MAKALAH KONFLIK AMBON

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Kehidupan di dunia tidak akan jauh dari keragaman karena keberagaman itu anugerah dari Sang Pencipta mulai dari awal penciptaan. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang diwarnai dengan masyarakat majemuk di mana terdapat

beragam identitas etnik, suku, adat, ras, dan agama, serta bahasa.  Indonesia memiliki 300 lebih kelompok suku bangsa yang sifatnya berbeda dari kelompok lain. Mereka mempunyai identitas yang berbeda dan menggunakan lebih dari 200 bahasa khas. Kira-kira 210 juta penduduk Indonesia tersebar di lebih dari 14.000 pulau dan kurang lebih 1,5 persen jumlah penduduknya hidup dengan cara tradisional.  Indonesia juga terdapat beragamnya agama. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat yang manjemuk karena terdiri dari beragam etnik, suku, adat, ras, dan agama, serta kebudayaan sebagai identitas yang berbeda-beda. Namun, dalam rangka menjaga kesatuan, Indonesia memiliki semboyan nasional yaitu “Bhinneka tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi satu. Semboyan nasional Indonesia ini merupakan satu bentuk keberagaman yang terintegrasi yang mengidentifikasikan bentuk negara Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga merupakan bentuk kesatuan yang mengintegrasikan masyarakat sebagai satu identitas yaitu bangsa Indonesia.

Keberagaman identitas dan sifat kemajemukan menjadi keunikan identitas atau suatu kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Namun, kondisi yang majemuk dengan beragamnya etnik, suku bangsa, agama, dan kebudayaan sebagai identitas menjadikan masyarakat rentan dengan konflik. Rentannya konflik merupakan sebab dari pertentangan kebudayaan antar identitas. Setiap identitas etnik atau agama memiliki kebudayaan masing-masing yaitu pandangan, prinsip, dan cara menjalani hidup, dan tujuan yang berbeda. Dalam mencapai tujuannya, masing-masing kelompok memiliki cara dan kepentingannya yang berbeda namun harus bertemu dalam ruang kompetisi.

Diawali dengan pertentangan kepentingan yang dimiliki setiap identitas etnik atau agama tersebut kemudian dapat memunculkan konflik. Konflik dapat terjadi pada antar kelompok dengan identitas yang berbeda yang saling berinteraksi dalam wilayah yang sama. Dari interaksi tersebut, pasti menimbulkan persepsi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang terkadang positif dan negatif karena perbedaan kepentingan tersebut. Oleh karena itu, sulit untuk masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik terutama konflik antar etnik termasuk suku bangsa, adat, atau agama.

Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia yaitu konflik di Ambon. Konflik yang terjadi di Ambon merupakan salah satu konflik yang didasarkat atas identitas agama, yaitu Islam dan Kristen. Konflik ini terjadi dengan adanya kerusuhan sosial dimulai dari akhir jaman Soeharto berlanjut hingga tahun 2000 namun saat ini sudah cukup mereda. Pada beberapa artikel menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Ambon bukan hanya merupakan konflik antar identitas agama, tetapi juga konflik yang didasarkan atas adanya kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hubungan antara identitas agama Islam dan Kristen di Ambon yang menimbulkan konflik ini bukan hanya sebagai konflik antar agama tetapi juga ada faktor lain yaitu ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab konflik. Oleh karena itu, penulisan makalah kali ini memiliki tujuan untuk mencoba melihat penyebab konflik antar agama di Ambon secara historis.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa yang menyebabkan konflik Ambon?

2.      Bagaimana fase-fase konflik Ambon?

3.      Upaya untuk mengatasi konflik Ambon?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

PEMBAHASAN

 

A.  Profil Daerah Maluku

              Provinsi Maluku sebelum pemekaran wilayah terdiri dari tiga kabupaten,  masing masing Maluku Utara beribukota Ternate, kabupaten Maluku Tengah beribukota Masohi, dan Maluku Tenggara beribukota Tual. Saat ini provinsi Maluku Maluku mengalami pemekaran wilayah kabupaten Maluku Utara menjadi provinsi sendiri dengn ibukota Ternate sedangkan provinsi Maluku beribukota Ternate. Secara historis daerah Maluku menjadi gudang rempah-rempah “ cengkeh dan pala) yang membuat bangsa Eropa (Belanda dan Portugis) hal ini yang menyebabkan mayoritas penduduk di daerah ini menganut agama Kristen. Daya tarik yang dimiliki Ambon menyebabkan banyak warga dari berbagi wilyah di Indonesia yang ingin bermigrasi ke Ambon merubah nasib mereka yang umunnya mereka beragama Islam.

 

B.  Ambon dan Potensi Konflik

Konflik Ambon Maluku yan berlarut-larut selama dua tahun lebih menyimpan sebuah misteri yang pada dasarnya secara “laten” sudah tekondisikan sejak lama,jauh sebelum Januari 1999.Konflik “laten” itu berubah menjadi “manifes” menjadi konflik terbuka sejak Januari 1999.Dan boleh dikatakan akar konflik Maluku sebenarnya konflik “laten” .Sedangkan konflik “manifes” yang tampak di permukaan sebenarnya adalah efek atau akibat dari  yang dahsyat dalam konflik “laten”  tersebut yang menjadi potensi konflik terpendam yang melatarbelakangi terjadinya konflik “manifes” .[1]Konflik di ambon memang bukan peristiwa spontan  karena dalam struktur dan konstelasi hubungan antar kelompok yang mengandung unsur ketegangan dan benturan konflik yang akan juga menjadi konflik yang menancam rakyat Maluku.Dan berikut hal-hal yang melatarbelakangi konflik yang terjadi.

 

1.      Struktur Warisan Masa Lalu

            Struktur Warisan Masa Lalu ini adalah struktur hubunganyang tercipta sejak lama di masa lalu, yang terpola dan relatif permanen selama ini yang meski berubah-ubah dan waktu ke waktu tetap membekas mewarnai komposisi dan dinamika kelompok yang ada sekarang. Dan dinamika kelompok dibagi menjadi dua,yaitu sebelum masa kolonial dan masa kolonial.

            Sebelum masa kolonial. Masyarakt Ambon sejak dulu dikenal sebagai masyarakt yang heterogen yang ditandai oleh perbedaan suku dan kultur etnis yang beraneka ragam dan sebagian besar masyarakat Ambon Maluku sebenarnya bukan penduduk asli pulau Ambon Lease tetapi semuanya adalah warga pendatang dari luar khususnya pulau seram dan para pendatang membentuk permukiman-permukiman yang tersebar di pulau Ambon.Masyarakat Ambon Maluku terbentuk berdasar berbagi jenis ikatan-ikatan sosial berdasa suku, kewilayahan (teritori) dan kepercayaan.

            Pada masa kolonial persebaran agama Katholik dan Protestan yang dibawa pihak kolonial semakin menambah heterogenitas masyarakat Maluku.Tidak hanya klan, budaya, kultur adat, teritori komunal serta administratif tetapi juga berdasar atas agama dan kultur kepercayaan yang beragama.Sejak saat ini masyarakat Ambon Maluku mulai terbagi dalam pola permukiman dan teritori berdasar agama, bahkan dalam wilayah administratif desa dikenal ada desa atau negeri(kumpulan daerah-daerah yan terdiri dari berbagai klan) Salam(komunitas islam) dan desa atau negeri Sarani(komunitas kristen).Dan inilah warisan kolonial Belanda yang telah mewariskan struktur sosial yang menyimpan bom waktu.

 

2. Konstelasi Hubungan Sosial di Masa Orde Baru

            Selama Orde Baru berkuasa sejak tahun 1960-an yang ikut andildalm membentuk formasi sosial baru di Ambon Maluku sejak masa kemerdekaan Indonesia.Ketika Orba runtuh, maka runtuh pula formasi sosial yang disertai dengan konflik dan segresi sosial yang disertai dengan konflik dan keretakn sosial yang hebat,seperti awal kemerdekaan , meski dengan isu dinamika konflik yang berbeda.

 

3. Perkembangan dan Komposisi Penduduk

            Dalam kurun waktu 10 tahun Pulau Ambon Lease sudah dihuni berbagai macam etnis dan agama serta dihuni oleh warga keturunan Arab, Cina, serta warga migran seperti dari Bugis, Buton, Makasar dan Jawa.Sejalan dengan meningkatnya kaum migran, komposisi penduduk dari segi agama juga menunjukkan perubahan yang penting.Membandingkan Sensus 1971 dengan Suppas 1985 , tampak bahwa penduduk beragama islam mengalami peningkatan sebesar 4,9 % menjadi 54,8 %, sedangkan proporsi penduduk Kristen menurun 2,7% menjadi 44,1% dan selebihnya menganut agama Katholik, Hindu, Budha.Dan pertambahan Jumlah penduduk Islam terus bertambah dengan banyaknya migran yang beragama Islam yang berasal dari Bugis, Makasar, dan Jawa. Hal itu menyebabkan munculnya persepsi bagi penduduk beragama Kristen. Sehingga timbul krisis hubungan , kecurigaan, dan ketegangan sosial antara kedua komunitas agama.

 

4. Perkembangan Ekonomi-Sosial

            Sumber daya alam di kepulauan Maluku sangat melimpah terutama pertanian dan perkebunan cengkeh, pala dan sebagainya.Oleh karena disebut juga sebagai pulau rempah-rempah dengan sumber ekonomi yang paling besar adalah sumberdaya kelautan, perdagangan dan sektor jasa.Tapi sayangnya pemenuhan kebutuhan pokok pangan masih bergantung pada pulau lainnya. Menurut data dari BPS tidak menyebut angka ada areal di pulau ini untuk penanaman tanaman pangan khususnya beras, sehingga mereka sangat rentan terhadap kelangkaan beras atau bahan pangan lainnya.

Menurut data BPS tahun1990 sekitar 28,08% pekerjaan diluar pertanian seperti di sektor jasa pegawai negeri. Menurut data BPS tahun 1990-an PAD rata-rata daerah Maluku sebsar 19,4% bergantung pada pembangunan infrastruktur di sektor swasta nasional.[2] Karena krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998 Ambon dapat dikatakan terpukul karena efek dari krisis tersebut dan diperkirakn jumlah angka pengangguran meningkat dan kerusuhan melanda Ambon selama beberap tahun.

Ketergantungan ekonomi pada pusat atau dunia luar berakibat pada timbulnya masalah sosial-politik  yang berakibat munculnya dinamika kompetisi dan konflik politik ekonomi antara pusat dengan lokal. Dan karena inilah penetrasi campur tangan politik dan kapital ekonomi dari pusat yang begitu besar,serta menyebabkan marginalisasi sektor ekonomi lokal serta terdesaknya kepemimpinan adat yang selam ini bergantung pada sumberdaya lokal.

5. Perubahan Sosial Politik

Akibat perpindahan masyrakat menuju ke pulau Ambon menyebabkan populasi dan pelapisan sosial di pulau Ambon mengalami perubahan. Sehubungan hal ini,terjadilah secara perlahan namun sistematis berkembangnya semacam pembagian kerja secara etnis dan agama di Ambon. Terutama bagi masyrakat Ambon dan penduduk migran asal Bugis dan Makasar, dan secar perlahn mereka tumbuh menjadi lapisan sosial baru yang mengusai sektor perdagangan dan disebut anak dagang, dan berbeda dengan warga asli ambon atau anak negeriyang kebanyakn bekerja di sektor jasa atau birokrasi.Kendati sudah cukup lama tinggal di pulau Maluku, namun proses adaptasi sosial-kultural antara anak negeri dan anak dagangkurang berjaln mulus.

            Semetara itu di sisi lain, penduduk asli Ambon khususnya yang beragama Kristen selama ini menduduki posisi birokrasi atau sektor jasa dan sebagian besar pendapatan  masyrakat Kristen bersumber dari sektor jasa khusunya pelaynan publik.Pembagian kerja sosial juga cukup andil dalam membentuk struktur pekerjaan dan politik di daerah Ambon. Hal itu disebabkan karena masyarakat Ambon memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah kolonial maka status pekerjaan mereka umumya menengah ke atas seperti pegawai negeri atau sektor jasa. Pemerintahan Orde Baru karena pembangunan ekonomi maka kesempatan msyarakta Islam Ambon menjadi terbuka.Tahun1999 sekitar 74 % pegawai eselon I golongan IVA sampai IVE di tingkat provinsi Islam.Di eselon II sebagian besar juga islam sekitar 60% .Sedangkan di eselon III pegawai Muslim berkisar 53%.[3] Tumpang tindih antar kedudukan politik dan agama itu juga tampak pada struktur organisasi politik, seperti struktur kepartaian di Maluku.

 

6. Modernisasi Budaya

            Masyarakat pulau Ambon dikenal dari luar dengan adat dan budaya Pela Gandong. Sesuai dengan  fungsinya Pela Gandong dapat dijadikan alat intregasi antara penduduk beragama Islam(negeri Salam) dan Kristen(negeri Sarani) dalam ikatan Peladan Gandong. Kedua ikatan itu merupakan mekanisme hubungan sosial mencegah terjadinya konflik antar anak negeri pulau Maluku. Pela adalah ikatan hubungan antara dua atau lebih  desa atau negeri Salam dan Sarani berdasar ikatan perjanjian kontrak untuk tidak berkonflik satu sama lain. Sedangkan Gandong adalah ikatan sosial antarnegeri atau desa berdasar hubungan darah atau keturunan atau berarti ikatan hubungan antaranak negeri berdasar hubungan saudara satu keturunan atau satu kandungan ibu yang sama. Hubungan Pela Gandong hanya berlaku bagi masyarkat adat Ambon dan tidak berlaku bai masyarkat pendatang.

            Jabatan raja atau kepala desa menjadi hak-hak khusus bagi kalangan tertentu dalm sebuah klan. Namun,sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No. 4 tahun 1975 tentang pemerintahn adat dengan persyaratan calon harus berasal Soa(teritori) raja.Meski masih ada raja yang  berasal Soa raja, namun untuk desa-desa baru pecahan desa adat, prasyarat asal dari soa raja tidak lagi mengikat dalm pemilihan raja.Selain itu, oleh undang-undang  itu, fungsi saniri negeri kemudian diambil oleh LKMD dan LMD yang dipimpin kepala desa dengan anggota para soa. Modernisasi birokrasi ini menciptakan kondisi melemahnya fungsi lembaga adat untuk memelihbahanara intregasi sosial di antara warga masyarakat, sehingga rentan terhadap konflik.

7. Ketegangan Memuncak

            Dari konteks konstelasi hubungan dan perubahan-perubahan di atas dapat dikatakan bahwa konflik Ambon Maluku dilatarbelakangi oleh banyak potensi konflik bersumber dari masalah perubahan sosial-ekonomi, politik, dan budaya.Komunitas desa-desa Kristen umumnya mendominasi sektor jasa,sementara desa-desa Muslim monopoli sektor pertanian dan perdagangan .Pembagian komposisi penduduk berdasar etnis-agama dan penguasaan sumber ekonomi demikian dengan mudah bisa membangkitkan konflik antarkelompok dan antardesa di kedua komunitas itu. Konflik yang yang muncul di awal Januari 1999 memunculkan isu konflik yang bernuansa suku, agama, politik, dan ekonomisperti munculnya istilah Buton, Bugis, Makasar (BBM) dan islamisasi birokrasi. Sementara, di komunitas Islam ada isu penolakan warga Kristen terhadap pemerintah pusat separatisme RMS (Republik Maluku Selatan), dan kristenisai Maluku. Berbagai konflik di atas tampak mengkristal menjadi isu politik etnis-agama menjelang konflik Januari 1999. Isu itu muncul karena mengkristal ketegangan antara kedua komunitas karena terjadi perubahan kondisi sosil politik ekonomi eksternal di tingkat national saat itu akibat awal runtuhnya Orde Baru sehingga muncul kekecawaan oleh masyarakat Ambon. Dan malapetaka terjadi karena krisis ekonomi  dan politik. Namun manajemen konflikmodel tongkat wortel (stick-carrot) dan model dominasi yang seperti ini justru dapat menyimpan potnsi konflik yang terpendam yang lebih besar.

 

 C. Akar dan Eskalasi Konflik

1.      Berbagai Perbedaan Persepsi Tentang Konflik

            Konflik di Maluku memiliki rujukan yang historis yang sangat panjang mulai zaman kolonial Belanda. Penggunaan nama-nama sesuai dengan agama yang berasal dari kitab agama masing-masing Islam dan Kristen. Ditambah lagi hubungan masyarakat yang heterogen yang sejak dahulu dengan adanya Pela Gandong yang bisa bertahan dala kondisi relative singkat karena berlakunya UU No 5/ 1974 yang berakibat hilangnya pemerintah adat. Oleh karena itu Pela Gandong kurang efektif dalam intregasi masyarakat Maluku. Konflik yang terjadi di Maluku merupakan konflik laten yang berubah konflik manifest yang muncul ke permukaan mulai dari dominasi jajaran birokrasi yang dilakukan masyrakat Kristen dan dominasi perdagangan serta bidang ekonomi lainnya. Selain itu semenjak pendidikan formal dimasuki oleh kalangan Muslim lokal maupun pendatang  menyebabkan  mereka merasa dalam membangun daerahnya. Duduknya oran-orang Muslim di birokras pendidikan itu bagi komunitas Kristen dianggap sebagai penggusuran posisi dan menjadi ancaman yang membahayakan. Lain halnya bagi pandangan masyrakat Muslim, duduknya orang-orang Muslim di birokrasi pendidikan bukanlah sebuah “agenda khusus” yan berorientasi menggusur pihak lain (Kristen). Pihak Muslim menyatakan bahwa keberadaan orang-orang Islam di birokrasi pendidikan belum sebanding dengan diskriminasi yang ada selama ini.

 

2. Teori Konflik Ambon dan Dampak Konflik

            Tidak ada data yang pasti tentang berapa jumlah korban meninggal dalam konflik yang melibatkan komunitas Islam dan Kristen. Konflik dipicu oleh perkelahian kelompok pemuda dari Batumerah yang bernama Jacob Leuhery dan Merdika yang bernama  Mursalim terjadi pada 19 Januari 1999.

            Human Rights Watch mencatat ada 2 teori besar tentang kelompok luar yang memicu konflik Ambon:

a)  Teori pertama, premanisme (gangster theory). Teori ini didasarkan pada peristiwa keributan yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Ambon dengan masyarakat Ketapang, Jakarta dan memaksa Pemda DKI Jakarta memulangkan 100 pemuda yang dianggap sebagai preman. Namun dalam kenyataannya hal itu menimbulkan situasi yang panas di kota Ambon yang digunakn sebagai penyulut konflik.

b)   Teori Kedua, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Isu dihembuskan oleh pihak kaum Muslim tetapi ditentang oleh kelompok Kristen, yang  kerusuhan Ambon yaitu gerakan separatisme RMS dan elit politik local yang frustasi dengan perkembangan Islam di Ambon.

 

3. Akar Konflik

            Dari dua teori yang telah disebutkan diatas akar potensi konflik disebabkan oleh segresi agama dan komunitas di Maluku. Segresi tersebut menyebabkan munculnya negeri salam dan negeri sarani.

            Akhir tahun 1980-an Ambon mengalami perubahan besar atau perkembangan yang meliputi :

1.      Perubahan komposisi Penduduk.

2.      Perubahan Pelapisan Masyarakat.

3.      Perubahan Budaya.

 

4. Fase Konflik Ambon

            Konflik Ambon terdiri dari berbagai fase:

a)   Fase pertama, dimulai tanggal 19 Januari 1999 yang bertepaan dengan Hari Raya Idul Fitri dimana terjadi perkelahian antara pemuda Batumerah dengan Merdika yang menjalar dan membesar menjad konflik antara warga desa beda agama, konflik, makin tajam denan pembakaran gerejadan masjid.

b)   Fase kedua, dimulai dari akhir Juli hingga Desember 1999 diawali dari konflik yang tejadi di perumahan Poka pada tanggal 24 Juli 1999 yang menyebabkan ketegangan antar kampong, akibat hal ini terjadi pemilahan disegala  sektor yang membedakan kepentingan  dan kebutuhan antara masyarakat Islam dan Kristen.

c)   Fase ketiga, di mulaidari 26 April hingga akhir Juni 2000. Konflik yang diawali dengan pawai perdamaian yag berakhir bentrok. Dalam fase ini bukan hanya sporadis bahkan sudah terencana dan kekuata Islam lebih kuat dibanding kekuatan Kristen atas bantuan Laskar Jihad dari Jawa.

d)  Fase keempat, dimulai dari tanggal 27 Juni 2000 hingga Februari, in dimulai dengan diberlakukannya status darurat sipil. Tetapi setelah tiga hari konflik kembali pecah .

e)   Fase kelima, dimulai dari Februari 2002 hingga sekarang. Fase ini berawal dengan ditandatangani perjanjian Malino, 12 Februari 2002. Sehari kemudian bom meledak di perbatasan Batumerah-Mardika.Konflik yang terjadi di Ambon secara bertahun-tahun tamapknya membuat warga menjai salin pengertian. Musuh mereka bukan atau kelompok yang berbeda agama tetapi orang yang mengacaukan Ambon. Fase ini juga ditandai dengan pembubaran Laskar Jihad yang diikuti dengan penarikan pasukannya  dari Maluku.

 

5. Peristiwa Konflik Ambon

              Konflik Ambon berawal dari Agustus 1999 ketika pemerintah kabupatenMaluku Utara bermaksud meresmikan pembentukan kecamatan baru yang dinamkan Malifut (Peraturan Pemerintah No. 42/ 1999) yang terdiri dari 16 desa Makian yang mayoritas Islam serta 5 desa Kao dan Jailolo. Desa minoritas menolak bergabung kecamatan yang baru sedangkan penduduk Makian tetap berpendapat bahwa itu udah final. Sejak saait itu berlangsung serangan sporadis sling balas membalas antara penduduk Islam dan Kristen, menyebabkan banyak korban meninggal antara dua pihak sehingga ini disebut awal dari konflik Ambon yang berada di Halmahera, kemudia setelah peristiwa ini diikuti oleh peristiwa konflik yang lain yang terjadi di Ambon seperti konflik Saparua, konflik Misohi, konflik Poka- Rumah tiga, Konflik Yongab dan peristiwa Toma jaya. Kehadiran Laskar Jihad juga memperuncing keadaan di ambon karena berbagai oragnisasi Islam (contoh : Front Pembela Islam) mereka ingin membantu para komunitas Islam yang menjadi korban dengan cara melakukan jihad , Laskar Jihad  pada bulan April 2000 sudah memberangkatkan relawan untuk melakukanjihad di wilayah konflik Ambon karena tindakan ini meembuat warga Islam Ambon menjadi kecewa terlebih bagi warga Kristen, di sisi lain gerakan Republik Maluku Selatan juga memperparah keadaan konflik karena RMS dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas konflik yang terjadi di Ambon bagi kalangan Islam.

 

D.  Upaya Menuju Resolusi Konflik                       

              Pada persoalan penyebab dan aktor konflik, baik pihak Kristen maupun Islam memiliki persepsi yang bertolakbelakang mengenai persepsi upaya-upaya resolusi konflik. Model-model penyelesaian konflik umumnya menggunakan untuk kepentingan elitis karena dalam proses konsolidasi para warga tidak diajak untuk merumuskan perjanjian damai antar dua komunitas yang mengalami konflik. Dengan kata lain perjanjian damai Malino II yang digagas pemerintah tidak mendapatkan respons yang positif dari dua komunitas, karena kurangnya sosialisasi perjanjian damai oleh pemerintah kurang dan isi dari perjanjian itu kurang mewakili aspirasi masyarakat yang bertikai. Faktor yang mempengaruhi kegagalan perjanjian damai gagal dilaksanakan.

1.   Kondisi Ambon pasca konflik yang kurang kondusif.

2.   Adanya rekonsialisasi secara alamiah dengan cara masing-masing baik di komunitas Islam maupun Kristen.

3.   Keterlibatan oknum tentara dan polisi yang melakukan pembiaran atas konflik Ambon.

4.   Kurangnya komunikasi yang menyebabkan proses sosialisasi damai kurang berjalan dengan baik.

Cara untuk menyelesaikan konflik Ambon adalah adalah dengan memperbaiki rekonsiliasi yang ada di Maluku Ambon ini. Selain itu, seharusnya penduduk yang ada, perlu menyadari akan pentingnya kerukunan antar berbagai kelompok dan agama yang ada di sana. Mereka perlu diberikan penyuluhan akan warna warni suku bangsa, ras, maupun agama yang ada di Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang harus dijaga karena merupakan ciri khas dari Bangsa Indonesia itu sendiri. Mereka perlu diberi arahan akan nuansa yang baru jika adanya kerukunan antar umat beragama maupun berbagai suku dan kelompok.

              Cara lain untuk menyelesaikan konflik Ambon  adalah dengan memperkokoh pertahanan yang ada di daerah tersebut agar mampu melerai pihak – pihak yang bersengketa. Selain itu, dengan merekatkan interksi sosial natar masyarakatnya akan mampu membendung konflik – konflik yang ada. Interaksi sosial antar warga dapat tumbuh jika mereka sadar akan kondisi lingkungan mereka. Penyelesaian masalah ini hanya melalui kesadaran warganya dan interaksi sosial yang kuat dan kokoh. Rekonsiliasi itu harus sesuai dengan makna dasarnya sebagai upaya damai di antara pihak-pihak yang berseteru (re-establishing normal relations between belligerents) harus dipelihara dan dijaga dari kemungkinan provokasi dari kekuatan-kekuatan lain yang tidak menghendakinya. Thomas dan Kilmann (1975) mengusulkan empat langkah agar rekonsiliasi berjalan seperti diharapkan.

1.      Akomodasi, yaitu langkah memahami dan memenuhi kepentingan pihak lain.

2.      Penghindaran, yaitu menghindari dan melupakan hal-hal yang menjadi sumber konflik di masa lalu.

3.      Kolaborasi, yaitu usaha bersama yang sungguh-sungguh dalam mencari solusi terbaik.

4.      Kompromi, yaitu kesediaan dari kedua belah pihak untuk berbagi dan membuat kompromi-kompromi yang menguntungkan bersama.

 

 

 

 

 

 

 

BAB. III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Konflik antar agama yang terjadi di Ambon merupakan konflik yang awalnya ditimbulkan oleh perkelahian antar preman dari dua daerah yang berbeda yang juga merupakan daerah segregasi Islam dan Kristen. Hal ini kemudian menjadikan sebagian besar umat Islam dan Kristen terprovokasi sehingga menimbulkan kerusuhan besar. Namun, di balik konflik kerusuhan tersebut, yang menjadi penyebab utama konflik antar agama di Ambon yaitu apa yang menjadi faktor pembentuk segregasi antara umat Islam dan Kristen di Ambon sehingga terbagi-bagi menjadi dua daerah yang tersegregasi berdasarkan perbedaan agama tersebut.

 

Sesuai dengan data temuan konflik antar agama di Ambon, ternyata yang menjadi penyebab segregasi masyarakat di Ambon berdasarkan agamanya adalah pengaruh dari pemerintahan pusat. Disebutkan bahwa segregasi yang terjadi antara Kristen dan Islam awalnya dibentuk oleh pemerintahan masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, pemerintahan lebih memihak dan menganggap unggul kelompok yang beragama Kristen. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan yang dirasakan oleh kelompok beragama Islam yang kemudian hanya bekerja menjadi pedagang. Seiring berjalannya masa hingga sampai pada masa Orde Baru, kelompok beragama Islam menjadi lebih sukses dari berdagang dengan kondisi yang lebih baik dari kelompok beragama Kristen, banyak juga pendatang dari sekitar Maluku untuk berdagang di Ambon. Selain itu muncul intelektual-intelektual ekonomi di mana pada masa Orde Baru, pemerintah mengangkat intelektual ekonomi dari kelompok beragama Islam tersebut dalam pemerintahan sehingga lebih dianggap unggul. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan bagi kelompok beragama Kristen. Pada dasarnya ketimpangan terjadi tidak membawa perbedaan agama, namun sebagian besar adalah kelompok beragama sama.

 

Dengan analisa teori interaksionisme simbolik mengenai hubungan antar etnik, perbedaan yang terjadi antara umat Islam dan Kristen di Ambon pada awalnya merupakan hasil konstruksi pemerintah, baik pada masa penjajahan Belanda sampai pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, pemerintah merekonstruksi struktur yang ada pada masyarakat di Ambon sampai menimbulkan ketimpangan yang dirasakan sebagian besar kelompok agama yang berbeda. Kemudian ketimpangan tersebut diprovokasi sebagian orang sehingga menimbulkan konflik antar umat beragama secara menyeluruh pada masyarakat di Ambon.

 

 

3.2  Saran

 

a.       Bagi pemerintah

              Pemerintah harus lebih fokus dalam menyelesaikan konflik yang ada di Indonesia dan secepatnya mencari solusi yang tepat bila terjadi konflik. Langkah pencegahan  juga cara terpenting untuk menghindari konflik agar tidak terjadi konflik yang sama seperti konflik Ambon.

b.      Bagi masyarakat

              Masyarakat seharusnya menanamkan sikap pluralisme serta toleransi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak ada rasa saling curiga satu sama lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://makalahme05.blogspot.com/2012/06/konflik-ambon-dan-patologi-sosial.html

http://zuryawanisvandiarzoebir.wordpress.com/2008/05/23/tinjauan-konflik-sosial-ambon-berdasarkan-teori-konflik-karl-marx/

Mutrofin. 2004. Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi : Informasi Potensi Konflik dan Potensi Intregasi Bangsa. Institut Pengembangan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Yogyakarta

 

Comments

Popular posts from this blog

SOAL ULANGAN MI FIKIH DAN AKIDAH AKHLAK KELAS 2 SAMPAI 6

MAKALAH SUKU TORAJA

MAKALAH SUKU BANJAR