MAKALAH TERAPI SOSIAL DAN BERMAIN AUTIS
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, penulis panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang terapi social dan bermain anak autis.
Makalah ini telah penulis
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakan ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… ii
BAB I PEDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………………..
1
Rumusan Masalah ………………………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Autisme ………………………………………………
2
Terapi Bermain Anak Autis ………………………………………
Terapi Sosial Anak Autis …………………………………………………………
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ……………………………………………………………………….
Saran ………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Autisme
merupakan gangguan yang memerlukan penanganan yang panjang oleh profesinal
bidang medis dan kesehatan jiwa. Banyak format-format terapi yang telah
dipelajari dan diterapkan dalam usaha untuk penyembuhan anak-anak autis.
Modifikasi program-program bidang pendidikan dan metode-metode terapi utismstic
lain sudah mendapatkan perhatian penting. Suatu survey utismsti mengatakan
bahwa telah dilakukan penelitian untuk penggunaan terapi bermain pada anak utism.
Pada utismsti yang di survey, tidak ada reverensi (petunjuk) khusus untuk
penerapan terapi bermain yang berorientasi pada anak (child-centered play
therapy) pada anak utism.
Pelatihan
bagi professional kesehatan jiwa (terapis, psikolog dan psikiater) pada umumnya
berdasar pada interaksi dan komunikasi verbal. Sebagai konsekuensi, mereka
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi atau menjalin hubungan dengan anak-anak
yang tidak mampu melakukan komunikasi lisan. Khususnya pada anak utism yang
dengan berbagai utism ilmiah tidak mampu memahami bahasa lisan untuk
komunikasi. Permainan adalah hal paling alami yang dilakukan semua anak-anak,
dan anak utism terlibat dalam dunia permainan mereka sendiri dimana mereka
mengekspresikan diri mereka dan berkomunikasi dengan dunia mereka. Walaupun
sebagian besar permainan dari anak-anak autis adalah utismstic (melakukan hal
yang sama berulang-ulang) akan tetapi, bermain merupakan cara mereka untuk
mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan dunianya.
Bermain
adalah bahasa dari anak-anak, dan bila media permainan atau mainan-mainan
digunakan, mainan dapat menjadi bahasa dari anak-anak untuk menyampaikan
pesan-pesan, apabila mereka tidak mampu berkomunikasi secara lisan. Materi
permainan atau mainan-mainan yang bermanfaat tidak harus berupa permainan yang
umum digunakan, akan tetapi apapun yang digunakan oleh anak untuk
mengekspresikan perasaannya.
Anak-anak
dapat utism arti benda-benda dianggap orang dewasa tidak berarti. Terapis
mungkin tidak mengerti arti dari suatu benda bagi seorang anak, akan tetapi
seringkali benda tersebut sangat berarti untuk anak. Tugas terapis adalah untuk
membuat hubungan dengan anak utism melalui media yang dipilih oleh anak dan
yang membuat mereka nyaman. Suatu aktivitas bermain menunjukkan irama terdalam
dari kehidupan emosional mereka
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud
autisme ?
2.
Bagaimana terapi
bermain anak autis ?
3.
Bagaiman terapi
social anak autis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Autisme
Autisme
adalah suatu gangguan yangg biasanya didiagnosa pada masa kanak-kanak atau awal
masa kanak-kanak. Orang tua melaporkan kecemasannya akan interaksi-interaksi
sosial anak dan tidak adanya minat anak untuk menerima serta mengungkapkan
perasaan pada orang lain. Gangguan ini mempunyai karakterisik mulai dari yang
ringan hingga yang berat dan sangat mengganggu. Satu karakteristik umum dari
anak autis adalah ketidakmampuan anak untuk berinteraksi dan bermain bersama
anak lain pada seting social.
Berdasarkan Diagnostic
and Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, 1994 (DSM-IV),
“gejala penting dari autisme adalah adanya gangguan atau tidak berkembangnya
interaksi sosial dan komunikasi serta aktifitas dan perilaku yang
diulang-ulang”. Mungkin ada satu kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan
teman sebaya yang meningkat pada perkembangan hubungan dengan orang yang
berbeda usianya. Mereka tidak mampu berbagi kesenangan, minat dan prestasi
secara spontan dengan orang lain. Selain itu mereka juga tidak mampu melakukan
hubungan sosial dan emosi secara timbal balik
Anak-anak
autisme juga mengalami keterlambatan dalam kemampuan berkomunikasi. “Mungkin
ada penundaan atau ketidak mampuan dalam hal pengembangan bahasa secara lisan.
Pada anak autisme yang mampu utuk berbicara, mereka mengalami gangguan yang
ditandai oleh ketidak mampuan untuk memulai atau meneruskan percakapan dengan
orang lain”. Ketika kemampuan berbahasa mereka berkembang, dimungkinkan
terdapat gangguan pada nada, intonasi atau irama. Pengulangan bahasa dapat juga
muncul dan anak-anak autisme tersebut mengulang kata-kata atau frase-frase
tertentu yang tidak sesuai dengan konteks pembicaraan
“Individu
dengan autisme mempunyai minat yang terbatas dan pola perilaku serta aktivitas
yang diulang-ulang”. Salah satu contoh adalah mereka menunjukkan minat yang
ekstrim pada permainan tertentu. Mereka bermain dan terfokus pada satu
permainan untuk waktu yang lama. Sebagai tambahan, anak-anak ini memperlihatkan
pergerakan-pergerakan badan yang meliputi tangan-tangan, atau keseluruhan
badan. Sebagai contoh adalah mengayun-ayun kan tangan, berayun-ayun,
berjingkat-jingkat, dan bertepuk tangan secara konstan.
Kebanyakan
anak-anak autisme masuk dalam kategori keterlambatan mental (mental retardasi).
Menurut DSM-IV (1994), “kira-kira 75% dari anak-anak dengan gangguan autisme
berfungsi pada tingkat retardasi mental”. Skor IQ dapat bervariasi, dan
sebagian besar anak autisme mempunyai ketrampilan dan kecerdasan yang tidak
seimbang
Autisme
lebih sering terjadi pada anak-anak lelaki dibanding anak-anak perempuan dan
ditandai oleh ketidak mampuan dalam melakukan hubungan sosial / pengasingan /
penarikan diri, ketidak mampuan dalam melakukan komunikasi / ketrampilan
berbahasa (baik menerima maupun mengungkapkan), perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang (kadang-kadang bersifat merusak) dan perilaku yang kaku, ekstrim
dan susah diubah. Autism adalah gangguan yang terjadi pada masa kanak-kanak /
awal masa kanak-kanak, dengan karakteristik-karakteristik yang muncul antara
kelahiran dan usia 3 tahun. Mempunyai prognosis yang lemah, akan tetapi
terdapat peningkatan optimisme dengan kesuksesan treatment. Terdapat
perselisihan tentang asal dari gangguan autisme antara berasal dari organic
(keturunan / gen) dengan psikologis atau gabungan keduanya, akan tetapi hal ini
bukan hal penting untuk diperdebatkan
B.
Terapi Bermain Pada Anak Autisme
1.
Definisi Terapi Bermain
Sebelum
kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami
dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa
kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa,
ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan
pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth,
2001). Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan
hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami
perasaannya sendiri.
Bermain
adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan
manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional,
yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang
lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata.
Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak pihak
adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe
permainan. Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu
situasi dimana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan
situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan dan
perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan permainan sebagai
‘pembiaran pergi’, kebebasan untuk mengalami, membenamkan seseorang secara
total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda antara diri dan objek
dan diri sendiri dan orang lain.
Energi,
hidup, spirit, kejutan, peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah
kualitas dalam permainan. Menurut Mc Cune, Nicolich, & Fenson (dalam
Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari perilaku yang lain dalam hal:
- ditujukan
demi kesenangan sendiri;
- fokus
lebih pada makna daripada hasil akhir;
- diarahkan
pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek;
- tanpa
mengharapkan hasil serius;
- tidak
diatur oleh aturan eksternal;
- adanya
keterikatan aktif dari pemainnya.
Sedangkan
Garvey dan Piaget menambahkan bahwa permainan haruslah:
- menyenangkan;
- spontan,
sukarela, motivasinya instrinsik;
- fleksibel
- berkait
dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.
Sementara
Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal
yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi
bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi
perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya
mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan
perilakunya) melalui media bermain. International Association for Play
Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di
Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai
penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses
interpersonal dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan
untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan
psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Beberapa
definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu:
- tipe
dan jumlah permainan yang digunakan;
- konteks
permainan;
- partisipan
yang terlibat;
- urutan
permainan;
- ruang
yang digunakan;
- gaya
bermain;
- tingkat
usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Black
Freeman dan Montgomery (1975) menyatakan “bahwa seorang anak mengembangkan
ketrampilan bermainnya melalui interaksinya dengan lingkungan dan objek yang
ada di dalamnya, perkembangan sosialnya sangat lemah dan pola-pola yang tidak
sesuai dari perilaku diperkuat”. Mereka menguji perilaku bermain pada anak-anak
autistic di empat lingkungan-lingkungan berbeda.
Selain
definisi yang telah disebutkan di atas, perilaku bermain juga didefinisikan sebagai
interaksi dengan objek dan anak yang sebaya, dari lima anak-anak autis secara
sistematis diamati di empat lingkungan, yaitu satu di lingkungan sepenuhnya,
satu di tempat terapi, satu kamar bermain, dan satu di tempat bermain di luar
ruangan. Hasil-hasil awal didapatkan :
- pada
beberapa anak, lingkungan tidak memberikan efek pada perilaku bermain,
- dengan
berbagai object, anak-anak autistic sering berhubungan dengan obyek
dibanding dengan anak-anak sebayanya,
- obyek
permainan adalah yang paling sering digunakan pada tingkatan manipulatif
dan seringkali menjadi satu dalam perilaku negative dan perilaku yang
diulang-ulang.
- di
dalam satu ruang tertutup dengan tidak ada object, anak-anak autistic
sering terlibat dalam perilaku berulang yang dilakukan sendiri,
- di
dalam satu ruang tertutup yang dimodifikasi untuk memudahkan satu
pergerakan (theraplay), anak-anak autis memperagakan dan meniru
permainan motorik yang dilakukan bersama-sama
Perilaku-perilaku
autisme yang khas, seperti memutar-mutarkan jari-jari, mengepakkan lengan dan
tangan-tangan, mengayun-ayun, dll., muncul pada perilaku bermain, tetapi ada
perilaku-perilaku yang unik lain yang diamati di dalam permainan dari anak-anak
autisme. Roger dan Fine (1977) menemukan bahwa anak-anak autisme akan menjaga jarak
lebih lebar dari terapisnya (dibandingkan anak dengan gangguan lain atau anak
normal). Mereka lebih sering bermain sendiri dibanding dengan bermain bersama
teman dan pada umumnya mereka kurang melakukan aktivitas bermain dibandingkan
anak yang normal.
Anak-anak
Autis hanya sedikit menggunakan permainan dan kemampuan bermainnya terbatas.
Libby. Powell Meesser dan Jordan (1997) melakukan penelitian pada perilaku
bermain anak autisme dan melaporkan, “anak-anak autisme bukan anak yang tanpa
ketrampilan sama sekali akan tetapi mereka hanya tidak mampu memproduksi /
memberikan reaksi yang spontan terhadap suatu permainan”. Mereka menyimpulkan
bahwa anak-anak dengan autisme mampu mengerti tentang permainan yang
menyesuaikan diri dengan permainan”.
Jenis
permainan lain yang signifikan untuk anak autisme adalah permainan simbolik,
penggambaran diri sebagai obyek lain yang di bayangkan / tidak nyata dapat
membantu anak untuk menggunakan obyek khayal yang tidak dapat dilakukannya
secara spontan. Libby, et al (1997) menemukan bahwa “anak-anak dengan autisme
bisa bermain dengan meniru / permainan simbolis. Selain itu, mereka dapat
melakukan permainan simbolik dengan lebih baik dibanding anak-anak dengan down
sindromdan anak-anak dengan perkembangan normal yang mempunyai kapasitas
otak sesuai dengan usianya. Kesimpulannya, mereka menyatakan bahwa “Anak
autisme yang berada di ruang tertutup sendirian lebih memungkinkan meniru suatu
permainan bila dibandingkan dengan anak yang berada dalam suatu kelompok”. Dan
sebaliknya, ditemukan bahwa anak-anak autisme yang ditempatkan secara
berkelompok lebih sedikit melakukan perilaku meniru disbanding dengan
anak-anak down sindromdan anak-anak normal”.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa anak autisme mampu melakukan permainan simbolik,
jika anak tersebut dilatih sejak awal dan diberikan bantuan secara berkala dan
berkelanjutan. Terapi secara berkala dan berkelanjutan merupakan faktor penting
dalam usaha untuk mengobati dan membantu anak autisme, Permainan simbolik
dipertimbangkan oleh para trapis sebagai “container” (wadah besar) untuk
menampung emosi-emosi anak-anak. Apakah permainan simbolis itu hanya bertindak
sebagai container atau mempunyai efek yang lain, para ahli
belum melakukan penelitian lebih lanjut. Kurangnya permainan simbolik juga
merupakan treatment / perlakuan yang bermakna yang
secara umum dapat dipakai sebagai bukti kuatnya hubungan antara permainan
sismbolik dan perkembangan bahasa.
2.
Pendekatan Teori
Sebagian
besar teknik terapi bermain yang dilaporkan dalam literatur menggunakan basis
pendekatan psikodinamika atau sudut pandang analitis. Hal ini sangat menarik
karena pendekatan ini secara tradisional dianggap membutuhkan komunikasi verbal
yang tinggi, sementara populasi autistik tidak dapat berkomunikasi secara
verbal. Namun terdapat juga beberapa hasil penelitian yang menunjukkan
penggunaan terapi bermain pada penyandang autisme dengan berdasar pada
pendekatan perilaku.
Terdapat
beberapa contoh penerapan terapi bermain bagi anak-anak autistik, diantaranya
adalah :
- Terapi
yang dilakukan Bromfield terhadap seorang penyandang autisme yang dapat
berfungsi secara baik. Fokus terapinya untuk dapat masuk ke dunia anak
agar dapat memahami pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan
kadang tidak diketahui maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku
obsessif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui menggunakan
suatu boneka yang juga mencium-cium benda. Apa yang dilakukan Bromfield
dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik perhatian anak tersebut.
Bromfield berhasil menjalin komunikasi lanjutan dengan anak tersebut
menggunakan alat-alat bermain lain seperti boneka, catatan-catatan kecil,
dan telepon mainan. Setelah proses terapi yang berjalan 3 tahun, si anak
dapat berkomunikasi secara lebih sering dan langsung.
- Lower
& Lanyado juga menerapkan terapi bermain yang menggunakan pemaknaan
sebagai teknik utama. Mereka berusaha masuk ke dunia anak dengan memaknai
bahasa tubuh dan tanda-tanda dari anak, seperti gerakan menunjuk. Tidak
ada penjelasan detil tentang teknik mereka namun dikatakan bahwa mereka
kurang berhasil dengan teknik ini.
- Wolfberg
& Schuler menyarankan penggunaan terapi bermain kelompok bagi
anak-anak autisme dan menekankan pentingnya integrasi kelompok yang lebih
banyak memasukkan anak-anak dengan kemampuan sosial yan tinggi. Jadi
mereka memasangkan anak-anak autistik dengan anak-anak normal dan secara
hati-hati memilih alat bermain dan jenis permainan yang dapat
memfasilitasi proses bermain dan interaksi di antara mereka. Fasilitator
dewasa hanya berperan sebagai pendukung dan mendorong terjadinya proses
interaksi yang tepat.
- Mundschenk
& Sasso juga menggunakan terapi bermain kelompok ini. Mereka melatih
anak-anak non-autistik untuk berinteraksi dengan anak-anak autistik dalam
kelompok.
- Voyat
mendeskripsikan pendekatan multi disiplin dalam penggunaan terapi bermain
bagi anak autisme, yaitu dengan menggabungkan terapi bermain dengan
pendidikan khusus dan melatih ketrampilan mengurus diri sendiri.
Di
bawah ini adalah penjelasan secara terperinci dari pemaparan di atas :
3.
Terapi Bermain Tradisional
Tiga
artikel yang ada dalam literatur menawarkan penjelasan tentang terapi bermain
tradisional dengan anak autisme. Bromfield (1989) mengatakan bahwa terapi
bermain pada anak dengan diagnosis autisme yang ringan difokuskan untuk
memasuki dunia anak yang seringkali mengalami kesulitan dan kebingungan dalam
hal berbicara dan bahasa serta dalam berperilaku. Bronfield menjelaskan
peristiwa dimana dia menirukan seorang anak yang mengendus-endus boneka secara
berulang-ulang dengan cara yang sama dengan yang dilakukan anak tersebut.
Tindakan yang sederhana dan cerminan verbal yang sederhana menunjukkan bahwa
anak mampu memperhatikan dan menunjukkan respon yang keheren. Bromfield juga
merekam refleksi frekuensi, isi dan emosi dalam permainan anak yang seringkali
merupakan sesuatu yang bermakna. Broomfield juga telah berhasil berhubungan
dengan anak-anak dengan mengikuti apa yang dikomunikasikan anak. Pada awalnya
dia menggunakan boneka, catatan dan melalui bermain telpon. Setelah proses
terapi berlangsung, anak mulai melakukan komunikasi secara langsung dan lebih
sering.
Lowery
(1985) dan Lanyado (1987) juga memperkenalkan studi kasus dari terapi bermain
pada anak autisme. Mereka menjelaskan usaha-usaha awal yang mereka lakukan
untuk mengalihkan perilaku anak autisme yang sudah menetap kearah permainan
simbolis. Keduanya menunjukkan bahwa mereka telah mampu memasuki dunia anak
autis dan menjalin hubungan dengan anak. Menurut mereka kemampuan memasuki
dunia anak dan menjalin hubungan dengan anak merupakan dasar untuk melakukan
terapi selanjutnya.
4.
Terapi Bermain Kelompok
Wolfberg
dan Schuler (1993) merekomendasikan penggunaan terapi bermain kelompok dan
ditekankan pada pentingnya kelompok yang terintegrasi yang terdiri dari anak
dengan social kompetensi yang lebih tinggi. Wolfberg dan Schuler mempertemukan
antara anak yang normal dan anak autisme dan secara hati-hati memberikan mainan
untuk memfasilitasi mereka dalam bermain dan berinteraksi. Orang dewasa yang
menjadi fasilitator memberikan dukungan dan petunjuk bagi peserta terapi agar
dapat melakukan interaksi yang sesuai dengan tujuan terapi
Dukungan
penggunaan terapi permainan kelompok pada anak autisme yang terintegrasi lebih
lanjut dating dari Mundschenk dan Sasso (1995). Mereka melatih anak normal
untuk berinteraksi dengan anak autisme pada setting kelompok. Ketika terapis
tidak terlalu terlibat dalam interaksi kelompok, nampak bahwa desain modifikasi
aktifitas bermain dapat dengan mudah diubah oleh terapis.
Mac
Lennan (1977) menyimpulkan dua laporan awal dari aktifitas terapi kelompok pada
anak autisme. Masing-masing laporan berisi kesamaan kelompok dari anak-anak
autis. Satu penelitian melibatkan analisis psikoanalisa dari terapi bermain
dengan fokus awal pada isi dari gangguan dan kemudian fokus bergeser pada toileting (mengajar
anak untuk buang air di tempat dan dengan cara yang benar) serta permasalahn
individu yang berbeda-beda. Pada penelitian yang kedua, satu-satunya intervensi
adalah menggunakan permainan yang tradisional. Yang perlu dicatat dalam
penelitian-penelitian ini adalah bahwa permainan tradisional yang dimaksud
adalah menggunakan mainan yang sudah biasa digunakan oleh anak untuk bermain,
misalnya boneka.
Pendekatan Multidisiplin
Voyat
(1982) menjelaskan sebuah pendekatan multidisiplin dalam menggunakan terapi
bermain, pendidikan khusus dan pelatihan ketrampilan hidup (life skills).
Program tersebut meliputi terapi bermain tradisional, kelas untuk anak autisme
yang dilatih oleh guru dengan kemampuan khusus dan para terapis professional
yang memberikan training untuk anak di kelas, di luar ruangan dan di rumah.
Voyat mempertimbangkan terapi bermain sebagai inti program, tetapi tidak
memberikan detil dari metoda yang bisa diimplementasikan. Sejumlah ahli dengan
cara yang sama mendukung penggunaan terapi bermain secara intensif dan program
yang multidisiplin akan tetapi tidak memberikan rekomendasi detil yang lebih
lanjut.
Efektifitas Berbagai Format Dari Terapi Bermain
Terapi Bermain Tradisional
Sangat
sulit untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi bermain tradisional karena
hanya menggambarkan kasus yang hamper spesifik. Bromfield (1989), Lanyado
(1987) dan Lowery (1985) melaporkan peningkatan perkembangan area bahasa,
peningkatan kualitas interaksi sosial dan penurunan perilaku stereotype pada
kliennya. Bromfield (1989) menemukan keuntungan / kelebihan dari setting terapi
di luar lapangan. Roger dan Fine (1977) melaporkan penurunan jarak individu dan
penurunan gerakan selain itu anak mampu menjalin hubungan yang lebih dekat
dengan terapis setelah lima bulan dalam sesi terapi bermain dua kali seminggu.
Perubahan ini menunjukkan peningkatan toleransi interaksi sosial.
Terapi Bermain Kelompok
Wolfberg
dan Schuler (1993) melaporkan derajat keberhasilan yang tinggi dengan model
kelompok bermain yang terintegrasi, yang dirancang untuk mempromosikan kaitan
antara kemampuan bermain simbolik dan interaksi sosial. Dapat dijelaskan bahwa
peningkatan dalam terapi ini tampak menuju ke arah yang positif. Mereka juga
melaporkan peningkatan kemampuan bahasa dan penurunan perilaku yang menyimpang.
Sebagai tambahan peningkatan kemampuan tersebut tampaknya dapat
digeneralisasikan pada setting lingkungan yang lain. Mundschenk dan Sasso
(1995) juga melaporkan peningkatan interaksi sosial diantara anak autis dan
dapat digeneralisasikan dengan baik.
Pendekatan Multidisiplin
Voyat
(1982) melaporkan perubahan perilaku yang dramatis pada anak autis. Bukti
menunjukkan bahwa program terapi multidisiplin yang aktivitasnya berlangsung
selama 15 jam per minggu adalah yang paling efektif .
Dampak
Tampak
bahwa sejumlah pendekatan terapi dapat memfasilitasi perubahan dan perbaikan
pada anak autisme. Perubahan pola terapi dan aplikasi dari terapi bermain
terbukti lebih efektif dalam memperbaiki sindrom-sindrom yang berbeda. Wenar
dan Ruttenberg (1976) membandingkan keefektifan dari keseluruhan program
terapi, sedangkan yang menjadi faktor utamanya adalah bagaimana administrasi /
pengaturan terapi tersebut. Mereka menemukan bahwa walaupun para terapis
menggunakan jenis-jenis program yang berbeda-beda, tetapi mereka menggunakan
teknik yang serupa (misalnya menggunakan modifikasi perilaku dan ketrampilan
pembelajaran). Perbedaan dalam berbagai program ditunjukkan lebih kepada
perilaku dan ketrampilan terapis. Mereka menimpulkan bahwa perawatan secara
menyeluruh lebih efektif dilakukan pada anak yang usianya lebih muda (antara 3
– 6 tahun) dibanding anak yang lebih tua (usia 7 – 9 tahun). Rogers (1996)
menetapkan kebutuhan untuk diagnosis awal dan terapi selain itu juga dicatat
bahwa program-program paling efektif apabila diberikan pada klien dengan
jumalah sedikit, hal ini menunjukkan bahwa perhatian individu sangat
menguntungkan untuk perubahan bagi anak autisme. Individual dan kelompok terapi
bermain yang kecil, tampaknya merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan
kemampuan anak autisme untuk memperhatikan
Prinsip – prinsip Penerapan Terapi Bermain Bagi Anak
Autis
Terdapat
beberapa hal prinsip yang harus dipahami terapis sebelum menerapkan terapi
bermain bagi anak-anak autisme, yaitu:
- Terapis
harus belajar “bahasa” yang diekspresikan kliennya agar dapat lebih
membantu. Karena itu metode yang disarankan adalah terapi yang berpusat
pada klien.
- Harus
disadari bahwa terapi pada populasi ini prosesnya lama dan sangat sulit
sehingga membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi. Apa yang kita latihkan
bagi anak normal dalam waktu beberapa jam mungkin akan memakan waktu
bertahun-tahun pada anak autistik. Kondisi ini kadang membuat terapis
bosan dan putus asa.
- Terapis
harus menghindari memandang isolasi diri anak sebagai penolakan diri dan
tidak memaksa anak untuk menjalin hubungan sampai anak betul-betul siap.
- Terapis
juga harus betul-betul sadar bahwa meskipun anak autistik dapat mengalami
kemajuan dalam terapi yang diberikan, ketrampilan sosial dan bermain
mereka mungkin tidak akan bisa betul-betul normal. Jika tujuan umum terapi
adalah untuk membantu anak dapat memaksimalkan potensi mereka dan memberi
mereka kesempatan untuk berfungsi lebih baik dalam hidup mereka, maka
keberhasilan sekecil apapun harus dianggap sebagai kemenangan dan harus
disyukuri sepenuh hati.
C.
Teori Terapi Sosial
Terapi keterampilan sosial merupakan salah satu
teknik modifikasi perilaku yang mulai banyak digunakan, terutama untuk membantu
penderita kesulitan bergaul seperti anak dengan hambatan autis. Teknik ini dapat digunakan sebagai
teknik tunggal maupun teknik pelengkap yang digunakan bersama-sama dengan
teknik psikoterapi lainnya.
Keterampilan sosial berasal dari kata
trampil dan sosial. Kata keterampilan
berasal dari 'trampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu
proses belajar, dari tidak trampil menjadi trampil. Kata sosial digunakan
karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi
dengan orang lain. Dengan demikian pelatihan keterampilan sosial maksudnya adalah
pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang
lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi
dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.
Jadi terapi
sosial merupakan pertolongan bagi anak dengan autisme untuk meningkatkan
komunikasi dua arah. Dalam terapi ini anak biasanya akan difasilitasi seorang
terapis dengan mengajarkan cara berkomunikasi dengan teman sebayanya. Terapi
perilaku dan bermainpun sangat berperan penting yakni meningkatkan kemampuan
bersosialisasi dan terapis bisa mengetahui permasalahan si anak dengan
memperbaiki kondisi lingkungan anak dengan autisme.
D.
Keterkaitan
Teori Dengan Program Yang Disusun
1.
Terapi Bermain
Bermain
merupakan kegiatan spontan anak. Tidak ada peraturan yang mengikat saat anak
bermain. Oleh karena itu, bermain memberi anak peluang berkembang tanpa melalui
aturan ketat. Jika seorang anak terlalu banyak dihadapkan aturan, ada
kemungkinan anak tumbuh menjadi individu penuh keraguan, pasif, selalu menunggu
perintah, dan tidak memiliki inisiatif.
Menurut
kamus bahasa indonesia, pengertian bermain adalah melakukan sesuatu untuk
bersenang-senang. Menurut Elzsabeth Hurlock (1194), bermain adalah setiap
kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan tanpa pertimbangan
hasil akhir.
Terapi
bermain merupakan usaha penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik,
intelektual, emosi, dan sosial anak secara optimal. Maksud dari mengobati atau
menyembuhkan fisik adalah mengembangkan kekuatan otot, motorik, meningkatkan
ketahanan organ tubuh (jantung dan paru-paru), mencegah dan memperbaiki sikap
tumbuh kurang baik (otot-otot, organ tubuh,atau motorik).
Maksud dari
mengobati atau menyembuhkan aspek rohani adalah melepaskan anak dari hal-hal
yang merugikan, menimbulkan perasaan lega, bebas,berarti, menimbulkan dan
mengembalikan rasa percaya diri, mengartikan peraturan, menentukan siasat,
mengembangkan rasa rela, menunggu giliran, dan jujur.
Jadi dalam
bentuk permainan yang dilakukan anak merasa senang dan gembira dalam
melaksanakan program terapi yang secara tidak langsung dapat mengoptimalkan
kemampuan yang dimilikinya dan melalui permainan kelompok secara langsung akan
membawa anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara bertahap, dan
mengembangkan kemampuan interaksinya.
E.
Tujuan
Terapi
a.
Menjadikan anak agar kemampuan interaksinya sebagai
subjek bukan sebagai objek.
Pada kegiatan/latihan yang telah dilakukan anak
diharapkan mampu mengkomunikasikan kepada teman sebayanya untuk berpartisipasi
dalam permainan dan dalam kehidupan sehari-harinya anak mampu berinteraksi
secara maksimal secara lancar . Kegiatan permainan yang dilakukan bisa menekan
sifat pasif interaksi dan mengembangkan interaksinya. Aktivitas permainan yang
mampu mengembangkan interaksinya adalah ketika anak merspon setiap permainan
yang dilakukan dan berkomunikasi untuk memulai interaksi pada permainan,
terutama pada latihan identifikasi lingkungan.
b.
Meningkatkan
kemampuan anak dalam berkomunikasi dua arah
Pada komunikasi dua arah ini diharapkan anak mampu
memberikan informasi dalam penyampaian sebuah pesan serta komunikasi yang
terjadi antara pemberi informasi dan penerima informasi memberikan respon
terhadap pesan yang disampaikan.
.
Terapi yang kami lakukan melalui serangkaian permainan mencoba melatih
meningkatkan kemampuan interaksi
komunikasi dua arah secara maksimal agar anak bisa lancar dalam berinteraksi
sosial.
Saat
anak telah melewati permainan identifikasi
lingkungan anak mampu berkomunikasi dua arah, dan di permainan ular naga yang
melibatkan anak untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi, terutama
menjelaskan lingkungan dan pada ular naga saat anak bernyanyi bersama teman dan
merespon pertanyaan serta menstimulus anak untuk bertanya disinilah kemampuan
interaksi itu dapat dikembangkan.
c.
Meniru Aksi Anak Sebaya
Karena dalam hal ini anak terstimulus
untuk menirukan aksi temannya misalnya ketika temannya diinstruksikan melompat
dan anak dapat meniru, di sini juga diharapkan anak dapat menunjukkan respon
untuk berinteraksi
d.
Melakukan instruksi dari anak sebaya
Ketika permainan dilakukan diharapkan anak dapat merespon
ketika temannya meinstruksikan ataupun sebaliknya anak dapat meinstruksikan
ketika permainan berlangsung misalnya pada tahapan awal temannya diinstruksikan
untuk mengajak anak bermain dan (membantu) anak mampu menanggapi atau merespon
ajakan tersebut.
e.
Memberikan respon pada ajakan mainan anak sebaya
Ketika anak diajak bermain oleh temannya
Anak diharapkan mampu menunjukkan respon dari teman sebayanya, sebab pada
terapi ini juga anak lebih ditekankan untuk merespon ketika komunikasi yang
terjalin untuk memulai permainan.
f.
Mengajak teman untuk bermain
Anak memiliki inisiatif mengajak temannya dalam suatu
permainan yang akan dimainkannya. Karena pada tujuan yang diharapkan terapi ini
salah satunya anak dapat memulai interaksi untuk mengajak bermain.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
luasnya batasan terapi bermain maka penerapannya bagi penyandang autisme
memerlukan batasan-batasan yang lebih spesifik, disesuaikan dengan
karakteristik penyandang autisme sendiri. Pada anak penyandang autisme, terapi
bermain dapat dilakukan untuk membantu mengembangkan ketrampilan sosial,
menumbuhkan kesadaran akan keberadaan orang lain dan lingkungan sosialnya,
mengembangkan ketrampilan bicara, mengurangi perilaku stereotip, dan
mengendalikan agresivitas. Berbeda dengan anak-anak non autisme yang secara
mudah dapat mempelajari dunia sekitarnya dan meniru apa yang dilihatnya,
maka anak-anak autistik memiliki hambatan dalam meniru dan ketrampilan bermainnya
kurang variatif.
Hal
ini menjadikan penerapan terapi bermain bagi anak autisme perlu sedikit berbeda
dengan pada kasus yang lain, misalnya:
- Tujuan
dan target setiap sesi terapi bermain harus spesifik berdasarkan kondisi
dan ketrampilan anak, dilakukan dengan bertahap dan terstruktur . Misalnya
pada penyandang autisme yang belum terbentuk kontak mata, maka mungkin
tujuan terapi bermain dapat diarahkan untuk membentuk kontak mata.
Permainan yang dapat dipilih misalnya ci luk ba, lempar tangkap dengan
bantuan, ‘lihat ini’, dan lain-lain.
- Jika
secara umum terapi bermain memberikan kebebasan kepada anak untuk
berekspresi dan eksplorasi, maka pada anak autisme hal ini akan memerlukan
usaha yang lebih keras dari terapis terutama jika anak belum memiliki
kesadaran akan dirinya dan dunia sekitarnya sehingga inisiatif belum
muncul. Pada kasus seperti ini maka terapis perlu lebih aktif menarik anak
untuk masuk dalam forum bermain dengan secara aktif menunjukkan contoh dan
menarik anak terlibat. Misalnya dengan menunjuk masing-masing alat bermain
yang ada sambil menyebutkan namanya, memberi contoh bagaimana alat bermain
itu digunakan, terapis bermain pura-pura dengan tetap berusaha menarik
anak terlibat.
- Jika
kesadaran diri dan dunia sekitarnya sudah muncul , maka anak dapat
diberikan target yang lebih tinggi misalnya melatih ketrampilan verbal
(berbicara) dan ketrampilan sosial. Pada tahap ini maka pelibatan anak
dalam forum yang lebih besar, dengan melibatkan anak-anak sebaya lain
mungkin lebih membantu. Misalnya anak diajak bernyanyi bersama, dibacakan
cerita bersama anak-anak lain, diajak berbicara, dan permainan lainnya.
- Terapi
bermain bagi penyandang autisme dapat ditujukan untuk
meminimalkan/menghilangkan perilaku agresif, perilaku menyakiti diri
sendiri, dan menghilangkan perilaku stereotip yang tidak bermanfaat. Hal
ini dapat dilakukan dengan melatihkan gerakan-gerakan tertentu kepada
anak, misalnya tepuk tangan, merentangkan tangan, menyusun balok, bermain
palu dan pasak, dan alat bermain yang lain. Dengan mengenalkan gerakan
yang lain dan berbagai alat bermain yang dapat digunakan maka diharapkan
dapat digunakan untuk mengalihkan agresivitas yang muncul, juga jika anak
sering menyakiti diri sendiri. Mengenalkan anak pada permainan konstruktif
seperti menyusun balok juga akan memberi kegiatan lain sehingga diharapkan
perilaku stereotip yang tidak bermanfaat dapat diminimalkan.
Sebelum terapi dilakukan pada
anak tentunya kami melakukan tahap identifikasi dan asesmen yang bertahap dan
berulang untuk memfokuskan ranah terapi yang akan menjadikan fokus terapi
nanti.
Dari hasil terapi yang kami
lakukan selama 4 hari, dapat kami
simpulkan bahwa media yang kami gunakan dalam terapi sosial dengan
pendekatan bermain kelompok ini terbukti
dapat:
·
Menjadikan anak
agar kemampuan interaksinya sebagai subjek bukan sebagai objek
·
Meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi dua arah
·
Meniru Aksi Anak
Sebaya
·
Melakukan
instruksi dari anak sebaya
·
Memberikan respon
pada ajakan mainan anak sebaya
·
Mengajak teman
untuk bermain
Hal
ini ditunjukkan dengan kemampuan serta ketertarikan anak dalam menjalani terapi
berkonsep permainan disesuaikan dengan minat anak yang terlihat semakin
meningkat dibanding hari sebelumnya.
Terapi
sosial yang kami jalankan dengan metode permainan ini merupakan konsep terapi
sosial dengan pendekatan bermain kelompok, karena dunia bermain merupakan hal
yang dapat membawa suasana anak menjadi lebih senang dan secara tidak langsung
menstimulusnya untuk berinteraksi dengan teman kelompoknya, serta dapat menggambarkan perilaku anak. Di tempat
terapi yang kami gunakan, sudah tersedia media untuk siap digunakan bersama
teman kelompok anak, Anak merasakan dan terlibat dengan apa yang ada di
sekitarnya, fungsi dari terapis adalah sebagai fasilitator.
Tantangan dan stimlus yang diberikan tidak terlalu sulit tapi juga memiliki
kemungkinan gagal, serta menyenangkan.
Menyenangkan disini artinya dapat membuat anak selalu semangat ingin bermain
dan senang untuk bermain serta menjalin interaksi dalam waktu dan dimanapun itu.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9988619/terapi_sosial_autis
https://yurikafauziawardhani.wordpress.com/2017/12/12/terapi-bermain-bagi-penyandang-autisme/
Comments
Post a Comment