MAKALAH GUNTING SAFRUDIN
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala
puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam atas segala berkat dan rahmat-Nya,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “GUNTING SAFRUDIN”.
saya
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk guru kami, Juga
terimakasih kepada bantuan dari berbagai pihak yang telah berjasa membantu
kami.
Dalam
pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan yang saya lakukan. Semoga kritik
dan sarannya berguna bagi saya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………
ii
BAB
I PEDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………………..
1
Rumusan Masalah ……………………………………………………………….
1
BAB
II PEMBAHASAN
Pengertian ………………..………………………………………………
2
Gunting Safrudin ………………………………………………………
2
Sertifikat Devisa ………………………………………………………………5
Keuntungan dan Kerugian sanering ………………………………………. 6
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan ……………………………………………………………………….
9
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi pada awal kemerdekaan, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru yang berlaku di seluruh Indonesia.
Tetapi masalahnya bukan semata-mata mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda, baik utang dalam maupun luar negeri.
Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya. Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan Presiden dan para direktur Bank Sirkulasi itu pun hanya dapat dilakukan setelah mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan melalui negeri Belanda.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud gunting syafrudin ?
2. Bagaimana cara dalam pengguntingan syafrudin ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Gunting Syafrudin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafrudin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.
B. GUNTING SAFRUDIN
Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950) untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya itu.
Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu (kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan ekspor yang kebanyakan petani kecil.
Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjaman-pinjaman pemerintah.
Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting. Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacam-macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda.
Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5 keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret 1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal 16 April 1950. Sesudah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku. Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950. Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun
Pada 10 Maret 1950 masyarakat
Indonesia dikejutkan oleh kebijakan moneter berupa pemotongan nilai mata uang
(sanering) dengan sebutan "Gunting Syafruddin". Kebijakan ini
dikeluarkan menteri keuangan Kabinet Hatta II Syafruddin Prawiranegara dengan
tujuan mengurangi tingginya inflasi dan besarnya tanggungan utang luar negeri.
Gunting Syafruddin merupakan respons atas keterpurukan ekonomi Indonesia yang
terjadi sejak akhir 1949. Kembalinya Belanda yang membonceng tentara NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie) pada 1947 menimbulkan ketegangan dan
beberapa kerusuhan. Ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan ini menjadi
penyebab melambungnya harga kebutuhan pokok dan melemahnya daya beli
masyarakat.
Istilah gunting pada kebijakan
sanering Syafruddin merujuk pada tindakan pemotongan uang "merah"
alias uang NICA dan uang De Javasche Bank pecahan 5 Gulden ke atas menjadi dua
bagian. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan
nilai setengah dari jumlah semula. Sementara guntingan kanan ditukar dengan
obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh
tahun kemudian dengan bunga tiga persen setahun. Kebijakan ini berlaku sampai 9
Agustus 1950 pukul 20.00 WIB dan tidak berlaku pada ORI (Oeang Republik
Indonesia).

(Kebijakan Gunting Syafruddin. Sumber foto: uangkuno.com)
Syafruddin menyadari gebrakannya
berbuah olok-olok dari para lawan politknya. Dalam makalah "Membangun
Kembali Ekonomi Indonesia" yang ia tulis pada 1966, Syafruddin menjelaskan
kebijakan yang dianggap kontroversi itu sebenarnya jauh lebih mending dibanding
terobosan-terobosan moneter kabinet setelahnya.
"Pengguntingan uang Sjafruddin
dalam permulaan 1950 selalu dijadikan bahan agitasi dan cemoohan dari pihak
PKI. Sepintas lalu gunting Sjafruddin sama sifatya dengan tindakan moneter
Djuanda. Tapi sebenarnya gunting Sjafruddin mengandung beberapa unsur yang
lebih prinsipil," tulis Syafrudin dalam makalah yang dibukukan ke dalam
judul "Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir" (Kanisius: 2005).
Selain pemotongan nilai mata uang, seminggu kemudian Syafruddin juga
mengeluarkan kebijakan Sertifikat Devisa (SD). Gagasan ini bermaksud mendorong
ekspor sekaligus menekan impor luar negeri. Hasil dari dua keputusan yang
dibuat Syafruddin berhasil, kedudukan rupiah menguat, harga barang terutama
kebutuhan pokok stabil, dan pemasukan pemerintah naik dari Rp1,871 miliar
menjadi Rp6,990 miliar.
C.
SERTIFIKAT DEVISA
Satu minggu sebelumnya Sjafruddin juga mengeluarkan kebijakan kontroversial, yang disebut dengan Sertifikat Devisa (SD). Kebijaksanaan ini bermaksud mendorong ekspor dan sebaliknya menekan impor.
Berdasarkan kebijaksanaan tersebut, selain mendapatkan uang sebanyak harga barangnya, setiap eksportir juga memperoleh SD sebesar 50% dari harga ekspornya. Sebaliknya, orang yang hendak impor harus membeli SD senilai harga barang yang hendak diimpor. Jadi, selain menyediakan uang senilai harga barang yang akan dibeli, setiap importir harus membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.
Sebagai permulaan, pemerintah menetapkan kursnya 200 persen. Artinya, kalau orang akan membeli SD sebesar Rp 10.000, dia harus membayar Rp 20.000. Kurs itu akan naik-turun sesuai dengan perkembangan pasar. Dengan demikian, tanpa mengubah kurs resmi, kurs efektif bagi penghasil devisa adalah 200% kurs resmi, sedangkan bagi para pemakai devisa adalah 300% dari kurs resmi. Selisih ini masuk ke dalam kas pemerintah.
Sudah tentu, dua kebijakan yang radikal itu menyulut pro-kontra. Sjafruddin pun mengakui, kebijakannya itu memberatkan para importir. Namun, ia tidak mau mengabaikan kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang ekspor. Hasilnya ternyata mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga barang terutama kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan pemerintah naik berlipat-lipat, dari Rp 1,871 miliar menjadi Rp 6,990 miliar.
D.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SANERING
Pada
tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000
(dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50.
Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus
menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember
1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan
soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam,
sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik
Indonesia).
Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan
banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang
paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba
mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi
penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru).
Sukarno melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen).
Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita
hanya 80 dolar us.
Sebelum sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter
menjadi rp 250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper
tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah
sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik.
Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp
500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr
(naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi
krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan
puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya
suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200.
Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini
bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara
halus dan perlahan tapi pasti, buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga
barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat
money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita
pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Dampak dari sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
Tujuan dari sanering, mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi
Nilai uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya.
Kondisi saat dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
Contoh: Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4500 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inflasi sebenarnya bukan sesuatu yang
mustahil terjadi pada setiap negara. Hanya tingkatannya saja yang berbeda-beda.
Ada
yang dianggap wajar, adapula yang dianggap berbahaya, seperti yang terjadi
di Venezuela dimana nilai mata uang negara tersebut turun 99,9
persen dalam waktu singkat.
Tentu
saja ada beragam cara yang dilakukan untuk mencoba mengatasi masalah inflasi (juga hiperinflasi), ada yang berhasil, ada pula yang
malah memperburuk kondisi krisis.
Nah,
salah satu cara mengatasi inflasi yang paling terkenal ternyata
berasal dari Indonesia.
Adalah
Syafruddin Prwairanegara, Menteri Keuangan kabinet Hatta II yang menjadi
pencetusnya.
Melalui
kebijakan yang kemudian dikenal sebagai “Gunting Syafruddin” tersebut,
Syafruddin mencoba mengatasi tingginya inflasi, mengurangi besarnya beban utang
luar negeri Indonesia, serta mengatasi defisit anggaran yang mencapai Rp5,1
miliar (jumlah yang sangat besar jika mengacu pada saart itu.
Istilah
“gunting” dari kebijakan yang dimulai sejak 10 Maret 1950 pukul 20:00 WIB
hingga 9 Agustus 1950 pukul 20:00 tersebut memang mengacu pada tindakan
menggunting fisik uang kertas NICA untuk pecahan 5 gulden ke atas.
Nilai
batas tersebut dinilai tidak akan membebani rakyat kecil sebab saat itu
masyarakat yang memiliki uang dengan pecahan lebih dari 5 gulden adalah mereka
yang berada pada level ekonomi menengah ke atas.
"Beliau
(Sjafruddin-red) sangat terkenal dengan kebijakan moneter yang disebut Gunting
Syafruddin, dimana Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang kertas De
Javasche Bank dan uang Hindia Belanda (NICA) dari nilai Rp5 ke atas atau
gulden, sehingga nilainya tinggal separuhnya," demikian Kiagus mengatakan
dalam peluncuran buku Mr Sjafrudin Prawiranegara: Pemimpin Bangsa dalam Pusaran
Sejarah, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Sabtu (15/10/2011), seperti dilansir
dari tribunnews.com.
Potongan
uang yang terbagi dua tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Potongan
pertama tetap menjadi alat tukar seperti biasanya, namun nilainya sudah turun menjadi
setengahnya. Misal, jika uang kerta yang dipotong bernilai 5 gulden, maka
potongan tersebut akan bernilai 2,5 gulden.
Sementara
potongan kedua akan ditukar dengan obligasi negara. Tentunya dengan nilai
setengahnya lagi dari nilai uang yang dipotong.
Obligasi
tersebut akan dibayar oleh negara tiga puluh tahun kemudian dengan nilai bunga
sebesar tiga persen setiap tahun.
Kebijakan
kontroversial ini sendiri dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi Indonesia yang
terpuruk di akhir 1949.
Pemicunya
adalah upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia, melalui tentara NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang dimulai sejak 1947.
Serangan
dari Belanda ini menyebabkan kondisi politik dan keamanan Indonesia menjadi
tidak stabil.
Alhasil,
harga kebutuhan pokok pun melambung tinggi. Daya beli masyarakat pun menurun.
Oya,
kebijakan ini juga punya dua tujuan lain, yaitu untuk mengurangi jenis mata
uang yang beredar pada saat itu serta mengurangi jumlah uang yang beredar, yang
dianggap lebih banyak dibanding jumlah barang yang tersedia saat itu.
Comments
Post a Comment