MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI

 

KATA PENGANTAR

 

 Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga kami berhasil menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana yang berjudul Inklusi sebagai upaya mengembalikan sekolah umum sebagai jalurnya. Makalah ini berisikan tentang informasi Pendidikan Inklusif. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Pendidikan Inklusif.

Saya  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR            ……………………………………………………………. i

DAFTAR ISI           ……………………………………………………………………… ii

BAB I PEDAHULUAN

Latar Belakang                   ……………………………………………………………….. 1

Rumusan Masalah               ………………………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Pendidikan Inklusi                     ……………………………………………… 2

Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi      ……………………………………… 4

Model Pendidikan Inklusi                  ………….………………………………………… 6

Komponen Pendidikan inklusi            ……………………………………………………. 9

Pembelajaran Model Inklusi             ……………………………………………………. 11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan           ………………………………………………………………………. 14

Saran          ……………………………………………………………………………… 14

DAFTAR PUSTAKA       ……………………………………………………………… 15

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.

Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.

 

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:

1.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi ?

2.      Bagaimana Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi ?

3.      Bagaimana Metode pendidikan Inklusi ?

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lain. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.

MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat.

Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah.

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment), disability dan handicap.

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas.

B.     Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1.      Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)   Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

2)   Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur’an menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:

(1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2)karena telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4)atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6)Maka kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9)sedang ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu mengabaikannya, (11)sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12)Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, (13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang ditinggikan lagi disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat), (16)yang mulia lagi berbakti.

(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:

حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الأَصَمِّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian.

(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak kalian satu, maka sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘Ajam, begitu pula sebaliknya, tidak ada keutamaan yang merah atas yang hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali taqwa.

3)   Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.

Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:

1)   UUD 1945

2)   UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

3)   UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4)   UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5)   UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

6)   Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

7)   Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

8)   Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu:

9)   Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Landasan Empiris

Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:

1)   Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)

2)   Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)

3)   Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All)

4)   Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities)

5)   Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on Inclusive Education)

6)   Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)

7)   Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif

8)   Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah.

 

C.    Model Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing.

Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah.

Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut.

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus.

Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus[20]. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.

Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:

1.      Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh

2.      Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming

Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.

1.      Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1)   Bentuk kelas reguler penuh

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2) Bentuk kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus

3)   Bentuk kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus

4)   Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus

5)   Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

6)   Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

D.    Komponen Pendidikan Inklusif

Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam pendidikan inklusif terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola dalam sekolah inklusif, yaitu:

1.      Manajemen Kesiswaan

2.      Manajemen Kurikulum

3.      Manajemen Tenaga Kependidikan

4.      Manajemen Sarana dan Prasarana

5.      Manajemen Keuangan/Dana

6.      Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat)

7.      Manajemen Layanan Khusus

Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusif yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan.

Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik.

Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya.

Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari:

1.      Model kurikulum reguler

2.      Model kurikulum reguler dengan modifikasi

3.      Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)

Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI.

Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.

Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.

Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.

Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan inklusif. Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi tanggung jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada individu meniscayakan adanya kompetensi yang berbeda dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.

Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi: (1)Inventarisasi pegawai, (2)Pengusulan formasi pegawai, (3)Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi, (4)Mengatur usaha kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas.

Manajemen sarana-prasarana sekolah bertugas merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar.

Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang baik. Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan pada sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun tidak serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu saja dengan pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan manajemen keuangan atau pendanaan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan pendanaan.

Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI Jakarta bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas, Dinas Dikmenti dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan swasta dibebankan pada anggaran yayasan/lembaga pendidikan swasta yang bersangkutan.

Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa, (2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, (4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat, (6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Stake holder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan  dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di daerah.

Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini.

E.     Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler

Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skriningatau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif.

Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus.

Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat mengenai kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi, maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran model inklusif di kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak memerlukan Program Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan.

Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Secara terperinci, keenam komponen tersebut yaitu:

1.      Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku

2.      Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan

3.      Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik

4.      Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran

5.      Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan

6.      Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective

Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran Individual (IEP).

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus memerlukan komponen-komponen tertentu yang meliputi:

Rasional

Layanan pendidikan dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus seharusnya sejalan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan, dan praktik dalam pendidikan berkebutuhan khusus.

Visi dan misi

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus ditetapkan

Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan

Komponen dasar model pembelajaran

Berdasarkan pada visi dan misi pembelajaran, komponen-komponen dasar model pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi:

1)        Masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitorsbehaviors, dan reinforcers, masukan instrumen yang terdiri dari program, guru kelas, tahapan, dan sarana, dan masukan lingkungan yang berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan

2)        Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran

3)        Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A. KESIMPULAN

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan yang signifikan baik aspek psikis, sosial, emosional, dan indrawi yang menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaaan mereka. Pendidikan Inklusif muncul sebagai suatu layanan pendidika program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dimana penyelenggaraannya dengan cara memadukan anak-anak yang berkelainan atau berkebutuhan khusus bersama anak normal lainnya, menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan.

Tujuan pendidikan inklusif yaitu agar semua anak mendapatkan hak pendidikan dan  kedudukan yang sama tak terkecuali bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sekolah reguler yang berorientasi inklusi ini merupakan alat untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, mencapai pendidikan bagi semua, sehingga akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi karena akan menurunkan biaya bagi seluruh sistem pendidikan.

B.  SARAN

Penyelenggaraan sekolah inklusif harus terus dikembangkan demi memberikan ruang gerak, ruang belajar tertutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus agar mereka tidak dipandang sebelah mata lagi. Untuk itu pemerintah harus memperhatikan betul, apa saja kebutuhan mereka, baik dari sarana dan prasana maupun guru pembimbing untuk mereka. Saya berharap sekali  pemerintah beserta para kaum pemerhati pendidikan untuk terus memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan tanpa membedakan siswa yang normal maupun siswa berkebutuhan khusus.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Budiman. Anak “Berkebutuhan Khusus” (14 Pebruari 2016)

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Anak_berkebutuhan_

khusus.html.

Dewi, setiani. “ Layanan Bimbingan bagi Anak Bekebutuhan Khusus” (14

pebruari 2016) http://google.com/index.pdf?tittel=Layanan Bimbingan bagi Anak Berkebutuhan

 

Comments

Popular posts from this blog

SOAL ULANGAN MI FIKIH DAN AKIDAH AKHLAK KELAS 2 SAMPAI 6

MAKALAH SUKU TORAJA

MAKALAH SUKU BANJAR