junjung Buih mempunyai dua orang
putra, yakni Pangeran Surya Ganggawangsa dan Pangeran Suryawangsa.
Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat berapa lamanya Suryanata
memerintah. Hanya dikatakan bahwa setelah raja dan permaisurinya tersebut
wafat, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Pangeran Surya
Ganggawangsa. Raja baru ini ketika naik tahta ia masih membujang, dan ia
menyatakan baru akan kawin dengan anak seorang perempuan yang bernama Diang
Dipraja. Karena itu pula Lambung Mangkurat sebagai Patih kerajaan yang setia,
kemudian berusaha mencari wanita yang namanya Diang Dipraja tersebut. Dan
setelah ditemukan ternyata Diang Dipraja tersebut seorang wanita yang belum
bersuami dan masih perawan. Tetapi untuk kepentingan raja wanita tersebut tetap
dibawa oleh Lambung Mangkurat ke istana. Walaupun kedua orang tuanya semula
keberatan, tetapi akhirnya mengijinkan juga dengan pesan agar anak mereka
jangan disia-siakan.Usaha Lambung Mangkurat barsama-sama para pejabat istana
lainnya untuk menjodohkan raja dengan gadis tersebut ditolak oleh Surya
Ganggawangsa dan tetap baru bersedia kawin dengan anak dari wanita tersebut.
Sehubungan dengan itu para pejabat istana sepakat agar Lambung Mangkurat
mengawini gadis dimaksud.
Demi pengorbanan untuk raja dan Kerajaan Negara Dipa maka Lambung Mangkurat
bersedia mengawininya.Dari perkawinan Lambung Mangkurat dengan Diang Dipraja
tersebut kemudian lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Putri Kuripan
(Putri Kabuwaringin). Sesuai dengan maksud semula maka ketika putri ini cukup
usianya, ia dikawinkan dengan raja Surya Ganggawangsa. Dan dari perkawinan
mereka ini selanjutnya lahir seorang perempuan yang bernama Putri Kalarangsari.
Tidak disebutkan dalam Hikayat Lambung Mangkurat siapa yang menjadi suami Putri
Kalarangsari, namun tercatat bahwa ia mempunyai seorang anak yang bernama Putri
Kalungsu. Disebutkan bahwa Putri Kalungsu lah yang kemudian menggantikan Surya
Ganggawangsa sebagai raja di Negara Dipa. Demikian pula dikatakan bahwa pada
masa pemerintahan Putri Kalungsu tersebut jabatan Patih di Kerajaan Negara Dipa
masih dipegang oleh Lambung Mangkurat.Masa sesudah Lambung MangkuratDalam
silsilah Lambung Mangkurat terlihat bahwa Putri Kalungsu bersuamikan seorang
pria sepupu ibunya bernama Raden Carang Lalean, yakni anak Suryawangsa (saudara
Surya Ganggawangsa).
Dari
perkawinan Putri Kalungsu dengan Raden Carang Lalean inilah kemudian lahir
seorang putra mahkota bernama Raden Sekar Sungsang, yang kemudian setelah naik
tahta menggantikan ibunya dikenal pula dengan nama Maharaja Sari Kaburungan.
Disebutkan juga bahwa pada masa pemerintahan Sekar Sungsang inilah pusat
kerajaan dipindahkan ke daerah selatan, yang kemudian dikenal dengan nama
Kerajaan Negara Daha.
Sementara
itu Putri Kalungsu sendiri memilih tidak ikut pindah ke lokasi baru tersebut.
Ia tetap tinggal di Negara Dipa sampai dengan akhir hayatnya.Demikian pula
halnya dengan Patih Lambung Mangkurat, tidak lama setelah perpindahan pusat
kerajaan tersebut, ia pun juga meninggal dunia. Untuk menggantikannya sebagai
Patih Kerajaan Negara Daha kemudian diangkat Patih Aria Taranggana, seorang
yang cerdik dan bijaksana.Periode Negara Daha ini hanya berlangsung selama dua
masa pemerintahan, yakni pemerintahan Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari
Kaburungan) dan pemerintahan putranya yang bernama Maharaja Sukarama.
Disebutkan
dalam Hikayat Lambung Mangkurat bahwa setelah Maharaja Sukarama meninggal dunia
terjadi perebutan tahta kerajaan antara anak-anaknya.Peristiwa kekacawan di
Kerajaan Negara Daha sepeninggal Sukarama tersebut, sekaligus merupakan proses
lahirnya Kerajaan Banjar, sebuah kerajaan besar di daerah Kalimantan Selatan.
Diceritakan bahwa Maharaja Sukarama mempunyai seorang cucu yang bernama Raden
Samudera. Raden Samudera pewaris darah murni dari Maharaja Sari Kaburungan
pendiri Kerajaan Negara Daha, karena ia cucu dari dari kedua putranya, yakni
cucu dari Maharaja Sukarama dan Raden Suryawangsa. Yakni Maharaja Sukarama
mempunyai anak perempuan bernama Putri Galuh yang kawin dengan putra dari Raden
Suryawangsa yang bernama Mantri Alu. Dari perkawinan Putri Galuh dan Mantri Alu
itulah lahir Raden Samudera. Karena Mantri Alu ayahnya meninggal ketika ia
masih belum dewasa, maka Raden Samudera bersama ibunya tinggal di istana
bersama Maharaja Sukarama kakeknya.
Sebenarnya
Maharaja Sukarama sendiri juga mempunyai dua orang anak laki-laki masing-masing
bernama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Tetapi karena melihat
kepribadian Raden Samudera yang melebihi dari kepribadian kedua putranya, maka
Maharaja Sukarama mewasiatkan kepada Patih Aria Taranggana bahwa apabila ia
meninggal maka nanti yang menggantikannya adalah cucunya yang bernama Raden
Samudera. Wasiat tersebut lambat laun akhirnya sampai juga beritanya kepada
anak-anak Maharaja Sukarama. Karena itulah tidak berapa lama setelah Maharaja
Sukarama wafat terjadi kekacawan di istana Kerajaan Negara Daha. Melihat
keadaan tersebut maka demi keselamatan jiwa Raden Samudera, Patih Aria
Taranggana menasihatkan kepadanya agar sesegeranya meninggalkan istana.
Sehubungan
dengan itulah Raden Samudera kemudian secara diam-diam pergi meninggalkan
istana, untuk kemudian hidup "menyungaian" (tinggal dalam sebuah
perahu) menyamar sebagai seorang nelayan di daerah muara Sungai
Martapura.Sementara itu di Kerajaan Negara Daha terjadi perebutan kekuasaan
antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Dengan menghilangnya Raden
Samudera sebagai putra mahkota sebagaimana wasiat Maharaja Sukarama, maka
pewaris kerajaan jatuh kepada Pangeran Mangkubumi sebagai anak tertua. Tetapi
adiknya yang bernama Pangeran Tumenggung, yang haus kekuasaan kemudian membunuh
kakaknya untuk selanjutnya menduduki tahta Kerajaan Negara Daha.
Peristiwa
terjadinya kekacauan dan perebutan kekuasaan di pusat Kerajaan Negara Daha
tersebut menambah keyakinan rakyat Negara Daha mengapa Sukarama pada akhir masa
hidupnya mewasiatkan agar yang menggantikannya adalah Raden Samudera. Karena
itulah ketika tersiar kabar bahwa Raden Samudera telah meninggalkan istana dan
hidup menyamar sebagai seorang nelayan, para pemuka masyarakat di daerah muara
Sungai Martapura berusaha menemukan putra mahkota kerajaan yang menyamar
tersebut. Usaha pencarian akhirnya juga berhasil menemukan seorang pemuda yang
diduga sebagai Raden Samudera. Semula yang bersangkutan tidak mengakui bahwa
dirinya adalah putra mahkota. Tetapi setelah dijelaskan bahwa mereka adalah pemuka-pemuka
masyarakat yang akan menyelamatkannya, akhirnya yang bersangkutan mengakui
bahwa dirinya adalah Raden Samudera.Setelah diyakini benar bahwa yang
bersangkutan adalah Raden Samudera yang berhak mewarisi Kerajaan Negara Daha,
maka dibawah pimpinan Patih Masih (patihnya kelompok orang Melayu di daerah
tersebut) bersama-sama para patih kelompok lainnya, kemudian menobatkan Raden
Samudera sebagai Sultan (raja) yang sah.
Tindakan
para Patih tersebut menimbulkan reaksi dari Pangeran Tumenggung, sehingga pecah
perang antara rakyat pengikut Pangeran Tumenggung dengan rakyat pengikut Raden
Samudera. Demikianlah terjadi peperangan beberapa lama dan banyak jatuh korban
di kedua belah pihak, dan bahkan Raden Samudera atas usaha Patih Masih telah
mendapatkan bantuan tentara dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Namun
pertentangan ini kemudian berakhir dengan kesedian Pangeran Tumenggung untuk
menyerahkan Kerajaan Negara Daha kepada Raden Samudera, keponakannya sendiri,
setelah keduanya dipertemukan di atas dua buah perahu telangkasan di muara
Sungai Martapura.
Acara
perang tanding antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung yang merupakan
kesepakatan antara Patih Masih dan Patih Aria Taranggana ini bertujuan untuk
mengakhiri perang karena sudah terlalu banyak rakyat yang tewas sementara
perang tak kunjung selesai. Namun ketika kedua Pangeran yang sudah siap dengan
senjata berdiri di depan perahu yang masing-masing dikayuh di belakangnya oleh
Patih Masih dan Patih Aria Taranggana tersebut bertemu, Raden Samudera berucap
menyilahkan pamannya untuk membunuhnya, "silahkan pamanku tombak",
dan mendengar kata-kata itu Pangeran Tumenggung malah memeluk Raden Samudera.
Pangeran Tumenggung dengan sukarela menyerahkan keraajan kepada keponakanya.
Walaupun kemudian perangkat kerajaan di serahkan untuk di bawa ke daerah
Banjar, Raden Samudera masih memberikan kekuasaan kepada Pangeran Tumenggung
untuk mengatur rakyatnya di Negara Daha.Dengan demikian lahirlah Kerajaan
Banjar dan sebagai raja pertamanya adalah Raden Samudera, yang setelah memeluk
agama Islam sesuai perjanjian dan permintaan Sultan Demak, dia bernama Sultan
Suriansyah.
Disebutkan
bahwa Sultan Suriansyah memerintah sekitar tahun 1526 – 1550. Pusat Kerajaan
Banjar terdapat di Kampung Kuin sekarang, dimana terdapat makam beliau besarta
anak dan cucunya yang manggantikannya.Pusat Kerajaan Banjar kemudian
dipindahkan ke daerah Martapura (Teluk Selong) oleh raja Banjar yang keempat
Mustakim Billah, karena pada waktu itu sudah terjadi kontak perang dengan
Belanda yang telah sampai di Banjarmasin.
Demikianlah
Kerajaan Banjar berlangsung, yang kemudian berakhir dengan pecahnya Perang
Banjar melawan Kolonial Belanda, yang dimulai dengan penyerangan Benteng
Pengaron (daerah tambang batu bara Oranye Nassau milik Belanda) pada tanggal 28
April 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Wafatnya Pangeran Antasari pada
tahun 1862 dan diasingkannya Pangeran Hidayatullah ke Cianjur (Jawa Barat)
tidak memadamkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Perang Banjar terus
berlangsung dibawah pimpinan anak-anak Pangeran Antasari, seperti Mohammad Said
yang memimpin perlawanan di daerah Hulu Sungai (Benua Lima) dan Mohammad Seman
yang memusatkan perlawanannya di daerah Muara Tewe (Kalimatan Tengah sekarang),
perlawanan berlangsung hingga meninggalnya tahun 1905.
Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak
Menurut sahibul hikayat, pada zaman dahulu ada seorang datu yang
sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya Datu Mabrur.
Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.
Siang-malam ia bersamadi di batu karang, di antara percikan buih, debur ombak,
angin, gelombang dan badai topan. Ia memohon kepada Sang Pencipta agar diberi
sebuah pulau. Pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan
keturunannya, kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku.
Cuaca dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelimuti tubuhnya. Siang hari,
terik matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai
kain. Ia tidak pernah makan, terkecuali meminum air hujan dan embun yang turun.
Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba
muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya. Tanpa beringsut dari
tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan
mendadak itu.
Ikan itu terpelanting dan jatuh di karang. Setelah jatuh ke air, ikan itu
menyerang lagi. Demikian berulang-ulang. Di sekeliling karang, ribuan ikan lain
mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam, seakan prajurit
siap tempur.
Pada serangannya yang terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur
membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?”
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat
lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi,
engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku takluk...,” katanya,
megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di
sela-sela karang tajam.
“Jadi, itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang
mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat.
Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Datu Mabrur
mengangguk.
Dipandanginya ikan-ikan yang berenang di sekeliling karang itu. Gigi, sirip dan
sisik mereka berkilauan saat melompat di permukaan laut. Siang menjelang. Matahari
mulai garang.
Ini hari terakhir pertapaannya, tapi belum ada tanda-tanda permohonannya akan
terkabul. Pulau yang diimpikannya belum tampak. Sejauh mata memandang, yang
tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala.
“Datu, tolonglah aku. Obati luka-lukaku dan kembalikanlah aku ke laut.
Kalau terlalu lama di darat, aku bisa mati. Atas nama rakyatku, aku berjanji
akan mengabdi padamu, bila engkau menolongku...” Raja Ikan Todak mengiba-iba.
Seolah sulit bernapas, insangnya membuka dan menutup.
“Baiklah,” Datu Mabrur berdiri. “Sebagai sesama makhluk
ciptaan-Nya, aku akan menolongmu.”
“Apa pun permintaanmu, kami akan memenuhinya. Datu ingin
istana bawah laut yang terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyung dan
gurita? Ingin berkeliling dunia, bersama ikan paus dan
lumba-lumba?”
“Tidak. Aku tak punya keinginan pribadi, tapi untuk masa depan anak-cucuku
nanti....” Lalu, Datu Mabrur menceritakan maksud pertapaannya
selama ini.
“Kami akan memenuhi permintaanmu!”
“Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”
“Akan kukerahkan rakyatku, seluruh penghuni lautan dan samudera. Sebelum
matahari terbit esok pagi, impianmu akan terwujud. Aku bersumpah!”
“Wah... Kamu bersumpah?”
“Ya! Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Datu Mabrur
tak dapat membayangkan, bagaimana Raja Ikan Todak akan memenuhi sumpahnya itu.
“Baiklah. Tapi kita harus membuat perjanjian: sejak sekarang kita harus sa-ijaan,
seiring sejalan. Seia sekata, sampai ke anak-cucu kita. Kita harus rakat
mufakat, bantu membantu, bahu membahu. Setuju?”
“Setuju, Datu...,” sahut Raja Ikan Todak yang tergolek, lemah. Ia
sangat membutuhkan air.
Mendengar jawaban itu, Datu Mabrur tersenyum.
Dengan hati-hati, dilepaskannya tubuh Raja Ikan Todak dari jepitan karang, lalu
diusapnya lembut.
Ajaib! Dalam sekejap, darah dan luka di sekujur tubuh Raja Ikan Todak itu mengering!
Kulitnya licin kembali seperti semula, seakan tak pernah luka. Ikan itu
menggerak-gerakkan sirip dan ekornya dengan gembira.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat
Raja Ikan Todak itu dan mengembalikannya ke laut. Ribuan ikan yang tadi
mengepung karang, kini berenang mengerumuninya, melompat-lompat bersuka ria.
“Sa-ijaan!”
seru Raja Ikan Todak sambil melompat di permukaan laut.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Setelah lompatan ketiga, Raja Ikan Todak, bersama ribuan ikan yang
mengiringinya, menyelam ke dalam lautan.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur
dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut.
Gemuruh perlahan, tapi pasti.
Laut tenang, gelombang tak ada, hanya alunan ombak dan riak-riak kecil saja.
Riak-riak itu kian memanjang ke segenap penjuru. Langit terang benderang oleh
ribuan bintang dan cahaya purnama, hingga Datu Mabrur dapat
dengan jelas menyaksikan peristiwa di depan matanya.
Gemuruh suara itu terdengar bersamaan dengan timbulnya sebuah daratan, dari
dasar laut! Kian lama, permukaan daratan itu kian tampak. Naik dan terus naik!
Lalu, seluruhnya timbul ke permukaan!
Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan
memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak
berteriak, “Sa-ijaan! Sa-ijaan! Sa-ijaaan...!”
Datu Mabrur
tercengang di karang pertapaannya. Raja Ikan Todak telah memenuhi sumpahnya!
Bersamaan dengan terbitnya matahari pagi, daratan itu telah timbul sepenuhnya.
Berupa sebuah pulau. Lengkap dengan ngarai, lembah, perbukitan dan pegunungan.
Tanahnya tampak subur. Pulau kecil yang makmur.
Datu Mabrur
senang dan gembira. Impiannya tentang pulau yang akan menjadi tempat tinggal
bagi anak-cucu dan keturunannya, telah menjadi kenyataan. Permohonannya telah
dikabulkan. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia
menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar
laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan
ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun
Raja Pakurindang di Kerajaan Pulau Halimun memiliki dua putra mahkota yang
gagah perkasa dan tampan rupawan. Sang kakak bernama Sambu Batung, adiknya
Sambu Ranjana.
Kakak-beradik itu memiliki sifat yang amat bertolak belakang, seperti bumi
dengan langit. Sambu Batung lincah dan mudah bergaul, bersifat terbuka dan
senang dengan hal-hal baru. Sambu Ranjana berperangai sebaliknya: pendiam,
tertutup, tidak suka bergaul, tidak suka keramaian dan apa adanya.
Di bawah kepemimpinan Raja Pakurindang, rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup
rukun, makmur, aman dan sentosa. Mereka suka bergotong royong dan selalu
berbagi dalam kebersamaan. Kebutuhan sandang pangan mereka hasilkan sendiri.
Karena tinggal di satu pulau, mereka saling mengenal. Tidak ada rahasia di
antara mereka. Semuanya seperti satu keluarga.
Rakyat Kerajaan Pulau Halimun tidak pernah berhubungan dengan penduduk
pulau lain, sebab tidak pernah ada penduduk dari pulau lain yang datang ke
pulau itu. Dari luar, Kerajaan Pulau Halimun memang tidak tampak, sebab selalu
diselimuti kabut. Nelayan dari pulau-pulau lain yang melintas hanya melihat
halimun di tengah laut.
Pada suatu hari, Raja Pakurindang bertitah agar seluruh aparatnya berkumpul di
istana, karena ia akan menyampaikan hal penting.
“Karena rakyat sudah hidup sejahtera dan aku kian tua, sudah saatnya aku
meninggalkan istana. Aku akan bertapa,” sabda Raja Pakurindang.
“Paduka akan bertapa di mana?” Panglima Ranggas Kanibungan bertanya sambil
bersembah sujud. Karena tubuhnya tinggi dan besar sekali, lantai istana
bergetar oleh langkahnya. Senjatanya, kapak raksasa yang beratnya sama dengan
seekor kerbau jantan, tersandang di bahunya.
“Di pulau ini juga. Di puncak gunung yang diselimuti mega.”
“Maaf ampun, paduka. Bagaimana kalau paduka tak ada? Siapa yang akan bertahta?”
Sambu Luan, penasihat raja,bertanya sambil
mengusap-usap kumisnya.
“Putraku Sambu Batung akan bertahta dan menjalankan pemerintahan. Tentu
saja dengan bantuan kalian, panglima dan para punggawa. Tetapi, walaupun aku
nanti tak lagi bermukim di sini, bukan berarti aku akan menghilang sama sekali.
Dari puncak gunung, aku akan memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan
memberikan petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”
“Apa yang harus kami lakukan, ayahanda?” tanya Sambu Batung.
“Jadilah pemimpin yang adil dan bijaksana. Rukunlah dengan Sambu Ranjana.
Kalian harus memberi teladan, agar menjadi panutan. Bukankah sebelum
mangkat dahulu, mendiang ibundamu sudah mengajarkan hal itu?”
Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk.
Tidak ada tawar-menawar lagi. Jamba Angan, wakil panglima, yang semula hendak
bicara, mengurungkan niatnya. Ia sadar, kalau Raja Pakurindang telah
meninggalkan balai persidangan dan masuk ke kamar istana, mempersiapkan
keperluan terakhir sebelum bertapa, tak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Padahal, masalah yang akan disampaikannya penting sekali.
Sebagai orang yang sudah berumur, matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi,
anak kandungnya, amat mencintai Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang telah
menjodohkan Sambu Ranjana dengan putrinya itu!
Ia juga mendengar kabar bahwa Sambu Batung menaruh hati pada Putri Perak, anak
Panglima Ranggas Kanibungan. Celakanya, Putri Perak mencintai Sambu Ranjana!
Lebih celaka lagi, Sambu Ranjana diam-diam menaruh hati pada Putri Sewangi!
Untuk mengurai benang kusut itu dan menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di
kalangan bangsawan istana, Jamba Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia
dengan Sambu Luan, untuk minta nasihat. Ia terdorong melakukan hal itu, sebab
terkait dengan nasib putrinya sendiri, Putri Sewangi.
Kepada Sambu Luan, Jamba Angan mengatakan, bahwa ia sering mendengar
kasak-kusuk: secara sembunyi-sembunyi Sambu Batung sering memaksa bertemu
dengan Putri Perak, bahkan pernah menerobos masuk ke Taman Putri! Para pengawal
tak ada yang berani menghalangi.
Pada pertemuan rahasia di tengah malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat
apa pun dari Sambu Luan. Sambu Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak
dapat dipecahkan. Setelah mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir
sekian lama, penasihat kerajaan itu mengangkat bahunya, tak bisa berbuat
apa-apa.
Keesokan harinya, seluruh aparat Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan
Raja Pakurindang. Tetapi, iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu
hanya sampai di kaki gunung. Setelah itu, tak ada lagi yang berani mendaki.
Konon, gunung itu angker sekali, dihuni berbagai binatang buas, raksasa,
siluman dan makhluk-makhluk gaib. Hanya orang-orang sakti mandraguna yang
berani mendaki hingga ke puncaknya.
Syahdan, setelah tiga hari tiga malam bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam
jarak tiga meter di sekitar Raja Pakurindang merunduk ke arahnya, seolah
memberi hormat. Setelah tujuh hari tujuh malam, semak belukar dan pepohonan
besar yang berjarak tujuh meter melakukan hal serupa.
Hal itu berlangsung terus menerus, sampai dengan pepohonan yang berjarak
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan meter! Semuanya merunduk,
seakan bersembah sujud dan menyatakan takluk. Di kejauhan, semak belukar dan
pepohonan itu berbentuk pegunungan yang diselimuti awan.
Seperti saat dipimpin Raja Pakurindang, di bawah kepemimpinan Sambu Batung pun
rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup tenteram, damai, aman, makmur dan sentosa.
Sebagai pendamping hidup, ia menyunting Putri Perak. Pesta perkawinan
berlangsung dengan meriah dan dirayakan seluruh rakyat kerajaan.
Beberapa tahun kemudian, suatu hari terjadi peristiwa genting.
Dalam sidang di istana yang dihadiri seluruh aparat kerajaan, terjadi
pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana. Mereka berbeda cara
dalam mengatasi persoalan. Dari penjuru desa, aparat kerajaan mendapat laporan
tentang terjadinya peristiwa yang mengancam kelangsungan hidup warga.
Sidang berjalan tegang. Hanya beberapa orang yang berani bicara, yakni Panglima
Ranggas Kanibungan dan Sambu Luan.
“Ananda berdua, pamanda harap sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita
mencari cara mengatasinya...,” usul Sambu Luan.
“Tidak, pamanda! Kanda Sambu Batung harus bertanggung jawab atas masalah ini!”
Sambu Ranjana berteriak. Jamba Angan dan Sambu Lantar mengangguk,
mengiyakan. “Di kerajaan ini tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak
halimun, terkecuali dia orang berpengaruh. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan
kedamaian dengan memasukkan budaya luar!”
Melihat keadaan kian genting, peserta sidang mulai berdiri satu per satu,
terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung,
lainnya memihak Sambu Ranjana.
“Dalam keadaan genting ini, kita jangan terpecah belah,” Panglima Ranggas
Kanibungan berusaha menengahi. “Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak
berdasar. Pamanda harap...”
“Cukup, pamanda!” bentak Sambu Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan
menantu sendiri. Kalian telah bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita
kepada orang asing dengan membuka diri pada kerajaan lain!”
Mendengar sikap adiknya yang tidak sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung
tak mampu lagi menahan amarah. Apalagi, kata-kata kasar itu ditujukan kepada
mertua, sekaligus guru, yang dihormatinya.
Jeritan istrinya, Putri Perak, tak dihiraukannya lagi. Dengan sekali lompat,
Sambu Batung sudah berdiri di hadapan Sambu Ranjana. Ketika ia akan membuka
mulut, semua orang dikejutkan oleh suara gemuruh, disusul guncangan keras.
Mendadak, udara terasa panas menyengat. Seketika, suasana jadi kacau balau.
Setelah guncangan mereda, kecemasan membayang di wajah seluruh aparat kerajaan
ketika melihat serombongan warga berdesakan memasuki balai sidang.
“Mohon ampun, paduka. Sudah sejak tadi kami ingin menyampaikan hal ini. Tapi
kami tak bisa masuk, karena harus menyelamatkan diri...”
Dengan isak tangis, mereka melapor. Tanpa sebab musabab yang jelas, hewan
ternak mereka mati mendadak. Tanaman, pepohonan, sawah, ladang dan kebun
menjadi kering kerontang.
“Kami mohon perlindungan, paduka. Bencana telah melanda. Tanda-tanda dan
isyarat sudah terlihat. Di gunung pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar
bendera merah!”
Sambu Batung dan seluruh aparat kerajaan terkejut. Mereka tertegun. Tenggelam
dalam ketakutan. Mereka ingat amanat Raja Pakurindang: “Jika di puncak gunung
berkibar bendera putih, itu pertanda datangnya kedamaian dan kemakmuran. Jika
bendera kuning, pertanda kekeringan dan penyakit. Kalau benderanya berwarna
merah, itu pertanda akan datangnya bencana dan malapetaka...”
Melihat Sambu Batung diam mematung, Punggawa Sembilan segera menghaturkan
sembah. Mereka memohon agar junjungannya melakukan tindakan nyata untuk
melindungi rakyat, memberikan bantuan dan pertolongan.
Namun, Sambu Batung tetap membisu.
Sebuah guncangan dahsyat dan hawa panas tiba-tiba datang lagi, lebih kuat dan
lebih panas daripada tadi. Di antara suara gemuruh dan hawa panas yang menyengat,
lantai, dinding dan pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu per satu.
Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung,
kau pengkhianat! Kau telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”
“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi! Mari bersatu mengatasi masalah
ini!” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi. Bersama Punggawa Sembilan, ia
berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di antara pilar-pilar istana
yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati, untuk mengusir kekuatan
jahat ini!”
Kata-kata Panglima Ranggas Kanibungan itu seolah perintah.
Sambu Batung dan Sambu Ranjana terpaksa mengalah. Keduanya menggabungkan diri
dalam barisan. Namun, mereka tak mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung
di ujung barisan sebelah kiri, Sambu Ranjana di kanan. Panglima Ranggas
Kanibungan di tengah.
Dipimpin Panglima Ranggas Kanibungan, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun
kekuatan batin, menyalurkannya melalui tangan masing-masing dan serempak
memukulkannya sekuat tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah
arus panas berapi yang berpusar di hadapan, berpusar seperti angin puting
beliung. Apa pun yang dilintasinya akan roboh dan tergulung.
Tetapi, bukannya berhenti, arus panas berapi itu malahan berbalik dan
memantulkan pukulan yang mereka lancarkan! Mereka terlempar, jauh sekali,
terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet-lecet. Kapak
besar Ranggas Kanibungan pun terpental. Jauh. Kelak, ia menjadi Pulau Kapak.
Setelah bertarung tujuh hari tujuh malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian,
mereka sadar tak mungkin mengalahkan kekuatan jahat itu. Saat itulah, ketika
langit mendadak gelap dan hujan deras turun, di angkasa terdengar suara. Suara
yang amat mereka kenal. Suara Raja Pakurindang!
“Wahai warga Pulau Halimun... Percuma kalian melawan. Ini sudah takdir. Tak ada
yang harus disalahkan. Dan kalian, anakku, dengarkanlah titahku...”
“Hamba, ayahanda....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut, lemah
dan gemetar.
“Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan
keinginanmu membuka diri dan membaur di alam nyata... Dan engkau, Sambu
Ranjana, tinggallah di selatan. Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui
jalan hidup yang kalian tempuh. Namun, ingat, meskipun hidup di alam berbeda,
kalian harus tetap rukun. Harus tetap bantu membantu dan saling
mengingatkan...”
“Pesan ayahanda akan kami junjung....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak
menyahut.
Bersamaan dengan itu, gelegar guntur, kilat dan petir membelah angkasa.
Hujan turun deras sekali, menciptakan banjir. Dari puncak gunung, air
menggelontor, bagai ditumpahkan. Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan dan
pepohonan.
Pohon-pohon besar tumbang disambar petir, tercerabut hingga akarnya,
dihanyutkan air dan dengan cepat meluncur ke permukiman penduduk, melanda
istana, menerjang apa pun yang menghalangi jalannya.
Banjir besar itu juga menghanyutkan Putri Sewangi.
Putri Sewangi menangis sedih berkepanjangan karena kasihnya yang tak sampai
kepada Sambu Batung. Ia berserah diri kepada banjir yang menghanyutkannya di
sebatang pohon. Arus air membawanya ke laut. Dalam gemuruh guntur, petir,
angin, hujan dan badai, ia menangis tak henti-henti.
Dengan hati penuh sesal, dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata.
Serudung itu diterbangkan angin, jauh sekali. Kelak, ia menjadi Pulau Serudung.
Dalam duka dan nestapa, ia bersumpah takkan bersuami dan akan mengasingkan
diri.
Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi menjelma pulau tersendiri, Pulau Sewangi.
Dipisahkan oleh laut dan berada di sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun, ia
masih dapat memandang ayahandanya, Jamba Angan, yang menjadi Gunung Jambangan.
Gunung Jambangan masih berdekatan dengan Sambu Ranjana, yang menjadi Gunung
Saranjana. Gunung yang penuh misteri dan teka-teki. Sambu Batung menjadi Gunung
Sebatung, berdampingan dengan Gunung Perak.
Banjir besar itu juga menghanyutkan Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut,
ia terdampar di tempat yang kemudian bernama Desa Lontar. Punggawa Sembilan,
yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap, Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan dan
Markalambahu hanyut paling jauh dan menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian
yang mereka miliki melebur menjadi satu, menjadi Pulau
Sebuku.
Riwayat Gunung Jambangan
Setelah bekerja keras
semalam suntuk, Datu Mabrur melepas lelah sejenak di lepas
pantai Kerajaan Pagatan. Matahari pagi telah terbit di ufuk timur, menyinari
lautan dan pasir pantai tempat Datu Mabrur duduk mengaso.
Dalam satu malam, ia telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan empat puluh
satu batang pohon kayu ulin ke Kerajaan Banjar.
Beberapa hari lalu, Patih Balit dari Kerajaan Banjar datang menemuinya. Utusan
yang dikawal sejumlah prajurit itu menyampaikan amanat sultan mereka. Sultan
Suriansyah ingin membeli batang pohon kayu ulin.
Kata Patih Balit, Sultan Suriansyah ingin agar batang-batang pohon kayu ulin itu
dikirimkan ke Kerajaan Banjar dalam tempo tiga hari.
Batang-batang kayu besi itu akan digunakan sebagai tiang guru untuk membangun
masjid, tempat ibadah bagi rakyat Kerajaan Banjar yang baru memeluk agama
Islam, di Muara Kuin.
Karena batang pohon kayu ulin yang terbaik di dunia berasal
dari Pulau Halimun, Sultan Suriansyah sanggup membelinya, berapa pun harganya.
Patih Balit memperlihatkan pundi-pundi berisi intan, berlian, jamrut, yakut,
nilam biduri dan emas murni yang mereka bawa, sebagai alat pembayarannya.
Melihat itu, Datu Mabrur cuma tersenyum. Ia meminta utusan
itu menyimpan kembali harta bendanya dan menyanggupi permintaan Sultan
Suriansyah. Tanpa syarat apapun. Itu dilakukannya semata-mata sebagai sahabat.
Datu Mabrur
meminta utusan itu segera pulang dan menunggu. Ia berjanji akan
mengantarkan sendiri batang-batang pohon kayu ulin itu.
Setelah utusan itu pulang dan matahari terbenam di ufuk barat, seorang
diri Datu Mabrur mencabut batang-batang pohon ulin yang
sudah tua di hutan. Setelah itu, ia langsung menggotong dan mengantarkannya
ke Kerajaan Banjar.
Setiap kali, ia menggotong tiga batang. Batang pohon yang besarnya
rata-rata sepelukan orang dewasa dan panjang sembilan meter itu, dua
diletakkannya di bahu, satu di kepala. Dengan kesaktiannya, Datu Mabrur
melesat secepat kilat ke Kerajaan Banjar. Hal itu dikerjakannya berulang kali,
hingga empat puluh satu batang pohon kayu ulin itu selesai
diantarkannya sebelum terbit fajar.
Namun, setiap kali pulang dari Kerajaan Banjar dan
kembali ke Pulau Halimun, selalu ada pemandangan yang membuatnya tidak enak.
Itulah yang kini membebani pikirannya.
Sambil berdiri di pasir pantai Kerajaan Pagatan, ia memandangi Pulau Halimun.
Di kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang kurang. Di sebelah utara, Gunung
Sebatung tampak berdiri kokoh. Tetapi, di sebelah selatan tidak ada gunung yang
menjulang. Pemandangan yang tidak seimbang.
Datu Mabrur
teringat Datu Pujung.
Datu Mabrur
ingin merundingkan masalah itu dengan Datu Pujung, yang tengah
bersamadi di goa pertapaannya di Pulau Halimun.
Dengan kesaktiannya, mereka melakukan pembicaraan jarak jauh.
Duduk bersila di atas ombak laut di tepian pantai, Datu Mabrur
bersamadi. Dalam samadinya, ia menyampaikan pemandangan yang dilihatnya dari
tempat itu dan meminta pendapat Datu Pujung.
“Aku pun sudah lama melihatnya!” sahut Datu Pujung dalam
samadinya. “Di Pulau Halimun ini tidak ada gunung yang tinggi! Padahal itu
penting sekali! Sebagai rambu bagi nelayan dan petunjuk dalam pelayaran!”
“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?” Datu Mabrur
sebenarnya ingin mengusulkan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia tahu, tidak ada yang
dapat memerintah Datu Pujung. Tidak ada yang berani menguji
kesaktiannya. Orang yang kulitnya sehitam jelaga dan buruk rupa itu sulit
ditebak. Kalau bicara, suaranya sekeras halilintar, meledak-ledak. Datu Pujung
mudah tersinggung.
“Kau punya usul, Mabrur?!”
“Ya...” Datu Mabrur gembira, tak menduga Datu Pujung
meminta sarannya.
“Apa usulmu, heh?!”
“Bagaimana kalau kita mencari satu gunung lagi, dan meletakkannya di sana, di
sebelah selatan?”
“Di mana mencarinya?! Siapa yang mengerjakannya?! Apakah kita kerjakan
bersama-sama?!”
“Siapa lagi yang sanggup mengerjakannya selain Datu Pujung?
Aku akan menunggu di pantai Pulau Halimun. Bagi datu,mudah saja
mencari gunung berapi yang sudah mati di Jawadwipa, lalu mengangkutnya.
Bagaimana?”
“Tunggu aku di Pulau Halimun! Sebelum bintang pertama terbit malam ini, aku
akan kembali!”
“Baiklah,” sahut Datu Mabrur.
Tanpa bicara lagi, Datu Pujung mengambil galah saktinya. Galah
itu panjang sekali. Ujungnya menggapai awan. Dengan galah itu, Datu Pujung
melompat dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari sungai ke laut,
dari laut ke samudera, dari satu pulau ke pulau lainnya.
Sebelum matahari terbenam, Datu Mabrur sudah kembali berada di
Pulau Halimun. Sekilas, dalam cahaya jingga matahari senja, ia melihat
bayangan Datu Pujung berkelebat di kejauhan. Ayunan ujung
galahnya menjolok angkasa. Menghamburkan awan, menjadi hujan. Janggut dan
jubahnya berkibaran.
Di pantai Pulau Halimun, sebelum bintang malam terbit, Datu Mabrur
mendengar desir angin dan suara ombak yang aneh. Seakan topan dan badai akan
menjelma prahara. Tetapi, tidak. Ternyata, suara itu berasal dari riak dan
kecipak ombak yang timbul dari langkah Datu Pujung yang datang
memanggul gunung!
Di atas riak ombak lautan, Datu Pujung berjalan sambil
memanggul sebuah gunung yang tinggi dan besar sekali. Gunung itu diikatkan di
ujung galahnya. Ia letih sekali, tapi tak mau ditampakkannya. Saat berhadapan
dengan Datu Mabrur, ia berusaha keras tersenyum.
Karena wajahnya jelek sekali, yang tampak bukannya senyum yang sedap
dipandang, tapi seringai yang aneh dan menyeramkan.
“Engkau benar-benar hebat!” sambut Datu Mabrur. “Engkau telah
menepati janji. Engkau kembali, sebelum bintang terbit malam ini. Istirahatlah
dahulu, datu.”
Datu Pujung
tidak mempedulikan sambutan dan pujian Datu Mabrur.
Diempaskannya galah saktinya dengan serampangan. Empasan itu membuat gunung di
ujung galahnya jatuh berdebur di tengah lautan.
Gelombang pasang yang terjadi akibat jatuhnya gunung itu menenggelamkan
pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halimun. Air laut yang membuncah ke udara
dan jatuh berderai membuat Pulau Halimun sesaat bagai dilanda hujan badai.
“Aku masih kuat, tidak perlu istirahat! Kita segera bekerja!” kata Datu Pujung
sambil menggerak-gerakkan otot leher dan bahunya yang pegal-pegal.
“Bagaimana caranya, datu?”
“Dengan galahku, kita panggul gunung ini berdua! Aku di ujung sini, engkau di
ujung sana! Gunungnya kita ikat di tengah!”
“Baiklah,” sahut Datu Mabrur.
Keduanya berjalan di atas air laut dan mengikatkan gunung itu di tengah galah.
Setelah terikat, mereka memanggulnya.Datu Pujung di depan, Datu Mabrur
di belakang. Dalam temaram cahaya bintang, tubuh keduanya membesar, seakan
raksasa, hampir sebesar gunung yang mereka panggul.
Ketika keduanya tengah berada di sebelah barat Pulau Halimun, tiba-tiba tali
pengikat gunung itu putus. Gunung itu jatuh berdebum. Melesak ke bumi. Tanah,
debu, pasir, batu, ranting, daun-daun dan pepohonan beterbangan ke udara.
Sesaat, langit menjadi gelap gulita.
Datu Pujung
langsung melesat menemui Datu Mabrur. “Aduh, kenapa bisa
begini?!” katanya dengan wajah cemberut. Kesal dan marah.
“Tenanglah, datu. Kita istirahat dulu....” Datu Mabrur
berusaha menyabarkan.
“Engkau tunggu saja di sini! Aku akan mencari tali! Aku akan minta bantuan
siluman-siluman di Pulau Sembilan, Pulau Kerayaan dan Kerajaan Pagatan! Kita
harus menyelesaikannya malam ini juga! Tidak bisa ditunda!”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Datu Pujung melesat dengan
galahnya.
Datu Mabrur
tercenung. Bintang-bintang terbit dan bertaburan di langit, ditemani bulan
sabit. Ia mengamati gunung itu dari segala sudut. Dari sisi timur, barat, utara
dan selatan. Didakinya gunung itu dan dengan cermat mengukur ketinggiannya.
Saat itulah Datu Mabrur melihat: puncak gunung itu sudah tidak
ada lagi. Rompal. Robek. Bagian yang rompal itu persis di bekas tempat tali
pengikat. Rupanya, ketika putus, talinya langsung memapas puncak gunung. Kalau
dilihat dari kejauhan, bentuknya seperti jambangan bunga.
“Datu Mabrur! Gunung ini tidak usah dipindahkan lagi! Kita biarkan
saja di sini!” Tiba-tiba, entah lewat mana, DatuPujung sudah ada
lagi di samping Datu Mabrur.
“Mengapa? Bukankah kita akan meletakkannya di sebelah selatan?”
“Aku sudah memandangnya dari segala sudut, dari luar Pulau Halimun! Dari pantai
Kerajaan Pagatan, Pulau Kerayaan dan Pulau Sembilan! Letak gunung ini sudah
tepat, meskipun berada di sebelah barat!”
“Kalau begitu, baiklah.”
“Jangan hanya ‘baiklah’, ‘baiklah’! Engkau setuju, tidak?! Jangan sampai
terpaksa! Kalau memang tidak setuju, bilang saja!”
“Aku setuju sekali. Sekarang, izinkan aku yang memberi nama gunung ini.”
“Pilih yang sesuai dengan bentuknya! Apa namanya?!”
“Gunung Jambangan.”
Mencari Putri Papu dari Kerajaan Bajau
Putri Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan
Bajau yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan
dan dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Bagaimana hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar
saat mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal mereka sudah mengikat
janji setia, sehidup semati.
“Nelayan miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah
menjodohkannya dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”
Kata-kata ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai
disayat sembilu.
Dikawal para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau
mengumpat dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu
mendengar semua itu dari balik pintu.
Putri Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.
Sebagai putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala
senggang, di saat jenuh menenun, merancang pakaian atau menata perabotan,
didampingi seorang pelayan, ia sering meninggalkan istana dan bergaul dengan
rakyat jelata. Karena sifatnya itu, rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.
Pada suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu
tengah memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan
wajahnya yang tampan.
Karena tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak
menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya.
“Kenapa sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu
pertanyaan yang biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.
“Tidak. Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak
ikan yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.
“Mengapa tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus
saja. Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan
rakyatnya.”
Mendengar jawaban lantang itu, Maruni menoleh.
Ia menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya.
Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara
tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.
“Kau tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia
heran, mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang
berhadapan dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.
Jantung Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia
tersipu-sipu. Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya
seperti perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang
menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.
Sejak itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya.
Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan.
Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan
mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.
Atas laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja
murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian
terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.
“Sekarang juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di
sini! Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih
di sini, kau akan dihukum mati!”
Mendengar titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan
ibundanya. Di kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi,
ia tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.
Permaisuri Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri
bukan penduduk asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di
seberang lautan. Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.
Namun, ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan
menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.
“Sudahlah, anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah
itu, istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai,
menuntunnya masuk kamar.
Tengah malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh
yang membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin,
badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara
hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan
anak-anak.
Raja sudah tak berada di kamar.
Ia sudah di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi
perintah untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.
Hujan, badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir
pantai itu dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan
bergelora.
Gelombang-gelombang sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai,
menghanyutkan perahu, sampan dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian
pantai dilulur ombak dan dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah
seekor naga raksasa yang menelan mangsanya.
Permaisuri teringat Putri Papu.
Bergegas, dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur,
bantal dan selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.
“Anakku, Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis.
Tergopoh-gopoh, diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar
lainnya. Dua prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau
disalahkan apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.
Keesokan harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu
hilang! Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar
seluruh prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan,
akan diberikan imbalan.
Ruangan istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa
reruntuhan. Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya
dihanyutkan air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang
jelas. Putri Papu lenyap tanpa bekas.
Karena terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh
tabib istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum
mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku,
Papu... Papuuu....”
Setelah tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau
mengumpulkan seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana
yang terbuat dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan
sedih, ia bertitah:
“Saat matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke
laut. Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum
bertemu! Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa
perabotanmu! Jangan kembali tanpa izinku!”
Mendengar titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan mengumpulkan
anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah keluarga, terdiri
dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan anak-anak.
Karena titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap
keluarga dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta.
Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.
Karena tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan
musik alahai juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala
sunyi, siapa tahu mereka takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus
menjalankan titah itu. Harus menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup
menanggung malu.
Dengan dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan
rakyat Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu
itu berpencar ke seluruh penjuru.
Bila malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi
tidak tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang
hari, mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup
sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.
Waktu terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di
saat tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu...
Papuuu...!”
Selama dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan
melahirkan, orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak
boleh tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.
Sampai kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu
dihanyutkan ombak lautan. Mungkin ia sedang menunggu untuk ditemukan. Tidak ada
yang pernah berpikir sampai kapan pencarian itu akan berakhir. Mereka sudah
menganggapnya takdir.
Orang-orang Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu
dan lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan dan samudera
sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa Rampa
(Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan), Rampa
Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan Pulau
Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara Pasir
(Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur).
Naga Partala di Goa Temuluang
Sudah beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma
warisan orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak
belukar, tapi ia enggan membersihkannya.
Setiap pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk
mencangkung, tercenung di pintu pondoknya. Matanya memandang hampa. Tak ada
semangat untuk bekerja. Seolah apa pun yang dikerjakannya, akan sia-sia.
Lengkingan monyet-monyet yang bergelantungan, berkelahi dan berkejar-kejaran di
pepohonan, tidak menarik perhatiannya.
Beberapa hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong
lehernya, dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga
Partala. Itu adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan
masyarakat Dusun Bangkalaan Dayak.
Setiap tahun, seorang perawan akan dibawa ke Goa Temuluang, goa keramat yang
menyimpan cahaya dewa. Ketua adat akan memotong leher korban dengan mandau.
Setelah putus, tubuh dan kepala itu dilemparkan ke dalam goa. Dan cahaya dewa
terus akan menyala.
Konon, cahaya itu berasal dari mata dewa yang dijaga Datu Naga
Partala. Cahaya itu tanda persembahan telah diterima, dan selama setahun
masyarakat dusun akan terhindar dari segala marabahaya.
“Aku ikhlas dipilih sebagai korban, tapi bagaimana dengan kakanda?” tanya gadis
itu dengan suara pilu. Wajahnya sendu.
Seusai musyawarah adat itu, malam harinya Buntar menyelinap ke bilik Mantir,
kekasihnya. Tangga depan dan belakang rumah panggung yang dihuni ketua adat dan
seluruh warga Dusun Bangkalaan Dayak itu dijaga beberapa pemuda.
Dengan mengendap-endap,
Buntar masuk ke kolong rumah panggung.
Di bawah kolong yang gelap itu tersimpan padi dan alat-alat pertanian, juga
kandang ternak. Sambil membunyikan suara burung malam yang telah disepakati sebagai
isyarat, Buntar menunggu di bawah kolong, dekat kandang babi. Mantir membuka
lantai bambu di biliknya, dan Buntar segera naik ke atas.
Dalam remang cahaya pelita, mereka berbisik-bisik.
“Aku tak rela kau dikorbankan,” kata Buntar. “Aku akan mencari jalan. Aku akan
membebaskanmu.”
“Ini sudah takdirku. Sudah adat kita turun temurun, sejak nenek moyang kita.
Kita tak bisa menolaknya. Kalau tidak dilaksanakan, kita akan mendapat
kutukan!”
“Ssst...! Tenanglah. Percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat
tenaga. Seandainya gagal juga, lebih baik kita mati bersama....” Dalam
keremangan, Buntar menatap Mantir, menanamkan kepercayaan pada diri kekasihnya
itu. Itu adalah tatapan mata yang sama, seperti saat pertama kali mereka
bertemu, di malam pesta muda-mudi, sehabis musim panen lalu.
Seekor monyet yang jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah, membuyarkan lamunan
Buntar. Perkelahian di antara kawanan monyet itu telah menelan korban.
Tampaknya, yang kalah adalah seekor induk. Kepala dan lengannya berdarah, tapi
ia tetap mendekap bayinya di dada. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri,
berupaya memanjat batang pohon lagi. Tapi, ia limbung dan jatuh.
Monyet itu menyeringai, menjerit dan mencakar-cakar ketika Buntar hendak
menolongnya. Karena lukanya cukup parah, akhirnya ia menyerah dan membiarkan
Buntar menangkapnya.
Saat itulah Buntar mendapat gagasan.
Sambil membersihkan luka di tubuh monyet itu dengan tumbuhan obat, ia terus
berpikir. Sepulang dari rantau, ia melihat banyak hal tetap tidak berubah dari
dusun kelahirannya.
Letaknya yang terpencil di pedalaman dan sukar dicapai, membuatnya selalu
tertinggal. Dusun Bangkalaan Dayak tidak banyak berubah. Segalanya masih
sama seperti saat ditinggalkannya dahulu, sepuluh tahun lalu.
Saat berusia dua belas tahun, pamannya yang tinggal di negeri seberang
mengajaknya pergi. Dengan berat hati, kedua orangtuanya mengizinkan.
Musim panen lalu, ia kembali setelah kedua orangtuanya dikabarkan diserang
penyakit aneh yang mewabah di dusun itu. Sebelum itu, adiknya telah lebih
dahulu meninggal. Sebulan setelah ia datang, kedua orangtuanya pun
berpulang.
Dari pengetahuan yang didapatnya di rantau, ia tahu penyakit itu disebabkan
gigitan nyamuk. Itulah yang dikatakannya kepada warga. Tapi, ketua adat dan
warga menyangkalnya. Mereka mengatakan, itu akibat kutukan, karena masyarakat
lalai mempersembahkan korban.
Buntar tersenyum. Ia punya rencana. Ia tahu, mustahil mengubah adat istiadat
yang dianut masyarakat dalam waktu singkat. Ia harus menyusun siasat.
Setelah melepaskan monyet yang terluka itu, Buntar naik ke pondok mengambil
sumpit, mandau dan keranjang perbekalan. Semangat baru
terpancar dari senyum di wajahnya. Ia menuruni anak tangga pondok dengan
langkah pasti, menapaki lereng bukit dengan gesit.
Tengah hari ia tiba di goa yang dikeramatkan itu.
Di muara goa itu mengalir sungai yang panjangnya sekitar lima kilometer, dengan
sebuah pulau kecil di atasnya. Goa itu memiliki dua pintu masuk. Di atasnya,
batu-batu stalaktit menjulur, seperti jeruji, berwarna-warni.
Ketika kecil, Buntar bersama beberapa kawannya pernah mengintip upacara
persembahan korban itu. Upacara itu terlarang bagi anak-anak, tapi mereka
nekat. Dikelilingi para tetua adat yang duduk merapal mantra, ketua adat
menari-nari. Seorang perawan meringkuk dengan tangan dan kaki terikat.
Setelah kerasukan roh leluhur, dengan sampan yang dikayuh beberapa pemuda,
ketua adat berdiri di mulut goa, meracau dalam bahasa dewa-dewa. Di sampan
lain, tetua adat menggotong tubuh perawan yang akan dikorbankan.
Ketua adat mengacungkan mandau ke angkasa. Detik berikutnya,
kilatan mandau melayang di udara, dan kepala korban
sudah terpisah dari badannya. Saat detik itu berlangsung, Buntar memalingkan
wajahnya.
Dengan rasa penasaran, Buntar menaiki sampan kecil yang tertambat di tepi
sungai dan mendayungnya ke mulut goa. Dinding goa itu licin sekali. Lebarnya
sekitar lima belas meter, dengan tinggi sepuluh meter. Dindingnya percampuran
antara batu ampar, batu granit dan batu kapur berwarna merah tembaga, kuning
dan putih.
Buntar memberanikan diri masuk lebih dalam. Ia terperanjat saat ribuan
kelelawar beterbangan ke arahnya, menuju mulut goa. Mungkin terkejut dengan
kehadirannya.
Beberapa meter di dalam goa, ia terpana. Seberkas cahaya menyilaukan datang
dari atas goa. Dalam kegelapan, cahaya itu terang sekali, menyorot ke dinding
goa dan memantul laksana cermin. Di kejauhan, cahayanya merah menyala, bagai
mata seekor naga raksasa!
Siang hari, sebelum upacara, Mantir menangis.
Air mata membasahi pipinya. Hatinya kian sedih, sebab sudah beberapa hari
Buntar tak tampak. Setelah pertemuan mereka yang terakhir, Buntar menghilang.
Di kamar, tetua adat perempuan membedaki wajah Mantir. Menghiasinya dan
mengenakan pakaian adat, seakan ia pengantin yang akan dipersandingkan. Di
ruangan tengah rumah panggung itu, masyarakat dan tetua adat berkumpul,
selamatan tolak bala. Mereka memohon kepada dewa-dewa agar upacara berjalan
tanpa rintangan.
Setelah semuanya siap, ketua adat memimpin warga berangkat ke tempat upacara.
Melalui jalan setapak di hutan dan menyusuri pinggir sungai, iring-iringan itu
tiba di depan Goa Temuluang. Tubuh Mantir yang lemah lunglai diturunkan dari
usungan.
Ketika beberapa pemuda tengah menyiapkan sampan untuk menyeberang, tiba-tiba
terdengar suara:
“Hai, manusia... Aku ingin persembahan korban untukku diganti....”
Orang-orang terkejut dan menoleh ke asal suara, di mulut goa. Suara itu berat
dan seram sekali. Menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri.
“Siapa itu?” ketua adat memberanikan diri bertanya sambil menghunus tombaknya.
Waspada. Diikuti para pemuda.
“Aku Datu Naga Partala. Penunggu goa. Penerima persembahan
dari kalian. Aku bosan darah perawan! Aku ingin darah hewan...!”
“Darah hewan?” tanya pemuka adat, menghalangi ketua adat dan beberapa pemuda
yang dengan tombak di tangan bermaksud menaiki sampan menuju goa.
“Ya! Sajikan darah ayam, kambing dan kerbau, sebagai ganti darah perawan.
Sajikan seperti selama ini. Masak dagingnya untuk pesta warga! Bagi yang tidak
mematuhinya, akan kukutuk dan kuturunkan bala...!”
Bersamaan dengan itu, ribuan ekor kelelawar tiba-tiba beterbangan, berhamburan
keluar dari sarangnya di dalam goa. Suaranya memekakkan telinga. Mereka
memenuhi angkasa. Langit menjadi gelap gulita. Orang-orang panik dan ketakutan,
tunggang langgang
berlarian.
Setelah semua orang pergi, Buntar keluar dari dalam goa sambil tersenyum.
Tangannya memainkan ketapel. Benda kecil itulah yang tadi membangunkan ribuan
kelelawar dari tidurnya. Dari liang lain di atas goa, ia ketapel sarang mereka.
Hewan-hewan malam itu pun terkejut dan terbang berhamburan, seakan kesetanan.
Ia yakin, usahanya mengubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di
dusunnya lambat laun akan berhasil. Sambil melangkah pulang, ia membayangkan
senyum manis Mantir.
Asal Mula Sumur Manggurak di Desa Sigam
Pada zaman dahulu, di Desa Sigam hidup sepasang
suami-istri. Mereka hidup dari bercocok tanam dan tinggal di sebuah pondok di
kaki gunung. Meskipun hidup sederhana, mereka bahagia.
Mereka memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di
ladang, kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan
memetik buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan
berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung.
Pada suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan
Gunung Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari
perangkap yang mereka pasang hari
sebelumnya.
“Sudahlah, tak usah dikejar. Kita pulang saja. Hari sudah senja. Nanti Ayah-
Ibu cemas...,” kata Ambang kepada adiknya.
“Kita cari lagi! Tadi aku melihatnya lari ke sini!” Anding menunjuk semak
belukar di balik sebatang pohon besar. Dikuaknya semak belukar berduri itu.
Karena tergesa-gesa, belukar berduri itu menggores keningnya. Darah pun
menetes.
“Cepatlah! Kalau tidak ada, kita pulang saja. Aku sudah lelah, haus, lapar!”
seru Ambang. Dengan kesal, ia duduk bersandar di batang pohon besar itu.
“Horeee, dapat! Ini dia, burungnya!” Anding tertawa gembira, keluar dari
semak-semak dan mengacungkan hasil buruannya. “Lumayan buat lauk makan!”
“Hei, keningmu berdarah! Sini, kubersihkan dulu lukanya...”
“Eh, tunggu dulu! Kakak lapar?” Usai mengikat kaki burung, Anding mengamati
pohon besar di samping mereka. “Kakak tunggu saja di sini, aku akan memetik
buah kuranji...” Tanpa menunggu jawaban lagi, dengan tangkas ia
memanjat.
Setelah menjatuhkan dua biji buah kuranji, Anding segera turun.
Mereka mengupas buah itu dan dengan lahap memakannya. Karena dialah yang
memetik, Anding merasa berhak memakan buah yang lebih besar, yang berwarna
merah. Ambang memakan yang kecil, yang putih. Walaupun kecil, tapi buah kuranji terkecil
di zaman dahulu ukurannya rata-rata sebesar buah kelapa.
Ketika tengah asyik makan, bulu tengkuk mereka tiba-tiba berdiri karena
perubahan suasana di sekitarnya. Hutan mendadak sepi. Mencekam. Kicauan burung
dan suara binatang hutan lainnya tak ada lagi. Sunyi sekali. Yang terdengar
hanya suara napas mereka.
Saat memakan buah kuranji itu, aneh, perasaan mereka tiba-tiba
berubah. Ambang yang memakan kuranji putih, sekujur tubuhnya
terasa dingin, lebih dingin daripada es. Sebaliknya, Anding menggelepar-gelepar
kepanasan. Sekujur tubuhnya merah menyala, panas membara. Tak sanggup menahan
rasa dingin dan panas di tubuh masing-masing, keduanya pingsan.
Dalam keadaan tak sadar, mereka mendengar suara:
“Hai, anak-anak... Kalian telah melanggar amanat orangtua. Kalian akan mendapat
hukuman. Mulai saat ini, kalian tak dapat bersama lagi selamanya. Sebab, kalau
Anding marah, tubuhnya akan panas membara. Panas yang dapat membakar lingkungan
sekitarnya. Hanya Ambang yang dapat meredamnya, sebab tubuhnya sedingin es.
Namun, bila itu terjadi, kalian akan tewas...”
Ketika siuman, dua kakak-beradik itu bergegas pulang dengan ketakutan.
Di pondok, Ambang menceritakan kejadian itu kepada kedua orangtuanya. Ayahnya
terkesima mendengarkan, Ibu langsung menangis
sesenggukan.
“Aku sudah melarang kalian bermain di hutan Gunung Sebatung, apalagi memakan
buah itu. Tapi, kalian telah melanggarnya....” Ayah menyesalkan. Matanya
berkaca-kaca. “Mungkin ini sudah takdir kalian. Aku tak bisa berbuat
apa-apa.”
“Sekarang, kita harus bagaimana?” tanya Ibu. “Ayah, jangan pisahkan anak kita!”
“Ini keputusan sulit, tapi terpaksa harus diambil. Ambang, kau tetap tinggal di
sini, bersama kami. Anding, engkau terpaksa harus pergi, Nak. Kalau tidak,
kalian berdua akan celaka...”
“Dia pergi ke mana? Dia masih kecil!” Ibu menangis keras dan memeluk tubuh
Anding erat-erat, tak rela berpisah dengan anak yang dilahirkannya.
“Biarlah, Bu. Ini memang salahku. Akulah yang memetik buah itu. Esok pagi, aku
akan pergi,” sahut
Anding.
Beberapa tahun kemudian, Desa Sigam maju dengan pesat. Penduduk dari daerah
lain banyak yang pindah ke desa itu, sebab tanahnya subur. Selain berladang dan
berkebun, penduduk mencari penghasilan dengan berburu, berdagang kulit
binatang, mencari rotan, damar, madu dan hasil hutan lainnya.
Pada suatu hari, seorang pemuda asing tiba di desa itu. Kepada pemilik
penginapan, ia mengaku berdagang kulit binatang. Pemilik penginapan memberinya
kamar yang menghadap ke sebuah rumah besar, rumah orang terpandang di desa itu.
Suatu pagi, dari beranda kamar penginapannya, pemuda itu melihat seorang
perempuan cantik berambut panjang sedang membersihkan taman di halaman rumah
besar itu. Setelah selesai menyapu, ia berdiri di tepi kolam, tersenyum
memandangi bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Pemuda itu takjub melihat
perempuan itu. Terpesona oleh kecantikannya.
Tapi, perempuan itu tak pernah menoleh, seakan tidak tahu ada orang yang dengan
diam-diam memerhatikannya. Tak acuh, ia meneruskan pekerjaannya hingga selesai,
lalu masuk rumah. Hal itu berlangsung setiap pagi.
Setelah tiga hari, pemuda itu tak tahan lagi.
“Gadis cantik, siapa namamu? Aku ingin mengenalmu...”
Perempuan itu terperanjat.
Ia sedang tersenyum senang memandang bunga-bunga teratai yang mekar di kolam
ketika sekonyong-konyong ada orang asing datang, menyeruak dari rimbun
dedaunan. Wajahnya cukup tampan, tapi ada sesuatu yang aneh. Rambutnya tipis,
sorot matanya merah menyala, seakan menyimpan bara.
“Ayolah,” sambung pemuda itu lagi lebih berani, sambil berjalan mengitari
kolam, menghampiri. “Aku orang-orang baik-baik. Aku tidak bermaksud jahat,
apalagi mempermainkanmu. Kalau kau mau, aku akan langsung melamarmu.”
Tanpa menjawab sepatah kata pun, perempuan itu bergegas pergi. Pemuda itu
berlari mengejarnya. Tapi, pintu rumah langsung ditutup, tepat di depan
matanya. Giginya gemeletuk. Darahnya langsung mendidih. Ia tersinggung dan
marah sekali.
Keesokan harinya, pemuda itu datang lagi ke tepi kolam. Tapi, begitu
melihatnya, perempuan cantik itu langsung pergi. Merasa terhina, pemuda itu
nekat. Saat perempuan itu bergegas ke rumah, ia langsung
menangkap tangannya. Saat itu, seorang pelayan lewat dan melaporkan kejadian
itu kepada majikannya di dalam rumah.
Ketika perempuan itu menjerit dan meronta-ronta, tiba-tiba sebuah dorongan
menjatuhkan tubuh pemuda itu ke tepi kolam.
“Hei, lepaskan tangan istriku! Mau apa kamu?!”
Perempuan itu langsung berlindung di balik punggung seorang pemuda yang baru
datang. Di sudut taman, beberapa pelayan memerhatikan.
“Siapa kamu?! Beraninya kamu mencampuri urusanku?!” Pemuda itu berdiri dengan
marah. Tubuhnya bergetar. Matanya membara. Merah menyala.
“Hei, akulah yang berhak bertanya. Ini rumah dan taman kami. Kata pembantuku,
sudah beberapa hari ini kamu mengganggu istriku. Siapa kamu?”
“Kau tak pantas jadi suaminya! Aku mampu membelikannya taman dan istana yang
lebih baik dan lebih besar daripada ini. Kalau kau tak mau menyerahkannya
padaku, mari berkelahi sebagai lelaki!” sahut pemuda itu sambil memasang
kuda-kuda. Tubuhnya tampak merah dan panas sekali, melebihi lahar gunung
berapi.
“Hei, tunggu dulu! Rasanya, aku mengenalmu... Kamu Anding, adikku?”
“Omong kosong! Aku bukan orang sini!”
“Ya, kamu adikku! Ini aku. Kakakmu, Ambang! Tidak salah lagi, kamu adikku yang
pergi dulu! Aku ingat itu, ada bekas luka di keningmu!”
“Persetan dengan bualanmu! Jangan coba menggangguku!” Sambil berteriak, pemuda
itu melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Ambang.
Karena tidak siap dengan serangan mendadak itu, Ambang terjengkang roboh.
Istrinya menjerit ketakutan. Para pelayan lari berhamburan.
Di siang bolong itu, tiba-tiba petir menyambar. Langit mendadak mendung. Awan
hitam menggantung. Gelegar guntur dan petir sambung-menyambung, lalu hujan
deras turun. Terkena siraman air hujan, tubuh pemuda asing itu berasap.
“Kamu harus menyerahkannya padaku!” Dengan ganas dan beringas, pemuda itu
menendangi tubuh Ambang yang lemah lunglai, terluka dan tak berdaya.
“Jangan! Jangan sakiti dia, tolonglah...” Perempuan itu menangis dan
menjerit-jerit, berusaha melindungi wajah suaminya dari tendangan dan pukulan.
“Apa pun permintaanmu, akan kuturuti. Tapi, tolong jangan sakiti dia...”
“Aku akan membunuhnya! Kalau masih hidup, dia akan menimbulkan masalah!
Pergilah!”
Tepat ketika pemuda asing itu kembali akan melancarkan pukulan, perempuan itu
merangkul dan mendorongnya sekuat tenaga. Keduanya tercebur ke dalam kolam.
Bagaikan besi panas yang dicelupkan ke air, tubuh pemuda asing itu tiba-tiba
mendesis dan mengeluarkan asap tebal. Ia berkelojotan di dalam air.
Menjerit-jerit kesakitan. Air kolam pun langsung mendidih, panas sekali!
Sepanas air yang dimasak di kuali.
Air di kolam mendidih itu dengan cepat meluap dan membanjiri desa.
Melihat adik dan istrinya tenggelam di kolam mendidih, Ambang terjun ke
dalamnya, berusaha menolong mereka. Tapi, ia hanya mampu menyelamatkan
istrinya. Diseretnya tubuh istrinya, mendorongnya ke atas kolam dan memintanya
segera lari ke atas bukit. Setelah istrinya pergi, ia berusaha naik ke pinggir
kolam. Namun, ia sudah kehabisan tenaga.
Akibat luka parah yang dideritanya, Ambang tak mampu lagi bergerak. Dengan rasa
sesal mendalam, dirangkulnya tubuh Anding. Perlahan, tubuh keduanya
mengambang dan tenggelam ke dasar kolam.
Ajaib! Dengan berlalunya waktu, air di kolam itu berkurang panasnya, menjadi
hangat-hangat kuku.
Seakan menangisi kejadian itu, hujan deras turun tiga hari tiga malam, disertai
angin kencang dan banjir bandang. Tanah di lereng-lereng bukit longsor,
pohon-pohon tumbang. Sebagian rumah penduduk hancur dan hanyut terseret arus
banjir.
Konon, yang tersisa dari kolam itu kemudian hanya sebuah sumur. Masyarakat
menyebutnya Sumur Manggurak(mendidih). Di hari libur, banyak orang
yang datang untuk berendam dan mandi di situ. Airnya dianggap berkhasiat menyembuhkan
berbagai penyakit kulit.
Hilangnya Kota Sebelimbingan
Pada zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan
gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran
itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan.
Konon, empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan
Belanda melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka
tiba di pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau
Laut.
Dari pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada
penduduk setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari
kehidupan yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan
Belanda ada di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan
ke Pulau Jawa, dibuang atau dipenjara.
Penduduk pantai menyarankan agar mereka bertani di Desa Sebelimbingan. Di desa
kecil itu hanya ada beberapa pondok yang dihuni beberapa keluarga. Masih berupa
hutan, hanya sebagian kecil yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Untuk tempat berteduh, mereka membangun pondok. Selama enam bulan pertama,
dengan bekal uang yang dibawa, mereka membeli lahan, alat-alat pertanian dan
bahan makanan, menanam sayuran dan umbi-umbian.
Pada suatu hari, saat mengolah tanah, cangkul Sudarmo membentur benda keras.
Dengan penasaran dan hati-hati, ia menggali benda itu. Setelah lapisan tanah
dan batu-batuan di atasnya diangkat, tampak benda hitam legam yang tadi
mengenai cangkulnya.
Sudarmo memungut benda hitam itu dan melihatnya dengan saksama. “Muradi,
Sukarmo, Sastro...! Kemari! Lihat ini!” serunya kepada tiga temannya yang
tengah membersihkan semak belukar, membakar ranting dan daun-daun kering.
Khawatir terjadi sesuatu pada Sudarmo, ketiganya bergegas menghampiri.
“Apa itu?” Sastro bingung melihat sekepal benda hitam di tangan Sudarmo.
“Batu bara...,” jawab Sukarmo. Diambilnya benda itu dari tangan Sudarmo,
membolak-baliknya.
Dahulu, ayah Sukarmo bekerja sebagai mandor kereta pengangkut tebu di sebuah
pabrik gula di Jawa. Lokomotif kereta itu digerakkan tenaga batu bara. Waktu
kecil, ia pernah diajak ayahnya naik kereta itu dan melihat beberapa kuli
memasukkan batu hitam itu ke tungku pembakarannya.
“Kita akan kaya raya!” seru Sudarmo gembira. “Kita harus mencari pemodal untuk
menambangnya, hasilnya kita jual ke kapal uap dan pabrik gula!”
Sejak penemuan itu, Desa Sebelimbingan menjadi ramai. Orang-orang dari berbagai
penjuru berdatangan. Hanya dalam hitungan bulan, dua pengusaha keturunan
Tionghoa berkongsi membiayai penambangan batu bara itu, menyediakan alat-alat
tambang yang dibutuhkan.
Untuk memperluas tambang, lahan dan hutan dibeli dari penduduk. Sebagai penemu,
mereka berempat mendapat bagian yang sama. Mendapat rejeki yang tak
disangka-sangka itu, mereka bersyukur. Sebagai muslim, mereka terpanggil untuk
membangun tempat ibadah. Mushola pun didirikan.
Setelah keadaan membaik, Sudarmo, Sukarmo dan Sastro menjemput anak-istri
mereka di Tanah Jawa. Mereka kembali dengan membawa keluarga dan kerabat dekat
yang akan bekerja sebagai kuli. Hanya Muradi yang masih sendiri.
Dengan kapal uap, para kuli beserta keluarganya masing-masing didatangkan
langsung dari Tanah Jawa. Mereka dipekerjakan membangun pabrik pengolahan batu
bara. Sebagai pelengkap sarana dan prasarana, jalan dan dermaga pun dibangun.
Karena setiap keluarga membutuhkan tempat tinggal, kompleks permukiman
didirikan.
Ketika tambang batu bara itu mulai berproduksi, suatu hari serombongan serdadu
Belanda datang. Dengan bersenjata lengkap, mereka menemui Tuan A Cai dan Tuan A
Seng.
Entah apa yang dibicarakan, tapi Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi waswas
melihat serdadu Belanda yang tampak siap siaga di pintu kantor. Mereka waswas,
kalau-kalau rahasia mereka telah terungkap dan mereka akan ditangkap.
Sepulangnya rombongan serdadu Belanda itu, Tuan A Chai dan Tuan A Seng mengajak
Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi bertukar pikiran.
Keempatnya merasa lega setelah Tuan A Chai, sambil tersenyum, berkata, “Tuan
Robert Suurhof mengajak kita berkongsi, memperbesar pertambangan ini. Mereka
setuju dengan syarat yang kita ajukan dan akan menjamin keamanan...”
“Dan kita tetap mendapat bagian seperti yang sudah kita terima, ditambah bonus
lainnya,” tambah Tuan A Seng dengan gembira. “Mereka menanamkan modal. Sebagian
lahan akan dijadikan boerderij[1]).
Pekerjaan kita akan menjadi lebih ringan. Orang-orang Belanda akan menangani
semuanya, dari penambangan hingga pemasaran. Kita jadi mandornya...”
Beberapa pekan kemudian, mesin-mesin pertambangan yang lebih modern
didatangkan. Gedung, kantor, rumah sakit dan rumah-rumah beton dibangun, untuk
tempat tinggal orang-orang Belanda yang akan mengawasi langsung proses
produksi, sejak penambangan, uji kendali mutu dan pengapalan antarpulau.
Beberapa tahun kemudian, Sebelimbingan menjadi kota yang makmur. Barang-barang
mewah dan bahan keperluan sehari-hari didatangkan langsung dari Tanah Jawa,
Andalas dan Selebes, melalui kapal uap yang rutin singgah dalam
perdagangan antarpulau.
Belanda juga membangun sarana hiburan, gedung dansa dan tempat-tempat
perjudian. Itu memang siasat yang licik dan cerdik, agar uang yang mengalir
dari kuli tambang tetap masuk ke saku mereka dan dapat digunakan untuk
membiayai daerah jajahannya di Hindia Belanda.
Masalah datang bersamaan dengan kemakmuran.
Pada suatu malam, jeritan perempuan dari gedung kediaman pimpinan pertambangan,
Tuan Robert Suurhof, membuat para serdadu di gardu jaga berlarian.
Cahaya senter berseliweran, diiringi salak anjing dan suara tembakan. Para
serdadu mengejar sesosok bayangan yang dengan cepat menghilang ke dalam hutan.
Dalam sekejap, penduduk Sebelimbingan terjaga dari tidurnya. Sebagian warga
mendatangi kediaman Tuan Robert Suurhof. Dengan hanya berpiyama, Belanda totok itu
marah-marah dan mengumpat dalam bahasa nenek moyangnya.
Pagi harinya seluruh penduduk Sebelimbingan tahu, malam itu Mevrouw Annelies,
istri Tuan Robert Suurhof, kemalingan. Seluruh perhiasan yang tersimpan di
lemari kamarnya digondol maling.
Itu adalah pencurian ketujuh dalam tiga bulan terakhir, selain perkelahian
akibat minuman keras yang kian sering terjadi di antara sesama kuli tambang.
Pelacuran pun kian marak, karena jumlah perempuan lebih sedikit daripada
laki-laki.
“Kita harus mengatasi masalah ini. Akhlak warga sudah rusak sekali!” kata
Sastro kepada tiga rekannya. “Kita sudah mulai tua. Keadaan ini tak baik bagi
anak-cucu kita. Kalau dibiarkan, Sebelimbingan akan dilaknat Tuhan. Mushola
kini selalu sepi. Tidak ada lagi yang sembahyang dan mengaji... ”
“Ya, tapi bagaimana caranya? Kita tak punya kuasa. Semua ditentukan Tuan
Robert,” sahut Sudarmo. “Aku pernah membicarakan ini dengan Tuan A Chai. Dia
sudah menyampaikannya. Tapi, Tuan Robert tidak peduli.”
“Kita harus bicara langsung!” tukas Sukarmo. “Tentu saja dia tak peduli soal
akhlak warga. Baginya, yang penting kuli dan tambang menghasilkan uang. Tapi,
jiwa prajurit kita tak bisa membenarkannya! Kau setuju, Muradi?”
Dengan tubuh limbung akibat terlalu banyak menenggak alkohol, Muradi menyahut,
“Ah, aku sudah cukup senang begini. Terserah kalian saja...”
Tiga bulan kemudian, bersama Tuan A Chai dan Tuan A Seng, mereka menemui Tuan
Robert Suurhof di kantornya. Pemimpin tambang dan boerderij itu
baru kembali dari perjalanan ke Tanah Jawa, Andalas dan Selebes.
“Bagus sekali kowe orang datang!” seru Tuan Robert Suurhof
sambil menyodorkan botol jenewer, yang langsung disambut Muradi, Tuan A Chai
dan Tuan A Seng. “Ik tak usah panggil kowe orang
lagi untuk omong soal ini.”
“Ada kabar apa, Tuan?” tanya Tuan A Seng.
Jawaban Tuan Robert Suurhof membuat mereka terkejut. “Gubernur Jenderal
Starkenborgh Stachouwer di Batavia bilang, batu bara di sini tinggal sedikit.
Mutunya sudah tak bagus en tambang ini harus ditutup. Kalau
diteruskan, gubernemen bilang rugi. Tidak seimbang antara bea
yang keluar, dengan hasilnya. Tambang baru telah ditemukan. Di Ombilin,
Andalas...”
“Tapi, Tuan...,” Sastro memberanikan diri menyela.
“Inlander seperti kowe tak usah membantah! Gubernemen tahu
apa yang harus dikerjakan. Tahun depan, tambang enboerderij ini
akan brenti. Kalau mau, kowe orang boleh teruskan.
Atau, kowe bisa jadi mandor di Ombilin, sebagai kuli kontrak
biasa. Keadaan mulai tidak aman. Nippon akan serang Hindia Belanda... ”
Seperti dikatakan Tuan Robert Suurhof, setahun kemudian peralatan tambang
dibongkar dan dikapalkan ke Andalas. Orang-orang Belanda dan kuli-kuli kontrak,
yang menerima tawaran Tuan Robert Suurhof, menumpang di kapal yang sama.
Perpisahan antara mereka yang pergi dan yang tetap tinggal, amat
mengharukan.
Meskipun dengan jumlah kuli dan hasil tambang yang kian sedikit, penambangan
batu bara tetap berlangsung. Beberapa tahun kemudian, setelah Perang Dunia II
berakhir dan kepulauan Nusantara menjadi Republik Indonesia, sebuah peristiwa
penting terjadi di Sebelimbingan.
Malam itu, ketika kuli-kuli sedang berkumpul di tempat hiburan dan arena
perjudian, tiba-tiba terdengar pekikan, disusul suara teriakan dan rentetan
tembakan dari atas gunung.
Entah datang dari mana, puluhan lelaki bersenjata api tiba-tiba telah menguasai
Sebelimbingan. Mereka membakar dan mengobrak-abrik tempat hiburan dan
perjudian. Gerombolan! Dalam remang cahaya obor, penduduk dikumpulkan, dipaksa
berbaris dan berjongkok di lapangan.
“Kami lasykar Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas... Kami menjalankan
perintah junjungan kami, Ibnu Hajar, membasmi tempat-tempat maksiat di Bumi
Lambung Mangkurat. Sebelimbingan dalam kekuasaan Darul Islam dan Tentara Islam
Indonesia! Tak ada lagi pertambangan dan kemaksiatan...!” teriak salah seorang
di antara mereka sambil mengacungkan senjata.
Ketika ada penduduk yang terlambat mematuhi perintah berkumpul, anggota
gerombolan itu tanpa belas kasihan melayangkan popor senapan. Anak-anak dan
perempuan menangis dan menjerit ketakutan.
Diiringi ancaman, teriakan dan tembakan, mereka membakar pertambangan, kantor,
rumah sakit, gedung dansa, tempat-tempat perjudian dan permukiman. Nyala api
membesar menerangi langit malam, diiringi tangisan perempuan dan anak-anak.
Seiring dengan padamnya api di pagi hari, gerombolan itu menghilang di
belantara Pegunungan Meratus.
Tanpa aksi bumi hangus gerombolan gerilyawan itu pun Sebelimbingan sudah
seperti lampu kehabisan minyak. Cahaya kemakmuran telah padam. Sehabis perang,
keadaan ekonomi seluruh negara di dunia dalam keadaan sulit. Batu bara tidak
dibutuhkan lagi. Mesin diesel yang menjalankan pabrik, kereta api, kapal dan
mobil, sudah menggunakan solar. Kapal uap yang memakai batu bara tak ada
lagi.
Dengan berlalunya waktu, Sebelimbingan seakan kembali ke titik nol. Kembali
seperti sebelumnya, sebelum ditemukannya batu bara. Namun, beberapa bangunan
yang tersisa dan banyaknya jumlah warga keturunan Jawa di sana menjadi tanda,
bahwa di masa lalu ia adalah daerah yang kaya dan sejahtera.
Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa
Melalui pesta perkawinan yang meriah dan berlangsung
empat puluh hari empat puluh malam, Putri Perak resmi menjadi istri Raja Sambu
Batung. Sebagai permaisuri, namanya menjadi Putri Perak Intirawan. Rakyat
Kerajaan Pulau Halimun gembira dan bersuka ria. Selama pesta, aneka hidangan
dan segala jenis hiburan disajikan.
Kegembiraan rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal
Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan
senjata andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau
jantan, ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di
dalam maupun di luar kerajaan.
Usai pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan
kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri sebagai raja
baru di Kerajaan Pulau Halimun, menggantikan Raja Pakurindang yang mengundurkan
diri untuk bertapa, ia sekaligus akan berbulan madu.
“Selama aku bepergian, pimpinan kerajaan sementara kuserahkan kepada adinda
Sambu Ranjana,” titah Raja Sambu Batung. “Ayahanda Panglima Ranggas Kanibungan
dan pamanda Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit kerajaan akan
ikut bersamaku, juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri
dan Punggawa Mardapan...”
Keesokan harinya, perahu yang ditumpangi Raja Sambu Batung, Putri Perak
Intirawan dan rombongan, berlayar. Perjalanan direncanakan tujuh bulan, dengan
tujuan akhir Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir,
rombongan singgah di pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun
hanya kerajaan kecil di pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya menghasilkan
hubungan perdagangan antarkerajaan, tapi penting untuk memperkuat tali
silaturahmi.
Setelah sepekan berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung
memanggil empat punggawanya untuk membicarakan rencana pulang.
“Pamanda punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana caranya,”
titah Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang bersembah sujud di
hadapannya.
“Hamba, paduka,” jawab Punggawa Margalap. “Kalau kami boleh tahu, mengapa?
Tanpa perlu singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.”
“Permaisuri sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut.
Janinnya mungkin akan terganggu. Alasan lain...”
“Ya, pamanda,” sambung permaisuri. “Aku mengidam buah durian.”
“Durian?”
“Ya. Tadi malam aku bermimpi makan durian. Lezat sekali. Buahnya besar-besar
dan harum. Dagingnya tebal. Kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...”
Karena permintaan raja dan permaisuri sama artinya dengan perintah, empat
punggawa Kerajaan Pulau Halimun itu tak berani membantah. Apalagi, itu
permintaan dari perempuan hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari
pengalaman istri masing-masing.
Agar perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada
Raja Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas
rombongan Raja Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di
hutan, Raja Kutai Kertanegara mengutus dua warganya sebagai penunjuk
jalan.
Sepanjang perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri
Perak Intirawan tak henti-hentinya mengingatkan punggawa dan prajurit agar
memerhatikan sekitarnya; kalau-kalau ada pohon durian yang tengah berbuah.
Saat melewati dusun dan perkampungan, prajurit disebar untuk mencari keterangan
dari penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya,
Putri Perak Intirawan diharuskan memakan buah durian yang dipetik langsung dari
pohonnya.
Pada suatu hari, rombongan memasuki wilayah Goa Ranggang (sekarang bernama
Garunggang dan duriannya terkenal sebagai durian Tanjung Batu). Medan jalan
yang harus dilalui sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang lebat,
lorong gunung batu dan terowongan di dalamnya tak dapat dilalui dengan berdiri
tegak. Terowongan itu hanya dapat dilewati dengan membungkuk (daerah itu
sekarang bernama Bungkukan).
Ketika rombongan memasuki rimba belantara, empat punggawa dengan wajah cemas
mengajak Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon
besar, menghindari tatapan mata anggota rombongan lainnya. Saat itu,
prajurit-prajurit melompat kegirangan tatkala melihat buah durian yang
besar-besar bergantungan di pohonnya. Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan
memetiknya.
“Maaf ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah rawan. Ini daerah kekuasaan
Pangga Dewa!” Punggawa Margalap waswas. Matanya jelalatan, melihat
kesana-kemari.
“Siapa dia?”
“Raja begal yang terkenal, paduka!” sambung Punggawa Marsiri. “Ia sakti
mandraguna dan terkenal sadis. Kabarnya, tak ada yang mampu mengalahkannya!”
“Penduduk dusun harus membayar upeti kepadanya,” sambung Punggawa Mardapan. “Ia
suka perempuan. Istri dan selirnya puluhan!”
Jeritan permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan prajurit pengawalnya
mengejutkan Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat,
bergegas menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, dari balik semak
belukar dan pepohonan, muncul ratusan orang bertampang garang!
Raja Sambu Batung dengan sigap melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit,
atas perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak
dan perisai disiagakan.
“Maaf, siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami?” tanya Raja Sambu
Batung kepada pria tinggi besar bertampang sangar yang menyeringai, yang
tampaknya pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.
“Kalian rombongan kerajaan, heh?! “
“Ya,” Punggawa Marbatuan maju selangkah, “rombongan Kerajaan Pulau Halimun. Ini
Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam
perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?”
“Puih! Aku tak punya raja di sini! Di hutan ini, akulah raja!
Akulah dewa!” Dalam satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja
Sambu Batung dan permaisuri. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri
Perak Intirawan.
“Saudara, boleh aku bicara?” Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa,
membujuknya. Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa
mengikuti Raja Sambu Batung yang mengajaknya bicara empat mata di balik semak
belukar. Raja Sambu Batung menceritakan riwayat perjalanan, permaisuri yang
hamil muda dan sedang mengidam durian.
Mendengar penjelasan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa tersenyum penuh arti. Ia
memperbolehkan permaisuri memakan durian yang tumbuh di daerah
kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat itu akan disampaikannya setelah
Putri Perak Intirawan dan anggota rombongan selesai makan durian.
Sementara Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya menikmati durian di
bawah pohon, Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, di sebuah
goa terpencil, di tempat tersembunyi.
Setelah memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga
Dewa menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat itu, tubuh Raja Sambu Batung dan
empat punggawanya langsung bergetar menahan marah.
“Kami membawa banyak emas dan permata. Ambillah semuanya, asalkan bukan itu,”
sahut Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam,
ia mampu mengendalikan diri.
“Tidak! Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda!
Serahkan istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam
keadaan hidup!” jawab Pangga Dewa dengan mata melotot.
Gigi Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa
menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawa takkan sanggup melawan
ratusan anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu
langsung kepada istrinya, Raja Sambu Batung minta waktu sejenak.
“Esok pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!”
teriak Pangga Dewa.
Kepada permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan
Pangga Dewa, sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak
Intirawan marah besar. Darah panglima perang yang mengalir di tubuhnya
menggelegak. Namun, mengingat janin dalam perutnya, ia berusaha menahan diri.
Bersama empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah malam,
permaisuri dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah
empat punggawa berhasil melumpuhkan para penjaga, anak buah Pangga Dewa. Dalam
jarak tertentu, Raja Sambu Batung bersama prajuritnya menyusul.
Pagi harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para tawanan
kabur. Dengan marah, ia membawa anak buahnya mengejar rombongan dari Kerajaan
Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan
Raja Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama
empat punggawa telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tapi
Raja Sambu Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak
kian terdesak. Semangat tempur mereka kalah jauh dengan anak buah Pangga Dewa
yang terbiasa hidup di hutan. Untuk menghindari lebih banyak lagi prajuritnya
tewas, Raja Sambu Batung berteriak lantang untuk menghentikan pertempuan.
Sambu Batung menantang Pangga Dewa bertarung satu lawan satu. Dengan pongah,
Pangga Dewa meladeni tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun
berlangsung. Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.
Saat Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung.
Angin yang merobohkan ratusan anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan
pohon-pohon bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menghumbalang bersamaan
dengan datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan
meluap-luap, kapak besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur
berkeping-keping.
Dari jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa
dan Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan
terhuyung-huyung.
Dalam satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di
antara keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian
pendatang baru yang tidak dikenalnya itu.
“Hei, kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur!” seru Pangga Dewa.
“Perbuatanmu yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut
campur! Sekarang, terimalah hukumanmu!”
Sebuah serangan yang telak, cepat dan mematikan tak mampu dielakkan Pangga
Dewa. Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang
seketika tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka itu. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya
membelah tubuh Pangga Dewa, sekaligus batang pohon nangka itu.
Karena Pangga Dewa sakti mandraguna, tubuhnya yang terbelah dua dan batang
pohon nangka itu dikubur di tempat terpisah. Para prajurit khawatir: bila
dikubur di satu tempat, raja begal itu akan bangkit lagi. Dengan memisahkannya,
itu tak mungkin terjadi.
Konon, dua tempat penguburan jenazah Pangga Dewa itu menjadi Tanjung Pangga dan
Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka
Besar dan Pulau Nangka Kecil.
Koyaknya Halimun Pulau Laut
Raja Banjar tercenung dengan wajah murung di anjungan perahu kerajaan yang
tengah berlayar. Matanya menatap ombak lautan dan burung camar yang beterbangan
di kejauhan. Hatinya risau.
Pekan lalu, nakhoda perahu dagang asal Hindustan bersama anak buahnya datang ke
istana. Gugup dan terbata-bata, nakhoda keling itu melapor. Di perairan muara
Kerajaan Banjar, tanpa sebab yang jelas, perahu yang dikemudikannya kandas.
Itu adalah laporan yang sudah kesekian kalinya ia terima, baik yang langsung
datang dari korban maupun yang dari laporan aparat kerajaan. Kejadian aneh itu
juga sering didengarnya dari nelayan dan pelaut dari kerajaan lain. Dalam
selimut kabut, sampan dan perahu mereka tiba-tiba kandas.
Kejadian aneh itu biasanya malam hari. Saat diperiksa, di bawah sampan atau
perahu tak ditemukan batu karang maupun gosong. Lebih aneh lagi, di tengah
kabut dan halimun itu terdengar bunyi gamelan bertalu-talu. Padahal, itu di
lautan, tak ada pulau dan daratan!
Di anjungan, Raja Banjar bertopang dagu.
Misteri perahu kandas itu membuatnya berpikir keras. Dalam sidang di istana, ia
memerintahkan panglima dan prajurit kerajaan ikut bersamanya untuk menguak
misteri itu. Sebagai raja, ia harus mampu mengatasi persoalan rakyatnya.
Wilayah laut dan kabut yang misterius itu masih jauh.
Perahu akan tiba di tujuan menjelang tengah malam. Setelah salat isya dan salat
sunat dua rakaat, Raja Banjar mengajak Panglima Perang makan malam bersamanya.
“Pamanda, aku akan istirahat sejenak. Awasi prajurit yang bertugas malam ini.
Aku tak mau ada prajurit yang hanya menjadi benalu dan lalai saat
menjalankan tugas. Bila memasuki perairan itu, semuanya harus
waspada...”
“Segala titah paduka, hamba laksanakan,” sahut Panglima Perang.
Menjelang tengah malam, perahu layar memasuki muara laut Kerajaan Pagatan.
Pesisir pantai kerajaan kecil itu tampak samar-samar di kejauhan. Tiap tahun,
raja yang berasal dari keturunan Kerajaan Bugis itu dengan setia menyerahkan
upeti ke istana Kerajaan Banjar.
Permukaan laut yang sebelumnya bergelombang, kini tenang. Laut bagai hamparan
kain, rata tanpa riak. Saat itulah, ketika kabut luruh semakin tebal, nakhoda
heran. Perahu tak bisa jalan! Kandas. Seakan ada kekuatan luar biasa yang
menahannya.
Bersamaan dengan itu, sayup-sayup terdengar bunyi gamelan. Ditingkah suara
tembang, bunyi gamelan itu terdengar kian nyaring, padu dan harmonis.
“Di mana bunyi gamelan itu, nakhoda?” tanya Panglima Perang yang entah sejak
kapan sudah berdiri di belakang nakhoda. Haluan dan buritan perahu sudah
dipenuhi prajurit. Dengan obor di tangan kiri dan tombak atau mandau di
tangan kanan, mata mereka berusaha keras menembus kabut.
“Saya tidak tahu, paduka. Mungkin di sana...” Nakhoda menunjuk seberang haluan.
Tangannya gemetaran. Ia ketakutan!
Panglima Perang mengalihkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk nakhoda, tapi
tak tampak apa-apa. Hanya kabut dan halimun yang kian tebal menyungkup perahu.
Bunyi gamelan dan suara tembang mendayu-dayu.
“Subhanallah, merdu sekali bunyi gamelan dan tembang itu. Terampil
sekali tangan yang memainkannya.Suara tembangnya pun merdu dan menghanyutkan.
Ingin rasanya kuundang mereka untuk main di istana...”
“Oh, baginda!” Panglima Perang dan nakhoda serempak berseru, terkejut atas
kehadiran junjungannya.
“Aku sudah terjaga saat mendengar bunyi gamelan ini, pamanda panglima. Tadi aku
menengok keluar dari jendela kabin. Di situ, suaranya jelas sekali. Tapi,
aku tak melihat apa pun.”
“Baginda, bunyi gamelan dan tembang itu mulai sayup-sayup!” bisik nakhoda.
“Subuh hampir tiba, nakhoda,” sahut Raja Banjar. Dengan wajah berbinar, seakan
mendapat kesimpulan yang menggembirakan, ia berseru: “Subhanallah! Aku
mulai memahami misteri ini...”
“Misteri apa, baginda?” Panglima Perang bingung, heran dan penasaran.
“Mereka sedang ada hajatan. Ada perhelatan! Seperti di alam kita, di alam
mereka pun rupanya pertunjukan berakhir menjelang subuh! Kau mengerti,
pamanda?”
Entah mengerti atau tidak, Panglima Perang dan nakhoda mengangguk bersamaan.
“Kita harus menguak misteri ini, pamanda panglima!” seru Raja Banjar dengan
bersemangat. Ia meminta Panglima Perang mengumpulkan prajurit untuk mendirikan
salat subuh berjamaah.
Usai salat wajib, Raja Banjar mendirikan salat sunat dua rakaat. Dalam doa, ia
memohon petunjuk dan perlindungan. Memohon agar Allah membukakan misteri itu.
Ajaib! Bagai tirai kain yang sobek, tiba-tiba kabut dan halimun terkoyak! Di
kejauhan, sebuah pulau dan daratan terbentang, dengan gunung yang menjulang!
“Bunyi gamelan itu tampaknya berasal dari sana,” kata Raja Banjar sambil
berdiri dari tempatnya salat. “Nakhoda, perahu terasa bergoyang. Apakah air
laut sudah mulai pasang?”
“Benar, paduka.”
“Kita berlabuh di sana. Pamanda panglima, kita turun berdua. Nakhoda dan
prajurit di perahu saja. Berjaga-jaga.”
Setelah perahu merapat di tepi pantai, anak buah nakhoda dan para prajurit
menurunkan sampan. Dalam kabut tipis yang mengambang di permukaan air, Raja
Banjar menaiki sampan yang dikayuh Panglima Perang.
Aneh! Di pantai tampak dermaga, perahu, sampan dan kesibukan para nelayan yang
sedang bekerja memindahkan ikan-ikan hasil tangkapan!
Ketika Raja Banjar dan Panglima Perang menginjakkan kaki di pasir pantai,
muncul keajaiban lain. Di depan mereka telah berdiri pria gagah berbusana mewah
yang diapit dua pengawal.
“Assalamu’alaikum...,” ucap Raja Banjar sembari mengangkat tangannya.
“Salam, paduka. Selamat datang di Kerajaan Pulau Halimun. Hamba Panglima Perang
di negeri pulau ini. Hamba diutus pemimpin kami, Tumenggung Datu Belang
Ilat, untuk menyambut paduka.”
“Tumenggung Datu Belang Ilat?” Panglima Perang Kerajaan Banjar
heran. Ia mengenal kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi baru kali ini mendengar
nama kerajaan dengan nama pemimpin seperti itu.
“Ya, tuan panglima. Bukankah paduka ini Raja Banjar dan Panglima Perang? Kami
mendapat kehormatan dikunjungi. Mari menemui pemimpin kami...”
Sementara Raja Banjar dan Panglima Perang dalam perjalanan, di balai sidang
istana Kerajaan Pulau Halimun terjadi perdebatan. Tampak hadir Datu Ning
Karang Kabunan, Datu Ning Karang Bainsang, Datu Ning
Karang Jangkar, Datu Ning Kurung, Datu Ning
Karang Kintang dan para pemuka adat.
Sidang dipimpin langsung oleh Tumenggung Datu Belang Ilat.
(Julukan belang ilat berasal dari lidah pemimpin yang sakti
mandraguna itu, yang berwarna hitam kemerahan.)
“Saudara saudara... Halimun telah terkoyak. Kita tak mungkin lagi
menyembunyikan diri dalam selimut kabut. Mungkin inilah takdir kita. Kita tak
bisa menghindarinya. Entah ilmu apa yang ia miliki, hingga Raja Banjar itu
dapat menembus halimun negeri kita. Bagaimana pendapat datu-datu dan
pemuka adat?” tanya Tumenggung Datu Belang Ilat.
“Ramalan leluhur kita, bahwa pulau ini akan dikuasai bangsa lain yang
kepercayaannya berbeda dengan kita, mendekati kenyataan. Jadi, waspadalah!” sahut
seorang pemuka adat.
“Adat budaya leluhur kita akan musnah, ananda Tumenggung!” tambah pemuka adat
lainnya. “Dewata akan murka. Kita akan menerima hukumannya!”
“Maaf ampun, kanda Tumenggung,” ucap Datu Ning Karang Jangkar.
“Mengapa kita tidak menjadikan ini kesempatan untuk melakukan perubahan?”
“Benar, kakanda,” sahut Datu Ning Kurung. “Mengapa mati-matian
mempertahankan adat budaya warisan leluhur, bila hati kita menyangsikannya?”
“Ini sudah keterlaluan!” seru pemuka adat. “Apakah kita ingin mengulang sejarah
dan bencana seperti yang dialami nenek moyang kita? Mereka dahulu musnah akibat
pertikaian dan sengketa, antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana...”
“Ya,” sahut pemuka adat lainnya, “padahal di zaman Paduka Yang Mulia Raja
Pakurindang, negeri kita tenang dan...
Belum sempat pemuka adat menyelesaikan kata-katanya, di pintu masuk balai
sidang terdengar suara: ”Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh...”
Peserta sidang serempak berdiri, menoleh kepada pemilik suara itu.
“Salam, paduka Raja Banjar...,” sahut Datu Ning Karang
Kabunan.
Raja Banjar dan panglima perangnya, dikawal Panglima Perang Kerajaan Pulau
Halimun, memasuki balai sidang.
“Apakah kedatangan kami mengganggu, Tumenggung?”
“Oh, tidak, paduka. Silakan duduk. Kami sedang membicarakan kehebatan paduka
yang berhasil menembus kabut dan halimun yang melindungi negeri kami. Paduka
benar-benar sakti.”
“Tidak, Tumenggung. Semua atas izin Allah. Hanya kepada-Nya aku menyembah dan
hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan.”
“Maaf, siapa yang paduka maksudkan?” tanya pemuka adat.
“Allah. Dialah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kami menyembah-Nya, menaati
segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia maha pengasih dan maha
penyayang, maha pemurah dan maha pengampun terhadap hamba-Nya yang berdosa...”
“Menarik sekali. Apa nama kepercayaan paduka itu?” tanya Tumenggung Datu Belang
Ilat.
“Islam.”
“Ya, dewata... Ramalan itu menjadi kenyataan!” seru pemuka adat.
“Pamanda...?!” Tumenggung Datu Belang Ilat tersentak melihat
pemuka adat yang seakan terpukul, terhenyak di kursinya.
“Maafkan kami, ananda Tumenggung. Ini soal keyakinan. Soal pilihan. Jika ada
yang ingin menganut keyakinan seperti yang dianut Raja Banjar ini, kami tidak
melarang. Tapi, perkenankan kami menganut keyakinan seperti yang telah kami
anut selama ini. Kami akan mengasingkan diri di pedalaman yang sunyi dan gunung
yang tinggi...,” sahut pemuka adat.
Melihat suasana kikuk itu, Raja Banjar berdiri dari tempat duduknya. “Pamanda
Tumenggung dan pemuka adat yang saya hormati... Saya mohon maaf bila kehadiran
kami menimbulkan perselisihan di antara kalian.”
“Oh, tidak, paduka,” sahut Datu Ning Karang Bainsang.
“Duduklah kembali. Perbedaan pendapat tidak dilarang di Kerajaan Pulau Halimun
ini. Seluruh keputusan dan peraturan memang harus melalui pembahasan di
persidangan.”
“Kami merasa tidak enak...”
“Jangan sungkan, paduka,” Datu Ning Kurung meyakinkan, yang
lain mengangguk-angguk mengiyakan.
“Cara mengatasi perbedaan pendapat yang seperti itu juga diajarkan dalam Islam.
Malahan, perbedaan dianggap sebagai rahmat. Tak ada paksaan dalam Islam.”
“Kami makin tertarik, paduka,” sahut Datu Ning Karang Kintang.
“Apa saja syarat bagi pemeluknya?”
Dengan lancar, Raja Banjar menjelaskan asal usul, riwayat, sejarah dan syarat
yang diwajibkan bagi umat Islam, termasuk tata cara beribadah dan sebagainya.
Tanpa sadar, Raja Banjar telah dikerumuni tokoh-tokoh dan pimpinan Kerajaan
Pulau Halimun yang tertarik dengan pemaparannya. Waktu berlalu tanpa terasa.
Pemaparan itu disela rehat, saat Raja Banjar mendirikan salat zuhur, ashar,
magrib dan isya.
Ketika Raja
Banjar salat, para tokoh dan pemimpin Kerajaan Pulau Halimun memerhatikan
dengan saksama.
Setelah makan malam bersama, Raja Banjar menyampaikan niatnya untuk pamit dan
kembali ke perahu. Namun, Tumenggung Datu Belang Ilat
menahannya. “Nanti dulu, paduka. Sebagai hiburan, kami akan
menampilkan musik gamelan...”
Gamelan!
Suara gamelan dari istana Kerajaan Pulau Halimun inilah yang telah menghebohkan
banyak nakhoda, nelayan dan pelaut itu!
Sepanjang malam, Raja Banjar dan panglimanya menyaksikan pertunjukan gamelan
dan tembang dari para nayaga istana Kerajaan Pulau Halimun.
Di perahu, nakhoda dan para prajurit pun mendengarnya. Bunyi tabuhan dan
lantunan tembang mengalun seirama gelombang lautan, seiring dengan kabut dan
halimun yang turun perlahan.
Keesokan harinya, sebelum melepas kepergian Raja Banjar dan Panglima Perang,
Tumenggung Datu Belang Ilat menyampaikan keinginan rakyat
Kerajaan Pulau Halimun memeluk Islam.
“Sebelum menyerahkan Kerajaan Pulau Halimun dalam kewenangan Kerajaan Banjar,
ada tujuh syarat yang harus diingat, paduka,” kata Tumenggung Datu Belang
Ilat, “Dan paduka harus bersumpah untuk menaatinya.”
“Aku bersumpah. Insya Allah...”
“Pertama, paduka berwenang memerintah rakyat kami, tapi harus dengan adil dan
bijaksana. Kedua, kepada pelanggar aturan dan perundang-undangan berilah
hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Ketiga, paduka harus memperlakukan
rakyat kami seperti paduka memperlakukan keluarga sendiri. Seumpama paduka
duduk di kursi, rakyat juga harus duduk di kursi; walaupun tidak sebaik kursi paduka.
“Keempat, paduka tak boleh menghukum rakyat yang tidak bersalah. Kelima, paduka
harus baik dan jujur. Rakyat harus mendapat keadilan dan perlindungan atas hak
milik, hak atas pekerjaan dan ketenangan dalam menjalankan adat dan budaya dan
kepercayaannya masing-masing.
“Keenam, paduka tak boleh merusak, merampas atau membawa harta kekayaan milik
rakyat Kerajaan Pulau Halimun untuk kepentingan pribadi, apalagi membawanya ke
luar pulau ini. Ketujuh, paduka tak boleh sewenang-wenang.
“Bila paduka melanggar sumpah ini, kami akan mengutuk paduka menjadi manusia
hina dan nista, dirundung penyakit dan bencana yang tak ada habisnya....”
***
ASAL MULA NAMA JARO
Loki
Santoso
Di antara
gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua pasang kaki telanjang
pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukit di sepanjang
pesisir sungai.
“Jek adhoh to kang gone sing diparani kui?” tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo, embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo
te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“ jawab Marto
Kuncung, sambil terus melangkah.
Di kejauhan, tampak kepulan asap di sebuah gubuk.
“Kae` koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“ sahut Muhiman.
Keduanya bergegas ke gubuk itu.
“Kulo nuwuuun….“ Hampir bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam.
Tak ada jawaban. Sekali lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak
ada sahutan dari gubuk di tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di kejauhan, tampak seseorang bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto
Kuncung dan Muhiman, ia keheranan melihat dua pria itu. Saat dua orang asing
itu mengucapkan salam, pemilik gubuk tadi tengah membakar sekam di ladang,
bekas panen bulan lalu.
“Kulo nuwun…,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam. Pemilik
pondok terheran-heran, tak mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi, Pak…,” kata Marto Kuncung dalam bahasa Melayu, mengulurkan tangan
untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan saya, Muhiman…“
“Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk, menghela napas panjang. Lega, karena dapat
memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“ katanya
sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu terbungkuk-bungkuk
masuk ke gubuk berukuran empat meter per segi, yang beratap ilalang dan
berdinding kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya dibawa ke dalam saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya
yang membawa buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan kikuk, Muhiman dan Marto Kuncung mengambil kembali buntalannya,
terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik gubuk.
“Umanyaaa…! Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan…,”
Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang
sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya, mereka terlibat dalam percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk,
hingga matahari mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja menjilati
puncak gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
***
Nyala lampu damar meliuk-liuk tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di
gubuk berlantai bambu tanpa bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang
wanita dengan garis-garis kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani teh, kopi dan sepiring kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria
itu bercakap-cakap.
”Terima kasih, Bapak sudah menerima kami di sini. Kalau boleh, kami ingin
membantu Bapak bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi kami tak mampu membayar,“ jawab Milir.
“Kami tidak minta bayaran, Pak. Diberi tempat berteduh dan makan saja pun,
cukup,” sahut Marto Kuncung.
“Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka
lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan berlanjut pada soal-soal lain, tentang asal muasal Muhiman dan
Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam hati, Muhiman dan Marto Kuncung merasa amat berdosa, karena telah
membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah
pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang, dan tersesat
ke situ.
***
Kokok ayam jantan di kandang samping gubuk membangunkan penghuninya, yang
bangun dari tidur beralaskan tikar purun . Di timur, matahari bersinar
keemasan, menerobos celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung,
menandai datangnya hari baru.
Muhiman membuka mata, saat secercah cahaya menerobos masuk celah atap ilalang.
”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai
temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air
dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari ini kita membantu Pak Milir membakar sekam ini, membersihkannya, agar
bisa ditanami lagi. Nanti kita tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk
ditanam,” ucap Marto Kuncung penuh semangat.
Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong goreng dan pisang
goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat menumbuk padi, jadi belum bisa
menanak nasi…,” Mak Milir mempersilakan kedua tamunya menyantap hidangan.
Meskipun baru berjumpa, mereka seakan sudah lama bersahabat.
***
Tiga pria paruh baya itu tak kenal lelah membersihkan batang-batang jerami kering
bercampur perdu dan rumput liar di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka
membersihkan lahan. Sepekan kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap
untuk ditanami.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di
bawah pohon besar yang rindang, sementara menunggu kiriman makanan dari Mak
Milir.
“Tidak ada. Kami pun baru tiga kali musim tanam berladang di sini,“ jawab
Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang Luit. Di situ hanya ada beberapa
rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke
kaki Bukit Batu Kumpai.
“Kalau panen, kedelainya nanti dijual ke mana, Pak?”
”Ke pasar. Kita harus sama-sama memikulnya.”
Milir mengisahkan kehidupannya suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk.
Segalanya harus dikerjakan sendiri, sejak bercocok tanam, memanen, hingga
menjual hasilnya.
Beberapa waktu sejak dua orang pelarian romusha itu ikut bercocok tanam,
kedelai sudah panen.
“Besok kita jual ke pasar…,” kata Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan
biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih, Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya
Marto Kuncung.
“Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
Di bawah sinar bulan purnama, malam itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata
terus menerawang. “Musim tanam yang akan datang aku harus membuka ladang
sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau Jawa, menjemput keluargaku, untuk
bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan
pohon perdu dan ilalang, menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai,
tiga pria dan seorang perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang
memanggul, dua lainnya memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan
di antara mereka, dengan punggung menggendong lanjung . Saat mereka tiba di
Pasar Muara Uya, matahari sudah terbit di ufuk timur.
Setelah kedelai laku terjual, Milir memberikan uang kepada dua orang temannya
itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu kalian mau membeli sesuatu…”
Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung berpisah untuk membeli keperluan
masing-masing.
Muhiman yang pendiam dan tak pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan
bingung pada hal-hal yang baru ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan
tingkah lakunya yang tampak kebingungan.
”Handak manukar apa pian, Cil?” tanya seorang pedagang.
Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu, Muhiman hanya
menjawab singkat, “Inggih…”
Jawaban Muhiman membuat orang-orang makin penasaran.
“Sampian matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?” Pedagang lain menghujani
Muhiman dengan pertanyaan.
“Inggih, inggih….”
“Andika urang mana?”
Meskipun bingung, Muhiman berusaha memahami kata-kata para pedagang itu. Makin
lama, makin banyak orang mengerubunginya. Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup
dan terbata-bata.
“Bapak berasal dari mana?“ tanya seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero ,
Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo…. Jaro. Jaro itu di mana, Pak?“
“Njero kono, adhoh.”
“Ooo… Ya, ya, ya…”
Para pedagang dan orang-orang di sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan,
meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari
sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para pedagang Pasar Muara Uya dan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu
kemudian menceritakan kepada yang lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”.
Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian
menyebutnya “Jaro”.
Sejak saat itu, kalau ada orang yang berasal dari tempat itu, apalagi kalau
berasal dari Suku Jawa, mereka menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan
perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di lidah masyarakat. Kini,
“Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tabalong, Provinsi
Kalimantan Selatan.
***
DATU PINTIT
Muhammad
Fitriadi
Bahari, ada
kampung nang andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung
Wayau. Di situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat
tuha, kada. Disambat anum, kada kawa jua.
Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung.
Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya
urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain
pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa
ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan
salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan cangkul,
handak turun ka kabun.
“Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang
buntut mahabisakan jagungku…,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun
gunung. Kada karasaan, sampai sidin ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin
sampai, hari sudah tarang. Balalu ai sidin basiang rumput, mambarasihi jagung
nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari, dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pinda baik haja
kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa aku batutukar
sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman malihat hasilnya.
Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai di kabun,
sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang rusak.
“Siapa satua nang maudak jagungku ni…?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan.
“Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun jagungnya, kada tabulangkir. Nang
panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas kana lincai. Lamunnya
satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya….”
Pindanya, ni lain gawian satua nang badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya
ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun mambawa sanapang angin. Sampai di kabun,
sidin basintup di higa balanai higa lalungkang. Sampai tangah hari, nang
panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar ai lalu,
babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu ha! Kadada nang manangati jua…!” sahut Datu Pintit.
Lawas kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki
jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah
kabun, sidin liwar takajut.
“Naaah… Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintit bamula
curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah tangah hari tu.
Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan, rusakan.
***
Limbah tu, dihintipakan Datu Pintit ai urang tu wayah lalu.
“Ui, datu, umpat lalulah…?” Kadangaran suara urang tu bapadah.
Nah, ujar Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya! Bagamat
sidin bajalan, mahintipakan, mairingi. Sidin kada handak langsung manangkap urang
tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya, urang tu lain manusia, tagal urang gaip! Macan jadi-jadian! Ujar,
lamunnya bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya.
Lamunnya handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang,
bagamatan mairingi. Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap
diambil sidin bajunya!
Limbah tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar
abutnya, mancarii bajunya ka hulu ka hilir. Sudah tuhuk mancarii, tagal kada
taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan
Datu Pintit, pada inya nang mamakani jagung.
”Datu… Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rila. Dudi-dudi, ulun
kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kada babaju tu, ulun
kada kawa bulik ka alam ulun…,” ujar macan jadi-jadian tu mambari maras, parak
manangis.
Nang ngaran Datu Pintit ni urang baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu.
Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan lagi
ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih, datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan
dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya
ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa
kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat pian.’’
Limbah baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka
alamnya. Nang ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama
haja jua lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam
subalah tu. Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa
kamalingan.
Sampai wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan
Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak daun
hidup di higa kupingnya.
***
LEGENDA
GUNUNG HALAT
Loki
Santoso
Di lembah hutan
belantara yang dikelilingi pegunungan, bertapa pria bertubuh raksasa dan
berpakaian kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman
sekarang, lebar dadanya lima jengkal.
Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta petunjuk dewata, agar
mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah 45 tahun, tapi belum juga mendapat
jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga pada suatu hari:
”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini…?”
Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya
getaran suara orang tua itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu
tempatnya duduk.
Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan waspada. Siapa orang ini?
Ini bukan orang sembarangan, batinnya
“Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada luasnya dunia, dalamnya
laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Dengan siapa
gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan.
“Aku penguasa hutan dan pegunungan di wilayah ini. Namaku Marlung!“ sahut orang
tua itu dengan nada tinggi. ”Mengapa engkau di sini, tanpa seizinku?”
“Sekali lagi, maaf. Saya tidak tahu. Sudah bertahun-tahun saya bertapa di sini,
tapi tak pernah bertemu seorang pun,” sahut Tilan. ”Saya pengembara dari negeri
seberang.”
“Baiklah, anak muda. Engkau kumaafkan. Tapi, jawablah pertanyaanku dengan
jujur. Apa tujuanmu bertapa di sini?”
“Saya mencari petunjuk tentang jodoh saya. Sebab, hingga kini saya belum
bertemu jodoh.”
Orang tua bertubuh raksasa itu senang dengan kejujuran anak muda itu. ”Baiklah.
Engkau kuizinkan bertapa di sini. Setelah dua belas purnama, aku akan kemari
lagi.”
“Terima kasih,“ jawab Tilan.
Tanpa Tilan sadari, orang tua itu sudah menghilang.
Tilan duduk lagi di tempat semula untuk melanjutkan pertapaannya. Namun,
pikirannya tak lagi terpusat pada tujuan semula, tapi pada orang tua tadi.
Siapakah Marlung? Benarkah raksasa itu penguasa hutan dan pegunungan ini?
Yang membuat hatinya lega, ternyata masih ada orang berwujud raksasa seperti
dirinya. Itu membuatnya berpikir, jika ada orang lain yang bertubuh sama besar
dengannya, mustahil dewata tidak menciptakan orang lain dengan wujud sebesar
itu, terutama yang berjenis kelamin perempuan.
***
“Hai, siapakah engkau…?”
Suara perempuan membangunkan Tilan dari pertapaannya.
Sembari menarik napas dalam, Tilan membuka mata dan menoleh ke arah suara itu.
“Maafkan saya yang hina ini. Nama saya, Tilan. Ada apakah gerangan?“
“Sudah berapa lama engkau bertapa di sini? Apa yang kau cari?”
Seorang perempuan tua bertubuh raksasa, berbaju kulit kayu dan rambut
awut-awutan, menghujani Tilan dengan pertanyaan.
“Saya mau mencari jodoh. Sudah tujuh belas purnama bertapa di sini. Maafkan
jika tidak berkenan,” jawab Tilan.
“Baiklah, anak muda. Teruskanlah tapa bratamu. Semoga berhasil…”
Belum hilang suaranya, perempuan tua raksasa itu sudah lenyap dari pandangan.
Kedatangan perempuan tua raksasa itu membuat Tilan makin yakin, masih ada
perempuan muda raksasa lainnya yang diciptakan dewata untuknya. Soalnya, dewata
telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
Pada suatu hari, telinga Tilan yang sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi di
sekitarnya mendengar senandung kecil di antara suara burung dan dedaunan yang
gemerisik ditiup angin. Penasaran, ia bangkit dari pertapaan dan menyusuri
jalan, menyibak rimbun dedaunan dengan perlahan.
Langkah kakinya terhenti, saat mendengar senandung perempuan di balik rumpun
bambu. Ia ingin tahu, siapa pemilik suara itu.
Sesaat Tilan terpaku. Rasa penasaran membuatnya mendekat dengan hati-hati, agar
kehadirannya tak diketahui gadis cantik bertubuh raksasa berkulit bersih,
berambut panjang, hitam dan legam, yang jika berdiri mungkin panjang rambutnya
mencapai tumit.
“Siapa itu…?!” seru gadis raksasa itu saat melihat kehadiran Tilan.
“Maafkan aku. Suara nona yang merdu membuatku datang kemari. Suara nona
ternyata secantik orangnya..,” jawab Tilan sambil menampakkan diri.
“Siapa kamu? Beraninya mengintipku? Apa maksudmu?”
“Namaku Tilan. Aku bertapa di lembah sebelah sana. Aku ingin minta petunjuk
kepada dewata tentang jodohku. Nah, pertanyaan nona sudah kujawab. Sekarang,
giliran nona. Siapa nona, dan dari mana?”
“Namaku Ambar, asalku di sebelah bukit ini. Orang tuaku bernama Mratung,” sahut
perempuan itu dengan nada lunak.
Tilan lega, tapi kaget setelah tahu, bahwa gadis raksasa itu adalah putri orang
tua raksasa yang pernah menemuinya. Saat mata Tilan beradu pandang dengan mata
Ambar, dadanya berdegup kencang. Begitu pula Ambar. Wajah gadis raksasa itu
bersemu merah, tertunduk malu tersipu-sipu.
“Ambaaar….!“
Suara yang nyaring dan menggelegar tiba-tiba memanggil nama gadis itu. Suara
itu merontokkan dedaunan kering di atas pepohonan. Demikian nyaringnya suara
itu, membuat sepasang muda-mudi yang sedang beradu pandang itu tersentak ke
belakang, hingga jarak mereka berjauhan.
Belum hilang rasa kagetnya, Tilan dikagetkan lagi dengan kehadiran pemuda
bertubuh raksasa berbaju kulit kayu. Pemuda itu berdiri tegap dan tegak, dengan
mata kemerahan, langsung membentak, “Siapa kamu?!”
“Aku, Tilan. Anda sendiri, siapa?”
“Aku Marlung, putra Mratung, penguasa wilayah ini. Mengapa kau mengganggu
adikku!?”
“Maaf, tapi aku tak melakukan apa-apa. Kami baru saja berkenalan.”
“Apa maksud kedatanganmu?!“
“Mencari jodoh. Tak disangka, di sini bertemu dengan keluarga bertubuh sama
besar denganku, dengan anak gadisnya yang cantik.”
“Apa maksudmu?!”
“Aku ingin menyunting Ambar,” jawab Tilan terus terang.
Marlung tampak kurang senang. “Kami tinggal satu kelompok. Semuanya raksasa.
Pergilah ke sebelah bukit sana, akan kau jumpai raksasa seperti kami. Di sana
juga banyak gadis raksasa. Jika ingin menyunting adikku, kau harus adu ilmu
denganku dulu. Agar kami tidak salah pilih. Engkau dari mana, keluarga siapa?!”
Tilan berpikir sejenak. Selama bertapa, hanya Ambar raksasa perempuan yang
pernah ditemuinya. Jika perempuan itu memang jodohnya, adu kesaktian untuk
mendapatkannya cukup sepadan.
“Baiklah. Aku yakin, Ambar adalah jodohku. Mari kita bertarung…”
Tilan dan Marlung kemudian adu kesaktian.
Bagi Ambar, menyaksikan pertarungan seperti itu sudah biasa. Sebab, ia dibesarkan
dalam adat istiadat seperti itu. Pertarungan itu menumbangkan pepohonan, akibat
terkena pukulan dan tendangan keduanya. Perkelahian mereka berlangsung
siang-malam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Semakin lama,
arena perkelahian mereka semakin meluas, mendekati lembah tempat Tilan bertapa.
Dalam satu kesempatan, keduanya mengeluarkan ilmu tingkat tinggi. Saat keduanya
mengangkat tangan, keluar cahaya putih menyilaukan mata, lalu mereka
melontarkannya dan beradu di udara. Hawa panas pukulan itu mengenai sebatang
pohon besar. Pohon itu langsung hangus dan terbakar, terbelah dua dengan warna
berbeda. Belahan pohon pertama yang berwarna merah roboh ke arah utara, yang
kehitaman roboh ke selatan.
Saat pertarungan telah berlangsung tiga purnama dan mencapai puncaknya, mereka
masing-masing mengeluarkan ilmu beralih rupa. Tilan berubah wujud, menjadi ikan
bermulut lancip, dengan punggung berduri tajam tanpa sisik; sementara Marlung
menjadi belut besar berkepala mirip ikan gabus, bertubuh bulat dan panjang.
Keduanya menceburkan diri ke dalam kolam. Di dalam kolam, keduanya membelit dan
saling tusuk dengan senjata masing-masing. Air kolam keruh menjadi lumpur,
bergolak dan mengeluarkan gelombang udara.
Saat itulah Mratung dan Ambar datang.
Mratung murka dan membentak keduanya agar menghentikan perkelahian. Namun,
keduanya tak menghiraukan.
“Kalau kalian tak henti berkelahi, kalian takkan kembali ke wujud semula…!”
seru Mratung.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Mratung mengucapkan mantra. Tangannya
mengeluarkan cahaya keemasan. Cahaya itu diarahkannya ke kolam. Air kolam yang
semula keruh berlumpur dan bergolak, tiba-tiba menjadi tenang. Mratung
memisahkan tubuh keduanya yang kelelahan, dan berkata, “Untuk selamanya, wujud
kalian akan begini! Kalian harus pergi dari kolam ini!“
Dengan tubuh lemah lunglai, keduanya pergi meninggalkan tempat itu,
masing-masing ke arah utara dan selatan, membuat jalan dengan sisa-sisa
tenaganya. Dari jalan yang mereka buat, terbentuk dua aliran sungai. Sungai di
utara kini dinamakan Sungai Maliri, yang banyak ikan malung-nya. Tapi, di
sungai itu tidak ada ikan tilan. Sebaliknya, sungai di selatan kini dikenal
sebagai Sungai Pupuh. Di dalamnya, banyak ikan tilan, tapi tak ada ikan
marlung.
***
Dari cerita orang-orang tua, dahulu di perbatasan Gunung Halat ada pohon besar
bercabang dua, yang berbeda jenis dan warna daunnya. Konon, itulah pohon yang
pernah terbelah dua akibat perkelahian Tilan dan Marlung. Pohon itu hanya dapat
dilihat oleh orang-orang yang mempunyai ilmu kebatinan. Kini, daerah itu
merupakan perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan
Selatan.
***
UTUH TALUNGKUP WAN PILANDUK
Gusti
Indra Setyawan
Bahari, di
Kampung Mahe, ada bibinian nang batianan. Uma Idang ngarannya. Lakinya sudah
kadada lagi, hanyar am mati ditimbak patir wayah di pahumaan. Rumahnya rumbis
banar. Hatapnya daun rumbia. Lamunnya ada angin tutus, takipaian hatapnya.
Liwar buruk rumahnya. Gawian Uma Idang saban hari maambil upah manurih gatah, sapalih
batanam gumbili, sapalihan lagi bahuma. Parutnya sudah masuk itungan lapan
bulan. Ujar urang, sabulan haja lagi mambarubus. Tagal, sidin cangkal haja lagi
bagawi.
“Aduhhhh… Parutku ganal sudah. Parak sudah baranak. Laki, kadada. Dingsanak,
kadada. Duit, kada tapi ada. Dimapa juakah kaina nasip anakku ni…,” ujar Uma
Idang marista diri.
Saban hari, siang malam, Uma Idang asa marista. Satutumat, manangis saurangan,
sampai bantal batahi lambuan.
Kada karasaan, sampai sudah sambilan bulan, sambilan hari. Manunggu wayahnya
haja lagi. Saharianan Uma Idang badangsar, kasakitan parut. Hadap kiwa, hadap
kanan, batilungkup, tatap ai sakit. Maka, tumatan rumahnya ka rumah dukun
baranak, jauh banar. Untungnya, ada haja urang nang hakun manulungi,
mangiauakan dukun baranak.
“Buka sadikit lagi… Tarus hajan… Tarussss, sadikit lagi…!” ujar dukun baranak,
manyuruh Uma Idang.
“Aduuuh… Nangapa lagi nang dibuka? Asa lain nang dihajan, nah! Asa takaluar
nang sabutingnya!” sahut Uma Idang.
“Iya am, tu! Parak sudah! Hajan tarussss…!”
Kada lawas mahajan, mambarujul takaluar jabang bayi lakian.
“Uaaa… Uaaa… Uuuaaaa…!” Nyaring banar suara tangis anak Uma Idang.
Anak tu dingaraninya Utuh Talungkup. Maraganya, wayah maranakakan, Uma Idang
tatalungkup-talungkup mahajan. Balalu, anaknya dingarani Utuh Talungkup. Urang
bahari nang nyaman-nyaman haja mangarani anak, kada pati ngalu kapala
mamikirakan.
Dilihatinya anaknya, dipusutinya. Kaingatan Uma Idang wayah batianan talu
bulan. Nang dikidamnya, buah pitanak, buah urang bahari. Wayah ini, buah
pitanak sudah kadada lagi. Buahnya hirang. Rasanya masam sadikit.
“Pantas haja anakku ni hirang. Aku pang mangidam pitanak…,” ujar Uma Idang
dalam hati.
Uma Idang kaingatan lawan kai nang mambari buah pitanak tu, wayah inya
batianan. Kai tu baucap, ”Lamun ikam mamakan buah pitanak ni, anak ikam kaina
ganalnya pintar, pawanian, raja akal. Tagal, awaknya hirang….”
Nang ngaran urang mangidam, napa haja dituruti Uma Idang. Sakalinya, dasar
bujur hirang awak anaknya. Kada karasaan, satahun, dua tahun, sapuluh tahun,
sampai dua puluh tahun umur Utuh Talungkup. Uma Idang sudah sasain tuha. Muha
takarisut. Kulit mangariput. Awak kandur. Mata kaur. Bajalan tamaju taundur.
***
Uma Idang kahandakan banar makan daging pilanduk. Nang kaya mangidam ha lagi.
Bakiau ai Uma Idang lawan anaknya. “Tuh… Uuu, Tuhhhh… Ka mari satumat, Nak!”
“Inggih, Ma. Napa, Ma?”
“Cariakan pilanduk. Mama handak banar makan daging pilanduk.” “Inggih. Ayuha,
Ma ai.”
Limbah maambil tumbak wan karung, tulak ai Utuh Talungkup ka hutan. Nang ngaran
ganal hampadal, inya kada takutan masuk ka hutan. Limbui sudah paluh, tagal
kada taulih jua pilanduk. Tagal, lamunnya kada bakulih, inya pantang bulik ka
rumah. Maginnya, nang bakahandak tu umanya. Basarusup inya, mahintipakan
pilanduk di higa batang kayu ganal. Kada lawas, ada pilanduk balinjang.
“Naaah… Ninya satua nang kuhadangi tumatan tadi!” ujar Utuh dalam hati.
Wayah Utuh Talungkup handak manumbak, ada suara di atas puhun, managurnya:
“Wak, wak, wak…! Ngik, ngik, ngik…! Jangan ditumbak, Tuh ai!”
Hulingang-hulingang Utuh Talungkup, kapulingaan mancari asal suara. Limbah
dilihatinya, sakalinya nang bapandir tadi tu warik.
Takajut Utuh.
“Ikamkah, Rik, nang bapandir tadi?”
“Ngik, ngik, ngik…! Wak, wak, wak…! Hi’ih, Tuh ai! Ikam jangan manumbak pilanduk
tu!” ujar warik pulang.
“Napa garang, jadi aku ditangati manumbak?”
“Ngik, ngik, ngik…! Wak, wak, wak…! Lamun ikam handak, jangan ditumbak! Tangkap
haja!”
Utuh bingung, kada paham sahama-hama.
“Tangkap haja pilanduknya! Inya kada pacangan bukah jua!”
Dasar bujur ujar warik.
Bagamat Utuh manangkap pilanduk. Nang kaya mahadang ditangkap jua, pilanduknya
kada bukah lalu wayah dikacak Utuh di puhun gulunya. Pilanduk tu dibuat Utuh
dalam karung, dibawanya bulik ka rumah.
Sampai di rumah, Utuh baasa maasah parang, sakira sasain landap. Wayah parang
bahuyung ka gulu pilanduk, Utuh takajut kada sakira, malihat pilanduk tu titik
banyu matanya! Maginnya wayah mandangar pilanduk tu baucap:
“Ka Utuh…! Jangan disumbalih ulun, ka…!” ujar pilanduk mambari maras.
Malihat pilanduk tu bisa bapandir, Utuh kada purun manyumbalih. Bapadah ai inya
lawan mamanya. Untungnya, mamanya kada manangati jua, pinda kada pati baliur
lagi lawan daging pilanduk.
***
Baisukan hari, Utuh takajut malihat di bawah tatudung banyak banar makanan nang
nyaman-nyaman. Batakun inya lawan mamanya. “Ma, piankah nang maulah makanan di
tatudung tu?”
“Lain. Kada tahu jua mama, Tuh ai!” sahut mamanya.
“Siapa pang, nang bamasak ni?” ujar Utuh pulang.
“Tahu jua! Tang ada ha! Makan ha. Nyaman ai masakannya.”
Nang ngaran handak tahu, limbah tuntung makan, dihintipakan Utuh ai tatudung tu
di buncu dapur. Saharianan, sampai taka malam. Satumat-satumat, dibukanya
tatudung.
“Siapa jua nang mambari makanan ni? Banyak bangat,” ujar Utuh.
Saban hari, makanan nang nyaman-nyaman ada tarus. Utuh sasain panasaran. Pas
malam Jumahat, dihintipakan Utuh pulang tatudung tu. Liwar takajutnya inya,
malihat ada bibinian bungas parahatan bamasak di dapur.
“Siapa ikam…?!” ujar Utuh mangajuti tumatan balakang.
“Ampun, kaka Utuh! Niat ulun baik lawan pian wan mama pian,” ujar binian tu.
Muhanya liwar langkarnya.
Manggatar lintuhut Utuh malihat bibinian tu. Hatinya gadugupan kada karuan.
“Uuu, jadi ikam nang bamasak saban hari di rumah ni?” ujar Utuh, unggut-unggut,
bapandir tapuntal-puntal, liwar gugupnya.
“Inggih, ka ai. Ulun nang saban hari bamasak di dapur, maulahakan makanan gasan
pian badua. Ulun pilanduk nang pian tangkap. Ulun tamakan sumpah, lalu baubah
jadi pilanduk. Lamun ada lalakian nang hakun mangawini, ulun baubah jadi
manusia lagi…”
Nyata ai Utuh Talungkup hakun. Siapa jua nang kada hakun mangawini bibinian
jelmaan pilanduk nang liwar langkarnya tu? Limbah dikawini Utuh Talungkup,
pilanduk tu baubah jadi manusia salawasan. Habis kisah, Utuh Talungkup hidup
nyaman lawan bini wan mamanya.
***
LEDAKAN
TIGA BIJI LIMPASU
Mahfuzh
Amin
Alkisah, dahulu
kala ada Kerajaan Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang sekarang
bernama Kampung Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu Garang,
karena rajanya bernama Lambu Garang. Raja itu amat zalim. Ia suka memeras
keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja Lambu Garang senang mengumpulkan perempuan cantik sebagai selir. Tak ayal
lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri orang sekalipun,
akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada yang berani
melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu Garang
berjumlah 40 orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang berburu bersama pengawalnya, ia melihat
perempuan cantik. Kecantikannya melebihi kecantikan selir-selirnya, bahkan
lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan tiba di
Kampung Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana,
untuk dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat
niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh berpengaruh
di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang luas, Datu
Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi juga bersama
adik kandungnya, Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik
dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati, tidak mudah bagi Raja Lambu Garang
untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri, ia akan mendapat
perlawanan tokoh sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu
Magat, tentu akan berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang
diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi Patih kerajaan di istana.
Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja, bersedia menjadi Patih Baras.
Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal di istana. Keberadaan Diang
Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang untuk mendekatinya. Makin hari,
keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar sebagai selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang
seluruh rakyat dan pejabat kerajaan. Bagi rakyat, ini pesta pertama yang
diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan
suka cita. Rakyat mendapat makanan dan minuman secara cuma-cuma, segala macam
hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin
minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan. Sebagai
Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan
raja dan pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon
yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya, kecuali menggunakan tangga.
Raja memerintahkan pengawal membuat tangga, bersambung-sambung, hingga setinggi
pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak
pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian
bawah. Tangga panjang itu pun roboh. Datu Magat tak dapat turun. Raja Lambu
Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa kabar
kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan menjadi
selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan kesaktiannya saat berada di puncak pohon. Ia tak
dapat turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi,
harapannya sia-sia. Pohon itu terletak di tengah hutan belantara yang jarang
dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah
berjanji akan menolongnya jika ada masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang
dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil.
Hal itu membuat Datu Magat marah besar, sebab Diang Wangi belum bersuami.
Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata, tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi,
termasuk Diang Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada
yang menggaulinya. Tapi, saat itu terjadi, ia tak sadarkan diri. Saat sadar,
yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap basah orang yang telah menghamili adik
kandungnya itu. Ia mengumpulkan kulit bamban , mengolahnya menjadi tali yang
panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat persembunyian di semak belukar di
seberang rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat
tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti rumahnya. Semula, ia
mengira kabut itu hanya embun, yang biasanya turun menjelang dini hari. Tapi,
makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya,
tidak menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep
pelaku yang telah menghamili Diang Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga
tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap di jendela
kamar Diang Wangi. Pria itu hanya mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat
segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa itu tengah melampiaskan hawa
nafsunya, diikatkannya tali bamban ke cawat lelaki itu, dan tanpa suara kembali
ke tempat persembunyiannya.
Keesokan harinya, Datu Magat mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa
itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon besar. Sejenak ia berpikir:
jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu tindakan pengecut. Dibangunkannya
makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang.
Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan langsung menyembah, mengiba-iba,
memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku telah menghamili Diang Wangi, dan
memohon agar Datu Magat menikahkan mereka. Datu Magat tersentuh, urung
membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa
bernama Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan,
hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam
sekejap, yang dipanggil datang. Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan
mudah membantu Datu Magat turun dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu
Magat menceritakan peristiwa yang menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah
besar. Ia memberi Datu Magat tiga buah biji limpasu , dan berpesan agar
dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara
ledakan, Datu Magat harus lari secepat mungkin. Datu Magat pun kembali ke
istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan hiburan.
Setelah menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung
melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa. Dilemparkannya lagi
biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar
suara dentuman yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari
kencang meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh
dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling tabrak, saling
injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu tiang bangunan istana
roboh, tanah longsor.
Istana kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri
dan selir-selirnya, pejabat kerajaan, juga seluruh rakyat yang hadir dalam
pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya
dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat asalnya di Kampung Harung, hidup
tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai
putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir hayatnya, Datu Magat dimakamkan di
kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak jauh
dari Mapolres Tabalong, Tanjung.
***
ASAL MULA KISAH KAMBING TAKUTAN
LAWAN BANYU
Gusti
Idra Setyawan
Wayah malam hari,
di hutan Samulung, nang andakannya parak Kampung Wayau, kadangaran suara
kambing. Maraga banyak binatangnya, hutan tu jarang didatangi urang. Ada dua
ikung kambing nang baluman guring. Kambing anak wan mamanya.
Bujur banyak binatangnya, takananya ada haja urang nang wani masuk ka dalam
hutan tu. Nang wani masuk ka hutan tu biasanya urang nang ganal hampadal, kada
balampu, atawa urang nang kada takutan mati.
Saban malam, sabaluman guring, anak kambing minta kisahakan dahulu lawan
mamanya.
“Ma, bakisah dahulu, hanyar ulun hakun guring…,” ujar anak kambing pinda ungah.
“Ayuha. Asal ikam guring, Mama hakun ai bakisah,” ujar Mama kambing. “Di hutan
ni, Mama kada takutan lawan nangapa haja, Nak ai,” ujar mamanya kambing pulang,
piragah jagau.
“Umai, Ma? Haratnya pang, pian, nih? Lawan macan pang, wanilah pian?”
“Mama kada takutan! Lawan landakkah, taranggilingkah, katikihkah, ular sawakah,
tadung murakah, hadupankah, macankah… Lawan gajah nang saling ganalan haja gin,
Mama kada takutan. Nang Mama takutani di dunia ni, saikung haja, Nak ai. Handak
tahulah, ikam?”
“Siapa, Ma? Siapa nang pian takutani?”
“Tangguhi. Siapa, nah?”
Bingung anak kambing mamikirakan.
Ayungannya, anak kambing bawani manangguh: “Pasti raksasa! Kada lain lagi! Iya,
kalu, Ma?”
“Lain! Luput tangguhan ikam!” Mama kambing takurihing mandangar jawapan nang
anak.
“Siapa pang, Ma?”
“Ngarannya… Eee… Handak ai Mama padahi, tagal ikam baluman cukup umur lagi, Nak
ai. Lamunnya sudah ganal, kaina ikam pasti tahu saurang. Kusambat ngarannya
haja gin, lah? Ngarannya, si R-i-n-t-i-k. Nah, Mama sudah bakisah, sadang sudah
ikam guring….”
***
Rupanya, wayah mama kambing tu bakisah, ada macan nang umpat manalinga. Macan
tu parahatan mancari makan. Sudah saharianan inya kada tadapat makanan. Niatnya
nang handak marungkau kambing, batal, limbah mandangar pandiran kambing nang
badua baranak tu.
Macan bapikir: “Nangapa maka kambing kada takutan lawan diaku? Nangapa maka
inya takutan lawan si Rintik? Siapa si Rintik tu? Raksasakah?” ujar macan,
mandam kapiu. Lawas inya bapikir, mangalamun, bakadap di bawah rapun hambawang.
Padahal, inya kada macan sambarang macan, tagal dasar raja hutan bubujuran!
****
Wayah macan asyik mangalamun, kada jauh pada situ ada dua ikung urang nang
bagarit minjangan. Ngarannya, Adul wan Amat.
“Dapat juakah, Dul, kita malam ini, yu? Lamunnya kada minjangan, pilanduk atawa
kijang barang…,” ujar Amat, pinda hawai.
“Tanang haja. Nang musti, kita bausaha dahulu,” sahut Adul.
Adul wan Amat maingkuti lampu damar, bajalan tarus padang kadap. Limbah anu,
taranjah rapun kayu. Kada tahu dilapah, masuk hutan, kaluar hutan. Sanapang
dumdum, parang, tumbak, timbaku wan makanan, langkap dibawa. Karung gin, ada
jua.
Tagal, sasain jauh masuk hutan, kada talihat saikung-ikung minjangan, pilanduk
atawa kijang. Baunya haja gin, kadada.
Kanapakah, parahatan Adul wan Amat bamula pusang, panglihat nang badua tu ada
kijang nang saling ganalan, mancugut di padang kadap, di bawah rapun hambawang.
“Mat, napa jarku tadi! Tuh, yat, di padang kadap… Napa nang saling ganalan tu?”
“Banaran. Kada salah lagi! Kijang!” Amat kahimungan.
Nang ngaran liwar himungnya, Amat langsung maambil sanapang dumdum nang sudah
baisi pilur. Tinggal ditimbakakan haja lagi.
Tagal, baluman lagi ditimbakakan, Adul sudah manangati. “Jangan ditimbak, Mat
ai. Kaina mati! Kita tangkap hidup-hidup haja!”
Bajingkit-jingkit, Adul wan Amat mamaraki satua tu. Bagamat Adul maurak karung,
sagan manangkap wan mambuat ka dalamnya.
“Naaah…! Dapatku…!” Adul mambuat satua tu ka karung sambil bakuciak kahimungan.
“Pacangan cair, kita, Dul ai…!”
Adul wan Amat kada tapikir, nang dibuatnya ka karung tu lain kijang, tagal
macan! Macan mangira jua, nang wani manangkapnya tu pasti si Rintik!
“Aduhhh… Iya, pang…. Ni pasti si Rintik nang disambat kambing tadi. Wani banar
inya manangkap diaku, padahal aku raja hutan ni…,” ujar macan dalam hati.
Macan panasaran. Handak banar inya tahu, dimapa garang sabujurannya nang
bangaran si Rintik tu? Inya bapikir, pasti si Rintik tu ganal banar awaknya.
Nang ngaran kahimungan, Adul wan Amat kada bagaduh lagi lawan isi karungnya.
Naik gunung, turun gunung, masuk hutan, kaluar hutan, nang badua tu bulikan,
banyanyian kahimungan.
Di tangah jalan, nang puhunnya kada tapi banyak, bulan salau-salau manarangi
jalan. Muha Adul wan Amat sudah kalihatan. Dalam karung, si macan handak tahu
jua, siapa si Rintik.
Bagimit, macan marabit karung lawan kukunya nang panjang landap. Dirabitnya
sadikit-sadikit, asal muat di kapala. Dijinguknya satumat, masuk pulang.
Dijinguknya lagi, masuk pulang.
Wayah kapala macan cangul di karung, kabalujuran Adul malihat tumatan balakang.
“Mat…! Napa nang kita bawa ni, Mat…?!” Suara Adul manggatar.
“Kijang, Dul ai!” Amat manyahuti sambil tatawa. Inya kada paham, napa maka
suara Adul pinda manggatar?
“Lain, Mat ai! Babalang, awaknya…! Tu, tu, tu… Ma, ma, macaaan…!”
Asa kada parcaya, bagamatan Amat bajinguk, malihati isi karung nang
dihambinnya. Inya liwar takajutnya! Mata macan tu pas parahatan cangang ka
inya! Saitu-saini, dihampasnya karung nang dihambinnya.
“Brukkkkk…!” Malabuk bunyi karung dihampas saling nyaringan.
“Aduh… Aduhh… Liwar gancangnya si Rintik ni… Dihampasnya aku, nah…,” ujar macan
kasakitan.
“Macan, macan, macaaan…! Tulung, tulung, tuluunggg…!”
Amat wan Adul bukahan kada katanahan, bakuriak saling nyaringan, katakutanan.
Limbah dihampas tadi, macannya bukah jua ka hutan saling lajuan. Adul wan Amat kada
ingat di diri lagi, banaik ka rapun puhun nang tinggi.
***
Di dalam hutan, macan bahabar lawan kakawalannya.
“Siapa nang handak malihat si Rintik, raja hutan nang hanyar? Iringi aku…” ujar
macan, awaknya manggatar katakutanan.
Saitu-saini, macan-macan lain takumpulan, umpatan tulakan, bairingan.
Di bawah puhun, wadah Adul wan Amat basambunyi, takumpulan macan, saling
banyakan.
Adul wan Amat magin katakutanan, banaik sasain tinggi. Sakira takurang jua rasa
takutan, kaduanya barukuan.
“Uma, uma, umaaa…! Api haja dimakannya! Dasar harat banar si Rintik tu!” ujar
macan katakutanan.
Nang ngaran liwar takutannya, Adul wan Amat takamih-kamih di salawar.
“Aduh, aduh…! Aku diludahinya…! Liwar hancingnya…!” ujar macan pulang.
Malihat macan datangan tarus, Adul wan Amat batingggi lagi naik.
Kada disangka, ayungannya:
“Krak… Krak… Ciuuutttt… Dabukkk…!”
“Aduh, aduh! Digugurinya pulang aku…! Sakiittt…! Bukahan, bukahaaan…!” Raja
hutan bakuriak manyuruh anak buahnya.
Limbah macannya kadadaan lagi, Adul wan Amat bagamat turunan. Sambil maurut ka
pinggang, nang badua tu hancap bulikan, bukahan mancincing, katakutanan.
Ayungannya, raja hutan mangaku kalah, lalu maanggap si Rintik raja hutan nang
paharatnya. Padahal, “si Rintik” nang disambat kambing tu maksudnya “rintik banyu
hujan”. Cucuk ai sampai wayah ini kambing takutan lawan banyu…
***
ASAL MULA NAMA KAMPUNG LIANG
TAPAH
Loki
Santoso
Liang Tapah
adalah nama kampung di utara kaki Gunung Batu Kumpai, Kampung Garagata,
Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Liang Tapah
berasal dari kata “liang”, yang berarti “rongga yang menyerupai goa”, “tapah”
adalah nama ikan besar yang hidup di air tawar. Kini, ikan tapah kian langka.
Dua nama itu digabungkan menjadi “Liang Tapah”, yang berarti “goa (ikan)
tapah”.
***
Dahulu kala, dipinggiran hutan, hiduplah pemuda bernama Salman. Ia rajin
bekerja dan taat beribadah. Di sekeliling tempat tinggalnya masih berupa hutan
belantara. Banyak tumbuh pepohonan besar, termasuk pohon kayu ulin .
Asal muasal Salman tidak diketahui. Untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia
menanam padi dan sayuran, membuat gubuk dari batang kayu ulin sebagai tiang
penyangga, dan kayu lain sebagai bangunan gubuknya. Waktu terus berputar, hari
berganti. Lama kelamaan, warga terus bertambah di kampung tak bernama itu. Usai
salat Magrib, Salman rajin berdoa dan membaca ayat-ayat suci Alqur`an. Alunan
suaranya yang merdu kadang terdengar sampai jauh. Padahal, Salman merasa tak
terlalu nyaring saat mengaji. Suaranya membuat warga kampung tetangga
memintanya menjadi guru mengaji bagi anak-anak. Dengan senang hati, Salman
bersedia.
Kehidupan terus berjalan. Tak terasa, usia Salman terus bertambah, tapi ia
belum berniat hidup berumah tangga. Di samping bercocok tanam, sehari-hari ia
mencari ikan dengan cara bagalau dan memasang lukah .
Pagi-pagi sekali, usai salat Subuh, Salman mengambil lanjung .
Dengan menggendong lanjung dan parang di pinggang, Salman bermaksud melihat
lukah yang dipasangnya kemarin. Di pinggir sungai, ia dikejutkan oleh daun-daun
pakis yang bergoyangan, seakan dilanda sesuatu yang besar sekali.
Setiba di tempat tujuan, Salman kaget bukan kepalang saat melihat lukah-nya
hancur berantakan. Sambil memeriksa perangkap ikan itu, ia bertanya-tanya dalam
hati: ikan sebesar apa yang telah merusak lukah-nya?
Salman mengambil lukah-nya untuk diperbaiki di pondok.
Ketika melewati daun-daun pakis yang bergoyang-goyang tadi, Salman mengamati
lagi dengan lebih cermat. Ia ingin menyusuri sungai yang menyerupai danau itu,
untuk mengetahui apa gerangan yang membuat daun-daun pakis tadi bergoyangan.
Tapi, diurungkannya niatnya. Hari sudah jelang siang. Ia harus menyirami
tanaman jagungnya yang mulai berbunga. Saat di gubuk, hatinya gelisah,
penasaran dengan yang dilihatnya di danau tadi.
***
Tengah malam di musim kemarau itu, Salman bermimpi bertemu dengan orang yang
berpakaian seperti pengawal kerajaan. Orang itu berkata, “Susuri danau dan
sungai berbatu itu, hingga ke kaki bukit. Niscaya akan kautemukan jawaban atas
pertanyaanmu…”
Tanpa berpikir panjang, esok harinya Salman mengikuti petunjuk dalam mimpinya.
Disusurinya sungai, hingga ke kaki bukit. Ia terkejut melihat ombak besar
bergulung, dan alur gelombang yang menghilang di kaki bukit batu kapur.
Setibanya di alur air itu, ia makin terkejut dengan pemandangan yang
dilihatnya. Seekor ikan besar sedang menyelinap masuk ke sebuah liang!
Didekatinya liang itu, sambil berpikir: bagaimana cara menangkapnya? Kalau
dapat, daging ikan itu akan dibagi-bagikannya kepada tetangga dan murid-murid
mengajinya.
***
Di gubuknya, Salman terus memikirkan cara agar dapat menangkap ikan itu. “Aku
harus bangun lebih pagi,” pikirnya. “Akan kuintai dahulu ikan itu saat keluar.
Kujaga di muara liangnya, sebelum ia kembali masuk. Hanya itu caranya …”
Malam harinya, Salman bermimpi didatangi sepasang manusia berpakaian aneh,
dengan raut wajah sedih. Yang perempuan menatapnya dengan wajah memelas.
“Kumohon, jangan kauteruskan niatmu itu…,” katanya, sebelum lenyap.
Salman bingung, hingga tak dapat memejamkan matanya hingga subuh. Setelah salat
Subuh, diambilnya lanjung dan parang, berangkat dengan tekad bulat menangkap
ikan besar itu.
Tak berselang lama, Salman tiba di tempat tujuan.
Diturunkannya lanjung dan dihunusnya parang, mengendap-endap perlahan mendekati
liang. Matanya meneliti tanda-tanda di sekitarnya. Tampaknya, ikan itu tengah
keluar mencari makan, karena dedaunan pakis tampak rebah, berlawanan arah
dengan muara liangnya.
Di tempat persembunyiannya, Salman melihat ada gerakan-gerakan lembut pohon
pakis, beberapa meter di depannya. Jantungnya berdebar-debar, saat gerakan itu
kian mendekati tempat di mana ia berada. Ikan itu sedang menuju liangnya!
Saat melihat ikan itu berkelebat di bawah permukaan air, secepat kilat Salman
menghunjamkan parangnya. Air bergolak dan tiba-tiba berwarna merah darah.
Seekor ikan besar menggelepar-gelepar meregang nyawa, tepat di muara liang.
Dengan senyum penuh kepuasan, Salman menyeret ikan besar itu,
memotong-motongnya, dan memasukkannya ke dalam lanjung. Di gubuk, Salman
memperkecil potongan ikan itu untuk dibagi-bagikan, sesuai dengan jumlah
tetangganya.
“Di mana guru mendapatkan ikan ini?” tanya warga yang berdatangan.
“Di muara liangnya,” jawab Salman.
“Ini ikan tapah!” seru warga lainnya.
“Alhamdulillah. Semua ini berkat dari Allah,” sahut Salman. “Bagaimana kalau
kampung ini kita namai Kampung Liang Tapah?”
“Barrakkallaaah… “ sahut warga, setuju.
***
Di sekitar liang itu, ada lubuk yang pernah dipenuhi ikan tapah. Lubuk itu kini
dinamakan Luk Hijau. Menurut warga, kadang-kadang terlihat ikan tapah di situ,
tapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Warga yakin, itu
adalah pasangan ikan tapah yang telah ditangkap Salman.
***
PUHUN BINJAI WAN PUHUN JINGAH
Muhammad
Fitriadi
Ujar urang, di
Luuk Suntul, nang wayah ini bangaran Kampung Wayau, bahari ada karajaan.
Karajaan tu wadah singgah wan mandian bubuhan raja-raja, bila bubuhan raja-raja
tu handak tulakan bakapal.
Rajanya bangaran Raja Simamarta. Raja Simamarta banyak baisian tanaman, nang
kakaya langsat, rambutan, tiwadak, kapul, ramania, banyak ai lagi.
Raja Simamarta baisian tanaman nang paling disayanginya: puhun jingah wan
binjai, nang tumbuh di tabing sungai, di balakang istana karajaan. Raja
mandangar habar, ada tanaman nang lamunnya diparaki, urang bisa gatalan.
Balalu, Raja mangiau Patih.
‘Patih Tangkar, cuba pang ikam lihatiakan tatanaman nang ada di karajaan ni.
Pandangarku, ada tanaman nang bisa maulah urang gatalan wayah diparaki. Tanaman
napa tu?’’ ujar Raja.
“Ayuha, Raja ai. Halaman pian pasti ulun jaga, Kada pacangan ada maling nang
wani masuk. Lamunnya ada jua, nih, bahadapan lawan ulun, Patih nang panjagaunya
di karajaan ni…,’’ ujar Patih Tangkar kapiragahan.
‘’Nah, ham. Luput sakalinya! Ni duit, nah! Tagal, ikam lihatiakan dahulu
tatanamanku nang ada di kabunku, limbah tu hanyar sabarataan nang ada di
karajaan.’’
“Bah, Raja ni… Jaka bapadah tumatan tadi handak minta lihatiakan kabun pian,
sudah am ulun lihatiakan…’’
Balalu, Patih Tangkar tulak ka kabun.
Patih Tangkar ni urang paling jagau, paling sakti. Kadada tu pang nang wani
malawaninya. Sauting haja kakurangannya: urangnya tuli biruangan, tatulian,
kada tapi mandangar. Lamunnya diunjuki duit atawa pamakan, hanyar inya
mandangar.
Sampai di kabun karajaan, Patih Tangkar tulih kanan, tulih kiwa. Kadada nang
pinda ganjil. Tarus ai inya bajalan ampah ka tabing sungai, tadapat puhun
binjai wan jingah. Ni-kah satua nang bisa maulah warga karajaan gatalan?
‘’Ui, jingah…! Ikamkah nang maulah urang gatalan?’’ ujar Patih Tangkar.
‘’Kada, Patih ai!’’ ujar jingah.
‘’Iya banar, Patih ai! Bujur! Inya nang maulah urang gatalan! Limbah urang
gatalan, disuruhnya urang mangawininya, jujuran -nya harang wan duit binggul,
baigal kada babaju, mangulilingi rapunnya…!” ujar binjai, manyahuti
‘’Ikam bangat lagi, binjai ai! Lamunnya urang gatalan, ikam suruh urang
mamupuri, sambil baigal-igal!’’ ujar jingah kada hakun kalah.
‘’Hau…? Ampihan, ampihan sudah! Jangan bakakancangan lagi! Biar masalah ni
kukisahakan dahulu lawan Raja. Kalu pinda sidin tahu, dimapa maurus ikam nang
badua ni…,’’ Patih Tangkar manangahi.
Bulik Patih Tangkar ka istana, balapur lawan Raja.
***
Di istana, Raja sudah basadia duit sagan Patih Tangkar. Raja tahu banar lawan
panyakit anak buahnya nang saikung tu.
‘’Badimapa, Patih? Nangapa garang maka rakyat karajaan gatalan?”
‘’Tahu ai sudah ulun, Raja ai,’’ Patih Tangkar hancap manyahut, limbah talihat
duit
‘’Lakasi padahi! Nangapa maraganya maka rakyat gatalan?!’’ ujar Raja Simamarta,
kada sabar lagi.
‘’Maraganya, puhun jingah wan puhun binjai bakalahi, Raja ai. Inya badua tu
bahaharatan, bagaganalan awak!”
‘’Hau…? Dintukah? Lamun damintu, ikam haja sudah nang maurusnya. Ikam nang
pamintarnya, panahunya, di karajaan ni. Lamunnya ikam nang maurusnya, bahara
kadada masalah lagi,’’ ujar Raja, maambung Patih Tangkar.
Patih Tangkar liwar himung diambung. ‘’Ulun ni lambat disuruh haja, Raja ai.
Baya masalah puhun ha…’’
***
Talu hari talu malam Patih Tangkar mahaluwat, kada taulih jua dimapa caranya.
Balalu, inya manukui puhun jingah wan puhun binjai tu. Sampai di tabing banyu,
diitihinya puhun nang badua tu.
‘’Asa mustahil puhun bisa maulah urang gatalan. Mustahil lamun kadada
sababnya….’’ Patih Tangkar gagarunum dalam hati. Dikulilinginya rapun jingah
wan binjai tu. Parahatan inya bakuliling, titik banyu nang kaya gatah, matan
atas puhun tu.
Dijapainya banyu nang titik tu. Kada lawas, di awaknya timbulan habang-habang,
babaial-bial, gatal!
‘’Bah…. Ni pang sakalinya nang maulah urang gatalan tu! Kada maraga napa-napa
sakalinya. Ni maraga kana gatah jingah wan binjai haja!’’
Rupanya, wayah turun mandi ka batang, urang diguguri gatah jingah wan binjai
nang banyak tumbuh di tabing. Bisa jua urang kada singhaja tajapai rapunnya,
balalu kana gatahnya. Urang nang gatalan tu lalu disambat “kajingahan”,
“kabinjaian”.
Bulik ai Patih Tangkar ka istana, baulah tatamba gatalan, balapur lawan Raja.
Mandangar lapuran Patih, Raja mangiau pangawal, lalu baucap: “Wayah ini jua,
jauhakan puhun binjai tu pada puhun jingah! Jangan diparakakan lagi!”
Tulakan ai bubuhan pangawal, manjauhakan puhun badua tu. Makanya, wayah ini
kaduanya kada lagi tumbuh bahigaan. Jingah tumbuh di tabing sungai, binjai di
tangah hutan. Di kampung, lamunnya “kajingahan” atawa “kabinjaian”, urang kada
lagi baigal wan mamupuri puhun tu. Tagal, ada haja jua pang nang masih damintu.
***
SI
PUJUNG JADI BATU
Lilies
MS
Di Kecamatan
Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, ada Kampung Pujung. Di pinggiran kampung itu,
ada patung batu. Patung yang bentuknya menyerupai alat kelamin pria itu konon
alat kelamin Pujung, setelah dikutuk ibunda Putri Tunjung Sari, istri Mahapatih
Kerajaan Tanjung Puri.
Sebelum Kerajaan Banjar berdiri, ada kerajaan Dayak Maanyan bernama Kerajaan
Nan Sarunai. Seiring dengan itu, ada Kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung
Puri dipimpin raja yang bijak bestari. Dalam memimpin, raja didampingi patih
yang arif, tangkas dan cerdas, bernama Mahapatih Mahe.
Mahapatih Mahe yang berdarah Melayu hidup berbahagia dengan istri dari
keturunan Raja Nan Sarunai. Dari perkawinannya, ia mendapat anak laki-laki,
yang kemudian bermukim di Barito (Barito Timur sekarang), dan menjadi damang di
sana. Seorang lagi, Putri Tunjung Sari, kecantikannya sudah tersohor ke
mana-mana, bukan hanya ke Sungai Bahan dan Sungai Negara, tapi ke seluruh
penjuru negeri.
Putri Tunjung Sari bersahaja, berbudi luhur, terampil dan cerdas.
Teman-temannya sangat menyukainya. Ia pandai menari dan menyanyi. Setiap panen
raya, Putri Tunjung Sari dan teman-temannya memeriahkan pesta dengan menarikan
tarian kurung-kurung dan gintur . Banyak pria jatuh cinta padanya.
***
Berseberangan sungai dengan Kerajaan Tanjung Puri, ada seorang saudagar yang
kaya raya. Ia memiliki kebun yang amat luas, bermukim di daerah Pitab, batang
Balangan . Saudagar itu berasal dari Suku Dayak Pitab, Balangan. Ia menjual
hasil ladang dan kebunnya di Kerajaan Tanjung Puri.
Saudagar kaya itu memiliki putra bernama Pujung.
Pujung memiliki kesaktian yang luar biasa. Tenaganya luar biasa. Tubuhnya
tinggi, besar dan kekar, mata agak sipit, alisnya tebal seperti golok. Konon,
dengan tangan telanjang saja ia mampu mematahkan dan membelah batung .
Pujung pandai memainkan mandau , sumpit dan kuntau , juga menari. Di balik
tubuhnya yang kekar, dapat menari dengan lincah, mengikuti irama kenong, dengan
gerak gintur-nya. Tapi, sifatnya tidak sabaran, kalau sedang marah
meledak-ledak.
Saat panen raya tiba, rakyat Kerajaan Tanjung Puri bergembira ria atas hasil
ladanga dan kebun yang melimpah ruah. Mereka mengelar pesta rakyat, aruh adat.
Aruh adat selalu diramaikan dengan tari-tarian. Tari gintur dan kurung-kurung
digelar, Putri Tunjung Sari bersama empat temannya pun menari.
Setelah tari kurung-kurung usai, dilanjutkan tari gintur, dengan iringan musik
kenong, gong, babun dan kulimpat . Penarinya masih Putri Tunjung Sari bersama
kawan-kawannya, tapi dengan jumlah penari lebih banyak, ditambah balian . Pada
saatnya, balian mengajak penonton menari, menariknya dengan selendang kuning
atau putih, dan bersama-sama memainkan tongkat batang patake. Ini dinamakan bagintur
, salam penghormatan kepada para tokoh yang hadir di pesta.
Pujung juga diundang bagintur.
Tak disangka, ia dipasangkan menari dengan Putri Tunjung Sari, gadis yang telah
mencuri perhatiannya saat mandi di batang banyu . Bagi Pujung, ini bagai mukjizat,
peristiwa yang dimpikan banyak pria. Hati siapa tidak berdebar, saat menari
bersama gadis pujaannya?
Sambil menari, Punjung berkata, ”Tunjung, aku masih boleh menemuimu, ‘kan?”
Putri Tunjung Sari hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis.
Ketika tarian usai, Pujung tak menyia-nyiakan kesempatan. Sembari menutup
langkah akhir gerakan kaki, ia menatap mata indah Putri Tunjung Sari, dan
berbisik, “Putri yang jelita, terima kasih untuk kesempatan ini. Aku takkan
melupakannya…”
Putri Tunjung Sari hanya menampakkan giginya yang berkilau rapi, sambil undur
diri.
***
Pertemuan itu memberi kesan yang mendalam bagi Pujung. Tak sedetik pun waktu
berlalu tanpa bayangan Putri Tunjung Sari. Hatinya tak keruan. Ia tergila-gila
pada gadis itu dan bermaksud memilikinya.
Pagi harinya, di pinggiran sungai, Pujung menyanyi sambil menjaga babi-babi
piaraannya. Suling ditiupnya, dibawakannya sebuah nyanyian. Syair lama tentang
peristiwa tragis di Kerajaan Nan Sarunai, akibat serangan Majapahit , yang
akhirnya memunculkan kepemimpinan Uria Pitu .
Suara suling Pujung yang merdu membuat yang mendengarnya terlena.
Tapi, tiba-tiba suara suling itu berubah dengan nada lain yang memekakkan
telinga. Sepasang jin telah merasuki jiwa Pujung. Jin jahat itu menggoda,
membujuk, dan membakar syahwatnya.
Pujung tak kuasa menahan syahwatnya.
Dengan mata merah, liar dan beringas, ia bergegas ke tebing sungai. Saat itu
Putri Tunjung Sari dan teman-temannya sedang mandi dan mencuci. Pujung
berteriak-teriak, memanggil Putri Tunjung Sari dan mengajaknya bercinta.
Putri Tunjung Sari dan teman-temannya ketakutan melihat tingkah Pujung yang
aneh. Mereka lari ketakutan, hingga akhirnya Putri Tunjung Sari tertinggal
sendirian di belakang.
Pujung semakin menggila, nafsu berahi makin menguasainya. Putri Tunjung Sari
lari lintang pukang.
Saat terpojok di tebing, tubuh Putri Tunjung Sari limbung dan terjatuh ke dalam
sungai. Ia menjerit sekuat tenaga. Suaranya menghilang, saat tubuhnya masuk ke
dalam pusaran arus air yang bergolak.
Saat itulah, Pujung sadar. Sepasang jin terkekeh, keluar dari jiwanya. Pujung
panik dan kebingungan. Ia mengiba-iba, penuh penyesalan. “Tunjung… Maafkan aku,
Tunjung! Maafkan aku, wahai pujaanku…!”
Pujung melompat dan menceburkan diri ke dalam sungai, menyelam sekuat tenaga,
dengan cinta dan penyesalan. Dengan kesaktiannya, dibendungnya sungai itu
hingga kering dan terbelah dua . Tapi, usahanya sia-sia. Putri Tunjung Sari tak
ada. Penyesalan menyiksa hati Pujung. Gadis pujaannya telah lenyap terbawa
arus, dan hilang entah kemana.
Senja pun tiba. Langit gemuruh. Hujan turun amat derasnya, bagai gelombang yang
ditumpahkan dari langit. Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh,
marah dan murka. Dimaki-makinya Pujung, karena telah membuat anak gadisnya
hilang. Dengan air mata berlinang dan tubuh gemetar, istri Mahapatih Mahe itu
bersimpuh, bersujud ke langit, dan memohon:
“Ya, Tuhan… Karena menuruti hawa nafsu, terkutuklah engkau, Pujung! Agar
setimpal dengan perbuatannya, buatlah alat kelamin Pujung menjadi batu! Tuhan,
tunjukkan kekuasaan-Mu! Terkutuklah engkau, Pujung, terkutuklah…!”
Langit semakin gemuruh. Hujan dan badai mengamuk, mengaduk-aduk seisi alam.
Guntur dan petir bersahut-sahutan, membahana membelah angkasa.
***
Ketika hujan dan badai reda, alat kelamin Pujung telah berubah menjadi batu.
Putri Tunjung Sari konon terbawa arus sungai ke Kerajaan Negara Dipa, yang
terletak di Hujung Tanah, pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai Negara. Di
pinggir sungai, Putri Tunjung Sari diselamatkan Empu Jatmika, yang kemudian
bergelar Maharaja di Candi Laras .
Empu Jatmika memiliki dua putra, Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat.
Sepeninggal Empu Jatmika, Lambung Mangkurat mengangkat Putri Tunjung Sari, yang
entah benar atau tidak, juga disebut “Putri Junjung Buih”, menjadi Raja di
Negara Dipa; dan kekuasaannya meliputi batang Tabalong, batang Balangan, batang
Perak, batang Alai, batang Amandit dan pegunungan di sekitarnya. Tempat di mana
patung alat kelamin Pujung itu berada, sekarang disebut Kampung Pujung, di
Kecamatan Bintang Ara; berbatasan dengan Kecamatan Haruai, terhubung dengan
jembatan panjang peninggalan kolonial.
Kalau sedang menuju Kecamatan Tanjung, orang akan melewati Jembatan Mahe, yang
terletak di Kampung Mahe, Kecamatan Haruai. Nama itu berasal dari nama Mahapatih
Kerajaan Tanjung Puri, ayahanda Putri Tunjung Sari.
***
SI DIANG BAKUT
H.
Akhmad T. Bacco
Syahdan, di
Kampung Timbuk Bahalang , Haruai, hiduplah seorang petani bernama Raden
Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita,
baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai
namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin.
Mereka keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari
perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai.
Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja. Akhirnya,
mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang.
Kampung itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak
Ma’anyan, Deah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan
payau , kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak
sebagai tanda kepahlawanan.
Di kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara
Uya. Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang,
barahmata, hadungan, singgah manginang, buntal, dan lain sebagainya. Ikan
daratnya, haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang,
ada ikan yang sekarang mahal harganya, yakni bakut . Di sinilah awal kisah.
***
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan
Kenanga Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan
baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
Duduk melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya,
“Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan….”
“Ya, Kakanda.”
”Betapa bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.”
“Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti
permaisuri yang cantik dan berkuasa.”
“Huss, Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan
kekuasaan lagi…”
”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat
Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.”
“Ya, tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak
begitu. Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal
muasal keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini.
Kita akan repot…”
“Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.”
Jelang sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan.
Wajahnya amat cantik.
Upacara syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat dan baaruhan .
Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya
diadakan karasmin , dengan manuping .
Penari wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka , diiringi
gendang karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain.
Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar
saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul .
Semakin malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga
teler akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir
menjelang dini hari.
***
Dengan berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis
yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut,
Putri Aima suka menyendiri.
Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohon lua.
Putri Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan
jadi pendamping hidupnya kelak.
Ia selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi
Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang
tahun. Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu,
kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu.
Putri Aima mampu bicara dengan pelanduk.
“Hai, pelanduk!”
“Hai, Putri Aima…,” sahut pelanduk.
Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
“Dekat sini saja,” jawab pelanduk.
“Boleh aku ke tempatmu?”
”Boleh,” jawab pelanduk lagi.
Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di
pinggir sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela
lubang. Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa.
Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan.
”Selamat datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hati Putri Aima
bergetar memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk!
Putri Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman. Dengan ramah,
pemuda itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di
sana ada kolam yang luas dan berair jernih. Saat pemuda tampan itu mengajaknya
berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air.
Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran ke sungai.
Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikan berwarna
hitam. Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang sama, berusaha menenangkan
Putri Aima yang terkesima, dan mengajaknya bicara.
“Putri Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk
Bahalang ini. Kami sering kehilangan warga kami. Warga senang menangkap ikan.
Mereka telah menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aima kami ambil sebagai
pengganti…,“ kata ikan hitam itu.
“Oh… Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
“Bisa. Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau
mencuci…”
***
Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunya yang amat
dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh warga kampung
berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru .
Semua upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukun dimintai
bantuan. Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup, tapi entah
di mana.
Kenanga Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai
Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu,
tiba-tiba munculah Putri Aima, dalam wujud ikan bakut, melompat ke atas lanting
.
”Ibundaaa….!”
Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh… Siapa
engkau? Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
“Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke
kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima
diminta sebagai gantinya.”
“Oh, Anakku… Bisakah engkau kubawa pulang?”
“Bisa, Bunda. Ulun bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa
bertemu Ibunda dan Ayahanda.”
Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya
bermahkota itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu
diceritakannya pada suaminya.
“Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harus bersabar,”
kata Raden Pelewangan.
Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi
Putri Aima.
“Ayahanda…! Ibundaaa…!” seru Putri Aima sambil menangis dan memeluk kedua
orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka
berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena
itulah, Putri Aima disebut “Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”.
***
Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati
banyak ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak
menjadi ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap
ikan itu, sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga
berhasiat sebagai obat.
***
LEGENDA ARYA TADUNG WANI
Abdul
Hanafi
Pada zaman dahulu
kala, di pinggir Kampung Paramian , hidup orang yang bergelar “Datu Harung”.
Nama aslinya “Datu Magat”. Dahulu, gelar “datu” hanya diberikan kepada
orang-orang yang dihormati dan mempunyai keistimewaan.
Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli bercocok tanam, juga ahli dalam
mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi berkebun.
Sebelumnya, masyarakat mendapat buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar
di hutan, atau dari pohon yang tumbuh dari biji yang dibuang orang. Datu Magat
kemudian memulainya dengan berkebun, dengan cara tumpang sari.
Kebun Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanak,
mundar, katapi suntul, kalangkala. Dari jenis rambutan, ada maritam, siwau,
pitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin, kamundai, likul, layung,
karatungan. Dari jenis mangga, ada hambawang, hampalam, kuini, pulasan, rarawa,
kasturi, kulipisan, sampai tandui.
Bukan hanya nangka, tiwadak, tarap dan pupuan yang ditanam Datu Magat, tapi
juga langsat. Langsat Tanjung dikenal paling manis dibandingkan langsat dari
daerah lain. Pohon belimbing tumbuh hampir di setiap pekarangan rumah penduduk.
Cara bertanam kebun buah-buahan yang dilakukan Datu Magat disebut harung. Oleh
sebab itu, Datu Magat juga dijuluki “Datu Harung”.
***
Datu Harung memiliki adik perempuan bernama Diang Dadukun. Parasnya tidak
terlalu cantik, tapi wajahnya membuat damai hati yang memandangnya. Wajahnya
bulat telur, selalu tersenyum, rambutnya panjang, lurus, terurai indah.
Kesejukan wajahnya cermin kelembutan hatinya, yang terungkap dari tutur katanya.
Tutur katanya halus dan lemah-lembut.
Karena keelokan wajah dan kehalusan budi pekertinya, orang-orang memanggilnya
“Putri Mayang”. Ada pula yang memanggilnya “Diang Wangi”. Walaupun belum
bertemu orangnya, kehadirannya dapat diketahui dari aroma tubuhnya yang tercium
di kejauhan.
Tapi, rupanya wajah yang elok tidak selalu mendatangkan kebahagiaan.
Tubuh Diang Wangi yang harum ternyata mengundang berahi makhluk lain yang
berkeliaran di malam hari. Ketika itu, sejak sore hujan turun dengan lebatnya.
Tengah malam, udara dingin menusuk tulang. Tanah becek dan berlumpur. Tak ada
suara jangkrik, hanya gemercik sisa air hujan yang menetes di dedaunan. Suasana
sunyi senyap. Warga malas keluar dan lebih suka tidur di rumah.
Saat itulah, sesosok bayangan hitam berkelebat di rumah Datu Harung yang
bertiang tinggi. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar pekik tertahan,
disusul suara rintihan dari rumah kayu beratap rumbia itu. Menjelang dini hari,
bayangan hitam itu berkelebat secepat kilat ke arah hutan, dan menghilang di
kegelapan.
Pagi harinya, Datu Harung dan istrinya Diang Sasar terkejut melihat Diang
Dadukun menangis tertelungkup, mendekapkan bantal ke wajahnya. Tubuhnya
terguncang-guncang menahan tangisan.
“Kenapa, ding ? Kenapa menangis? Sakit perut?” tanya Diang Sasar.
Diang Wangi tidak menjawab. Bantal kapuk yang basah bersimbah air mata,
menutupi wajahnya.
Datu Harung menangkap gelagat lain. Ia bertolak pinggang. Napasnya tertahan. Di
antara aroma kamar Diang Wangi, hidungnya mencium bau asing. Seperti bau keringat
lelaki. Matanya menyapu sekeliling, dan terkejut ketika melihat jendela yang
terbuka.
Datu Harung menghampiri jendela. Tangannya bertumpu pada bingkai jendela, lalu
menengok ke bawah. Di tanah, tampak bekas-bekas jejak kaki. Ia memberi isyarat
kepada istrinya, yang segera menghampiri.
Datu Harung berbisik kepada istrinya. Diang Sasar duduk kembali di pinggir
dipan, merangkul bahu adik iparnyanya itu. Diang Wangi juga merangkulnya,
sambil terisak-isak. Datu Harung berdiri tegang memandangi adiknya. Berbagai
perasaan berkecamuk di dadanya.
“Katakan, siapa laki-laki yang masuk ke kamarmu tadi?!” Datu Harung marah.
“Aku tak dapat mengatakannya, Kak, karena…”
“Karena apa?!“
Diang Sasar mengedipkan mata kepada suaminya. Datu Harung diam mematung,
menahan marah.
“Ading kenal laki-laki itu?“ tanya Diang Sasar lembut.
Diang Wangi menggeleng..
“Lalu, siapa durjana itu…?!” Datu Harung membentak.
Diang Sasar menempelkan telunjuk ke bibirnya, kembali memberi isyarat pada
suaminya. Datu Harung membalikkan badan, membelakangi istri dan adiknya dengan
wajah merah padam. “
“Jadi, kau benar-benar tidak tahu?” tanya Diang Sasar lagi, setelah menyuguhkan
secangkir air putih untuk menenangkan Diang Wangi.
“Ulun tidak tahu, Kak. Saat ulun guring tiba-tiba dada ulun terasa sesak…,”
sahut Diang Wangi. “Ulun terkejut… Ada tubuh besar menindih ulun…”
Datu Harung dan Diang Sasar menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut
Diang Wangi. Wajah Diang Wangi tertunduk, bercerita sambil memainkan kuku
jari-jarinya.
“Kau sempat melihat wajahnya?” tanya Diang Sasar lagi.
Diang Wangi menggelengkan kepalanya lagi. Menangis semakin nyaring.
“Aku tak dapat melihat. Pandangan mataku gelap…”
“Maksudmu?”
“Aku tak bisa membuka mata, Kak. Rambutnya panjang sekali, menyapu dan menusuk
mataku. Ketika aku hendak berteriak, tangannya membekapku. Tubuhnya besar
sekali, berat dan berbau. Aku tak dapat bernapas! Setelah itu, aku tak ingat
apa-apa lagi…”
Datu Harung dan Diang Sasar sadar, Diang Wangi telah digauli makhluk asing.
“Ini tak dapat dibiarkan! Aku harus menangkapnya! Jahanam itu harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru Datu Magat sambil mengulung kain
sarung yang dikenakannya, mengikatkannya ke pinggang. Tanpa menoleh lagi, ia
pergi.
***
Datu Magat mengikuti jejak-jejak kaki yang masih membekas di tanah basah.
Ukuran tapak kaki itu tidak normal. Besar sekali! Tapak kaki itu mengarah ke
hutan, tampak dari lumpur basah yang menempel di rerumputan.
Setibanya di bawah sebatang pohon besar, alangkah terkejutnya Datu Magat.
Seorang pria raksasa sedang tertidur lelap di bawah sebatang pohon pulantan!
Pria raksasa yang hanya mengenakan cawat kulit kayu itu mendengkur keras
sekali. Kemarahan Datu Magat mengalahkan rasa takut pada makhluk yang telah
menodai adik kandungnya itu. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, hendak
menendang raksasa itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.
Sifat ksatrianya, muncul. “Kalau ia kubunuh selagi tidur, berarti aku seorang
pengecut…,” ujar Datu Magat dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, dicobanya membangunkan raksasa itu dengan
menghentakkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. Tapi, makhluk itu masih
terlelap. Ditendangnya banir pulantan tempat makhluk itu bersandar, tapi
raksasa itu bergeming.
Datu Magat hampir kehabisan akal. Untuk menyentuhnya, ia merasa jijik.
Datu Magat kemudian menggunakan cara lain untuk membangunkannya. Bulu kaki
raksasa itu ditapung-nya . Setelah ikatannya dirasa cukup kuat, disentakkannya
bulu kaki itu dengan sekuat tenaga. Raksasa itu tiba-tiba terbangun, meringis
memegangi tungkainya. Ketika melihat Datu Magat bertolak pinggang dengan marah
di hadapannya, raksasa itu langsung bersimpuh.
“Oh, Kakak…!” seru raksasa itu, mengiba-iba.
“Hei…! Beraninya kau menyebutku kakak!? Perbuatanmu telah menghancurkan
martabat keluargaku!” Datu Magat menuding wajah raksasa itu.
Wajah raksasa itu seketika pucat pasi. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia
sadar sedang berhadapan dengan Datu Magat. Raksasa itu tidak berani mengangkat
wajahnya. “Ampuni aku, Kakak! Maafkan kesalahanku. Aku suka Diang Wangi, tapi
tak berani berterus terang. Tiap kali melihat Diang Wangi, aku tak dapat
menahan diri. Kalau Andika ingin membunuhku, bunuhlah sekarang. Aku takkan
melawan…,” jawab raksasa itu.
Mendengar pengakuan jujur raksasa itu, hati Datu Magat luluh. Lebih-lebih,
raksasa itu telah berterus terang mengakui perbuatannya.
“Engkau kuampuni,“ jawab Datu Magat pendek.
“Ulun akan mempertanggungjawabkan perbuatan ulun. Kalau kakak berkenan,
kawinkan ulun dengan Diang Wangi.”
Datu Magat terpaku sejenak. Maukah adiknya dikawinkan dengan makhluk gaib
bertubuh raksasa itu? Kalau tidak, bagaimana dengan aib yang ditanggungnya?
“Baiklah, kau akan kukawinkan dengan Diang Wangi,” sahut Datu Magat.
Maka, dikawinkanlah Diang Wangi dengan makhluk raksasa yang telah menodainya
itu. Saat ditanyai, raksasa itu tak dapat menyebutkan asal muasalnya. Dia hanya
mengaku berasal dari “daerah atas”. Mungkin maksudnya adalah “atas bukit”,
sebab ia menunjuk ke arah Pegunungan Meratus.
Suami Diang Wangi yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki berbagai
kesaktian. Tubuhnya kebal, bisa menghilang dan, yang menakjubkan: ia mampu
menembus tanah.
Tapi semua kesaktian itu tak mampu meluluhkan hati isterinya. Diang Wangi
membenci pria raksasa yang telah menodainya. Ia tidak mampu melupakan peristiwa
jahanam itu, lebih-lebih kalau melihat tubuh suaminya yang besar, kekar, kasar,
dan bersisik seperti ular.
Perkawinan mereka tak berlangsung lama. Sepekan kemudian, suami Diang Wangi
menyampaikan kata perpisahan. Ia merasa percuma bertahan dalam hubungan yang
tidak sejalan.
***
Tiga purnama setelah suaminya pergi, Diang Wangi menyadari, bahwa ia telah
hamil. Ia takut sekali, kalau-kalau wajah anaknya akan mirip ayahnya. “Ih,
jauhakan bala… ,” katanya sambil meludah.
Kian hari, perut Diang Wangi kian membesar. Ia malu keluar rumah, akibat
perkawinannya yang tidak diaruhakan seperti kebiasaan.
Setelah sembilan bulan sembilan hari, tanda-tanda kelahiran mulai dirasakan
Diang Wangi. Sehari semalam perutnya sakit luar biasa. Kekhawatirannya makin
menjadi-jadi, setelah dukun beranak berkata, bahwa bayi yang dikandungnya besar
sekali.
“Duh, Gusti… Anakku akan serupa dengan ayahnya yang raksasa…,” keluh Diang
Wangi.
Setelah meminum ramuan pilungsur , lahirlah seorang bayi laki-laki. Diang Wangi
merasa lega. Ternyata, wajah putranya tidak mirip ayahnya! Hanya tubuh besarnya
saja yang ukurannya melebihi bayi normal. Ada tanda aneh di leher bagian
belakang, serupa sisik, sebesar binggul.
Bayi besar itu diberi nama “Arya”. Diduga, sisik di lehernya adalah keturunan
dari ayahnya. Ternyata, anak itu juga kebal sejak lahir. Pisau dan benda tajam
tak dapat melukainya.
Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas, cekatan, dan rajin membantu ibunya. Ia
anak yang baik dan disukai kawan-kawannya. Arya mahir bagasing , balugu atau
bacirak . Ia selalu unggul dalam permainan.
Menjelang remaja, Arya sudah menguasai berbagai kecakapan hidup, seperti
berburu, membuat perangkap ikan, dan ilmu pertanian yang ia pelajari dari
saudara tua ibundanya, Datu Harung, yang disebutnya Julak . Dari julak-nya itu
pula, ia mempelajari pencak silat bangkui . Meskipun gerakannya persis monyet,
seni bela diri bangkui tak bisa dianggap sepele. Apa lagi saat dipadukan dengan
jurus tadung sawa , makin sempurnalah ilmunya.
Saat menggunakan jurus tadung sawa, Arya tampak bergerak tenang, meliuk-liuk
lembut, layaknya seekor ular. Saat posisi lawannya terbuka, secepat kilat ia
menyambar dan menguncinya, membuat lawannya tak berkutik. Karena ilmunya itu,
namanya menjadi “Arya Tadung Wani” .
***
Suatu hari, Arya duduk santai bersama ibunya di beranda rumah. Entah mengapa,
tiba-tiba Diang Wangi menjunjuk tiga ekor burung yang hinggap di dahan:
“Lihatlah burung itu, Nak. Salah satu di antaranya, pasti anaknya.”
“Lalu, yang dua ekor lagi?” tanya Arya
“Pasti induknya.“
Arya menatap mata ibunya dalam-dalam, kemudian bertanya dengan hati-hati:
“Bunda, di mana ayahku?”
Diang Wangi terkejut mendapat pertanyaan itu.
Memang, selama ini Diang Wangi tak pernah menceritakan siapa ayah Arya yang
sebenarnya. Ia khawatir, anaknya akan malu. Lama ia terdiam. Wajahnya yang tadi
ceria, seketika berubah muram. Bayangan masa lalunya kembali teringat. Matanya
berkaca-kaca. Perlahan air mata turun membasahi pipinya.
Melihat ibunya menangis, Arya menyesal. Ia merasa bersalah telah menanyakan hal
itu. “Maafkan Arya, Bunda. Arya membuat Ibunda sedih….”
“Tak apa-apa, Nak. Sudah saatnya engkau mengetahui siapa dirimu yang
sebenarnya,” sahut Diang Wangi, sambil membelai rambut Arya Tadung Wani. Diang
Wangi menceritakan peristiwa yang dialaminya, hingga kelahiran putranya itu.
Sejak saat itu, setiap malam Arya Tadung Wani tak bisa lagi tidur nyenyak.
Cerita ibunya telah menghantuinya. Ia ingin menemui ayahnya. Saat keinginan itu
disampaikannya kepada ibunya, Diang Wangi tidak melarang atau mengiyakan.
“Kita rundingkan dahulu dengan Julak-mu. Sebab, selama ini Julak-lah yang
mendidik dan merawatmu. Julak sudah seperti ayahmu,” jawab ibunya. “Nanti
niatmu Bunda sampaikan.”
Arya mengiyakan.
Malam harinya, Arya dipanggil Julak-nya, Datu Magat. Jantungnya berdebar-debar
menantikan jawaban.
“Kalau niatmu seperti itu, Julak tak bisa melarang. Engkau telah dewasa. Julak
yakin dengan ilmu yang kau miliki. Ke manapun pergi, kau tidak akan kelaparan,”
kata Datu Magat sambil menepuk bahu keponakannya yang bersimpuh di hadapannya.
Arya merasa lega.
Datu Magat melirik Diang Wangi yang juga bersimpuh di samping anaknya. Gurat
kesedihan tergambar di wajah adik kandungnya itu.
“Diang…”
“Pun , Kakak…,” sahut Diang.
“Ibarat burung, anakmu sudah punya sayap. Wajar kalau sekarang ia ingin
menggunakan sayapnya untuk terbang, ke mana pun, termasuk untuk mencari
ayahnya,” sahut Datu Magat. Pandangannya kembali diarahkan kepada Arya. “Dan,
kau, Arya, untuk mencari ayahmu, mungkin kau harus madam cukup lama. Ilmumu
belum cukup…”
Datu Magat menahan kata-katanya, membuat hati Arya berdebar. Ia tak dapat
membayangkan hal-hal yang akan ditemuinya di perantauan. Ia belum punya arah
tujuan. Arah kepergian ayahnya itulah satu-satunya petunjuk. Tapi, hati
kecilnya berkata, “Percuma aku dijuluki Arya Tadung Wani, kalau tidak berani
pergi,” pikirnya.
“Lalu, apa lagi, Julak? “ tanya Arya.
Datu Magat menyuruh Diang Wangi mengambil lima lembar daun sirih yang harus
dipetik dengan tangkainya.
Sementara Diang wangi pergi, Datu Magat melanjutkan petuahnya. “Di perantauan
nanti, kau tidak hanya akan menghadapi alam, tapi juga masuk kampung, keluar
kampung, dengan adat istiadat berlainan. Bertemu orang-orang dengan sifat dan
tabiat bermacam-macam. Agar selamat, kau harus memiliki lima sifat utama…”
“Pertama, jangan sombong. Pandai-pandailah membawa diri. Jujurlah dalam
perbuatan. Hindari menggunjing orang lain. Kedua, kalau bicara dengan yang
lebih tua, atau dituakan, jangan kasar.
“Ketiga, dalam musyawarah jangan suka memotong pembicaraan orang lain. Dengarkan
dahulu perkataan orang, hargai pendapat orang, baru mengemukakan pendapat
sendiri. Keempat, bersikaplah seperti keris. Jangan salah menggunakannya.
Pelihara dan asahlah selalu. Keris itu ibarat ilmu. Ilmu yang kita miliki dapat
meningkatkan derajat dan wibawa kita. Itu sebabnya, keris selalu menjadi
pelengkap pakaian pembesar kerajaan. Lambang kebesaran dan wibawa. Jadilah
orang yang disegani, bukan ditakuti.
“Kelima, jadikanlah dirimu seperti bajak. Bajak adalah alat bertani. Dengan
bajak, kita menggarap ladang. Bajak digunakan untuk mempersiapkan lahan. Makin
luas lahan yang dibajak, makin banyak yang bisa ditanam, banyak pula hasilnya.
Tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala sesuatu….”
Datu Magat berdiri, mengambil sebuah cupu dari peti kayu tua, dan secarik kain
kuning selebar sapu tangan, lalu memotong tangkai daun sirih yang diserahkan
Diang Wangi.
Datu Magat menggoreskan gagang sirih itu di tengah kain kuning, membentuk
lingkaran dengan lima pancaran, seperti gambar matahari yang bersinar. Kemudian,
memotong lagi setangkai daun sirih, menggambar dua buah tanduk kepala kerbau
yang diletakkan pada salah satu garis pancaran. Tangkai sirih kedua membentuk
gambar burung pada pancaran berikutnya. Tangkai sirih ketiga, bergambar
gamelan. Tangkai sirih keempat, gambar keris, dan tangkai sirih yang kelima
gambar tajak . Kelima gambar itu melingkari gambar matahari yang bersinar.
Diang Wangi dan Arya Tadung Wani yang mengamati, tapi tak mengerti,
memberanikan diri bertanya:
“ Apakah ini rajah ?” tanya Diang Wangi
“Atau, jimat?“ timpal Arya.
Datu Magat melipat kain kuning bergambar itu, memasukkannya ke dalam cupu, lalu
menjawab, bahwa gambar yang dibuatnya bukan rajah. Tapi, kalau mau dibilang
jimat, boleh jadi. Gambar itu adalah lambang lima keutamaan, untuk menjaga
keselamatan, yang disampaikannya tadi.
Datu Magat belum mengenal baca tulis. Cupu kecil seukuran buah jambu itu
disumpalnya dengan empulur kayu pulantan, lalu diserahkannya pada keponakannya.
Cupu keramik itu diberinya nama “Cupu Astagina”.
***
Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali Arya Tadung Wani bersujud mencium tangan
dan kaki ibundanya dan Datu Magat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi mencari
ayahnya.
Dengan bekal secukupnya, Arya Tadung Wani melangkahkan kaki kanannya lebih
dahulu, berjalan ke arah matahari terbit, mengikuti petunjuk ayahnya. Di tengah
perjalanan, ia singgah dan bertanya pada kerabat ibunya bernama “Ma Bu’un” .
Lalu, singgah lagi di kediaman “Ma Burai” , dan di kediaman “Ma Ridu” . Sudah
tiga kerabat disinggahinya, tapi ia belum mendapat titik terang.
Lalu, ia melanjutkan perjalanan ke “daerah atas”, melewati Gunung Jajar Walu,
Gunung Kakait, hingga Upau. Di situ, ia menemui jalan buntu. Tanpa lelah dan
putus asa, ia naik ke puncak tertinggi Pegunungan Meratus, membuat janur pucuk
enau dan mengikatkannya di pucuk pohon tertinggi. Saat diterpa angin kencang,
janur enau itu roboh. Mengikuti arah robohnya janur, ia menentukan tujuan
berikutnya.
Nun di kejauhan, terlihat kepulan asap, yang menandakan permukiman penduduk.
Arya ingat pesan Julak-nya tentang “lima sifat utama”, yang tertuang dalam cupu
manik “Astagina”. Ia bimbang: pulang kembali ke kampung halaman, atau
meneruskan perjalanan? Dalam ragu, ia duduk bersila di bawah sebatang pohon
besar, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikiran dan
bersemedi.
Saat itulah, tiba-tiba di hadapannya hadir sesosok pria kekar bertubuh raksasa
dengan kulit bersisik. Arya berusaha menyapa, tapi lidahnya kelu. Ia
menggerakkan tangan untuk menyentuh raksasa itu, tapi tak mampu.
Akhirnya, makhluk raksasa itu mengatakan, bahwa ia adalah ayah kandung Arya
Tadung Wani. Arya Tadung Wani tak dapat menyentuh jasad ayahnya, karena telah
berbeda alam. Ayahnya berpesan, agar Arya tetap meneruskan perjalanan, akan
melindunginya selama dalam perjalanan, dan akan membantunya saat diperlukan.
Konon, Arya Tadung Wani kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Simpur,
Kandangan , bermukim di Kampung Pelajau hingga wafat, dan dimakamkan di
Jajuluk, Pelajau Hulu .
***
HIKAYAT
DAYAK & BANJAR VERSI URANG BANUA
Sekitar
tahun 3000-1500 S.M untuk pertama kalinya Pulau Kalimantan kedatangan Imigran
yang berasal dari daerah Yunan di China Bagian Selatan. Imigran dari Yunan
inilah yang menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan atau dikenal
pula dengan istilah suku “Melayu Tua”. Dari Legenda suku Melayu Tua (Dayak) ini
disebutkan bahwa terdapat lima kelompok besar yang dipimpin Lima bersaudara
yaitu Abal, Anyan, Aban, Anum dan Aju. Kelima bersaudara ini sangat sakti, bijaksana
dan berwibawa. Menurut cerita suku Dayak Tua, kelima saudara ini titisan dari
Dewa Batara Babariang Langit, yaitu : titisan Dewa Batahara Sangiang Langit.
Batara Babariang Langit kawin dengan Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari
Maluja Bulan dan Melahirkan Maanyamai, dan Maanyamai beristri dan istrinya
melahirkan anak bernama Andung Prasap Konon sangat sakti. Dan membangun Negeri
Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling
Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Kelima saudara inilah
kelak menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan. Mereka mengembara ke
pelosok pulau Kalimantan, konon si Abal ke daerah Timur menurunkan suku Aba,
Anyan ke daerah Selatan menurunkan suku Manyan, Aban ke daerah Barat menurunkan
suku Iban, Anum ke Utara menurunkan suku Otdanum dan Aju ke daerah Tengah
menurunkan suku Ngaju. Dan mereka diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut
papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut
pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) terkutuk apabila bakalahi
satamanggungan.
Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut
adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah
selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan “cucu urang 10”
yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka
ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito
Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal
bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal
urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari
menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal
urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi
cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip
dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).
Pada abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan di
Kalimantan Selatan bernama Kerajaan Tanjungpuri. Berdirinya kerajaan ini
bermula dari kedatangan para Imigran Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di pulau
Sumatera pada sekitar abad ke- 4 M. Para Imigran Melayu yang mempunyai
kebudayaan lebih maju dibanding penduduk lokal pada masa itu mendirikan perkampungan
kecil di daerah pesisir sungai Tabalong. Para imigran tersebut berbaur bahkan
melakukan perkawinan dengan penduduk setempat yakni suku Dayak. Hasil dari
perpaduan antara suku Melayu dan Dayak itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal
Suku Banjar. Semakin lama perkampungan di pesisir sungai Tabalong itu semakin
ramai sehingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan
Tanjungpuri (diperkirakan terletak di kota Tanjung sekarang).
Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan
kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti
keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti “Kedukan Bukit” yang
terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi
tulisan “Daputra yang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga
Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur”. Bukti lainnya adalah Prasasti
Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606
Saka. Isi tulisannya adalah “Jaya Sidda Yatra” yang artinya perjalanan Ziarah.
Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua
buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu
berhuruf Pallawa. Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun
keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang
merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis
sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke
Candi Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang
mengatakan bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun
1387 M. Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung
tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama
Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah
rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.
Pada Tahun 1309 M orang-orang Maanyan
mendirikan sebuah Kerajaan bernama Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai ini konon
lanjutan dari periode sebelumnya dimana dahulu pernah berdiri juga kerajaan Nan
Marunai (Nan Sarunai) oleh lima orang bersaudara yang merupakan leluhur orang
Dayak di Kalimantan. Pada periode kedua ini Nan Sarunai didirikan oleh Japutra
Layar. Nan Sarunai sendiri berasal dari kata Marunai = memanggil dengan suara
nyaring, Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling, Nai = Seruling (dalam
bahasa arab/melayu tua) sehingga dapat di artikan bahwa Nan Sarunai adalah
rakyat yang gemar bermain musik/bernyanyi. Kerajaan Nan Sarunai ini rakyatnya
sangat makmur disebabkan mereka melakukan perdagangan sampai ke Sumatera, Jawa,
Sulawesi bahkan sampai ke Madagaskar. Barang dagangan yang mereka bawa keluar
antara lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain.
Rakyat kerajaan nan Sarunai ini menganut kepercayaan Kaharingan.
Pada masa itu kerajaan Majapahit di pulau Jawa
sedang berusaha menancapkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Adalah Maha
Patih Gajah Mada (1313-1364) seorang mangkubumi terkenal Majapahit yang
melakukan sumpah saat diangkat menjadi Mangkubumi Kerajaan pada Tahun 1336 M di
masa kekuasaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350) dikenal dengan “Sumpah
Palapa” yaitu sebuah tekad untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah
kekuasaan Majapahit. Ambisi Maha Patih Gajah Mada berlanjut sampai Prabu Hayam
Wuruk (1350-1389) naik tahta.
Salah satu kerajaan incaran Majapahit untuk
ditaklukkan adalah kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan Tanjungpuri. Pada masa itu
dua kerajaan ini merupakan wilayah perdagangan yang ramai, rakyatnya hidup
makmur bahkan diceritakan dinding-dinding Istana kedua kerajaan ini berlapis
emas sebagai tanda kemakmuran. Maha Patih Gajah Mada mengutus seorang panglima
handalnya untuk memata-matai kedua kerajaan ini yaitu Laksamana Nala, seorang
berdarah Melayu asal Melaka yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Atas hasil
penyelidikan Laksamana Nala akhirnya Majapahit mengetahui kelemahan kedua
kerajaan ini, sehingga pada Tahun 1356 M Majapahit mengirimkan ekspedisi
militer pertamanya ke kerajaan Nan Sarunai sebagai batu loncatan untuk
selanjutnya menyerang Tanjungpuri. Serangan pertama ini mengalami kegagalan
sebab kerajaan Nan Sarunai bersatu dengan kerajaan Tanjungpuri dalam menghadapi
serangan Majapahit.
Tersebutlah dalam legenda lima orang panglima
Tanjungpuri yang terkenal ketika membantu kerajaan Nan Sarunai menghadapi
serangan Majapahit yaitu Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan,
Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Kelima orang panglima ini merupakan lima
bersaudara dimana si bungsu yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin adalah
saudara kembar. Mereka berlima anak dari Datu Intingan yang terkenal dalam
legenda masyarakat di pegunungan Meratus. Datu Intingan adalah saudara dari
Datu Dayuhan mereka berdua ini masih keturunan dari legenda Dayak Maanyan “cucu
urang 10” dimana salah satu anak dari Datu Anyan yaitu Datu Alai (Alai Tua)
menetap di wilayah Birayang (Meratus) yang menurunkan Datu Dayuhan dan Datu
Intingan. Datu Intingan kawin dengan para Imigran Melayu dan mempunyai lima
orang putera yang sekarang menjadi Panglima di Kerajaan Tanjungpuri.
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama,
Majapahit kembali mengirim ekpsedisi militer kedua pada Tahun 1358 M. Ekspedisi
kedua kali ini dipimpin langsung oleh Laksamana Nala dengan membawa dua kali
lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini
terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan
“Bhayangkara”. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan
kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau
Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam
peperangan. Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai
Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai di bunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah
tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya. Laksamana Nala
adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari
menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara. Setahun
sebelum ekspedisi militer kedua ke Tanah Borneo yaitu pada Tahun 1357 M,
Laksamana Nala terlibat dalam “Perang Bubat” melawan pasukan Pajajaran
mendampingi Maha Patih Gajah Mada. Perang ini terjadi akibat kesalah pahaman di
antara kedua pasukan. Dalam perang tersebut Prabu Lingga Buana Raja Pajajaran
beserta seluruh pengawalnya terbunuh, karena menghadapi pasukan Majapahit yang
berkali-kali lipat lebih banyak, melihat ayahnya terbunuh anak Prabu Lingga
Buana yang bernama Putri Dyah Pitaloka bunuh diri, padahal Putri Dyah Pitaloka
ini rencananya hendak di lamar oleh Prabu Hayam Wuruk. Akibat dari peperangan
ini hubungan Maha Patih Gajah Mada dengan Prabu Hayam Wuruk menjadi terganggu,
dan juga mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan antara orang Sunda dan
Majapahit, konon tak satu pun daerah di Sunda (Jawa Barat) menggunakan nama
berbau Majapahit.
Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai
pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati
perlawanan yang hebat dari pasukan dan rakyat Tanjungpuri terutama dari lima
orang panglima kerajaan yang terkenal tersebut. Setelah berhari-hari berperang
akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan.
Pasukan Majapahit kembali ke pulau Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup
lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang
menghadapi kerajaan Nan Sarunai, sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami
kehancuran dimana-mana Infrastruktur kerajaan banyak yang rusak. Akibat dari
peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu
ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan
ketika mendengar ada peperangan.
Sebagai tanda terima kasih kepada lima orang
Panglima kerajaan, Raja Tanjungpuri memberikan kelima orang Panglimanya wilayah
kekuasaan. Panglima Alai di daerah Batang Alai, Panglima Tabalong di daerah
Batang Tabalong, Panglima Balangan di daerah Batang Balangan, Panglima Hamandit
di daerah Batang Hamandit dan Panglima Tapin di daerah Batang Tapin. Raja
Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan
(Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran
akibat diserang Majapahit. Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan
lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan. Kekuasaan kerajaan Kuripan
melingkupi daerah yang sama dengan kekuasaan kerajaan Tanjungpuri.
Pada Tahun 1387 M seorang bangsawan dari Keling
(Kediri) yang merupakan wilayah Majapahit melakukan ekspedisi ke tanah Borneo,
pertama-tama mereka menaklukkan kerajaan Candi laras di Marga Sari. Ekspedisi
ini di pimpin oleh Empu Jatmika, di bantu oleh dua orang putranya yaitu
Lambungmangkurat dan Mandastana. Dalam rombongan itu juga turut serta Pasukan
Bhayangkara di bawah pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan 1000 tentara
Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Tatah Jiwa. Empu Jatmika sendiri
sebenarnya adalah seorang buronan politik masa lalu Majapahit. Karena Empu Jatmika
adalah keturunan bangsawan kerajaan Kediri yang merupakan musuh kerajaan
Singosari (leluhur Majapahit) di masa lalu. Setelah berhasil menguasai Candi
Laras Empu Jatmika mendirikan kerajaan Negaradipa dan diangkat sebagai kepala
pemerintahan dengan gelar Maharaja di Candi. Dengan bantuan Majapahit akhirnya
Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat. Namun demikian sebagai timbal baliknya
Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai”.
Walau Negaradipa cukup kuat tapi untuk menyerang kerajaan Kuripan masih
berpikir dua kali karena walau bagaimana pun kekuatan Kuripan waktu itu masih
diperhitungkan, apalagi ada lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh mantan
Panglima kerajaan Tanjungpuri ada dibelakangnya. Untuk memuluskan rencananya
Maharaja di Candi merayu Raja Kuripan agar mau mengawinkan putrinya dengan
putranya, namun Raja Kuripan menolak, tidak putus asa Lambungmangkurat yang
bertindak sebagai Mangkubumi menawarkan penggabungan kedua kerajaan dan
mengangkat Putri Junjung Buih anak Raja Kuripan sebagai ratu Negaradipa.
Akhirnya Raja Kuripan menerima tawaran tersebut dengan berbagai pertimbangan,
walau banyak ditentang oleh para kerabat dan pejabat Kahuripan. Negaradipa pun
memindahkan pusat kerajaan ke Kuripan. Atas keputusannya yang kontroversi itu
membuat Raja Kuripan merasa bersalah dan akhirnya mengasingkan diri diikuti
beberapa kerabat ke daerah Batu Piring (Paringin). Di Batu Piring Raja Kuripan
mendirikan kerajaan kecil bernama Kerajaan Batu Piring dan saudara raja diangkat
sebagai kepala pemerintahannya.
Walau pun Junjung Buih sudah diangkat menjadi
Ratu di Negaradipa namun semua kebijakan tetap ditangan Patih Lambungmangkurat.
Negaradipa ternyata kepanjangan tangan Majapahit di Pulau Kalimantan, Beberapa
Pangeran Kuripan yang kecewa pergi meninggalkan Istana, namun diburu oleh pihak
Negaradipa karena dikawatirkan akan melakukan pemberontakan. Para Pangeran
melarikan diri ke daerah Batang Alai dan diangkat menjadi pemimpin di daerah
tersebut. Merasa terancam Patih Lambungmangkurat memerintahkan menyerang daerah
Banua Lima, yaitu Batang Alai, Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang
Hamandit dan Batang Tapin. Kerajaan Batu Piring sendiri luput dari penyerangan
karena bersedia menjadi bagian dari kerajaan Negaradipa. Dibantu oleh pasukan
Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa kelima
daerah itu bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan berhasil diselamatkan
oleh para Panglima dan disembunyikan di daerah Mangga Jaya (Wilayah Kec. Batang
Alai Timur sekarang) di pegunungan Meratus. Daerah Mangga Jaya sendiri konon
sulit ditaklukkan oleh Negaradipa beberapakali pasukan Negaradipa dikirim
kesana namun tidak pernah berhasil menaklukkan daerah Manggajaya, sebab menurut
legenda setempat di sana tempat berkumpulnya para Panglima Banua Lima yang
sakti dan juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga
sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.
KESAH
BALAI KALIH
Bahari kala di Pagunungan Maratus nang wadanya kira-kira diapit Gunung Tambung
wan Gunung Mangkurung suah ada kampung nang bangaran Balai Tangga Amas. Bubuhan
kula-kula kita nang ba’utu (begana) disia ti hidupnya damai, tantram, wan
makmur bangat, sualnya di kampung Balai Tangga Amas tanahnya subur kada bataha
kakurangan makanan. Kapala adatnya nang maatur disia ti bijaksana bangat jua.
Kada hiran munnya paharatan Aruh Ganal, banyak bubuhan nang tumatan kampung
subalah bailang umpat maramiakan, sualnya pasti banyak makanan nang kawa umpat
dimakan.
Pas limbah katam, bubuhan
urang kampung Balai Tangga Amas paharatan Aruh Ganal. Liwar banyak bangat
bubuhan kampung subalah nang datang bailang. Ada nang umpat manyusunakan
lamang, ada nang umpat manyumbalih hadangan, ada nang umpat batandik, ada nang
umpat bakanjar, ada nang umpat bagandang, ada jua nang rami basalikur. Pukuknya
rami bangat ti pang di kampung nitu. Saking kaasikannya bubuhan nang di kampung
Balai Tangga Amas baaruhan, bubuhannya nitu kada tahu pang kada jauh dari
kampung nitu Datu Sumali’ing lagi guring di atas puhun kariwaya nang ganal.
Bunyi gandang sing nyaringan babunyi maumpati bubuhan balian nang
batandik. Magin lawas magin banyaring bunyi gandang nang dicatuk, sampai-sampai
Datu Sumali’ing nang guring takajut mandangarnya.
Bakajutan Datu nitu tabangun. Matanya tabunceleng maitihi wan bacari
muasal bunyi gandang nang nyaring nitu. Limbahnya nitu, Datu nang panyarikan
nangini badiri sambil bakacak pinggang di atas puhun kariwaya nang ganal, lalu
sidin bakuciak, “Bubuhan ikam ne tumbur wan gaduh bangat, maulah diaku kada
kawa guring!” ujar Datu Sumali’ing bakacak pinggang.
Liwar takajutnya urang kampung nang lagi baaruhan nitu mandangar
suara sing nyaringan. Lalu bubuhan nang ada di balai mamparapas kaluar maitihi
nang bakuciak tadi. Magin takulipik bubuhannya nitu wayahnya tahu urang nang
bahalulung tadi, limbahnya nitu, saikung bubuhan balian bapander maminta maaf.
“Maafi kami, kami kada bamaksud mangganggu pian, kami paharatan aruh wan kami
kada tahu pian lagi guring,” ujar saikung dari buhan balian nitu.
Lamun Datu Sumali’ing tatap karas wan tatap sangit bangat
sampai-sampai habang muha sidin nitu. “Bubuhan ikam tahu luku wan diaku ne,
siapa haja nang mangganggu diaku ne kada diaku ampuni tu pang!” ujar Datu
Sumali’ing sambil talunjuknya manunjuki urang-urang kampung nitu.
Limbahnya baucap nang kaya itu, seerrrrr…. Datu Sumali’ing tarabang
sambil mangaluarkan kajian sidin.. cchuuuhhhh…cchhuuuuhhhh… cchhhuuuuuhhhh…!!!
Urang-urang nang ada di kampung Balai Tangga Amas saikung pada saikung diludahi
sidin. Urang kampung kada-kada nang kawanya bukah wan mailak. Apa haja nang
kana ludah sidin nitu, situ saini jadi batu. Urang kampung, binatang, gandang
sampai balai adatnya nang kana ludah sidin barubah jadi batu. Limbahnya samuaan
nang ada di kampung nitu manjadi batu,lalu sidin bakuciak pulang.
“Tumatan damini, kampung nang bangaran Balai Tangga Amas diaku alih
manjadi kampung Balai Kalih! Hahahahaahaaa.,.” ujar Datu Sumali’ing sambil
takihing bajalan maninggalakan kampung nang jadi batu nintu.
Kampung Balai Tangga Amas atawa nang talah baubah ngaran manjadi
Balai Kalih nitu, damini masih ada. Di sana ada batu nang ganal bangat, ujar
tatuha kampung Buhul, batu nang ganal nitu balai adat Tangga Amas nang kana
ludah Datu Sumali’ing. Dahulu, urang-urang kampung nang maliwati batu nitu
musti mambari tanda atawa tulisan di batu nitu gasan mahurmati urang kampung
Balai Tangga Amas nang sudah jadi batu. Di atas batu nitu ada lagi batu nang
tagantung, ujar habar batu nitu gandang nang kana ludah Datu Sumali’ing jua.
Ada jua batu nang kaya urang paharatan manyusui anaknya, ada jua batu nang kaya
payau wan bayi (babi hutan), wan masih ada lagi batu-batu nang kaya manusia ada
di sana. Urang-urang kampung nang parak situ parcaya batu-batu nitu dulunya
urang kampung Balai Tangga Amas, binatang-binatang, wan banda-banda pakakas
aruh nang kana ludah si Datu Sumali’ing.
ASAL MULA KOTA BANJARMASIN
Pada zaman dahulu berdirilah sebuah kerajaan
bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya,
Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja
Sari Kaburangan. Konon, Sekar Sungsang seorang penganut Syiwa. la mendirikan
candi dan lingga terbesar di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu
bernama Candi Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada
masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja
Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak menggantikan
tahta, Pangeran Mangkubumi-lah yang naik takhta.
Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan
karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak
aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha
perebutan kekuasaan. Sejak itu, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.
Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap
tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha,
Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di
sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha,
mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito, terdapat kampung-kampung
yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai.
Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung,
dan Banjar.
Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang
paling bagus letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang
muaranya bertemu di Sungai Kuin.
Karena letaknya yang bagus, kampung Banjar
kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi
kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang
patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama
Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera,
pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia
mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk
berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat
persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja
Sukarama.
Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi
raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan,
semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak
mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti
kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam
menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito
sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Peperangan berlanjut terus,
belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran
Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak
menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan
terkuat setelah Majapahit.
Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan
bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan,
yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu.
Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha.
Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh
Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya. Kontak
senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil
dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan
di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara
Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.
Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih
melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia
mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya
peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang
bertikai. Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di
kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang
menang. Usul Arya Terenggana ini diterima kedua belah pihak.
Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik
sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh
panglima kedua, belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta
membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar.
Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera.
Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran
Samudera mempersilakan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang
tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.
Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung.
Kesadarannya muncul. la mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh,
tetapi sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri.
Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, Pangeran Samudera
dipeluk. Mereka bertangis-tangisan.
Dengan hati tulus, Pangeran Tumenggung
menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan
Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar
Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat
dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan.
Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar
Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu
orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya
menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan
Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau
Bandar Masih.
Karena setiap kemarau landang (panjang) air
menjadi masin (asin), lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi
Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara
dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir
Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota Madya
Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati
kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah
sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.
Hikayat Datu Banua Lima
(Cerita
ini merupakan versi lain, selain Hikayat Banjar Versi JJ. Ras, dan banyak
sekali perbedaan terutama pada garis silsilah dan alur cerita)
Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan
yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum
berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan
Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan
bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun
400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu
mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan
kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan
panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan
Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak.
Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal
muasal suku Banjar).
Semantara
sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan
datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau
istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya
makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga
sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini
saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau
berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha
sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi
kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen
menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di
wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah
jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.
Kerajaan
Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima. Yang Partama bergelar Panglima Alai,
yang merupakan ahli politik dan strategi. Yang Kedua, Panglima Tabalong,
orangnya gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Yang Katiga, Panglima
Balangan, Orangnya sangat tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu, sedangkan
yang keampat dan kelima si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima
Tapin. Mereka berdua ini orangnya cepat emosian, keras kepala, dan suka
berkelahi. Kelimanya bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu
Dayuhan Kapala suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu
keturunan Sriwijaya).
Pada
saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai Nusantara. Hal
itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah termakan sumpah hendak
‘menguasai’ nusantara. Tapi oleh para politikus Majapahit kata ‘menguasai’
diperhalus menjadi ‘mempersatukan’ nusantara. Ada mata-mata Majapahit yang
berdalih berdagang ke kotaraja kedua kerajaan tadi, didapatlah informasi bahwa
kedua kerajaan tersebut sangat makmur. Istananya saja berlapis emas. Mendengar
hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai
kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai.
Pada
Tahun 1356 Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah
Borneo. Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sakitar 5.000
pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin oleh
Senopati Arya Manggala. Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu
Kerajaan Nan Sarunai mminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri. Lalu oleh raja
Tanjungpuri dikirim lima orang Panglima tadi dengan membawa 1000 pasukan
membantu Kerajaan Nan Sarunai. Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara
pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri.
Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang
terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara manaklukan
berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat tak terkira. Banyak
tentara Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang
sakti-sakti tersebut. Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan,
Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara
Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima atau banyak juga
yang dilemparkan ke tubuh musuh yang berani mendekat. Sedangkan Panglima
Balangan menjadi pimpinan barisan pangawal raja, dengan kesaktiannya mampu
melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit. Semantara Panglima Hamandit
dan Panglima Tapin beradu (duel) kesaktian dengan para pendekar Majapahit.
Banyak sudah Pendikar Persilatan Majapahit yang merupakan orang-orang bayaran,
mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Setelah dua hari bertempur
akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan Senopati Arya Manggala
penggal kepalanya terkena Mandau terbang “Pangkalima Angkin”, Panglima Kerajaan
Nan Sarunai yang terkenal sakti. Sisa-sisa pasukan Majapahit lari
terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.
Di
Tanjungpuri setelah peperangan malawan Majapahit banyak infrastruktur kerajaan
yang hancur, ladang banyak yang rusak begitu juga pohon karet banyak yang
roboh. Pelabuhan kerajaan tidak ramai lagi karena banyak padagang yang takut
berlabuh setelah mendengar ada perang. Maka tarjadi “krisis moneter”
berkepanjangan di Kerajaan Tanjungpuri. Kelima panglima kerajaan mendapat tanah
kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan
Maratus sebagai hadiah dari Sri Baginda Darmapala. Daerah lima aliran sungai tersebut
akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri. Panglima Alai mendapat
wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima
Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi
Kabupaten Tabalong), Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang
Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan), Panglima Hamandit mandapat
wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima
Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).
Ada
kisah menarik antara dua Panglima kembar tersebut, yaitu Panglima Hamandit dan
Panglima Tapin, yang keduanya sama-sama menghendaki anak Raja Tanjungpuri yang
bernama Putri Diang Bulan, sampai-sampai yang mereka berdua bertengkar, tapi
karena sama-sama sakti, maka tidak ada yang mampu saling mengalahkan. Akhirnya
oleh Putri Diang Bulan, mereka disuruh beradu ba igal (berjoget). Ternyata
Panglima Tapin lebih hebat berjoget daripada Panglima Hamandit. Oleh karena
itu, orang-orang Tapin banyak yang menguasai kesenian bajapin ‘bagandut.’ Tapi
Putri Diang Bulan tidak sampai hati memilih di antara keduanya. Akhirnya Putri
Diang Bulan kembali menyuruh mereka untuk beradu pantun ‘baturai pantun’ dan
ternyata Panglima Hamandit yang lebih hebat, makanya orang-orang daerah
Hamandit banyak menguasai bidang sastra. Karena sama-sama mempunyai kelebihan,
Putri Diang Bulan menjadi semakin bingung sendiri. Karena kebigungan, akhirnya
Putri Diang Bulan memilih kawin dengan Panglima Alai. Oleh sebab itu,
orang-orang Hamandit dan Tapin banyak yang tidak suka dengan orang-orang Alai
kalau urusan cinta dan perempuan. Panglima Tabalong dan Panglima Balangan yang
mengetahui soal cinta sagi empat di antara saudaranya tersebut lebih memilih
netral, tidak memihak ke mana-mana. Datu Dayuhan dan Datu Intingan yang malihat
hal tersebut akhirnya cepat turun tangan berusaha untuk mempersatukan
persaudaraan mereka. Oleh karena itu, setiap tahun diadakan upacara ‘Aruh
Ganal’ di daerah pahuluan sana.
Pada
Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan
Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa.
Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang palarian matan Kerajaan
Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja
Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala).
Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung
Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih. Tapi karena
merasa ketuaan, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini
Putri Junjung Buih.
Raden
Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari parkawinan dengan Urang Biaju (Dayak
Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra kawin dengan Putri Junjung Buih.
Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah
Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa. Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat
Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata. Namun ada sesuatu
hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut
pengaruh antara Imigran Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pajabat di
Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mangabdi jadi pajabat di
Kerajaan Nagaradipa. Apalagi setelah para politikus Majapahit mampu
mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan malarang adat
istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa. Pakaian adat harus mengikuti
gaya pakaian orang Majapahit (kelak pada saat perpindahan kekuasaan dari
Nagaradipa ke Nagaradaha kebudayan Melayu dan Dayak kembali mendapat tempat di
kerajaan).
Mendengar
hal tersabut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang.
Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan
tunduk dengan Majapahit. Tapi oleh karena masih menghormati Putri Junjung Buih
sabagai cucu Sri Baginda Darmapala, kalima Panglima tersebut mampu menahan
diri. Setelah itu kelima panglima ini tidak pernah muncul lagi baik di dunia
politik maupun di dunia parsilatan. Mereka masing-masing mengasingkan diri ke
Pegunungan Maratus. Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada
yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak. Yang tidak mendukung
akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan
Pangeran ke-10 mengikuti para Datu Banua lima. Tempat berkumpulnya para
kaluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke
10 adalah Manggajaya.
Melihat
hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa tarancam lalu atas bantuan
Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa ka daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai,
Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa. Kelima
wilayah tersabut memang bisa ditaklukan, tapi daerah “Manggajaya” tak ada
berani menyerang ke sana karena menurut cerita Lima orang Panglima yang
bergelar Datu Banua Lima ada di Manggajaya dan di sana juga bakumpul para
keturunan keluarga Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Nan Sarunai. Itulah
sebabnya kenapa orang-orang pahuluan (Banua Lima) terkenal berjiwa pahlawan
sebab masih sebagai keturunan para Panglima Kerajaan Tanjungpuri. Kelak di masa
penjajahan Belanda, orang Manggajaya ini yang akan turun membantu Pangeran
Hidayatullah bertempur di wilayah Banua Lima. Hal tersebut kembali berulang
pada saat masa mempertahankan kemerdekaan, orang-orang Banua Lima ini terkenal
sebagai bagian dari pasukan ALRI Div. IV di bawah komando Brigjen Hasan Basri
(keturunan Panglima Hamandit).
KESAH BALAI KALIH
Oleh: TumanggungArga Sandipa BatanggaAmas
Bahari
kala di Pagunungan Maratus nang wadanya kira-kira diapit Gunung Tambung wan
Gunung Mangkurung suah ada kampung nang bangaran Balai Tangga Amas. Bubuhan kula-kula
kita nang ba’utu (begana) disia ti hidupnya damai, tantram, wan makmur bangat,
sualnya di kampung Balai Tangga Amas tanahnya subur kada bataha kakurangan
makanan. Kapala adatnya nang maatur disia ti bijaksana bangat jua. Kada hiran
munnya paharatan Aruh Ganal, banyak bubuhan nang tumatan kampung subalah
bailang umpat maramiakan, sualnya pasti banyak makanan nang kawa umpat dimakan.
Pas limbah katam, bubuhan urang kampung Balai
Tangga Amas paharatan Aruh Ganal. Liwar banyak bangat bubuhan kampung subalah
nang datang bailang. Ada nang umpat manyusunakan lamang, ada nang umpat
manyumbalih hadangan, ada nang umpat batandik, ada nang umpat bakanjar, ada
nang umpat bagandang, ada jua nang rami basalikur. Pukuknya rami bangat ti pang
di kampung nitu. Saking kaasikannya bubuhan nang di kampung Balai Tangga Amas
baaruhan, bubuhannya nitu kada tahu pang kada jauh dari kampung nitu Datu
Sumali’ing lagi guring di atas puhun kariwaya nang ganal.
Bunyi
gandang sing nyaringan babunyi maumpati bubuhan balian nang batandik. Magin
lawas magin banyaring bunyi gandang nang dicatuk, sampai-sampai Datu Sumali’ing
nang guring takajut mandangarnya.
Bakajutan
Datu nitu tabangun. Matanya tabunceleng maitihi wan bacari muasal bunyi gandang
nang nyaring nitu. Limbahnya nitu, Datu nang panyarikan nangini badiri sambil
bakacak pinggang di atas puhun kariwaya nang ganal, lalu sidin bakuciak,
“Bubuhan ikam ne tumbur wan gaduh bangat, maulah diaku kada kawa guring!” ujar
Datu Sumali’ing bakacak pinggang.
Liwar
takajutnya urang kampung nang lagi baaruhan nitu mandangar suara sing
nyaringan. Lalu bubuhan nang ada di balai mamparapas kaluar maitihi nang
bakuciak tadi. Magin takulipik bubuhannya nitu wayahnya tahu urang nang
bahalulung tadi, limbahnya nitu, saikung bubuhan balian bapander maminta maaf.
“Maafi kami, kami kada bamaksud mangganggu pian, kami paharatan aruh wan kami
kada tahu pian lagi guring,” ujar saikung dari buhan balian nitu.
Lamun
Datu Sumali’ing tatap karas wan tatap sangit bangat sampai-sampai habang muha
sidin nitu. “Bubuhan ikam tahu luku wan diaku ne, siapa haja nang mangganggu
diaku ne kada diaku ampuni tu pang!” ujar Datu Sumali’ing sambil talunjuknya
manunjuki urang-urang kampung nitu.
Limbahnya
baucap nang kaya itu, seerrrrr…. Datu Sumali’ing tarabang sambil mangaluarkan
kajian sidin.. cchuuuhhhh…cchhuuuuhhhh… cchhhuuuuuhhhh…!!! Urang-urang nang ada
di kampung Balai Tangga Amas saikung pada saikung diludahi sidin. Urang kampung
kada-kada nang kawanya bukah wan mailak. Apa haja nang kana ludah sidin nitu,
situ saini jadi batu. Urang kampung, binatang, gandang sampai balai adatnya
nang kana ludah sidin barubah jadi batu. Limbahnya samuaan nang ada di kampung
nitu manjadi batu,lalu sidin bakuciak pulang.
“Tumatan
damini, kampung nang bangaran Balai Tangga Amas diaku alih manjadi kampung
Balai Kalih! Hahahahaahaaa.,.” ujar Datu Sumali’ing sambil takihing bajalan
maninggalakan kampung nang jadi batu nintu.
Kampung
Balai Tangga Amas atawa nang talah baubah ngaran manjadi Balai Kalih nitu,
damini masih ada. Di sana ada batu nang ganal bangat, ujar tatuha kampung
Buhul, batu nang ganal nitu balai adat Tangga Amas nang kana ludah Datu
Sumali’ing. Dahulu, urang-urang kampung nang maliwati batu nitu musti mambari
tanda atawa tulisan di batu nitu gasan mahurmati urang kampung Balai Tangga
Amas nang sudah jadi batu. Di atas batu nitu ada lagi batu nang tagantung, ujar
habar batu nitu gandang nang kana ludah Datu Sumali’ing jua. Ada jua batu nang
kaya urang paharatan manyusui anaknya, ada jua batu nang kaya payau wan bayi
(babi hutan), wan masih ada lagi batu-batu nang kaya manusia ada di sana.
Urang-urang kampung nang parak situ parcaya batu-batu nitu dulunya urang
kampung Balai Tangga Amas, binatang-binatang, wan banda-banda pakakas aruh nang
kana ludah si Datu Sumali’ing.
Hikayat
Banjar - Datu Patih Ampat
Alkisah pada jaman dulu kala hiduplah
seorang laki-laki sakti. Pada jaman lelaki sakti ini hidup dunia ini masih
dipenuhi dengan air/sebelum air es dikutup utara dan selatan membeku yang ada hanyapegunungan Meratus daratan sedangkan yang lain adalah
lautan nan luas.
Pada suatu hari laki-laki tersebut kencing
disemak belukar tanaman perdu dikaki sebuah gunung. Pada saat kencing bukan air
seni yang keluar namun air mani(sperma). Laki-laki sakti tersebut meninggalkan
tempat itu dengan wajah masih bingung. Sampai datanglah seekor singa memakan
daun ditumbuhan perdu tersebut. Begitu pula secara bergantian 4 binatang lain
yaitu macan, kijang dan pelanduk(kancil).
Keempat binatang tersebut kebetulan
berjenis kelamin betina. Dari memakan dedaunan dari tumbuhan perdu tersebut
membuat hamil. Sampai 9 bulan 9 hari lahirlah kandungan dari binatang-binatang
itu. Anak yang lahir dari induk singa, macan, Kijang dan pelanduk itu bukan
anak binatang namun anak manusia. Karena merasa aneh binatang tersebut maka
ditinggallah anak menusia tersebut didalam suatu goa.
Hari berganti hari ketiga menjadi remaja
dan akhirnya dipelihara oleh ayah kandungnya yang tidak lain lelaki sakti yang
mengencingi tanaman perdu itu. Insting bawaan lebih didominasi kepada
manusianya. Walaupun mereka mendapat gelar sesuai dari induknya. Anak pertama
bernama Tumbak Sagara dengan gelar Singa (Panimba Sagara), anak kedua Pambalah
Batung dengan gelar macan sedangkan anak ketiga bernama Surampit mendapat gelar
Minjangan (Garuntung Waluh) dan anak paling bungsu bernama Garuntung Manau
dengan gelar Pelanduk.
Kesaktian ayah kandungnya diturunkan kepada 4 bersaudara
tersebut, sehingga mereka menjadi sakti dan kesaktiannya berdasarkan bawaan
induknya. Keempat
saudara itu menjadi patih Kerajaan Nara Dipa. Kerajaan Dipa saat itu belum memiliki raja sebagai pemimpin. Hanya ada
empat orang pemuka yang dikenal sebagai 'Patih Ampat' atau 'Mantri Ampat'.
Mereka adalah orang-orang yang kuat sakti mandraguna. Kekuatan dan kesaktian
mereka terkenal ke seluruh pelosok negeri.
o Panimba Sagara
Penampilannya sangat rapi, orangnya necis, suka bersolek. Warna
pakaian kesukaannya adalah kuning. Senjatanya bernama Naga Runting.
Panimba Sagara memiliki kesaktian sanggup menimba air lautan dengan kedua
tangannya. Jika ingin mengeringkan air laut, ia bisa mengubah dirinya menjadi
lebih besar daripada raksasa. Kalau ia berdiri di tengah lautan yang paling
dalam, air laut hanya sampai pada tumitnya. Kalau ia berdiri di daratan, gunung
yang tinggi hanya sebatas lututnya. kalau Pambimba Sagara berjalan selangkah
saja, satu bukit bisa dilewatinya. Teriakannya mampu membuat seluruh binatang
ketakutan. Suaranya bisa terdengar dari arah matahari terbit ke arah matahari
terbenam. Kedua telapak tangannya menjadi sebesar telaga saat ia menimba air
laut.
o Pambalah Batung
Orang kedua dari Patih Ampat bernama Pambalah Batung. Ia suka memakai baju
hijau. Pandai berbicara dan berdiplomasi. Senjata andalannya adalah Sampana
Carita. Ia mempunyai kesaktian kuat seperti raksasa (kajian gancang). Lelaki
ini dapat membelah apa saja yang ada di bumi. Dia dapat
membelah sungai menjadi dua bagian, membelah gunung menjadi dua gundukan,
memindahkan hutan dari utara ke selatan, dan memindahkan apa saja yang dia
inginkan.
o Garuntung Waluh
Garuntung Waluh adalah orang ketiga dari Patih Ampat. Ciri khasnya adalah
berpakaian merah, sederhana, pendiam, dan keras hati.
Senjatanya dinamakan Tilam Upih.
Seperti anggota Patih Ampat yang lainnya,
Garuntung Waluh pun memiliki kesaktian yang mengagumkan. Dia dapat menghilang
dan mengecilkan tubuhnya sekecil yang dia inginkan. Tubuhnya bisa lebih kecil
dari semut. Mampu bersembunyi di pucuk pohon, di rambut kepala, dan bisa juga
bersembunyi di dalam sarung mandau. Ia mempunyai keahlian dalam ilmu pengobatan
dan dapat melihat jauh (tembus pandang).
o Garuntung Manau
Pakainnya hitam, orangnya pendiam, dan jujur. Senjata pamungkasnya bernama
Balitung.
Kesaktian Garuntung Manau adalah ilmu mengubah diri. Karena itu dia bisa berada
di segala tempat. Dia bisa menjadi ikan laut, ikan sungai, atau menjadi
kutu.
Jika Garuntung Manau ingin menjadi burung, dia menirukan suara dan gerakan
burung yang diinginkannya. Tidak lama kemudian dia pun menjadi burung. Dan jika
dia ingin menjadi harimau, dia akan mengaum, dalam sekejap saja Garuntung Manau
sudah berubah menjadi harimau. Ia juga
dapat berlari
secepat angin
Kesaktian keempat bersaudara ini terdengarlah seantero dunia.
Sampai suatu saat ada petapa disuatu gunung diseberang pulau. Pertapa sakti
”Kasubalahan”(½ Manusia dan Jin) bergelar Hantu Bao itu mempunyai pengikut yang
banyak dan penganut ilmu hitam mengetes kesaktian keempat
bersaudara tersebut dengan mengirim bongkahan batu besar dari gunung tapaannya.
Bongkahan batu besar tersebut dilempar
kearah mereka (Empat Bersaudara) namun karena saktinya batu itu tidak sampai
menyentuh bumi dimana mereka bertempat tinggal. Kempat bersaudara sakti tersebut berunding untuk membalas serangan sang sahabat iblis
tersebut.
Diputuslah untuk melempar kembali batu tersebut, tetapi bukan sekedar melemparnya saja, batu tersebut menjadi penjemput orang
sakti diseberang pulau menjadi terperangkap dan ditarik lagi ke pulau meratus
(sekarang pegunungan meratus) alasan kemaslahatan masyarakat luas karena ini akan
menjadi bibit penghancur dunia.
Garuntung Manau mengatur cara memenjarakan
sasaran dengan jampi-jampi di batu yang melayang antara langit dan bumi
itu, Pambalah Batung memecah batu menjadi 4 bagian. Dengan kesaktian Tumbak
Sagara mefokuskan sasaran yang dituju, Surampit menendang / melempar batu
tersebut dan langsung batu-batu itu mengepung Hantu Bao.
Sampai akhirnya salah satu batu itu
memperangkap Hantu Bao. Pertarungan tersebut hingga beberapa
jaman dari dunia penuh dengan laut sampai air laut mengering dan menggumpal di
kutup Utara dan Selatan.
Kempat batu tersebut kembalilah ke pulau
pegunungan meratus. Batu yang berisi pertapa dari seberang tersebut karena
berat jatuhlah disuatu aliran sungai yaitu kali pura, ujung dari puncak yang
terbenam kedalam bumi membuat terbelah sungai menjadi dua. Batu yang kedua
jatuh dan saking beratnya yang berisi ilmu-ilmu karantinaan pertapa kesebuah
daratan sehingga membentuk gubangan air atau danau. Sedangkan batu ketiga
terbenam diPaliwara dan batu ke empat beban agak ringan dari batu lainnya
jatuhnya didaerah keras maka membentuk gunung sekarang disebut Batu
Bulek.
Masing-masing batu itu akhirnya dihuni
kakak beradik dengan membagi daerahnya masing-masing. Batu yang kembali
ketempat mereka dilahirkan dan dibesarkan adalah batu Bulek dan diberikan kuasa
penuh kepada Garuntung Manau.
Batu bulek yang diserahkan kepada adik
bungsu itu adalah tempat keempat beradik berkumpul apabila ada masalah yang
perlu dirundingkan dan menjadi tempat reoni keempat
Keempat patih tersebut menurut legenda
sangat sakti, sehingga sulit dikalahkan. Banyak pendekar yang mencoba kesaktian
mereka akhirnya pulang dengan kekalahan. Bahkan menurut legenda, diceritakan
ada seorang Mpu sakti mandraguna dari Majapahit yang mengirimkan sebuah keris
yang mampu terbang. Keris itu dikatakan bernama Condong Campur dengan tujuan mau memporak -porandakan tanah Banjar, tampillah
senjata – senjata para Datu ini menghadang senjata
Cundrung Campur diudara, dengan disaksikan Datu Patih Empat, bunga
api pun berpijaran di angkasa, pecahan pecahan besi berkilauan menyilaukan
mata. Keris Sampana Crita bertugas menyerang, keris
Naga Runting menghadang diatas air, Belitung membantu Keris sampana Cerita
dan keris Tilam Upih mengahadang lawan di darat. Setelah
terjadi perkelahian selama 3 hari 3 malam antara keris Condong Campur dengan
Patih Ampat, keris tersebut hancur berkeping-keping, sekaligus mengakhiri hidup
Sang Mpu.
Setelah berkelana ke tanah Jawa untuk
mencari calon raja untuk tanah Banjar. Akhirnya Patih Ampat mendapat ijin dari raja
Majapahit untuk membawa cucunya, Pangeran Suryanata, untuk di bawa ke Banjar
dan dinobatkan menjadi raja disana.
Ketika agama Islam masuk ke Kalimantan,
Pangeran Suryanata pun memeluk agama Islam. Sejak saat itu namanya diubah
menjadi Pangeran Suryansyah atau Suriansyah. Sewaktu Pangeran Suriansyah
memeluk Islam, Patih Ampat pun sebenarnya juga ingin ikut masuk agama Islam.
Tetapi oleh Khatib Dayan mereka disuruh bersunat terlebih dahulu. Dikarenakan
Patih Ampat takut bersunat, akhirnya mereka tidak jadi untuk bersyahadat dan
memilih mengasingkan diri. Konon menurut legenda, mereka menjadi Orang Gaib di
Pegunungan Maratus.
Menurut kepercayaan masyarakat, Datu
Patih Ampat meskipun sudah gaib, mereka bisa dipanggil
melalui balampah atau bertapa. Kalau ingin mempunyai kekuatan tubuh bisa
bersahabat dengan Datu Pambalah Batung, kalau ingin kuat diatas
dan didalam air bersahabat dengan Datu Panimba Sagara, kalau ingin
berlalri secepat angin bersahabat dengan Datu Garuntung Manau begitu juga kalau
ingin mendapatakan ilmu pengobatan dan ilmu tembus pandang bersahabat dengan
Datu Garuntung Waluh.
Hikayat Banjar Nagara Dipa (Amuntai) dan Nagara Daha
Sebuah hikayat Banjar yang
diwariskan secara tuttur Lisan ( tutur candi ) yang sampai saat ini masih
dipercayai oleh sebagian masyarakat banjar. Orang-orang yang sudah berpikiran
modern meaanggap itu hanya sebuah dongeng dan bagi masyarakat awam kejadian
yang diluar akal manusia seperti kesurupan dan lain-lain biasa dikaitkan dengan
hikayat banjar ini. Tapi berdasarkan prasasti yang satu-satunya ditemukan
di Banjarmasin kemudian mahasiswa Sejarah menggali dan menelusuri
wilayah-wilayah yang sesuai dengan hikayat banjar maka ditemukanlah candi Agung
( Amuntai ) dan Candi Laras ( Margasari rantau).
Diawali dengan sebuah pelayaran yang
dilakukan oleh Mpu Jatmika dengan Siprabayaksa, dan ia merupakan seorang
saudagar dari negara Keling yang sebelum pergi diwasiati oleh orang tuanya
bahwa ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas dan akhirnya ia
menyinggahi Amuntai karna dirasa sesuai dengan wasiat tadi. Karna Mpu Jatmika
menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan kesatria maka ia membangun
sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan “ Candi Agung”. Dan untuk
melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya
yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.
Di ketahui Mpu Jatmika mempunyai dua
orang Anak yaitu Mpu Mandastana dan Lembu Amangkurat ( Lambung Mangkurat ), dan
kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih pada saat itu. pada suatu saat
Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau kerajaan Dipa tidak
mempunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu ( Nagara)
selama 40 hari 40 malam dan pada malam terkhir pertapaannya sebuah petunjuk
datang melalui sebuah suara yang mengatakan “ ia harus menyediakan 40 jenis
makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang” yang berpakaian serba
kuning melambangkan kemewahan pada kerajaan Dipa pada saat itu, setelah itu
Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya. Setelah semua
sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa dan ritual
dilasanakan tdak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang
akhirnya dijadikan raja perempuan di kerajaan Dipa yan diberi nama Putri
Junjung Buih.
Mpu Mandastana yang merupakan
saudara Lambung Mangkurat mempunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan
Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan putri Junjung Buih yang
terkenal cantik Luar biasa yang keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh
siapapun.
Karna merasa kedua putra Mpu
Mandastana ini tidak sesuai untuk sang putri maka Lambung Mangkurat membunuh
kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “ lubuk
Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi
Agung Amuntai.
Sebuah Wangsit yang mengatakan bahwa
jodoh putri Junjung Buih berada di seberang lautan yaitu di kerajaan Majapahit.
Maka diutuslah seorang pengawal ke Majapahit namun sesampainya disana Maha Raja
Patih Majapahit mengatakan ia memiliki anak tapi tidak sempurna yang tidak
mempunyai tangan dan kaki, orang menyebutnya raja Bulat Bulaling. Walaupun
seperti itu seorang utusan tadi tetap meminta untuk putra Maha Raja Patih tetap
di bawa karna ingin melaksanakan wangsit yang didapat.
Sesampainya di Muara Banjar,
Putri Junjung Buih mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di tanah
Banjar. Tapi sang putri ingin mempunyai suami yang sakti dan gagah perkasa agar
tidak kalah dengan kesaktiannya. Maka putri Junjung Buih mengutus Naga di
Langit untuk menghalau air agar kapal mandek di tengah lautan. Para pengawal
pun bingung apa yang harus dilakukan samapi akhirnya mereka bertanya kepada
Pangeran Bulat Bulaling dan kemudian ia mengatakan bahwa lemparkan saja dirinya
ke air. Pengawal pun menurutinya, setelah lama di air lalu muncul seorang
Pangeran yang gagah perkasa yang disebut “ Pangeran Suryanata “. Akhirnya Putri
Junjung Buih mengakui kesaktian sang Pangeran dan bersedia untuk dijadikan
istri.
Melalui Hikayat ini pula banyak
tempat-tempat sepeti lapangan, nama jalan atupun tempat-tempat umum lain nya di
beri nama seperti nama raja dan putri Nagara Daha. Artinya hikayat ini tidak
berakhir sebagai dongeng atau legenda semata. Tapi terserah para pembaca aja
bagaimana menanggapi. Cerita ini saya ketahui lebih dalam saat matakuliah
Sejarah Lokal hari ini. Dan tunggu aja cerita tentang Kerajaan NagarA
Daha…………….
Hikayat Putri Junjung Buih
Puteri Junjung Buih atau Poetrie Djoendjoeng Boeih atau Poetri
Djoendjoeng Boewih adalah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut
Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan.
Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai keturunan dari puteri
pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer dan
merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat yang diperolehnya ketika
"balampah" (bahasa Banjar : bertapa) yang muncul sebagai wanita
dewasa dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini kemudian menikah dengan
Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran
Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat
(unsur pendiri negeri), kemudian mereka berdualah yang menurunkan raja-raja
dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan
Kepangeranan Kotawaringin.
Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja
puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri
Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai
keturunan Puteri Junjung Buih.
Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih/Putri Junjung Buyah merupakan
isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.
Menurut Drg Marthin Bayer, Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak
Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai
yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari
Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip
cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).
Dalam Perang Banjar, salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang
bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.
“PERKARA SI BUNGKUK DAN SI
PANJANG”
Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang
sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:
Hatta maka berapa
lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya
dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.
Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak
menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang
lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun
berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang
itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua,
lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam
juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang
Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan
hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat
berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar
oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik
rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya,
"Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun
turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia
berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu,
"Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
"Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang
juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
Maka kata orang tua
itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka
turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka
kata Bedawi itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu,
hamba seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu.
Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu.
Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk
air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi
itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan
mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga
tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit,
hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan
itu.
Maka kata perempuan
itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila
sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah
maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu
semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan
Bedawi itu.
Kalakian maka
heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah
keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya
berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat
hal yang demikian ini, baiklah aku mati."
Setelah itu maka
terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai
itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi
itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat
Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu
pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh
Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan
perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu,
"Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah
besar dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua
itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."
Maka dengan demikian
jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun,
datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang
laki-laki ini?"
Maka kata perempuan
celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5)
Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka
diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata
Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab
oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah
itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata
benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu,
"Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu
sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka
Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini,
siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung
tempat ia duduk?"
Maka tiadalah
terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki
Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata
Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu
sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua
itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk
dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan
kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi
itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka
itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan
celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi
ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah
masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Legenda Telaga Bidadari
Legenda Telaga Bidadari
ini berasal dari desa Pematang Gadung. Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Propinsi Kalimatan Selatan.
Alkisah, seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Awang Sukma mengembara
sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam keindahan di
dalam hutan. Saat itu, Awang Sukma langsung membangun tempat tinggal di atas dengan
berbagai penghuni hutan. Kehidupan di hutan sangat rukun dan damai. Para
penghuni hutan mengangkat Awang Sukma menjadi penguasa daerah itu dan bergelar
Datu.
Setiap satu bulan sekali, Awang Sukma yang sudah bergelar Datu itu mengadakan
perjalanan keliling ke seluruh daerah kekuasaannya. Sesuatu ketika ia tiba di
sebuah telaga. Telaga itu tidak begitu dalam. Airnya jernih dan bening bagaikan
sebuah cermin. Letak telaga berada di bawah kerindangan pepohonan. Beberapa
pohon buah-buahan tumbuh subur dan berbuah lebat. Berbagai jenis burung,
tinggal dengan aman di sekitar telaga itu. Bermacam seranggapun dengan riangnya
menghisap madu bunga.
“Hem, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keajaiban yang
luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma penuh kekaguman.
Ia tinggal di telaga itu sampai beberapa hari.
Datu Awang Sukama pandai meniup seruling maka dari itu ia dikenal dengan nama
Datu Suling.
Selama tinggal di telaga itupun, ia selalu bermain seruling. Lagu-lagu yang
dibawakan sangat merdu dan indah sehingga menyentuh perasaan siapa saja yang
mendengarkannya. Pada pagi yang cerah Datu Awang Sukma meninggalkan telaga yang
indah. Baru beberapa langkah berjalan, ia mendengar suara riuh rendah di
telaga.
“Apakah yang terjadi di telaga itu?,” gumam Datu Awang Sukma penuh tanda tanya.
Di sela-sela tumpukan batu ada celah yang biasa digunakan untuk mengintip
telaga.
“Oh, hujan gadis cantik sedang mandi, mungkinkah mereka itu para bidadari dari
khayangan ?,” bisik Datu Awang Sukma sambil matanya melotot.
Lama kelamaan ia malu sendiri, ia penasaran untuk mengetahui apa yang bakal
terjadi pada tujuh gadis cantik itu.
Tujuh gadis cantik itu tak henti-hentinya bermain air. Mereka tidak
menghiraukan selendang yang saat itu ditanggalkan dan bertebaran di sekitar
telaga. Selendang itu yang mereka gunakan untuk terbang. Ada sebuah selendang
yang ditaruh di sebuah dahan pohon. Kebetulan sekali pohon itu berada didekat
tempat Datu Awang Sukma mengintip.
“Kesempatan yang baik ini tidak boleh aku sia-siakan. Aku harus bisa
mendapatkan sebuah selendang di pohon itu,” pikir Datu Awang Sukama yakin.
“Yak!,” seru Datu Awang Sukma tak dapat menahan perasannya.
Datu Awang sukma berhasil mendapatkan sebuah selendang. Tujuh putri yang
mendengar suara yang tidak diundang makhluk lain, segera mengambil selendang
masing-masing.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika ketujuh putri ingin
mengenakan pakaian kembali, ternyata ada salah seorang putri yang tidak
menemukan pakaiannya. Ia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara itu. Putri
Bungsu bingung tujuh keliling. Padahal keenam putri sudah terbang kembali ke
Khayangan. Saat itu, Datu Awang Sukma keluar dari tempat persembunyian.
“Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong, asalkan tuan putri sudi tinggal
bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma.
Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun tiada
jalan lain kecuali menerima pertolongan seorang pemuda yang berada didepannya.
Datu Awang Sukma sangat kagum akan kecantikan putri Bungsu. Demikian pula putri
Bungsu sangat bahagia berada di dekat seorang pemuda tampan dan gagah perkasa.
Akhirnya mereka memutuskan menjadi suami istri dan menjadi pasangan yang amat
serasi. Ketampanan dan kebijaksanan yang dimiliki Datu Awang Sukma berpadu
dengan kecantikan dan kelemahlembutan Putri Bungsu. Tidak berapa lama Putri
Bungsu mengandung. Ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi
nama Kumalasari.
Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun di dunia ini tidak
ada yang kekal, semuanya akan berakhir. Demikian pula yang dialami Datu Awang
Sukma dan Putri Bungsu.
Pada suatu hari, seekor ayam hitam naik keatas lumbung. Ayam hitam tersebut
mengais padi di atas permukaan lumbung sambil berkotek-kotek. Putri Bungsu
berusaha mengusir ayam hitam itu. Tiba-tiba dilihatnya sebuah bumbung bambu
yang tergeletak di bekas kaisan ayam hitam.
“Aku harus segera membukanya,” gumam Putri Bungsu.
Bumbung dibuka. Betapa terkejutnya ia, setelah Putri Bungsu melihat isi
bumbung.
“Ini selendangku!,” seru Putri Bungsu tak bisa menahan diri.
Selendang itu kemudian didekapnya erat-erat.
Perasaan Putri Bungsu berkecamuk. Perasaan gemas, kesal, dan jengkel yang
ditujukan kepada suaminya bercampur dengan perasaan gembira berkat selendang
miliknya yang sudah dikembalikan. Aneka rasa itu bercampur dengan rasa cinta
yang dalam kepada suaminya.
“Kini saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati.
Putri Bungsu segera mengenakan selendang dan menggendong putrinya yang masih
balita. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan
minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang
Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma sadar bahwa perpisahan dengan istrinya akan terjadi.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri Bungsu
kepada Datu Awang Sukma.
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.
Jika anak kita
merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan kedalam bakul yang
digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan
segera datang menemuinya,” tambahnya.
Pikirannya Datu Awang Sukma yang sedang kalut tidak bisa mendengar dengan baik
apa yang diucapkan istrinya.
Perpisahan akhirnya terjadi. Putri bungsu segera mengenakan selendangnya.
Seketika itu juga, ia terbang ke Kayangan. Datu Awang Sukma dan Kumalasari
meratap sedih berkepanjangan. Tahun demi tahun Kumalasari bertambah dewasa. Ia
tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia menjadi kembang desa. Datu Awang
Sukmapun semakin melupakan istrinya.
Konon, Datu Awang Sukma bersumpah dan melarang anak keturunannya memelihara
ayam hitam yang dianggap membawa malapetaka. Sampai sekarang desa Pematang
Gadung mematuhi larangan itu.
Pangeran Biawak Cerita Rakyat Dari
Kalimantan Selatan
Dahulu di pedalaman Kalimantan ada sebuah kerajaan. Rakyat
kerajaan itu hidup dengan kemakmuran yang melimpah, tentram dan damai karena
kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.
Raja mempunyai 7 orang putri, Semuanya belum bersuami.
Lalu raja mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membangun istana megah di
seberang sungai maka merekalah yang akan beroleh kesempatan menjadi menantunya.
Pengumuman pun disebar ke pelosok negeri. Hasilnya luar
biasa. Ada enam orang pemuda yang menyanggupi permintaan raja. Keenam pemuda
itu bekerja keras siang dan malam, hasilnya luar biasa. Dalam tempo yang tidak
terlalu lama berdirilah sebuah istana yang megah di seberang sungai, lengkap
dengan isinya dan tanah lapang yang mengelilinginya.
Karena istana tersebut letaknya berada di seberang sungai.
Raja mengadakan sayembara kembali untuk dibuatkan jembatan agar orang yang
hendak ke sana tidak usah naik perahu cukup berjalan kaki saja. Namun sungguh
aneh hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu tidak ada seorangpun yang
menyanggupi sayembara itu.
Tiba-tiba entah darimana datangnya ada seorang nenek tua
dan seekor biawak hadir di ruang persidangan.
"Hamba meminang putri Paduka untuk anak hamba."
"Apa?" teriak sang Raja kaget.
"Benar Paduku, biarpun kami berasal dari keluarga
miskin kami sanggup mengikuti sayembara itu?" kata perempuan tua itu dengan
mantap.
"Oh, ya tidak masalah." kata Raja."
sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Kaya miskin, tampan jelek tidak
masalah, kamu tidak memandang rupa."
"Benarkah Paduka tidak mamandang rua?"
"Benar ucapanku adalah jaminan. Pantang bagi raja
menjilat ludah sendiri." sang raj menegaskan." Tetapi perlu kau ingat
bila anakmu gagal maka akan diberi hukuman pancung!"
"Nah, anakku Kau sudah mendengar sendiri perkataan
sang raj tadi."
Tak disangka biawak yang diajak bicara adalah tidak lain
anaknya sendiri.
Semua orang yang berada di ruang persidangan menjadi
kaget. Tidak disangka jika anak yang dimaksud perempuan tua itu adalah biawak
itu. Mereka semua mengira bahwa anaknya berada di rumah.
Sepeninggal nenek tua lalu raja memanggil tujuh orang
putrinya untuk diajak bermusyawarah. Masing-masing ditanya satu-satu siapa yang
mau dipinang oleh seekor biawak. Enam putri menolak mentah-mentah tinggal satu
orang putri yang belum menjawab yaitu si putri bungsu. Kini sang ibu permaisuri
menegaskan untuk bertanya kembali. Si putri bingsu itu langsung menjawab
"Ucapan raja pantang ditarik kembali. Demi kehoramatan ayahanda selaku
raja negeri ini, saya sanggup menerima pinangan Biawak itu."
Permaisuri langsung jatuh pingsan karena jawaban dari
putri bungsu tersebut. Keenam putri yang lain malah terheran-heran. Keesokan
harinya semua orang kaget ternyata biawak itu sudah menyelesaikan pekerjaannya
bahkan dia mampu menyelesaikannya hanya dalam tempo kuarng dari satu malam.
Rajapun kemudian menepati janjinya untuk disandingkan dengan
calon menantunya. Keenam pasangan tersebut terlihat serasi kecuali hanya satu
pasang saja yaitu putri bungsu yang cantik bersanding dengan seekor biawak.
Pada saat malam hari tiba,Keenam pasangan tersebut
terdengar canda dan tawa. Namun hanya kamar putri bungsu saja yang tidak
terdengar canda ria seperti hal yang lain. Ketika malam semakin larut Putri
bungsu semakin mengantuk, Biawak yang yang menjadi suaminya ditinggal begitu
saja di sudut kamar. Ia segera tertidur pulas. Namun di tengah malam ketika ia
terjaga, ia kaget bukan kepalang. di sampingnya telah berbaring sorang seorang
pemuda tampan.
Ia memekik sekuat-kuatnya. Para pengawal istana segera
memriksa ke dalam putri bungsu namun setelah di jumpai tidak ada satupun yang
dilihat kecuali seekor Biawak tersebut.
Lalu semua pengawalpun pergi karena menganggap sudah aman.
Namun Putri Bungsu masih terheran-heran. Ia yakin sedang tidak bermimpi. Tapi
kemana ya perginya pemuda tampan itu.
Pada malam ketiga sebelunya putri untuk tdak tidur pada
siang harinya dengan pulas agar nanti malam ia bisa bangun dengan pura-pura
tidur nyenyak. Ternyata benar tidak lama kemudian terasa ada benda berat
merebahkan diri disampingnya. Putri bungsu segera membalik. Benar saja pemuda
yang dua malam berturut-turut hadir di kamarnya kini malah makin berani
mendekatinya.
Dengan mata beringas putri Bungsu berkata," Hai
lelaki asing ! sungguh kau tak tahu malu, berani masuk ke kamar orang. walau
suamiku seekor binatang ia jauh lebih baik dibanding kau yang tidak tahu tatakrama
!"
Habis memaki-maki putri bungsu langsung menghunuskan pisau
ke arahnya tiba-tiba dengan mudahnya lelaki itu menagkisnya sehingga pisau itu
terlempar ke lantai. Kini sang putri malah berada didalam rangkulan ketat si
pemuda tampan.
"Sabar istriku sebenarnya aku adalah suamimu sendiri
karena waktu itu ada beberapa hal akhirnya aku dikutuk oleh dewa senhingga
menjadi seekor biawak."
Putri bungsu langsung menganguk-angguk mendengar penuturan
lelaki itu. ketika rangkulan pemuda di lepaskan. Putri Bungsu segera melompat
ke sudut kamar, di sana ia menemukan kulit biawak. Sarungan yang biasa dimasuki
suaminya itu segera dibawa ke luar istana. Lalu dibakar sampai hangus musnah.
Lalu ia kembali ke kamarnya lagi. Di sana ia mendapati seorang perjaka tampan
yang lagi gerah, karena sarungan yang biasa dia pakai kini hangus terbakar,
selanjutnya ia pulih sedia kala.
Keajaiban itu membuat iri keenam saudaranya. Hampir
bersamaan mereka menyuruh suaminya untuk berdagang yang jauh. Lalu mereka
memelihara seekor biawak liar di dalam kamarnya. Mereka berharap kejadian
serupa yang dialami adiknya.
Tapi apa yang terjadi? di malam pertama mereka sudah
menjerit-jerit kesakitan karena di gigit oleh biawak liar tersebut. Akhirnya
biawak itu dibuang ke sungai.
Esok harinya mereka bersama-sama menemui adik mereka
tercinta yaitu si Putri Bungsu. Mereka merangkul adiknya dengan penuh rasa
haru. Mereka sadar bahwa adiknya itu bersuamikan Biawak bukan karena keinginan
sendiri melainkan demi berbakti dan menjaga kehormatan ayahandanya. Niat tulus
itu akhirnya membuahkan nasib yang baik dan membahagiakan Putri Bungsu.
Gunung Batu dari Perahu
yang Terbelah
Asal Usul Gunung Batu Bini dan
Gunung Batu Laki
Angui adalah seorang pemuda
yang cekatan dan rajin bekerja. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua
bernama Diang Ingsung.
Sewaktu kecil, Angui sering
diajak oleh ibunya mencari ikan di sungai dengan manggunakan jukung, yaitu
sejenis sampan dari kayu.
Ketika sudah dewasa, setiap
hari ia pergi mencari rotan ke hutan untuk dijual. Setelah mengumpulkan rotan,
ia membersihkan dan mengikatnya dengan sangat rapi. Kerapian dalam mengerjakan
tugas memang selalu diajarkan oleh ibunya.
Pada suatu hari, seorang
saudagar datang ke desa itu untuk mengambil rotan dan menukarkannya dengan
bahan-bahan kebutuhan pokok. Angui pun ikut menyerahkan hasil hutan yang
didapatnya untuk ditukar dengan beras, nasi, dan gula merah. Saudagar tersebut
terkesan melihat ketelatenan Angui membersihkan dan mengikat rotan-rotannya. Ia
lalu memanggil pemuda itu.
"Siapa namamu?" tanya
sang saudagar. "Angui, Tuan," jawab pemuda itu.
"Aku melihat kau sangat
rapi dan cekatan. Batang-batang rotan yang kau jual pun cukup tua dan kering.
Aku butuh orang-orang sepertimu. Apakah kau mau ikut berlayar denganku?" ajak
sang saudagar.
Angui merasa terkejut sekaligus
gembira.
"Terima kasih, Tuan! Tentu
saja saya mau, tetapi izinkan saya meminta izin kepada ibu saya"
"Pergilah, besok ku tunggu
kau di sini," kata saudagar itu.
Angui pulang ke rumah dengan
perasan gembira. Ia menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya.
"Bu, apakah aku boleh
pergi berlayar supaya kehidupan kita lebih baik lagi?" tanya Angui.
Meskipun berat, Diang Ingsung
tidak ingin menahan keinginan anaknya untuk mencari kehidupannya yang lebih
baik.
"Ibu mengizinkanmu pergi,
Nak. Namun, setelah berhasil pulanglah, Ibu pasti sangat merindukanmu,"
jawab ibunya dengan perasaan sedih.
Angui memeluk ibunya dengan
bahagia sekaligus sedih, karena harus meninggalkannya sendiri.
Keesokan paginya, Angui pamit kepada
Ibunya untuk pergi berlayar.
"Jaga diri Ibu baik-baik.
Aku titip ayam jagoku ini Bu, ia sahabatku semenjak aku kecil. Biarlah ayam ini
jadi pengingat Ibu terhadapku. Doakan aku berhasil, Bu," kata Angui.
Diang Ingsung menahan air
matanya, "Tentu, Nak. Ibu akan menjaganya:'
Angui pun pergi berlayar
bersama saudagar pemilik kapal.
Bertahun-tahun lamanya Angui
bekerja dengan baik don rajin. Saudagar itu sangat menyayangi Angui. Ia pun
menikahkan putri satu- satunya dengan Angui. Tidak berapa lama kemudian,
saudagar itu meninggal dunia. Semua hartanya diwariskan kepada putrinya dan
Angui. Dengan demikian, nasib Angui pun berubah menjadi saudagar yang kaya raya
dengan istri yang cantik.
Kemudian, Angui teringat dengan
ibunya. Ia berniat mengunjungi ibunya. Istrinya menyambut gembira ajakan
suaminya.
"Mari kita berangkat,
Bang. Aku belum pernah bertemu dengan mertuaku," kata sang istri.
Angui pun meminta anak buahnya
menyiapkan perjalanan mereka ke kampung Angui dengan menggunakan kapal yang
besar dan megah. Setelah berlayar beberapa lama, sampailah kapal besar tersebut
di pelabuhan.
Orang-orang kampung terkejut
melihat sebuah kapal besar dan megah mendarat di kampung mereka. Lebih terkejut
lagi ketika mereka melihat seorang laki-laki muda dan perempuan muda di geladak
kapal.
"Bukankah itu Angui, anak
Diang Ingsung?" kata salah seorang penduduk, "Wah ia sudah menjadi
saudagar kaya!"
"Iya betul, itu Angui,
anak Nenek Ingsung. Lebih balk aku ke rumah Nenek Ingsung dan memberitahukannya
bahwa anaknya datang!"
Beberapa orang berlarian ke
gubuk Diang Ingsung.
"Nek, Nenek Ingsung!
Cepatlah ke pantai! Angui anakmu datang! Ia sudah jadi saudagar kaya!"
Diang Ingsung yang sudah tua
renta dan sakit-sakitan bersusah payah keluar rumah.
"Apa kalian bilang? Angui
pulang?"
"Iya Nek, cepatlah ke
sana!"
Diang Ingsung merasa sangat
bahagia. Angui anak yang dirindukannya telah pulang. Ia akan menggunakan
jukung, ia yakin Angui akan segera mengenali jukung tua mereka.
"Ah, akan kubawa juga ayam
jago si Angui, ia pasti senang, karena ayam jagonya berumur panjang!"
Diang Ingsung pun mulai
mendayung jukung dengan susah payah. Ayam jago Angui diletakkan di ujung
jukung. Tubuhnya yang telah letih karena penyakit terasa lebih bersemangat,
karena sebentar lagi akan bertemu dengan anaknya.
Jukung tua itu didayung
mendekati kapal besar milik Angui. Diang Ingsung melihat sosok anaknya di
anjungan kapal. Ah, betapa tampon anaknya sekarang. Diang Inngsung merasa
sangat bahagia.
" Angui! Angui, Anakku!
Kamu datang, Nak!" teriak Diang Ingsung dengan susah payah. Sauaranya yang
serak hampir kalah oleh angin laut.
Angui terkejut melihat seorang
nenek kumal dengan jukung tua mendekati kapalnya. Ia tahu itu ibunya, tetapi
melihat keadaan ibunya yang kumal dan dengan pakaian yang kusam, ia menjadi
malu mengakuinya.
"Siapakah ibu yang
memanggilmu itu, Bang?" tanya istri Angui, Betulkah itu ibumu? Kalau iya,
suruhlah awak kapal menjemputnya naik."
Angui masih memandang nenek tua
yang sedang berusaha merapat ke kapalnya dengan masam.
"Hei, Nenek! Siapakah kau?
Mengapa kau memanggil aku anakmu? Ibuku bukan nenek-nenek miskin
sepertimu!" hardik Angui .
Diang Ingsung terkejut,
"Nak, ini betul Ibumu. Lihatlah Nak, ini jukung yang selalu kita gunakan
untuk mencari ikan dan ini ayam jago yang kau titipkan kepada ibu!""
"Dasar penipu! Tidak
mungkin seekor ayam bisa hidup selama itu! Cepat pergi dari sini!!"
"Abang, jika memang itu
ibumu, akuilah. Aku menerimanya apa adanya," kata istrinya lagi.
"Sudah kubilang ia bukan
ibuku!" Angui memerintahkan anak buah kapal mengusir ibunya.
Angui juga memerintahkan untuk
meninggalkan tempat itu. Kapal besar itu pun perlahan menjauh dari pantai.
Betapa hancur hati Diang
Ingsung. Anak yang dirindukannya kembali justru tidak mengakuinya sebagai ibu.
Air matanya berlinang.
Dengan menangis ia berdoa,
"Tuhan, anakku tidak mengakui aku lagi sebagai ibunya. Celakakanlah ia.
Biarkanlah ia menjadi batu beserta segala milik dan kekayaannya!"
Tiba-tiba, langit mendung.
Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir menyambar. Kapal Angui
diterjang badai dan petir berkali-kali. Kapal besar tersebut terbelah menjadi
dua, satu bagian berisi istri dan dayang-dayangnya, satu bagian lagi Angui dan
para awak kapal. Kedua bagian yang terbelah itu pun pelan-pelan karam.
"Ibu, ampun Ibu. Aku memang
anakmu! Tolonglah aku Ibu," terdengar teriakan Angui meminta tolong.
Diang Ingsung tidak bergeming
mendengar teriakan anaknya, ia tetap mendayung jukungnya menuju ke daratan.
Daratan kampung yang tergenang
air, lama-kelamaan surut. Ketika air surut, munculah dua belahan kapal yang
sudah membatu. Satu bagian kapal yang berisi istri Angui dan dayang-dayangnya
kemudian dinamakan Gunung Batu Bini. Sementara itu, bagian lainnya yang berisi
Angui dan anak buah kapalnya dinamakan Gunung Batu Laki.
Gunung Batu Laki ada sebuah
pohon besar yang tinggi. Konon, pohon itu berasal dari tiang layar kapal yang
mencuat setelah tenggelam. Lokasi Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki ada di
sebelah barat Pegunungan Meratus.
Asal Muasal Gunung Batu Bangkai
Dahulu, di Loksado ada seorang anak bernama
Andung yang tinggal berdua saja dengan ibunya yang ia panggil dengan Uma.
Ibunya adalah seorang janda yang miskin. Andung mempunyai keahlian mengobati
berbagai macam penyakit. Bakat ini ia peroleh dari almarhum ayahnya.
Meskipun hidup mereka sangat sederhana,
Andung dan ibunya saling menyayangi. Setiap hari, Andung pergi ke hutan untuk
mencari kayu dan menjualnya ke pasar, sedangkan ibunya mencari buah-buahan.
Pada suatu hari ketika baru menyelesaikan
pekerjaannya di hutan, tiba-tiba Andung mendengar suara orang menjerit. Andung
segera mendatangi arah suara itu. Ternyata, ia menemukan seorang kakek yang
terluka, karena kakinya terjepit batang pohon yang tumbang. Andung segera
menolong kakek itu dan mengobati lukanya.
Sang kakek merasa sangat berterima kasih
kepada Andung. Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam kantong kulit yang
dibawanya. Ia mengeluarkan seutas kalung.
"Nak, aku tidak punya apa-apa untuk
membalas budi kepadamu. Namun, ambillah kalung ini untukmu. Mudah-mudahan, suatu
saat akan membawa keberuntungan bagimu," ujar sang kakek.
Andung pulang ke rumah dan menceritakan
kepada ibunya.
"Kakek itu memberiku kalung ini, Uma.
Biarlah Ibu yang menyimpannya," kata Andung.
Ibunya memerhatikan kalung tersebut dengan
saksama, "Ibu yakin ini bukan kalung biasa. Kalung ini terlihat sangat
indah."
Suatu saat, Andung berniat merantau mencari
kehidupan yang lebih baik.
Namun, ia bingung karena jika ia pergi,
ibunya tak ada yang menemani. Itulah hal yang selalu menghantui pikiran Andung.
Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan untuk pergi merantau lebih besar
daripada kekhawatirannya tentang hidup ibunya. Karena itu, ia pun mengutarakan
niatnya itu.
Semula ibunya sangat keberatan. Namun,
melihat keinginan keras anaknya, ia merasa tak mungkin dapat menolak selain
merestuinya.
"Berjanjilah kepada Ibu. Jika kau
sudah berhasil, kau harus pulang. Jangan tinggalkan Ibu terlalu lama" kata
lbu Andung sambil berlinang air mata.
"Andung berjanji, Ibu. Andung akan
cepat kambali," ucap Andung
"Berangkatlah sebelum gelap sampai di
hutan. Bawalah kalung yang diberikan kakek yang kau tolong waktu itu. Mungkin
ini akan membawa keberuntungan juga untukmu," Ibu Andung memberikan kalung
itu kepada anaknya.
Andung berangkat merantau. Ia berjalan
sangat jauh, keluar masuk hutan dan lembah, melewati perkampungan-perkampungan.
Di tengah perjalanan, ia menyempatkan diri mengobati orang-orang yang
membutuhkan pertolongan.
Setelah beberapa bulan berlalu, sampailah
pemuda itu di Kerajaan Basiang. Kerajaan itu terasa sepi, tidak banyak orang
berlalu-lalang di luar rumah. Andung bertemu dengan seorang petani yang sedang
sakit. Tubuhnya dipenuhi kudis. Andung mengobati petani itu hingga sembuh.
Ia baru mengetahui bahwa tengah terjadi
wabah penyakit kulit di kerajaan itu.
Petani tersebut berhasil disembuhkan oleh
Andung. Ia meminta Andung untuk tinggal bersamanya sebagai ungkapan rasa terima
kasih. Akhirnya, kesembuhan petani tersebut membawa penduduk lain datang dan
meminta pertolongan Andung. Semakin hari, semakin banyak yang berhasil
disembuhkan oleh Andung.
Keberhasilan Andung menyembuhkan banyak
orang terdengar ke telinga Raja Basiang. Lalu, Sang Raja meminta Andung untuk
datang ke istana untuk mengobati putrinya yang sudah beberapa minggu terbaring
sakit.
"Ampun, Paduka. Hamba bukanlah seorang
tabib. Hamba mohon ampun jika ternyata hamba tidak berhasil."
Andung memerhatikan Sang Putri yang sedang
terbaring lemah. Wajahnya cantik sekali. Diam-diam ia mengagumi wajah Sang
Putri yang cantik jelita. Ia mulai mempersiapkan bahan-bahan ramuan untuk
mengobati Sang Putri. Namun, kali ini ia tidak berhasil. Putri Raja tidak
bergeming sedikit pun dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Andung kemudian teringat kalung pemberian
kakek tua yang pernah ditolongnya. Kalung tersebut direndam di dalam sebuah
wadah yang sudah disediakan. Kemudian, Andung berdoa pada Yang Maha Kuasa di
depan air hasil rendaman kalung itu. Setelah berdoa, air tersebut diminumkan
kepada putri.
Keajaiban terjadi, Sang Putri
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Lalu, ia duduk dengan wajah berseri.
Andung berhasil menyembuhkan putri kerajaan.
Raja Basiang sangat bersuka cita. Sebagai
imbalan, ia menikahkan Andung dengan putrinya. Pesta pernikahan dilangsungkan
dengan sangat meriah.
Kini Andung menjadi menantu Raja Basiang.
Tidak lama setelah menikah, istri Andung pun hamil. Sifatnya menjadi lebih
manja. Ia mengidam buah kasturi. Buah itu hanya ada di Pulau Kalimantan. Andung
tahu di mana bisa mendapatkan buah kasturi. Ia mengerahkan para pengawalnya untuk
berangkat ke Loksado. Sesampainya di Loksado Andung menyadari bahwa pohon
kasturi itu tertanam persis di depan rumah ibunya.
Andung enggan bertemu dengan ibunya. Lalu,
ia mengajak semua pasukannya untuk meninggalkan tempat itu dan mencari buah
kasturi di tempat lain.
Namun, kedatangan mereka terdengar oleh ibu
yang sedang berada di dalam rumah.
"Andung! Andung! Anakku!""
panggil sang ibu sambil berlinang air mata. Ia sangat bahagia telah menemukan
putranya kembali.
Andung merasa malu kepada para pengawalnya.
"Hai, nenek miskin. Kau bukan ibuku.
Aku adalah keturunan bangsawan, pergi kau dari sini!"
Ibunya terkejut bukan main. Ia tidak
menyangka, Andung bisa sekasar itu. Sementara itu, Andung masih saja berteriak
mengusirnya.
Dengan perasaan hancur, Ibu Andung pergi
meninggalkan putranya. Hatinya benar-benar kecewa.
"Ya, Tuhan, anakku telah menjadi anak
yang durhaka. Tunjukkanlah kekuasaan-Mu!" ujar Ibu Andung.
Tidak lama kemudian, cuaca menjadi mendung
dan hujan turun disertai badai yang dahsyat. Petir menyambar tubuh Andung.
Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi batu. Bentuk batu tersebut seperti
bangkai manusia. Akhirnya, penduduk menamakan wilayah itu sebagai Gunung Batu
Bangkai.
Gunung Batu Bangkai terletak di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Tengah. Tepatnya, di sebuah wilayah Kecamatan
Loksado.
Asal Mula Burung Punai
Konon, di daerah
Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang pemuda pengembara yang bernama Andin.
Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya Abah dan Uma. Ia juga tidak memiliki
tempat tinggal yang tetap. Ia mengembara dari satu desa ke desa lain,
menjelajahi hutan belantara dan melewati berbagai negeri seorang diri.
Suatu hari, tibalah
Andin di Desa Pakan Dalam yang berawa-rawa dan bersungai. Di permukaan
rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang sangat indah. Beraneka ragam bunga yang
tumbuh mekar dan harum, sehingga burung yang senang mengunjungi daerah itu.
Karena banyak burung yang cantik dan merdu di desa itu, banyak penduduk yang
bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan masyarakat di daerah itu makmur, maka
Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah, lebih baik aku menetap di sini saja.
Aku tidak akan kesulitan menghidupi diriku,” gumam Andin. Meskipun tidak
memiliki lahan untuk bertani atau beternak hewan, ia masih memiliki sebuah
harapan yaitu mamulut burung. Dari situlah ia bisa menghidupi dirinya.
Hari dan bulan telah
berganti. Tak terasa, sudah satu tahun Andin menetap di Pakan Dalam. Penduduk
setempat sangat menyukai Andin, karena perangainya baik dan santun. Setiap hari
Andin pergi mamulut burung. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, dan kembali
setelah hari mulai senja. Karena setiap hari pergi mamulut burung, penduduk
desa memanggil Andin dengan sebutan Andin Pulut. Karena keahlian Andin mamulut
burung tidak ada yang menandingi di desa itu, maka sebagian besar penduduk
memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang sangat pandai dan berpengalaman
mamulut burung.
Seperti biasa, pagi itu
Datu Pulut bersiap-siap berangkat mamulut. Tak berapa lama kemudian, ia sudah
terlihat di atas jukungnya menuju hilir. Ia terus mengayuh jukungnya menyusuri
sungai. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun turun dari jukungnya. Lalu,
ia memasang pulut di sejumlah pohon di pinggir sungai. Setelah itu, ia kembali
ke jukungnya menunggu pulutnya terkena burung sambil tiduran . Tengah asyik
tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia pun cepat-cepat naik ke daratan. Tak jauh
dari tempatnya memasang pulut, ditemukannya beberapa pohon yang besar lagi
rindang. Di bawah pepohonan itu terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan
berair jernih. Ia sangat senang menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…,
aku dapat berteduh di sini sambil menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut.
Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai reda. Datu Pulut kemudian manukui
jebakan pulutnya. Namun, saat akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba ia
mendengar suara perempuan yang sedang bergembira. Tanpa pikir panjang, ia
cepat-cepat bersembunyi di balik pohon seraya mengintip.
Kini suara itu semakin
jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat tujuh bidadari
melayang-layang turun dari langit menuju telaga. Ketujuh bidadari tersebut
mengenakan selendang berwarna pelangi. Dari ketujuh bidadari tersebut, bidadari
yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Datu Pulut sangat
terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali bidadari yang berselendang jingga
itu,” gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari itu turun dan meletakkan
selendangnya di atas bebatuan. Mereka mandi sambil bercengkerama dan bersuka
ria. Pada saat itulah, Datu Pulut memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia
mengambil selendang yang berwarna jingga itu, lalu dimasukkannya ke dalam
butahnya. Kemudian, ia cepat-cepat kembali bersembunyi di balik pohon.
Tak terasa, hari mulai
senja. Saatnya bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Satu per satu mereka
mengenakan kembali selendangnya. Tetapi bidadari yang tercantik itu tidak
menemukan selendangnya. Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke sana
ke mari. Namun tak kunjung mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam
bidadari tersebut terpaksa meninggalkan bidadari cantik yang malang itu seorang
diri. Bidadari yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh saudara-saudaranya.
“Abah, Uma, tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib
ananda begini malangnya?” Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya.
Datu Pulut merasa iba
melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu
menghampirinya. “Apa yang telah terjadi, Adingku? Mengapa berada di tepi telaga
seorang diri?” sapa Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang
Bidadari. “Selendang saya hilang, tuan! Tahukah tuan dimana selendang saya?”
bertanya pula bidadari itu. Datu Pulut tidak menjawab pertanyaan itu, ia tidak
ingin sang Bidadari kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang Bidadari
pulang bersamanya. Setelah sampai di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita
kepada sang Bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk
memperistrinya. “Wahai, Adingku! Bersediakah kamu menjadi istriku?” tanya Datu
Pulut kepada bidadari. Mendengar pertanyaan itu, sang Bidadari pun bersedia
menikah dengan Datu Pulut, karena ia tidak mungkin kembali ke Kahyangan tanpa
selendangnya. Setelah itu, mereka hidup bahagia dan saling menyayangi.
Setahun kemudian, mereka
dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Maka semakin lengkaplah
kebahagiaan keluarga itu. Datu Pulut semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia
sering pergi mamulut hingga petang. Sementara, bidadari menyiapkan berbagai
masakan yang lezat untuk suaminya.
Pada suatu hari, sang
Bidadari hendak menanak nasi. Namun, persediaan beras di padaringan habis.
“Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras di padaringan. Ini kok habis?” kata
sang Bidadari dalam hati. Kemudian, ia masuk ke dalam kindai untuk mengambil
padi. Sejak menikah dengan Datu Pulut, ia tidak pernah mengambil padi di tempat
itu. Baru mengambil padi beberapa takaran, sang Bidadari terpana melihat sebuah
butah tergeletak di sela-sela timbunan biji padi. Ia penasaran ingin mengetahui
isi butah itu. Maka dibukanya tutup butah itu. Tanpa diduga-duga, dilihatnya
selendang kahyangannya. Kini, sang Bidadari tersadar, ternyata suaminyalah yang
telah mengambil seledangnya beberapa tahun yang lalu. Ia pun Kahimungan, dan
segera menyimpan selendang itu baik-baik.
Menjelang senja, Datu
Pulut pun datang membawa hasil pulutannya. Sang Bidadari menyambutnya seperti
biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga sedikit pun, jika istrinya telah
menemukan selendang kahyangannya. Malam semakin larut, Datu Pulut sudah tertidur
pulas di samping anaknya, karena letih mamulut sepanjang hari. Sang Bidadari
masih belum juga dapat memejamkan matanya. Pikirannya melayang-layang, teringat
orang tua dan saudara-saudaranya di negeri Kahyangan. Perasaannya bercampur
baur, sedih dan bimbang. Ia ingin kembali ke negeri asalnya, tetapi tidak tega
meninggalkan suami dan anaknya. “Oh… Abah, Umah! Aku sangat merindukan kalian.
Tapi bagaimana dengan nasib anak dan suamiku jika aku meninggalkan mereka?”
keluh sang Bidadari kebingungan. Namun, sang Bidadari harus mengambil keputusan
antara kembali ke kahyangan atau tinggal di bumi. Akhirnya, setelah
dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan bumi. “Aku harus kembali ke
Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati.
Keesokan harinya, Datu
Pulut pulang dari mamalut. Ia tersentak kaget ketika melihat istrinya sudah
berpakaian lengkap dengan selendang warna jingganya sambil mendekap anak
mereka. Belum sempat Datu Pulut berkata-kata, sang Bidadari langsung berpesan
kepadanya, “Maafkan Ading, Kaka! Ading harus kembali ke Kahyangan. Peliharalah
putri kita baik-baik. Jika ia menangis, buatkanlah ayunan di pohon berunai.
Saat itu Ading akan datang menyusuinya, dengan syarat Kaka tidak boleh
mendekat.” Mendengar pesan istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu
mengingat pesan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang
ke angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya.
Sejak saat itu, jika
putrinya menangis, Datu Pulut segera membuatkan ayunan di pohon berunai yang
tak jauh gubuknya. Tak lama setelah itu, datanglah istrinya untuk menyusui
anaknya dengan dikawal oleh saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa melihat
dari arah jauh dengan penuh kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan
istrinya, perasaan itu terpaksa ia pendam dalam hati. Tanpa terasa, beberapa
bulan telah berlalu. Setiap manusia memiliki batas kesabaran. Datu Pulut tidak
bisa lagi menahan rasa rindunya kepada istrinya.
Pada suatu hari, saat
istrinya sedang menyusui anaknya, secara diam-diam Datu Pulut mendekat. Rupanya
ia lupa pada pesan istrinya. Pada saat ia akan menyentuh istrinya, tiba-tiba
terjadi keajaiban yang sangat luar biasa. Sang Bidadari dan saudara-saudaranya
berubah menjadi tujuh ekor burung punai. Ketujuh burung itu pun terbang ke alam
bebas dan meninggalkan Datu Pulut beserta putrinya. Datu Pulut hanya mampu
menyesali dirinya. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Setiap
kali putrinya menangis, ia membawanya ke bawah pohon berunai. Namun, istrinya
yang telah menjadi burung punai tak pernah datang lagi.
Menurut kisah diatas
burung punai yang ada di daerah Kalimantan Selatan merupakan penjelmaan dari
tujuh bidadari cantik yang jelita. Konon, sampai saat ini sebagian penduduk di
Desa Pakan Dalam, Kecamatan Daha Utara, tidak mau memakan burung punai, sebab
mereka menganggap burung punai itu penjelmaan bidadari.
Hikayat Banjar Nagara
Dipa (Amuntai) dan Nagara Daha
Diawali
dengan sebuah pelayaran yang dilakukan oleh Mpu Jatmika dengan Siprabayaksa,
dan ia merupakan seorang saudagar dari negara Keling yang sebelum pergi
diwasiati oleh orang tuanya bahwa ia harus bersinggah di suatu wilayah yang
berhawa panas dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karna dirasa sesuai dengan
wasiat tadi. Karna Mpu Jatmika menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan
kesatria maka ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan
“ Candi Agung”. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah
patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina.
Mpu
Mandastana yang merupakan saudara Lambung Mangkurat mempunyai dua orang anak
yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan
putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa yang keanggunannya tidak
dapat ditandingi oleh siapapun.
Karna
merasa kedua putra Mpu Mandastana ini tidak sesuai untuk sang putri maka
Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga
sekarang disebut “ lubuk Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat
sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.
Sebuah
Wangsit yang mengatakan bahwa jodoh putri Junjung Buih berada di seberang
lautan yaitu di kerajaan Majapahit. Maka diutuslah seorang pengawal ke
Majapahit namun sesampainya disana Maha Raja Patih Majapahit mengatakan ia
memiliki anak tapi tidak sempurna yang tidak mempunyai tangan dan kaki, orang
menyebutnya raja Bulat Bulaling. Walaupun seperti itu seorang utusan tadi tetap
meminta untuk putra Maha Raja Patih tetap di bawa karna ingin melaksanakan wangsit
yang didapat.
Sesampainya
di Muara Banjar, Putri Junjung Buih mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir
tiba di tanah Banjar. Tapi sang putri ingin mempunyai suami yang sakti dan
gagah perkasa agar tidak kalah dengan kesaktiannya. Maka putri Junjung Buih
mengutus Naga di Langit untuk menghalau air agar kapal mandek di tengah lautan.
Para pengawal pun bingung apa yang harus dilakukan samapi akhirnya mereka
bertanya kepada Pangeran Bulat Bulaling dan kemudian ia mengatakan bahwa
lemparkan saja dirinya ke air. Pengawal pun menurutinya, setelah lama di air
lalu muncul seorang Pangeran yang gagah perkasa yang disebut “ Pangeran
Suryanata “. Akhirnya Putri Junjung Buih mengakui kesaktian sang Pangeran dan
bersedia untuk dijadikan istri.
Melalui
Hikayat ini pula banyak tempat-tempat sepeti lapangan, nama jalan atupun
tempat-tempat umum lain nya di beri nama seperti nama raja dan putri Nagara
Daha. Artinya hikayat ini tidak berakhir sebagai dongeng atau legenda semata.
Tapi terserah para pembaca aja bagaimana menanggapi. Cerita ini saya ketahui
lebih dalam saat matakuliah Sejarah Lokal hari ini. Dan tunggu aja cerita
tentang Kerajaan NagarA Daha…………….
Asal Mula Gunung
Batu Banawa (Cerita Rakyat Kalimantan Selatan )
Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan
Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan seorang anaknya
yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan rasa
kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang sehingga tidak ada
anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya.
Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari
alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula
perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa mereka.
Karena itulah maka pada suatu hari Raden Penganten berminat
untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang.
Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia dihalang-halangi
dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya.
Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak
satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila
anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah
negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak,
karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula
menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang berharga untuk
dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah
dengan seorang putri dari negri tersebut yang cantik paras mukanya.
Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di
perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat
Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah lama
ia tinggalkan.
Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang.
Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju
kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula
oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa datang
ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta.
Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati
Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui
dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak mau.
Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu mengakui Diang
Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat bersahaja itu sebagai
ibunya.
Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi
ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten
tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan membelokkan
kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang
hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka.
Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa,
Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat balasan
yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya.
Seketika itu juga datanglah badai
dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu
saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa.
Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang
kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa.
GUNUNG BATU HAPU
Tidak
berapa jauh dari kota Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan
Selatan terdapat dua desa bernama Tambarangan dan Lawahan. Menurut cerita orang
tua-tua, dahulu kala di perbatasan kedua desa itu hiduplah seorang janda miskin
bersama putranya. Nama janda itu Nini Kudampai, sedangkan nama putranya Angui.
Mereka tidak mempunyai keluarga dekat
sehingga tidak ada yang membantu meringankan beban anak beranak itu. Walaupun
demikian, Nini Kudampai tidak pernah mengeluh. Ia bekerja sekuat tenaga agar
kehidupannya dengan anaknya terpenuhi.
Saat itu, Angui masih kecil sehingga
ia masih senang bermain, belum ada kesadaran untuk menolong ibunya bekerja. Angui
tidak mempunyai teman sebaya sebagai teman bermain. Sebagai gantinya, ia
ditemani tiga ekor hewan kesayangannya, yaitu ayam jantan putih, babi putih,
dan seekor anjing yang juga putih bulunya. Ke mana pun ia pergi, ketiga ekor
hewan kesayangan itu selalu menyertainya. Mereka tampak sangat akrab.
Pada suatu hari, ketika Angui sedang
bermain di halaman rumah, melintaslah seorang saudagar Keling. Saudagar itu
amat tertarik kepada Angui setelah menatap Angui yang sedang bermain. Ia
berdiri tidak begitu jauh dari tempat Angui bermain. Angui terus diamatinya.
Dari hasil pengamatan itu, ia mendapatkan sesuatu yang menonjol pada penampilan
Angui. Air muka Angui selalu jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan
berlembah. Dahinya lebar dan lurus. Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung.
Di ujung-ujung jari itu terdapat kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang
memikat adalah adanya tahi lalat yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu
dinamakan kumbang bernaung.
Saudagar Keling mendapat firasat bahwa
tanda-tanda fisik yang dimiliki Angui menunjukkan nasib balk atau
keberuntungannya. Barang siapa memelihara anak itu akan bernasib mujur.
“Aku harus mendapatkan anak itu,”
katanya dalam hati. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saudagar itu segera menemui
Nini Kudampai, sang ibu. Dengan keramahan dan kefasihan lidahnya berbicara
selain janji-janji yang disampaikan, ia dapat menaklukkan hati Nini Kudampai.
Nini Kudampai tidak keberatan jika Angui diasuh dan dipelihara saudagar itu.
Angui pun amat tertarik untuk mengikuti saudagar itu pulang ke negerinya.
“Anak lbu tidak akan hilang,” kata
saudagar itu meyakinkan. “Percayalah Bu, suatu saat kelak ia pasti kembali
menemui ibunya, bukan sebagai Angui yang sekarang ini, tetapi sebagai orang
ternama.”
Walaupun Nini Kudampai telah merelakan
kepergian anaknya, ia tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika akan
berpisah. Kesedihan dan keharuan kian bertambah ketika Angui meminta agar
ketiga hewan teman bermainnya selama ini dipelihara sebaik-baiknya oleh ibunya.
“Bu, tolong Ibu jaga babi putih,
anjing putih, dan ayam putihku. Jangan Ibu sia-siakan!” kata Angui sambil
mencium tangan ibunya dengan linangan air mata.
Saudagar Keling pulang ke negerinya
dan tiba dengan selamat bersama Angui. Angui diasuh dan dipeliharanya, tak ubahnya
memelihara anak kandung. Angui hidup bermanja-manja karena kehendaknya selalu
dikabulkan orang tua asuhnya. Kemanjaan itu berakibat buruk kepadanya. Ia lupa
diri dan menjadi anak nakal, pemalas, serta pemboros.
Saudagar Keling sering tercenung
seorang diri.
“Firasatku ternyata salah,” katanya
dalam hati, “rupanya keadaan lahir belum tentu mencerminkan sifat dan watak
seseorang.”
Saudagar Keling merasa tidak mampu
lagi menjadi orang tua asuh Angui. Kehadiran Angui dalam keluarga itu hanya
menyusahkannya saja. Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain mengusir
Angui. Saudagar Keling itu tidak mau memeliharanya lagi.
Angui amat menyesali kelakuannya
selama ini. Apa dayanya karena sesal kemudian tiada guna. Ia hidup
luntang-lantung tiada arah. Kesempatan baik telah disia-siakannya.
Syukurlah, lambat laun Angui mampu
mengatasi keputusasaannya.
“Aku harus menjadi manusia yang
berhasil,” katanya penuh tekad.
Ia menanggalkan sikap malasnya dan mau
bekerja membanting tulang. Ia tidak merasa malu melakukan pekerjaan apa pun,
asal pekerjaan itu halal.
Beberapa tahun kemudian, berkat kerja
keras dan kejujurannya dalam bekerja, is menjadi seorang saudagar kaya.
Kekayaannya tidak kalah dibanding kekayaan saudagar Keling yang pernah menjadi
orang tua asuhnya. Ketenarannya melebihi saudagar Keling itu.
Akhirnya, kekayaan Angui melebihi
kekayaan siapa pun di negeri Keling itu. Namanya makin terkenal setelah is
berhasil menyunting putri raja Keling menjadi istrinya. Sejak menjadi menantu
raja, Angui mendapat nama baru, yakni Bambang Padmaraga.
Meskipun sudah kaya, Angui alias
Bambang Padmaraga sering terkenang kampung halamannya. Ia amat rindu kepada
ibunya, Nini Kudampai. Ia juga teringat pada babi putih, anjing putih, dan ayam
putih, ketiga teman bermain yang disayanginya. Selain itu, ia ingin
memperkenalkan istrinya kepada ibunya dan menunjukkan keberhasilannya di
perantauan. Ia ingin membahagiakan ibunya yang bertahun-tahun ditinggalkannya
tanpa berita.
Pada suatu hari, Angui mempersiapkan
sebuah kapal yang lengkap dengan anak buahnya. Tidak lupa pula bekal untuk
perjalanan jauh dan cendera mata, Inang pengasuh bagi istrinya turut serta
dalam pelayaran ke negerinya. Ia dan istrinya menempati sebuah bilik khusus di
dalam kapal yang ditata begitu apik seperti dalam sebuah istana.
Berita kembalinya Angui dan istrinya,
putri raja Keling, dengan naik kapal segera tersiar ke seluruh penjuru. Nini
Kudampai pun mendengar dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Apalagi kapal
putranya itu konon merapat dan bersandar tidak berapa jauh dari kediamannya.
Nini Kudampai pun berseru melihat
Angui berdiri berdampingan dengan istrinya di atas kapal, “Anakku!”
Sebenarnya, Angui mengenali ibunya dan
ketiga hewan piaraannya. Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya
karena penampilan ibunya sangat kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia
memalingkan muka dan memberi perintah kepada anak buahnya, “Usir perempuan
jembel itu!”
Hancur Iuluh hati Nini Kudampai diusir
dan dipermalukan putra kandung yang dilahirkan dan dibesarkannya. Angui
mendurhakainya sebagai ibu kandung. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah.
Tiba di rumah, is memohon kepada Yang Mahakuasa agar Angui menerima kutukan.
Belum pecah riak di bibir, begitu
selesai Nini kudampai menyampaikan permohonan kepada Tuhan, topan pun
mengganas. Petir dan halilintar menggelegar membelah bumi. Kilat
sabung-menyabung dan langit mendadak gelap gulita. Hujan deras bagai dituang
dari langit. Gelombang menggulung kapal bersama Angui dan istri serta anak
buahnya. Kapal dan segenap isinya itu terdarnpar di antara Tambarangan dan
Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya berubah menjadi batu.
Itulah sekarang yang dikenal sebagai
Gunung Batu Hapu, yang telah dibenahi pemerintah menjadi objek pariwisata.
Setiap saat, terutama hari libur, tempat itu banyak dikunjungi orang.
DATU KALAKA
Menurut
cerita orang tua-tua beberapa abad yang lalu, di suatu kampung tinggallah
seorang lelaki bernama Datu Kalaka. Ia amat disegani dan dihormati orang-orang
di kampung itu karena ia menjadi pemimpin masyarakat di sana. Itu pula sebabnya
ia diberi gelar datu oleh masyarakat.
Datu Kalaka disegani dan dihormati
masyarakat, tetapi ia dibenci dan ditakuti Belanda. Ia sangat menentang Belanda
dan memimpin perlawanan yang banyak meminta korban di pihak Belanda. Anehnya,
walaupun pernah berkali-kali terkepung pasukan Belanda, Datu Kalaka selalu
dapat meloloskan diri.
Tersebar berita di masyarakat,
khususnya di kalangan orang Belanda, bahwa Datu Kalaka mempunyai kesaktian
menghilangkan diri. Walaupun orang biasa dapat melihat, orang Belanda tetap
tidak mampu melihat. Hal itu membuat penasaran pihak Belanda. Dengan segala
tipu daya, mereka berusaha menangkap Datu Kalaka. Mereka menjanjikan hadiah
besar bagi siapa saja yang mampu menyerahkan Datu Kalaka hidup maupun mati
kepada pihak Belanda
Oleh karena itu, Datu Kalaka selalu
pindah tempat tinggal untuk menghindarkan diri dari Belanda. Jadi, jika Belanda
berusaha mencarinya di kampung pasti sia-sia. Akan tetapi, pada waktu-waktu
tertentu, ia kembali ke rumah, berkumpul dengan keluarga dan masyarakat
sekitar.
Karena sudah cukup lama Belanda tidak
pernah datang ke kampungnya, Datu Kalaka merasa aman dan tidak perlu pindah
tempat tinggal. Ia menetap di kampung sambil mengerjakan ladang dan kebun serta
memimpin masyarakat.
Pada suatu hari, ketika Datu Kalaka
sedang bersantai di rumah, ada orang datang memberitahu bahwa pasukan Belanda
memasuki kampung. Tentu mereka akan menangkap Datu Kalaka.
Sebagai seorang datu, Datu Kalaka
tidak mau menunjukkan kekhawatirannya di hadapan orang lain. Ia juga tidak
ingin menyelamatkan diri sendiri jika masyarakat menjadi korban karenanya. Oleh
karena itu, ia menyuruh penduduk menyelamatkan diri. Setelah itu, ia memikirkan
cara untuk meloloskan diri. Sayang, tempat tinggalnya sudah dikepung Belanda.
Tidak mungkin lagi ia lepas dari sergapan. Jika sampai tertangkap, ia tidak
dapat membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya. Mungkin ia akan disiksa,
dikurung, bahkan dibunuh. Jika ia melawan, berarti bunuh diri.
Datu Kalaka tidak ingin ditangkap dan
tidak mau mati konyol. Ia berpikir cepat dan memutuskan mengambil jalan nekat
yang tidak masuk akal. Jika jalan yang ditempuh itu ternyata meleset, nyawa
taruhannya.
Ketika pasukan Belanda memasuki
kampung, mereka amat penasaran karena kampung sepi. Rumah-rumah kosong. Belanda
marah dan melampiaskan kemarahan mereka dengan menghancurkan kampung itu.
Mereka berpencar dan memeriksa segenap pelosok kampung.
Mereka
kaget ketika tiba-tiba melihat suatu pemandangan aneh tapi nyata di suatu
lorong. Sebuah ayunan raksasa! Kedua sisi kain panjang yang dijadikan ayunan
itu diikat wilatung (sejenis rotan yang besar batangnya) ditautkan ke puncak
betung (bambu besar) yang ada di kiri kanan lorong itu. Mereka amat terkejut
ketika menengok ke dalam ayunan yang berada di tengah-tengah lorong. Di dalam
ayunan itu terbaring dengan tenangnya seorang bayi raksasa sebesar ayunan. Bayi
itu menatap serdadu Belanda yang berdiri di sekeliling ayunan, kemudian ia
memejamkan mata. Ukuran bayi itu lebih besar dan panjang daripada ukuran orang
dewasa yang normal. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu, bahkan berkumis dan
bercambang lebat.
Seluruh anggota pasukan Belanda
gemetar ketakutan. Jika bayinya saja sebesar itu, apalagi orang tuanya. Pasukan
Belanda pun hilang keberaniannya. Mereka segera meninggalkan bayi raksasa dan
kampung yang telah kosong itu untuk kembali ke markas.
Bayi raksasa itu ternyata Datu Kalaka.
Sebelum pasukan Belanda datang, ia sempat membuat ayunan. Kemudian, ia
berbaring di dalam ayunan itu dan berlaku seperti bayi.
Di Kabupaten Hulu Sungal Tengah
Propinsi Kalimantan Selatan sekarang masih ada sebuah desa bernama Kalaka.
Konon, nama itu diambil dari nama Datu Kalaka. Di sana juga ada sebuah makam,
menurut orang tua-tua makam itu makam Datu Kalaka. Makam itu luar biasa
besarnya, jarak antara nisan yang satu dengan nisan lainnya kucang lebih dua
meter. Orang percaya bahwa tubuh Datu Kalaka itu tinggi besar, lebar dadanya
kurang lebih tujuh kilan (jengkal).
MANDIN TANGKARAMIN
Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah
desa bernama Malinau. Kira-kira satu kilometer dari tempat itu ada sebuah air
terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon, menurut Bahasa penduduk di sana,
mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin berarti air terjun
Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga
kedua kata itu tak terpisahkan.
Air terjun itu.
tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya
sehingga jika berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam.
Di dasar air terjun
Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di
antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum,
bernama Manggu Masak.
Konon, air terjun
itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara
Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan
kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam
terpendam.
Bujang Alai adalah
seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di
pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena
merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu
mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan harapan orang-orang tertarik
kepadanya.
Berbeda sekali
keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan tidak
setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain
itu, cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari
kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia
tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat.
Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan
dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.
Jika Bujang Alai
menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya,
Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul,
senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan
tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk
menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.
Pada suatu ketika,
desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan mencemarkan
nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang
gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya.
Bukan hanya orang
tua gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik
perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan
dijodohkan kepadanya, peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap
dirinya. Ia diminta menunjukkan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh
karena itu, Bujang Kuratauan bertekad menyelidiki perkara ini sampai tuntas.
Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.
“Sekali ini pasti
ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati.
Belum lagi usaha
pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia
berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan.
Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu mampu menahan ujung
kerisku Iebih dulu!”
Jelaslah bahwa
Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun
telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan
kanannya meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar, “Aku tak
akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi aku menuntut tanggung jawabmu
sebagai lelaki!”
“Lelaki maksudmu?
Keris ini membuktikan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang
Alai sambil meraba keris di pinggang.
“Musuh tidak
kucari, tetapi jika bersua pantang kuelakkan,” sahut Bujang Kuratauan. Ia,
berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan suara tertelan, “Jika
kerismu mau menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!”
Sudah dapat diduga
apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang tanding,
itulah yang akan terjadi.
Keris Nagarunting
milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan
diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak ingin kalah
aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam
berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi.
Setelah
mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan
tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada Bujang
Kuratauan. Akan tetapi, Bujang Kuratauan sudah slap sehingga serangan mendadak
itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus
jantung dapat dielakkannya. Bahkan jika mau, pasti is sempat menebaskan parang
bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi, Bujang Kuratauan bukan orang haus
darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata membuat
hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan.
“Gunakan senjatamu
jika engkau merasa sebagai lelaki!” tantang Bujang Alai.
Bujang Kuratauan
tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap nlemegang hulu
parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan
dilakukan Bujang Alai.
Nalurinya tidak
salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya
bertubi-tubi ke tubuh Bujang Kuratauan sehingga Bujang Kuratauan susah
mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan parang bungkul menimbulkan
kilatan api di angkasa. Mereka memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang
tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratauan tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi
ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.
Tebasannya
berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak
segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali
ujung keris Bujang Alai tidak dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak
mencederainya.
“Kita lanjutkan di
tempat lain!” ujar Bujang Alai.
“Di mana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
“Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar Bujang Alai.
“Di sana pun aku setuju!” sahut Bujang Kuratauan.
Perang tanding
ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian
berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan
untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.
Setelah merenung
dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, “Ia
kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.”
Jika Bujang Alai
berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat tumpul
parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga
tumpul seperti bagian belakangnya.
Dalam pertarungan
di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya kebal.
Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat
tubuh Bujang Alai memar atau remuk di dalam. Akhirnya, Bujang Alai pun
meninggal.
Tersiarlah berita
tewasnya Bujang Alai di tangan Bujang Kuratauan. Kematian Bujang Alai itu
membuat suasana menjadi panas. Keluarga Bujang Alai ingin menuntut balas sebab
utang darah harus dibayar darah.
Pihak Bujang
Kuratauan tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat
pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh
terpancing dalam gelap gulita itu.
Pihak Bujang Alai
mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. Pihak Bujang
Kuratauan menghindarkan diri agar jangan terjadi bentrokan. Setelah sampai di
puncak air terjun Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah.
Melihat nyala
obor-obor itu pihak Bujang Alai menduga musuh menyimpang jalan sambil berlari
menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.
Kelompok Bujang
Alai pun langsung memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan
memang tidak ada, kecuali jurang menganga sehingga mereka pun jatuh di atas
bongkah batu. Darah mereka mengucur di batu-batu dan menjadikan batu-batu merah
warnanya, semerah kulit manggis masak. Penduduk menyebutnya Batu Manggu Masak
Kisah Naga
di Sungai Kandangan Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan)
kisah ini berasal dari masyarakat kota Kandangan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan, Masyarakat disana
rata-rata hampir mengetahui kisah keberadaan sang Naga penghuni sungai
Kandangan. Penulis sendiri lahir di desa Simpur kota Kandangan, sehingga
sedikit banyak mengetahui kisah tersebut, dan ingin berbagi cerita kepada
teman-teman semua untuk lebih mengenal kisah daerah langsung dari Kota
Kandangan.
Konon di sungai Kandangan , dulu ada sebuah jembatan gantung
dan dibawahnya dipercaya ada sebuah liang Naga, sehingga tidak ada satupun
tiang jembatan yang bisa dibangun sampai sekarang, dan konon juga air sungai
tersebut tidak pernah kering.
Kisah ini bermula, ada sepasang suami istri yang ketika itu
mencari ikan di sungai dengan cara tradisional yaitu “tangguk”,
mereka menangguk ikan-ikan tersebut untuk keperluan hidup sehari-hari.
Namun suatu ketika, mereka mendapatkan dua butir telur yang
sangat besar, mereka kebingungan karena itu jelas bukan telur yang wajar.
Mereka membuang telur itu dan pindah ketempat lain untuk encari ikan, tapi apa
yang didapat? Ternyata itu dua butir telur yang serupa, sungguh aneh tapi
karena bujukan/rayuan sang istri sebab hari itu mereka tidak mendapatkan
ikan, maka telur tersebut akhirnya dibawa pulang kerumah, dan berniat untuk
memakannya saat malam hari, tanpa memberitahukan anak mereka.
Saat malam hari, sepasang suami istri tersebut merebus dua
butir telur itu dan memakannya tanpa fikir panjang, tiba-tiba setelah memakan
telur itu, seluruh tubuh mereka tumbuh sisik dan membesar sehingga rumah mereka
tidak sanggup menahan pertumbuhan tubuh mereka, kemudian pintu depan rumah
mereka dihancurkan untuk keluar dan meloloskan diri, dengan
tali blaran mereka langsung pergi kesungai, dan pada saat itu banyak
masyarakat sekitar mengetahui peristiwa itu termasuk anak mereka.
Mereka menjadi siluman jadi-jadian, namun disungai tersebut
masih ada satu kehidupan yaitu naga asli yang menghuni, akhirnya naga tersebut
terjadi perselisihan antara naga jadi-jadian, memperebutkan alam mereka
masing-masing, naga asli menantang duel apabila kalah maka akan pergi jauh
meninggalkan sungai tersebut untuk selamanya.
Setelah itu naga sepasang suami istri tersebut, meminta
anaknya untuk dibuatkan tanduk seperti naga asli, dan berpesan kepada anaknya
kalau dalam pertarungan seandainya darah berwarna biru yang keluar itu berarti
naga yang asli kalah tapi apabila darah tersebut berwarna merah berarti orang
tuanya kalah, akhirnya waktu duel pun terjadi, dan darah yang keluar ternyata
berwarna merah, maka dapat diketahui pemenangnya adalah naga yang asli, maka
sesuai perjanjian naga yang kalah akan pergi jauh meninggalkan tempat itu.
Peristiwa tersebut menjadi kisah dari dulu sampai sekarang,
bahkan keturunan-keturunan dari anak mereka sampai saat ini masih hidup dan
konon katanya salah satu dari keturunannya pernah didatangi oleh naga tersebut
namun dalam wujud lain yang sangat kecil pada malam hari. Demikianlah kisah
ini, untuk membuktikannya Allahualam bissawab, hanya Allah yang Maha Tahu.
MACAN
PANJADIAN
Banyak cerita rakyat Banjar yang
sudah musnah. Ini karena tidak ada yang peduli untuk menghimpun cerita rakyat
Banjar tersebut. Walau ada pula yang terhimpun, tetapi oleh sebuah lembaga yang
tergantung adanya proyek. Pun sangat terbatas publikasinya di masyarakat
Banjar. Ada sebuah cerita rakyat Banjar yang menarik yang sudah musnah, yaitu
Macan Panjadian. ( Macan jadi-jadian ). Menceritakan 5 bersaudara, semuanya
laki-laki, Lamboi, Adan, Akhmad, Selamat, dan yang bungsu Isbat. Mereka pergi
kesebuah hutan mencari rotan. Hutan tersebut terletak di gunung Gumpa yang
banyak rotannya dan terkenal angker. Waktu mereka asyik bekerja hujan turun
rintik-rintik, padahal hari dalam keadaan panas, kebetulan hari itu hari jumat.
Mereka pun beristirahat di bawah pohon rindang. Limboi berkata pada
adik-adiknya : “ Seandainya ada perempuan cantik menemani kita makan-makan
alangkah senangnya”. Tiba-tiba angin berembus dan seiring dengan itu terlihat
oleh Isbat lima orang perempuan cantik-cantik dari balik semak-semak.
Kakak-kakaknya seakan-akan tak percaya perkataan adiknya. Benar ada lima
perempuan mendekati mereka sambil membawa nasi ketan. Tampaknya
perempuan-perempuan itu sudah tahu pilihannya masing-masing. Mereka pun
bergembira ria sambil memakani nasi ketan. Di antara mereka itu hanya Isbat tak
ikut makan. Ia selalu di bujuk rayu oleh perempuan bungsu yang paling cantik.
Karena takut “ kepuhunan” ( mendapat bahaya karena makanan, karena tidak
mencicipi makanan ) Isbat akhirnya mencicipi nasi ketan itu dengan ujung
jarinya. Isbat curiga terhadap perempuan-perempuan itu lalu menjauh. Merasa tak
enak, ia menengok kebelakang, apa yang terjadi kakaknya sudah tak bernyawa
lagi. Macan-macan itu sedang memakan daging dan menghirup darah kakak-kakaknya.
Isbat kemudian lari, tapi kemana pun ia lari dan bersembunyi selalu saja ketahuan macan
bungsu itu. Manakala Isbat tak terlihat macan itu berseru,” U...” Tiba-tiba
jari Isbat yang tadi diletakkan di ketan menyahut,”U...”Dalan hati Isbat,
kalau begini terus aku tak mungkin lepas darimacan itu, lalu ia mengambil
mandau dan memotong jarinya. Dan perempuan macan panjadian itu kehilangan jejak
Isbat. Ia meratap, sedih karena tak sempat memakan daging Isbat hanya jarinya
saja. Selesai memakan jari Isbat, macan itu berkata,” Isbat, selamatlah
engkau. Apabila engkau mengetahui tentang diriku engkau tahu akan namaku, maka
aku akan musnah dan hancur olehmu”. Kemudian ia menyebutkan namanya Sangatak,
Sangitik nama ibunya dan nama ayahnya Maharajapati. Kebetulan persembunyian
Isbat tak jauh dari macan itu dan mendengar jelas kata-kata macan itu. Isbat
keluar dari persembunyiannya dan membaca mantra itu. Seketika, macan panjadian
itu pun hancur musnah. Sesampainya di rumah, ia ceritakan kejadian itu pada
orang tuanya. Orang tuanya pun bersedih, lalu berkata, “ Makanya jangan
sembarangan berkata-kata yang tak keruan di tengah hutan atau di mana pun
tempat yang angker “pamali” (pantangan).
Terjadinya Pulang Kambang
Dahulu di antero nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik
yang berskala besar maupun kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri
sebuah Kerajaan. Dalam penuturan yang diterima masyarakat secara turun
temurun diceriterakan pada kerajaan tersebut ada seorang patih yang sangat
sakti, berani dan gagah perkasa bernama Datu Pujung.
Datu Pujung ini menjadi andalan dan merupakan benteng pertahanan
terhadap orang-orang yang ingin mengusai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin.
Suatu ketika seperti yang dituturkan dalam cerita para orang tua dahulu datang
sebuah kapal Inggeris dengan membawa penumpang atau awak kapal yang kebanyakan orang
Cina. Mereka diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan Kuin. Untuk
melaksanakan niat mereka itu tentu saja harus berhadapan dengan Datu Pujung.
Ketentuan dan persyaratan dari Datu Pujung kalau ingin mengusai kerajaan
Kuin harus dapat melewati ujian yang ditetapkan, yaitu bisa membelah kayu besar
tanpa alat atau senjata. Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak dapat
dipenuhi oleh mereka yang ingin menguasai kerajaan tesebut. Sebaliknya Datu
Pujung memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu besar itu
tanpa alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang berkapal itu
bahwa persyaratan yang diajukannya bukanlah omong kosong atau sesuatu yang
mustahil.
Disebabkan para pendatang yang ada di dalam kapal Inggeris
itu tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka oleh Datu Pujung
diminta untuk membatalkan niat menguasai kerajaan Kuin dan agar kembali ke
negeri asalnya Namun mereka bersikeras ingin tinggal menetap dan menguasai
kerajaan Kuin sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena mereka tetap
memaksakan kehendaknya, akhirnya Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan
kapal beserta seluruh penumpang yang ada didalamnya.
Setelah sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu
menghalangi setiap batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin
bertumpuk kayu-kayu yang tersangkut dan kemudian tumbuh pepohonan yang menjadi
sebuah pulau di tengah sungai. Pada pulau yang ditumbuhi pepohonan ini telah
pula dihinggapi oleh burung-burung dan bersarang disana.
Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang
kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke
waktu. Sehingga mereka yang berasal dari keturunan Cinapun banyak yang
mengunjungi pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan terhadap
jasad yang berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa
nadzar, terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan
pulau itu.
Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana membawa
sejumlah untaian kambang (bunga), dan karena berlangsung
sepanjang waktu terjadilah tumpukan kambang yang sangat banyak. Mereka
yang melintasi pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan kambang yang
begitu banyak. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang
melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk menyebutnya diberi
nama Pulau Kambang.
Lama kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai
dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang
mengkeramatkannya atau sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah
melegenda itu. Sekarang pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang
punya hajat tertentu dan berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan
lainnya setelah mengunjungi pasar terapung.
Keberadaan Warik Pulau Kambang
Bagaimana pula dengan Warik yang banyak di pulau kambang itu?
Ternyata memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki
daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan
raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau
ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara
badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat
kerajaan. Beberapa waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu,
ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan
bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka
raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau
tersebut agar tidak ada yang merusak atau mengganggunya.
Petugas kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini
membawa dua ekor warik besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur.
Konon menurut ceritanya setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang
secara gaib, tak diketahui kemana perginya. Sedangkan warik yang
ditinggalkannya beranak pinak dan menjadi penghuni pulau kambang. Para orang
tua dahulu ketika mengunjungi pulang kambang masih bisa melihat si Anggur
yang memang berbeda dari warik biasa.
Keberadaan warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang
semakin menarik untuk dikunjungi. Berdasarkan hasil pengamatan yang pernah
dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap keberadaan warik di pulau kambang
ini diketahui ada dua kumpulan kera yang keluar dari persembunyiannya secara
bergantian. Rombongan warik pertama yang keluar sekitar pukul 05.00 s.d. l3.00
dan setelah itu disambung oleh kumpulan warik sip kedua yang berada di tengah
pengunjung pulau kambang. Kalau rombongan sip pertama tidak menaati ketentuan
dengan pengertian melewati batas waktu operasional, maka ia akan diburu oleh
rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu itu mungkin hanya sesama warik yang
tahu.
Comments
Post a Comment