KERAJAAN PERLAK, SAMUDRA PASAI DAN NAD ACEH
KERAJAAN PERLAK
a.
Mulai berdirinya
Perlak adalah kerajaan
Islam tertua di Indonesia. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 dan berakhir
pada 1292 setelah bergabung dengan Kerajaan Samudera Pasai. Bukti sejarah
keberadaan masyarakat Indonesia dan kerajaan Islam yang pertama dilaporkan oleh
Marco Polo dan Venezia yang singgah di Kerajaan Perlak dalam perjalanan mereka
kembali ke Italia pada 1292. Pada saat singgah di Kerajaan Perlak, Marco Polo
menuliskan bahwa dia bertemu dengan salah seorang penduduk Kerajaan Perlak yang
beragama Islam. Marco Polo juga mencatat bahwa di Kerajaan Perlak sudah
terdapat pedagang Islam yang berasal dari Gujarat, India.
b.
Letak geografis
Terletak di pesisir
timur daerah Aceh yang tepatnya berada di daerah Aceh Timur.
c.
Kehidupan politik
Sultan Perlak
ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan berdaulat,
melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua
orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka,
Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja
Kerajaan Samudera Pasai, Malik al-Saleh.
d.
Kehidupan ekonomi
Kerajaan Perlak
merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang
berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab
dan India tertarik untuk datang ke sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak
berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya
perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat.
Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya
Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.
e. Kehidupan Agama
Kesultanan Perlak
adalah kerajaan islam pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun
840 hingga 1292 Masehi di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah
tersebut mask dalam wilayah Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
f. Kehidupan sosial budaya
Kekayaan alam kerajaan Perlak, dan didorong oleh letak
kerajaan yang strategis, menjadikan kerajaan Perlak terbilang maju.
Kekayaan hasil alam yang membuat para pedagang dari negara luar datang ke
Perlak adalah kayu perlak, yang merupakan jenis kayu yang sangat bagus untuk
membuat kapal. Karna hasil kayu perlak yang melimpah inilah, banyak pedagang
dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke kerajaan Perlak dan
melakukan interaksi perdagangan. Masuknya para pedagang ini juga sekaligus
menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini. Tidak cuma untuk untuk melakukan
perdagangan, kedatangan bangsa lain ke Perlak juga memiliki dampak lain yaitu
di bidang sosio-kultural masyarakat Perlak saat itu. Karena kemudian masyarakat
Perlak mulai diperkenalkan dengan cara berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak
dikenal sebagai pelabuhan pedagang yang sangat maju. Model perkawinan campuran
mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi pencampuran antara komunitas
asli dan imigran.
Perkembangan
budaya pada waktu itu ditandai oleh sekelompok minoritas kreatif yang berhasil
mengeksploitasi huruf Arab yang dibawa oleh Islam, untuk menulis karya mereka
dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut Jawi, dan suratnya adalah
bahasa Arab Jawi. Di antara surat kabar tersebut adalah Hikayat Raja Pasai.
Diperkirakan, karya Hikayat Raja Pasai ditulis pada 1360 M. Dari Hikayat Raja
Pasai itulah ditandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di
nusantara.
Bersamaan
dengan itu, di Kerajaan Perlak juga berkembang ilmu tasawuf. Salah satu kitab
tasawuf yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu adalah kitab yang
berjudul Durru al-Manzum, karangan Maulana Abu Sihak. Kitab tersebut
dialihbahasakan ke bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan.
g. Runtuhnya
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat
Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra
Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan
baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas. Untuk
itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230
– 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan politik persahabatan. Jalanyang ia
tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri
tetangga. Putri ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu
Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja
kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik
damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja
mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin
Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultanyang terakhir.
Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah
pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Saleh.
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
a. Mulai
berdirinya
Samudera Pasai didirikan oleh Nazimudin Al-Kamil pada tahun
1267. Nazimudin Al-Kamil adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir
sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan
Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M.Setelah itu, ia mendirikan kerajaan Pasai
untuk menguasai perdagangan Lada
Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham
Syiah, maka bisa dianggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham
Syiah. Akan tetapi, pada saat ada ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar
Kiri sang laksamana Nazimudin Al-Kamil gugur.
Setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah
pada tahun 1284, dinasti Mamuluk yang bermadzhab Syafi’I berinisiatif mengambil
alih kekuasaan Kerajaan Pasai. Selain untuk menghilangkan pengaruh Syiah,
penaklukan ini juga bertujuan untuk menguasai pasar rempah-rempah dan lada dan
pelabuhan Pasai. Maka, Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas
tersebut
Mereka akhirnya dapat merebut Pasai. Selanjutnya
dinobatkanlah Marah Silu sebagai raja Samudera Pasai yang pertama oleh Syekh
Ismail. Setelah Meurah Silu memeluk Islam dan dinobatkan menjadi raja, dia
diberi gelar “Malik al Saleh” pada tahun 1285. Nama ini adalah gelar yang
dipakai oleh pembangunan kerajaan Mamuluk yang pertama di Mesir yaitu “Al
Malikus Shaleh Ayub”.
b. Letak geografis
Letak geografis
terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera bagian utara berdekatan dengan jalur
pelayaran internasional (Selat Malaka).
c.
Kehidupan politik
Pendiri Kerajaan
Samudera Pasai adalah Nazimuddin al-Kamil (berasal dari Mesir) yang membawa
Kerajaan Samudera Pasai menjadi berkembang cukup pesat. Raja pertama Samudera
Pasai adalah Marah Silu (Malik as-Saleh). Ia meninggal lalu digantikan oleh
putranya yang bernama Mailk ath-Thahir.
Letak Kerajaan
Samudera Pasai yang strategis, mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun
langsung ke dunia maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar - bandar
yang digunakan untuk:
1.
Menambah perbekalan untuk pelayaran selanjutnya
2.
Mengurus masalah – masalah perkapalan
3.
Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4.
Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di
Indonesia
e.
Kehidupan Agama
Menurut catatan Marco Polo dan Ibnu Batutah, sebagian besar penduduk Samudra Pasai memeluk agama Islam yang bermazhab Syafi’i. Samudera Pasai berjasa menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok di Sumatera, bahkan menjadi pusat penyebaran agama. Selain banyaknya orang Arab menetap dan banyak ditemui persamaan dengan kebudayaan Arab, atas jasa-jasanya menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara dan penerapan hukum Islamnya wilayah itu dinamakan Serambi Mekah. Samudra Pasai pernah mengirim ulama ke Jawa, salah satunya Fatahillah yang menjadi panglima di Demak dan penguasa di Cirebon. Bahkan, menurut Hikayat Patani, pernah menyebarkan agama Islam di Thailand.
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindudan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
f. Kehidupan Sosial budaya
Kehidupan sosial
masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan – aturan dan hukum –
hukum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan
sosial masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab.
Karena persamaan
inilah sehingga daerah Aceh mendapat julukan Daerah Serambi Mekkah.
Kerajaan Samudera
Pasai berkembang sebagai penghasil karya tulis yang baik. Beberapa orang
berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis
karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian disebut dengan bahasa Jawi dan
hurufnya disebut Arab Jawi. Selain itu juga berkembang ilmu tasawuf yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
g.
Runtuhnya
Kerajaan Samudera Pasai mengalami
keruntuhan karena diakibatkan beberapa pengaruh internal dan eksternal. Sebelum
masa keruntuhan sering terjadi pertikaian antar keluarga kerajaan, perebutan
kekuasaan dan jabatan kerap terjadi. Perang Saudara dan pemberontakan tidak bisa
dihindari. Bahkan Raja saat itu meminta bantuan kepada Raja Melaka untuk
meredam pemberontakan. Akan tetapi tidak urung terjadi karena pada tahun 1511
Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugal. Sepuluh tahun kemudian tepatnya 1521
Portugal menyerang Kerajaan Samudera Pasai dan runtuhlah kerajaan itu. Nanum
bibit kerajaan masih ada sehingga tahun 1524 Kerajaan Samudera Pasai menjadi
bagian dari Kesultanan Aceh.
Penyebab runtuhnya kerajaan samudra
pasai yang lain, diantarannya yaitu:
- Serangan
Gajah Mada yang merupakan patih Kerajaan Majapahit pada tahun 1339,
serangan tersebut merupakan sebuah langkah yang dilakukan dengan tujuan
menyatukan Nusantara, namun akhirnya gagal.
- Tidak
ada pengganti yang cakap dan terkenal setelah Sultan Malik At Tahir.
- Berdirinya
bandar di Selat Malaka yang lokasi dan letaknya lebih vital dan strategis
- Adanya
serangan dari bangsa Portugis.
KERAJAAN ACEH
a. Mulai berdirinya
Ketika awal kedatangan Bangsa
Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang
yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan
Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis
serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome
Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei”
(Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16,
dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo,
dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra.
Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya
Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini
lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan
ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan
harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru
dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari
situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh
(Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula
Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya.
Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk
memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan
Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh
dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal
Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro:
2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan
Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang
dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan
menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti
sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar,
sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk
menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat
Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut
kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat,
usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus
memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha
menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan
tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan
tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di
Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim
meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang
istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja
Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008:
387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut
Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka
pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga
dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun
1564.
Hingga akhirnya ia wafat 28
September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan
anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba
merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun
1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa
pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan
perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir.
Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk
meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis
yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak,
Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah
tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari
bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin
Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang
naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat
Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai
para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar
negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585
dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang
memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607
(Poesponegoro: 2010, 30-31)
b. Letak Geografis
Letak geografis
terletak di Pulau Sumatera bagian utara dekat jalur pelayaran dan perdagangan
internasional saat itu.
c.
Kehidupan politik
Corak pemerintahan
Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama. Pendiri
kerajaan Aceh adalah Mudzaffar Syah. Raja yang pernah memerintah kerajaan Aceh
adalah Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Salahudin, Sultan Alauddin Riayat,
Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani.
d.
Kehidupan ekonomi
Dalam masa
kejayaannya, perekonomian Aceh berkembang pesat. Daerahnya yang subur banyak
menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh atas daerah-daerah pantai Timur dan Barat
Sumatera menambah jumlah ekspor ladanya. Penguasaan Aceh atas beberapa daerah
di Semenanjung Malaka menyebabkan bertambahnya bahan ekspor penting seperti
timah dan lada yang dihasilkan di daerah itu.
e.
Kehidupan agama
Sebagian
besar masyarakat Aceh beragama Islam. Oleh karena itu, kehidupan social masyarakatnya
diatur menurut hokum Islam. Golongan ulama menjadi peranan penting dalam
masyarakat. Mereka menjadi pemimpin agama dan penasihat pemerintah. Pemerintah
Aceh sangat memperhatikan pendidikan Agama Islam. Pada saat itu terdapat
lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan yaitu:
·
Balai Seutia Hukama, merupakan
lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan
cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
·
Balai Seutia Ulama, merupakan
jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan
pengajaran.
·
Balai Jama’ah Himpunan Ulama,
merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar
fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Adapun
jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut :
·
Meunasah (Madrasah), Terdapat
disetiap kampung, berfungsi sebagai sekolah dasar.
·
Rangkang, merupakan masjid
sebagai tempat berbagai aktifitas umat termasuk pendidikan (setingkat Madrasah
tsanawiyah)
·
Dayah, Terdapat disetiap daerah
ulebalang dan terkadang berpusat di masjid, dapat disamakan dengan Madrasah
Aliyah sekarang.
·
Dayah Teuku Cik, Dapat
disamakan dengan Perguruan Tinggi atau akademi.
Salah
satu tokoh pendidikan agama Islam yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin.
f. Kehidupan social budaya
Lapisan sosial
masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan
kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan
menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan,
dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan
merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh
seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok
yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi
istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang
perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat
penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu
komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
Aceh sering disebut
sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia
melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Orang Aceh mayoritas beragama
Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam
ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat
Aceh. Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra
Aceh. Peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari
Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin
ar-Raniri pada awal abad ke-17 ; Kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan
tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an;
dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Ini bukti bahwa Aceh sangat berperan
dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya,
seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam
dalam kehidupan masyarakat Aceh.
g.
Runtuhnya
Pada abad ke-16, hanya Portugis-lah pesaing serius Kesultanan Aceh di Selat Malaka. Meski kekuatan Aceh telah bersatupadu dengan kerajaan-kerajaan kecil di pantai timur Sumatra, namun Portugis tetap tak terkalahkan. Sampai tahun 1641, Portugis terus menguasai Malaka hingga akhirnya takluk di bawah kekuatan VOC. 130 tahun persaingan Aceh versus Portugis di Selat Malaka, banyak memberikan keuntungan bagi perdagangan Aceh. Kutaraja, ibukota sekaligus pelabuhan terpenting kerajaan, segera menjelma menjadi kota paling sibuk di Kepulauan Nusantara. Pengusaha muslim dari berbagai negara yang menghindari kekuatan Portugis di Malaka, banyak bertransaksi disini dan kemudian membangun pemukiman mereka. Pada masa itu, daerah Aceh Besar memiliki penduduk hingga 300.000 jiwa, dan merupakan salah satu wilayah terpadat di Indonesia.
Kekayaan ibukota-pelabuhan itu, memungkinkan para penguasa selanjutnya untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bergantung kepada ekonomi pertanian. Didukung oleh angkatan laut yang mumpuni,
Aceh menyerang kerajaan-kerajaan pantai timur Sumatra. Daya, Aru, Asahan, Deli, dan Panai, dalam waktu relatif singkat berhasil ditaklukkan. Politik ekspansi Aceh di pantai timur, tertahan oleh pasukan Minangkabau yang menyokong Kesultanan Siak. Persaingan tajam antara Aceh dan Minangkabau, adalah rivalitas klasik sepanjang tiga abad (abad ke-16 hingga ke-18) sejarah dunia Melayu.
Mereka
tak hanya bersaing dalam perebutan hegemoni Pulau Sumatra, namun juga hingga ke
Semenanjung Malaysia. Di Semenanjung, Aceh berhasil menancapkan kekuasaannya di
Kedah, Pahang, dan Johor. Sedangkan di pantai barat, pelabuhan-pelabuhan
penting imperium Minangkabau : Barus, Natal, Tiku, Pariaman, dan Padang, juga
berhasil dikuasainya. Penguasaan Aceh atas sebagian wilayah Sumatra dan
Semenanjung, memungkinkan mereka untuk memonopoli perdagangan lada yang menjadi
komoditi penting di Eropa dan Timur Tengah. Keuntungan besar memonopoli,
membuat negeri serambi Mekkah itu semakin kaya raya.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan
Aceh
· Tidak ada pemimpin pengganti yang kompeten setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda. Maka terjadi ketidakstabilan pada kerajaan Aceh yang menggiringnya pada kehancuran dan keruntuhan.
· Masa-masa kemunduran yang telah terlihat setelah wafatnya Iskandar Muda dalam hal ekonomi, pekerjaan, dan juga pamornya sebagai kerajaan Islam besar.
· Bahkan banyak bagian kerajaan yang memisahkan diri setelah kemunduran kejayaan tersebut. Bagian kerajaan tersebut antara lain Johor, Pajang, Minangkabau, Siak, dan Perak.
· Pertikaian terus terjadi antara anggota kerajaan dan bawahannya, untuk memperebutkan kekuasaan yang berkonotasi negatif. Bukan untuk memimpin kerajaan menjadi lebih baik, melainkan untuk mendapatkan harta dan kekuasaan dari masyarakat.
· Munculnya kerajaan baru yang lebih kompeten dalam ekonomi dan politiknya.
KERAJAAN
ISLAM DI RIAU
Pengaruh Islam yang
sampai ke daerah-daerah merupakan akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera
Pasai dan Malaka. Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut
berita Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan
Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan
Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi
kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15.
Jika kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga
Kerajaan Kampar, Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan
Malaka bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di
pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Bahkan pada masa pemerintahan putranya,
Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang
laut) termasuk Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka.
Kerajaan Siak
Kerajaan Siak
merupakan kerajaan melayu Islam yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada abad ke 15. Menurut
Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada
awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa
pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Kerajaan Siak menghasilan padi, madu, lilin,
rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas.
Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak
Sri Indrapura antara lain sebagai berikut:
1. Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu Kerajaan
Siak masih berada di bawah kekuasaan Malaka.Raja Abdullah adalah raja yang
ditunjuk oleh Sultan Johor untuk memimpin dan memerintah Kerajaan Siak.
2. Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa
pemerintahannya, Belanda berhasil menguasai Malaka.Dengan demikian, Kerajaan
Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak
harus dijual ke VOC.
3. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akran
juga disebut Raja Kecik.Raja Kecik adalah anak dari Sultan Kerajaan Johor
bergelar Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong. Beliaulah yang mendirikan
Kerajaan Siak yang berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka lagi. Ia
meluaskan daerah kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
4. Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, Ia
berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang memisahkan diri. Pada tahun
1811, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Tengku Ibrahim.
5. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864).
Pada masa pemerintahannya, Siak mengalami kemunduran dan semakin banyak
dipengaruhi politik penjajahan Hindia- Belanda.
6. Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin
(1889-1908). Pada masa pemerintahannya, dibangunlah istana yang megah terletak
di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang
dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak
mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Setelah wafat, beliau digantikan
oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia, yaitu Sultan
Syarif Kasim II.
7. Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945).
Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun
mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan menyatakan bergabung dengan
Republik Indonesia.
Kerajaan Siak Sri Indrapura sangat kaya dengan
hasil alam yang melimpah. Sayangnya pada awal mula munculnya, kerajaan ini
dikuasai oleh Kerajaan Malaka. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk
oleh Raja Johor untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada tahun
1641, Belanda berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat
politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak harus dijual
ke VOC. Namun pada masa pemerintahan Raja Kecik, rakyat Siak hidup makmur
karena tidak harus menyerahkan hasil alamnya kepada Malaka maupun VOC. Bahkan
pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan
terutama dibidang ekonomi. Sultan Syarif Hasyim mulai menjalin hubungan dengan
luar negri.
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap
diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan
Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun
pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam,
termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan
menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan
Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama
sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada
kawasan timur pulau Sumatera.
Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri
terletak di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi
Riau. Kerajaan Indragiri berdiri sejak tahun 1298, kerajaan ini didirikan oleh
Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan
bercorak islam pada abad ke 15. Menurut Berita Tome Pires, Kerajaan Siak
menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada awalnya, kerajaan Siak merupakan
kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah.
Beberapa raja yang pernah memerintah Indragiri adalah sebagai berikut.
1.
1298-1337: Raja Kecik Mambang alias
Raja Merlang I.
2.
1337-1400: Raja Iskandar alias Nara
Singa I.
3.
1400-1473: Raja Merlang II bergelar
Sultan Jamalluddin Inayatsya.
4.
1473-1532: Paduka Maulana Sri Sultan
Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II bergelar Zirullah Fil Alam.
5.
1532-1557: Sultan Usulluddin
Hasansyah.
6.
1557-1599: Raja Ahmad bergelar
Sultan Mohamadsyah.
7.
1559-1658: Raja Jamalluddin bergelar
Sultan Jammalludin Keramatsyah.
8.
1658-1669: Sultan Jamalluddin
Suleimansyah.
9.
1669-1676: Sultan Jamalluddin
Mudoyatsyah.
10.
1676-1687: Sultan Usulluddin
Ahmadsyah.
11.
1687-1700: Sultan Abdul Jalilsyah.
12.
1700-1704: Sultan Mansyursyah.
13.
1704-1707: Sultan Modamadsyah.
14.
1707-1715: Sultan Musafarsyah.
15.
1715-1735: Raja Ali bergelar Sultan
Zainal Abidin
16.
1735-1765: Raja Hasan bergelar
Sultan Salehuddin Keramatsyah.
17.
1765-1784: Raja Kecik Besar bergelar
Sultan Sunan.
18.
1784-1815: Sultan Ibrahim.
19.
1815-1827: Raja Mun bergelar Sultan
Mun Bungsu.
20.
1827-1838: Raja Umar bergelar Sultan
Berjanggut Keramat Gangsal.
21.
1838-1876: Raja Said bergelar Sultan
Said Modoyatsyah.
22.
1876: Raja Ismail bergelar Sultan
Ismailsyah.
23.
1877-1883: Tengku Husin alias Tengku
Bujang bergelar Sultan Husinsyah.
24.
1887-1902: Tengku Isa bergelar
Sultan Isa Mudoyatsyah.
25.
1902-1912: Raja Uwok. Sebagai Raja
Muda Indragiri.
26.
1912-1963: Tengku Mahmud bergelar
Sultan Mahmudsyah.
Kerajaan Kampar
Kesultanan
Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang sekarang terletak di
Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi
dua: periode pra Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih
bernama Pekantua. Sementara pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari
Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri, dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini
eksis dari tahun 1380 hingga 1946.
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan
Mansur Syah (1459-1477 M) menyerang Kerajaan Pekantua, dan kerajaan Pekantua
dapat dikalahkan. Kemudian Sultan mengangkat Munawar Syah sebagai Raja
Pekantua. Pada upacara penebalan, diumumkan bahwa kerajaan Pekantua berubah
menjadi "kerajaan Pekantuan Kampar"
Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan
Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Syah II, Raja Kampar), Tun Megat di
Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat
Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja.
Sekitar tahun 1590
M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar
"Maharaja Dinda" (1590-1630 M). selanjutnya beliau memindahkan pusat
kerajaan Pekantua Kampar dari Pekantua ke Bandar Tolam.
Setelah mangkat,
Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar
Maharaja Lela Utama (1630-1650 M). Tak lama kemudian beliau pun mangkat, dan
digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya
digantikan puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Pada masa pemerintahan
Maharaja Lela Utama, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini
dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah beliau mangkat digantikan Maharaja
Wangsa Jaya.
Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M)
mangkat digantiakn oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), yang
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). Pada masa
maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemidahan pusat kerajaan
Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai Kampar,dan nama kerajaan
"Pekantua Kampar" diganti menjadi kerajaan "Pelalawan".
setelah beliau mangkat, digantikan puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775
M), yang berhasil membuat hubungan dagang dengan daerah sekitarnya.
Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan
Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar
berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641
yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan Portugis,
tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang
mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober
1664.
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak
era Islam:
Kerajaan Pekantua
Kampar (1505-1675)
1.
Munawar Syah (1505-1511)
2.
Raja Abdullah (1511-1515)
3.
Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
4.
Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah
II (1528-1530)
5.
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa
(1530-1551)
6.
Tun Hitam (1551-1575)
7.
Tun Megat (1575-1590)
8.
Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda
(1590-1630)
9.
Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama
(1630-1650)
10.
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675
).
Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
1. Maharaja Lela Utama (1675-1686)
2. Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
3. Maharaja Muda Lela (1691-1720)
4. Maharaja Dinda II (1720-1725).
Kerajaan Pelalawan (1725-1946)
1. Maharaja Dinda II/Maharaja Dinda Perkasa/Maharaja Lela
Dipati (1725-1750)
2. Maharaja Lela Bungsu (1750-1775)
3. Maharaja Lela II (1775-1798)
4. Sayid Abdurrahman/Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822)
5. Syarif Hasyim (1822-1828)
6. Syarif Ismail (1828-1844)
7. Syarif Hamid (1844-1866)
8. Syarif Jafar (1866-1872)
9. Syarif Abubakar (1872-1886)
10. Tengku Sontol Said Ali (1886-1892 )
11. Syarif Hasyim II (1892-1930)
12. Tengku Sayid Osman/Pemangku Sultan (1930-1940)
13. Syarif Harun/Tengku Sayid Harun (1940-1946).
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun
(1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan
kepada Pemerintah Indonesia.
Comments
Post a Comment