MAKALAH PEMBERONTAKAN RMS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak
masa kemerdekaan sampai sekarang sebagian daerah di Indonesia pernah
mengalami gangguan keamanan. Gangguan itu ada yang dapat diselesaikan oleh
aparat keamanan/pemerintah daerah setempat, tetapi ada pula yang harus
diselesaikan oleh bantuan aparat keamanan yang datang dari daerah lain
(di BKO kan) ataupun bantuan dikirim dari pemerintah pusat.
Gangguan
itu baik kecil maupun besar seperti antara lain pemberontakan PKI Komunis Muso
di Madiun, pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, pemberontakan
DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, pemberontakan DI/TII Daud Bereureh
di Aceh, Gerakan Negara Papua Merdeka di Irian Jaya (Papua) Pemberontakan PRRI
di Sumatera Barat, Pemberontakan Permesta di Sulawesi, Pemberontakan RMS
di Maluku dan seterusnya.
Persatuan
Indonesia adalah salah satu sila dari Pancasila. Yang artinya dapat dijabarkaan
sebagai berikut:
a. Negara Indonesia ialah
Negara kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 UUD 45)
b. Bendera Negara
Indoensia ialah Sang Merah Putih (Pasal 35 UUD 45)
c. Negara Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD alinea IV)
Dalam
artian seluruh warga Negara Indonesia wajib untuk menjaga persatuaan negaranya
tanpa pengecualian. Maka dari itu saya akan membicarakan tentang pemberontakan
yang telah dilakukan organisasi GAM dan RMS.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah diatas, penulis merumuskan dan membatasi masalah yang akan
dibahas pada karya ilmiah ini, antara lain:
1. Apa itu pemberontakan?
2. Siapa saja
pemberontak-pemberontak yang pernah melakukan aksinya di negeri ini?
3. Apa motif
pemberontakan tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
RMS
Republik
Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April
1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah
Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka
RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai
pemerintahan di pengasingan, Belanda
Pemerintah
RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku
dalam Negara Indonesia Timur (NIT).
Setelah
Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal atas perintah Pemerintah
Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda dibawah
pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa]
turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS
pengasingan di Belanda.
Tagal
serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS -
diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin
guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2
Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan
di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
B.
Awal mula
Kerusuhan RMS
Dalam
bulan september 2011 Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam wawancara dengan
Global Post bahwa KERUSUHAN AMBON sebebnarnya REKAYASA dari para elit militer
dan elit politik di Jakarta. Instruksi mereka kepada Jendrl Kivlan Zen itu
untuk mendestabilisasi Maluku sescara politik dan ekonomis.
Dalam
skenario ini RMS dimempersalahkan dengan sengaja dan kambinghitamkan. Mereka
memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang
terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk
menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan
mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan
diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu,
walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor
dibalik kerusuhan Ambon.",
Padahal
Jendral Kivlan Zen sendiri sekarang mengaku secara terbuka bahwa itu semua
permainan elit politik Jawa dan elit militer Jawa. RMS dan umat Kristen dengan
sengaja dikambinghitamkan, sedangkan tidak bersalah.
Pada
tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke
tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele
seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu
bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat
membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera
RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di
luar arena para penari itu ditangkapi, disiksa dan dianiyaya. Dipukul
babakbelur oleh DENSUS 88 atas perintah Presiden SBY sendiri. Sebagian yang
mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini
(30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki.
TAPOL
yang terbanyak di Indonesia pada saat ini terdapat di Maluku dan Papua. Hal ini
menodah wajah NKRI sebagai demokrasi, sebab di negara-negara demokratis
lain-lain didunia orang tidak dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara hanya tagal
menaikkan lambang negara yang terlarang.
C.
Dokumen
Pemberontakan RMS di Maluku
Bahwa
perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS)
itu tidak akan merugikan hak hidup bangsa manapun juga, termasuk pemerintah
Belanda dan pemerintah RI... (Ketua Eksekutif "Missi Rakyat Maluku",
D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal Wiranto).
Pernyataan
di atas, merupakan materi surat resmi yang dikirim dari kantor 'pemerintahan
pengasingan RMS' di De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp
31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat tersebut dikirimkan
pula kepada Komnas HAM di Jakarta, Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag,
EIR-International di New York dan sejumlah instansi internasional terkait serta
dewan mahasiswa di Indonesia.
Dokumen
surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam VIII/Trikora Jayapura,
Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor -- ini, secara jelas dan 'jantan' menyatakan
keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:...Atas kewajiban kami
selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang Kemerdekaan yang
mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku, kami hadapkan
'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi
ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan Masyarakat Adatnya
masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang Dasar '45, antara lain
menegaskan bahwa "kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem
penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai
dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan
agar Bapak-bapak menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang
dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa
sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.
Yang
cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada pemerintah RI -
setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam di Kota Ambon,
Idul Fitri, 19 Januari 1999 - itu, juga mengajukan lima tuntutan
yang mesti dipenuhi, yakni:
1) Agar tindakan-tindakan
eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa
dihentikan,
2) Agar tulang-belulang
dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi militer RI di Maluku
(1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman Makam
Pahlawan,
3) Agar tulang-belulang
dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku)
yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966
itu dapatlah dikumpulkan untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
4) Agar semua usaha
menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di
Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
5) Agar
tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku golongan
aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam maupun di
luar negeri itu, dihentikan.
Selain
surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan terjadinya pemberontakan RMS
di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui dari dokumen 'bocoran'-nya - faksi lain
di RMS -- yang menamakan dirinya sebagai "Presidium Sementara RMS
Ambon."
Pada
tangal 14 November 1998, presidium tersebut mengeluarkan "Surat Perintah
Tugas" No. 01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs.
Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan
Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum)
dan S. Saiya (Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi
perjuangan RSM.
Kepada
ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:
· Melakukan upaya-upaya diplomasi dan
pendekatan dengan warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka
konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
· Mengadakan koordinasi dengan
tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk
perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang memungkinkan sesuai
dengan kondisi setempat,
· Berusaha menghimpun dana
secara sukarela dari warga setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan
program perjuangan,
· Melaporkan hasil pekerjaan secara
berkala guna keperluan pengendalian dan evaluasi.
Surat
tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta, Surabaya, dan kota-kota
tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal keberangkatannya yakni mulai 16
November s.d. media Desember 1998.
Bersamaan
dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di Ambon membuat pula
surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal "Permohonan
Bantuan", dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali
dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan pekik
perjuangan kita "Mena Moeria".
Selanjutnya,
ditulis:
Kami
merasa mendapat kehormatan untuk menjumpai Bapak, Ibu dan semua saudara
segandong yang sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk menyampaikan
perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat dan masyarakat
Maluku dewasa ini.
Secara
singkat boleh kami katakan bahwa tingkat kesabaran dan daya tahan rakyat dalam
menghadapi kondisi perekonomian maupun situasi politik yang dikendalikan dari
Pusat (Jakarta), sudah berada pada titik yang sangat rawan. Bahwa demi untuk
mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol yang dapat membahayakan diri,
keluarga maupun masyarakat banyak, kami terpaksa telah mengambil tanggungjawab
kolektif tadi dan menyusun sebuah program perjuangan sesuai dengan kemampuan
kami yang sangat terbatas.
Dalam
rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral maupun material
terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan
susah payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan
uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua saudara segandong di
rantau tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan sendirian sebab 'potong
di kuku rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara kita semua
dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...
Dari
Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan (RMS) -- pada 14 November
1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.
Seruan
yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen Presidium Sementara RMS,
masing-masing O Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:
"Kepada
Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku yang sementara
berdiam di negeri Belanda."
Terimalah
salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria",
Dengarlah
seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah Kita: Saat ini, rakyat
Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka, Kebencian rakyat
terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
Untuk
sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan mengarahkan
perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri, yang nanti
bisa menyusahkan banyak orang,
Kami
sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari negeri Belanda
dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan sukses
dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Sesungguhnya
perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena
itu, janganlah biarkan kami sendiri, Kami percaya bahwa nasib masa depan anak
cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta.
Pada
akhir "Seruan", ditulisnya kalimat sbb:
"Biar Hujan Emas di Negeri
Orang, Tidak Sama Hujan Batu di Negeri Sendiri." Semoga Tuhan senantiasa
melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita, sampai bertemu nanti di Tanah
Air.
Bukti-bukti
awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya gerakan pemberontakan RMS pada
akhir tahun 1998, juga ditemui oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang disampaikan oleh Kantor Atase
Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18 Desember 1998 -- ditandatangani
Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir. Wahyudi Widajanto, MSc -- diungkapkan antara
lain: Adanya informasi ihwal mulai tumbuhnya "embrio" kelompok RMS di
Indonesia, khususnya di Jakarta.
Selain
itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda "Rotterdam
Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya menyebutkan bahwa
Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan
di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden RMS, F.LJ
Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan membentuk
suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Jakarta.
Diinformasikan
pula bahwa saat ini di Maluku telah berada beberapa puluh penganut dan
simpatisan RMS yang diharapkan dapat merealisasikan cita-cita mereka. Skenario
yang mereka inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan dengan
memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam negeri saat ini.
Untuk itu, telah dibentuk suatu
kabinet bayangan dengan tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus
berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas berikutnya adalah
melucuti dan membubarkan tentara Indonesia yang masih berada di Maluku.
Hingga
kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan nasihat dan
keuangan, dan belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya,
pada 19 Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan
diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai
pendukung RMS dengan tujuan untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang akan
ditempuh selanjutnya.
Dalam
kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den
Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk
menyusupkan kaki tangannya -- yang notabene mereka kemungkinan besar tidak
terdaftar sebagai anggota kelompok RMS -- ke Indonesia untuk berkunjung.
Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di tanah air dengan memanfaatkan
kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-orang inilah yang kemungkinan
besar merupakan pioner tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.
Athan
KBRI Den Haag juga menyimpulkan:
Kelompok RMS secara jelas telah
semakin serius, terorganisir serta terencana dalam upaya-upaya mewujudkan
cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis ekonomi dan politik di dalam
negeri akhir-akhir ini.
Pergerakan
simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini benar-benar memperoleh perhatian
yang optimal dari KBRI Den Haag. Dalam kawat khususnya -- bernomer
147/div.12/98 -- yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam, Mendagri,
Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan perihal pokok-pokok hasil
pertemuan RMS di Barneveld pada 19 Desember 1998.
Disebutkannya:
Pertemuan
dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat Maluku termasuk 'badan persatuan' yang
berhaluan keras dan merupakan pendukung utama RMS. pertemuan telah membentuk
suatu struktur organisasi yang dinamakan 'Kongres Nasional Maluku' dengan
tujuan utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan kekuasaan.
D.
Tanggapan
Para Jurnalistik Tentang Pemberontakan RMS
"Pemerintahan
RMS" dalam pengasingan akan memberikan senjata kepada
organisasi-organisasi di Maluku yang diharapkan akan ikut serta dalam
pengambilalihan kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
Menteri
Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang diharapkan akan menggantikan "Presiden
RMS" Tutuhatunewa kepada pers mengatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan
senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara damai tidak berhasil.
Kalau
kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan senjata akan ditanggapi dengan
serius. Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan harus dimanfaatkan.
Soal
keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS mewujudkan cita-citanya, sebenarnya
kian jelas dengan terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang dilakukan dengan
cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang sudah hidup puluhan tahun di
Ambon dan sekitarnya.
Hal
itu terjadi pada media November 1998 atau satu bulan sebelum 19 Januari
1999 (Idul Fitri Berdarah) di Kampung Hative Besar Ambon. Di basis pemberontak
RMS itu, ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir, dibunuh dan
seluruh rumahnya dibakar habis.
Di
tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam menemukan sejumlah dokumen
pemberontakan RMS. Sayangnya, dokumen diserahkan begitu saja oleh umat Islam
kepada aparat keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-foto-copy.
Demikian
halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran antara pemberontak RMS dengan
masyarakat setempat, di antara mereka kerapkali meneriakkan yel-yel seperti
"Hidup RMS", "Hidup Israel", "Anda Memasuki Wilayah
RMS-Israel", atau salam kebangsaan RMS yang berbunyi "Mena Moeria
Menang".
Jauh-jauh
hari sebelum itu, sebenarnya pihak berwajib di Ambon sudah
"mengendus" gerakan pemberontak RMS. Pada tahun 1989, Korem
174/Patimura -- yang komandannya waktu itu adalah Kol. Inf. Rustam Kastor --
berhasil membongkar jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang mempunyai
rencana besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan bersenjata di
Pulau Seram.
Menurut
Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah TNI AD, yakni Letkol Inf (Purn)
Ony Manuhutu (Jakarta) dilibatkan untuk menuntaskan rencana sekaligus memimpin
kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam kaitan ini, gudang senjata TNI milik
Lantamal di Ambon siap diserbu dan dibongkar untuk diambil senjata serta
amunisinya. Untuk itu, sudah disiapkan dukungan dari seorang bintara penjaga
gudang amunisi tersebut.
Persiapan
pemberontakan juga tampak dari ditemukannya senapan jenis karaben beserta
sejumlah amunisi di sebuah gereja tua pada benteng Amsterdam, di Desa Hila
Kaitetu. Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret 1999), sejumlah
saksi mata mengatakan, penemuan itu sebenarnya tak diduga tatkala terjadi
bentrokan antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.
Usaha
penggalanan dana dan senjata untuk pemberontakan RMS, juga diakui oleh Presiden
RMS di pengasingan yaitu Dokter Tutuhatunewa (76). Dia mengakui mengucurkan
dana perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut jumlah dana yang
disampaikannya ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah diserahkan kepada kelompok
tertentu (Tempo edisi 26 Desember 1999).
Selain
itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus 1999 aparat keamanan menemukan uang
sejumlah Rp 500 juta dari lima penumpang Kapal Bukit Siguntang yang berlabuh di
Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas dalam ratusan amplop dengan tertulis
nama organisasi "Satu Bantu Satu, Maluku-Netherland". Menurut
keterangan Imam Besar Mesjid Al Fatah Ambon, KH Abdul Aziz Arby, Lc., organisasi
tersebut diduga punya hubungan dengan sebuah organisasi di daerah Ciledug,
Jakarta.
Sejumlah
nara sumber penulis di Ambon dan Maluku Utara menyebutkan, gerakan RMS diduga
kuat memperoleh dukungan dari pihak Yahudi Israel. Disebutkannya, dalam
internet beberapa waktu lalu, sempat ada situs RMS yang menampilkan artikel
terbitan Israel yakni United Israel Bulletin (UIB). Buletin itu mengungkapkan
harapan RMS untuk mendapat dukungan dari Israel.
Koresponden
UIB di PBB, David Horowits -- dalam terbitan musim panas 1997 -- menulis:
mayoritas pendukung RMS memang dekat dengan Yahudi-Israel. Selama beberapa kali
peringatan hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel bersama emblem AS dan
Belanda dipadukan dengan emblem RMS.
RMS
juga punya hubungan dengan gerakan serupa di Timtim. Buktinya, di situs Djangan
Lupa Maluku: www.dlm.org. dapat dijumpai naskah proklamasi RMS yang dibacakan
pada tahun 1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A Wirisal.
Salah
satu berita yang menarik yang dirilis UIB -- selain tentang persahabatan RMS
dan Israel -- juga artikel itu mengungkapkan hubungan antara RMS dan pergerakan
di Timtim yang dipimpin Jose Ramos Horta. Menurut David Horowits, ketika Horta
menerima Nobel, saat itu salah satu menteri RMS, Edwin Matahelumual mengirim
surat kepada Horta.
Pada
harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000) dilaporkan di halaman depan, RMS
mengumpulkan dana dari orang-orang Maluku di Belanda. Dana itu untuk membeli
senjata guna membantu "saudara-saudara Kristen" di Maluku.
Melalui jaringan internasional,
tulis harian De Volkskrant, dana yang terkumpul tersebut akan dibelikan senjata
yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah melalui Filipina Selatan.
Harian
Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999) memberitakan pertemuan lima wakil
pemerintahan RMS di pengasingan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua
delegasi, Otto Matulessy, harian itu menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid
menghendaki partisipasi masyarakat Maluku di Belanda, terutama pemerintah
pengasingan RMS, untuk membantu membangun Maluku.
Kita tentunya menjadi 'bingung'
mengetahui sikap Abdurrahman Wahid yang menerima perwakilan RMS tersebut. Ya,
sama 'bingung'-nya kita dengan tidak adanya pernyataan resmi dari pemerintahan
Abdurrahman Wahid-Megawati untuk menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS
di Ambon-Maluku. Bukankah fakta-fakta sudah jelas dan bukti-bukti awal sudah
ada yang bisa disimpulkan perihal terjadinya suatu pemberontakan RMS?
Sikap
pemerintah dalam kasus Ambon-Maluku ini benar-benar "aneh bin ajaib"
sekaligus diskriminatif. Ketika terjadi kasus peledakan mesjid Istiqlal dan
terungkapnya kasus kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya
menyatakan ada gerakan untuk mendirikan negara Islam sekaligus mengganti dasar
negara Pancasila. Padahal bukti-buktinya tidak ada.
Sedangkan
dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah "diam seribu bahasa". Bahkan
umat Islam yang melakukan penumpasan terhadap para pemberontak RMS, justru
disalahkan. Laporan-laporan temuan dokumen pemberontakan RMS -- baik yang
disampaikan umat Islam maupun aparat keamanan level lapangan -- ternyata tidak
digubris.
Bahkan
opini yang kemudian dilontarkan serta ditumbuh suburkan ke publik adalah rumor
tentang adanya campur tangan "Cendana" beserta kroni-kroninya, oknum
TNI/Polri, dan kalangan status quo.
Para
pengamat yang semestinya berpikir objektif dan proporsional, ternyata tak jauh
berbeda dengan perilaku elit politik. Mereka menyoroti persoalan Ambon-Maluku
dari perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar menengoknya dari segi sosiologi,
ekonomi, sosial, pendidikan dan politik seperti rebutan jabatan di struktur
pemerintahan.
Para
pengamat, boleh jadi, bisa mengungkapkan analisisnya -- hingga mulutnya berbusa
-- namun sebenarnya yang terjadi di lapangan tidaklah semacam itu. Substansi
kualitatif analisis dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan sosial
ekonomi, itu pada dasarnya hanyalah 'muatan' yang menumpangi akar masalah
sesungguhnya dalam kasus Ambon-Maluku.
Ya,
tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian terhadap umat Islam di Poso,
Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Saat itu bahkan hingga kini, di tengah
masyarakat 'tersebar' asumsi adanya kesengajaan oknum militer untuk mengacaukan
situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi, maka mereka pun melakukan
penjarahan seperti kayu ebonit atau kayu hitam. Padahal kenyataannya --
berdasarkan fakta di lapangan -- tidaklah demikian. Jika pun ada yang berbuat
semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.
Yang
semestinya dilihat oleh para pengamat, elit politik atau pejabat pemerintahan
adalah fakta di lapangan -- alias di tengah konflik tersebut -- yakni adanya
'benang merah' pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku Tenggara), Maluku
Utara, dan Poso.
Adanya rencana dan realisasi
sistematis penyebaran "virus pemberontakan RMS", diakui pula oleh
Ketua Forum Komunikasi Kerukunan Antar Umat Beragama Maluku Utara, Abdul Gani,
MA.
Dikemukakannya,
jauh-jauh hari sebelum terjadinya kasus pembantaian terhadap umat Islam oleh
komunitas pemberontak RMS di Tual, Ternate, dan Halmahera (Maluku Utara), sejumlah
tokoh Islam di MUI sudah mengingatkan masyarakat setempat karena saat itu, ada
beberapa fenomena 'aneh tapi nyata' yang berkaitan dengan 'pemanasan' situasi
di tengah masyarakat yang sebelumnya sudah rukun.
Di
Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), umpamanya, mulai
didatangi para pengungsi asal Ambon. Di antara pengungsi itu, ternyata ada
sejumlah provokator dari kalangan RMS. Mereka menyebar isu adu domba dan
menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang sebenarnya masih ada hubungan
darah seperti yang terjadi di daerah Halmahera (Tobelo, Galela, Kao, Malifut,
Ternate, dan sekitarnya). Nyatanya, benar, beberapa saat kemudian terjadilah
aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat Islam.
Sebaliknya,
ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah di Ambon bisa terkena "virus
pemberontakan RMS". Ini bisa disaksikan langsung di daerah Wayame -- dekat
Poka (tempat pembantaian terhadap umat Islam pada Juli 1999) -- di lokasi itu
hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini mereka tetap akrab, tidak
saling menyerang. Bila malam hari, mereka sama-sama berjaga-jaga di pos
keamanan lingkungan (kamling).
Di
tengah malam yang cukup dingin itu, terkadang di pos-pos kamling mereka
menyanyikan lagu-lagu pujian agamanya, sedangkan umat Islamnya 'tenang-tenang'
saja bersenandung shalawat badar atau nasyid islami. Tak ada pertengkaran.
Bahkan di daerah itu ada sebuah mesjid dan beberapa gereja, yang masih utuh.
Bila hari Jumat atau Minggu tiba, warga setempat pergi ke mesjid dan yang lainnya
pergi ke gereja.
Mengapa
mereka bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat -- yang juga anggota DPRD
Maluku -- ustadz H Muhammad Kasuba, MA, di Wayame ada sejumlah tokoh Kristen
yang dikenal sebagai pendeta. Mereka membuat kesepakatan dan menyatakan tidak
mau melakukan pembantaian terhadap umat Islam -- yang notabene jumlahnya sangat
minim di daerah terebut -- karena menyadari kekeliruannya bila mengikuti ajakan
para provokator pemberontakan RMS. Meski berkali-kali dibujuk rayu, para tokoh
Kristen dan warga Kristen di daerah itu menolak bergabung dengan para
pemberontak RMS.
Fakta-fakta
-- lapangan -- yang tak terbantahkan ini, ironisnya dianggap 'angin lewat'
saja. Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya pemberontakan
RMS, sama sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin terus-terusan oleh
pemerintah.
Hampir
semua pejabat pemerintah RI sekarang menderita 'sariawan' stadium berat,
sehingga tidak bisa membuat pernyataan jujur bahwa di Ambon dan Maluku telah
terjadi tindakan subversif atau makar dari sejumlah orang yang ingin mendirikan
Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku Selatan (RMS).
Sungguh,
dunia memang -- boleh saja -- terbalik, namun kebenaran tidak bisa dibalikkan.
Para elit politik boleh berakrobat membalikan akar masalah di Ambon-Maluku,
tapi tetap saja 'masalahnya' tak akan selesai.
Karenanya,
cepat atau lambat, kebenaran terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku akan
terungkap. Ya, setidaknya bila pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur, menegakkan shalat,
ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat dan tidak terkooptasi oleh musuh-musuh
Islam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kasus
seperti ini pasti juga pernah dialami oleh Negara lain. Memang kasus ini sudah
pernah ada tapi harus selalu ditangani atau diselesaikan dengan hati – hati
karena bisa menyerang sistem vital pemerintahan. Tetapi bantuan badan hukun
internasional maka kasus seperti ini dapat didamaikan. Negara kita memang
cenderung rawan terjadi hal seperti ini karena pemahaman dan penerapan
Pendidikan Pancasila semakin menurun.
Diharapkan
bagi pembaca untuk memahami dengan cepat apa yang sedang terjadi di Negara kita
ini. Tujuanya mungkin agar kita bisa membantu semampu kita karena tanpa
disadari kita juga adalah calon pemimpin – pemimpin bangsa. Mohon maaf apabila
ada salah kata atau yang tidak sepadan dengan pemikiran masing pembaca. Apabila
ada yang kurang mohon ditambahkan. Sekian Terima Kasih.
Comments
Post a Comment