MAKALAH PERJUANGAN MENGHADAPI DISINTEGRASI BANGSA
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “Perjuangan Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa”. Sebagai mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada guru pembimbing dalam pembuatan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman atas partisipasinya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam menyusun
makalah ini, kami menemui beragam hambatan. Kami menyadari bahwa karya tulis
yang tersusun ini banyak kekurangan dan kelemahan. Dan juga kami masih
berstatus pelajar yang sangat minim akan pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan bermanfaat
demi kesempurnaan makalah ini.
Hanya kepada Allah SWT kami memohon ampunan dan rahmat-Nya semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Alangkah hebatnya bangsa kita sebenarnya. Indonesia adalah negeri yang terdiri dari 17.500 pulau, lebih dari 300 kelompok etnik, 1.340 suku bangsa, 6 agama resmi dan belum termasuk beragam aliran kepercayaan, serta 737 bahasa. Kita harus bersyukur pada Tuhan YME, atas keberuntungan bangsa kita yang hingga kini tetap bersatu dalam keberagaman, meskipun berbagai kasus konflik dan pergolakan sempat berlangsung di masyarakat. Hal inimisalnya dapat dilihat dari potongan gambar berita di atas.Dalam sejarah republic ini, konflik dan pergolakan dalam skala yang lebih besar bahkan pernah terjadi. Bila sudah begitu, lantas siapa pihak yang paling dirugikan? Tak lain adalah rakyat, bangsa kita sendiri. Karenanya, dalam bab berikut ini akan kalian pelajari beberapa pergolakan besar yang pernah berlangsung di dalam negeri akibat ketegangan politik selama rentang tahun 1948-1965. Tahun 1948 ditandai dengan pecahnya pemberontakan besar pertama setelah Indonesia merdeka, yaitu pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan tahun 1965 merupakan tahun dimana berlangsung peristiwa G30S/PKI yang berusaha merebut kekuasaan dan mengganti ideologi Pancasila. Mengapa penting hal ini kita kaji, tak lain agar kita dapat menarik hikmah dan tragedi seperti itu tak terulang kembali pada masa kini. Disinilah pentingnya kita mempelajari sejarah.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kita dapat menarik rumusan masalah sebagai berikut
1. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan ideology
2. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest)
3. Membahas konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konflik dan
Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun,
pemberontakan DI/TII dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI
tentu saja komunisme, sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa
ideologi agama.
Perlu kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi Australia,
aliran politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan
(terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima kelompok :
nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi),
komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis Indonesia/PSI), dan
tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR, kelompok teosofis/kebatinan, dan
birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu kelompok-kelompok tersebut nyatanya
memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing.
2.1.1 Pemberontakan PKI (Partai Komunis
Indonesia) Madiun
Waktu : 1948, dengan memproklamasikan berdirinya Negara Republik
Soviet Indonesia
Latar Belakang : Hasil kesepakatan Renville menguntungkan Belanda
Pemimpin : Muso
Cara Penumpasan : Pemerintah mengajak Rakyat untuk menentukan sikap untuk memilih Sukarno-Hatta atau Muso gerakan operasi Militer I dan melakukan pembridelan terhadap beberapa surat kabar berhaluan komunis
Hasil : Seluruh kekuatan pemberontak dapat ditumpas dan kota Madiun
dapat direbut
Munculnya PKI merupakan perpecahan pada tubuh SI (Sarikat Islam) yang mendapat
pengaruh ISDV (Internasionalisme Sosialisme Democratise Vereeniging) yang
didirikan oleh HJFM. Snevliet, dan kawan-kawan pada bulan Mei 1914 di Semarang
yang pada bulan Desember diubah menjadi PKI.
Pada tanggal 13 Nopember 1926 melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tanggal 18 September 1948 Muso memimpin pemberontakan terhadap RI di Madiun. Tujuannya ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara komunis. Pemberontakan ini menyebar hampir di seluruh daerah Jawa Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya Muso sedangkan Semaun dan Dharsono lari ke Rusia.
2.1.2 Pemberontakan DI/TII
1. Jawa Barat
Waktu : 14 Agustus 1947
Latar Belakang : Tidak sejalan dengan pemerintah RI ketika terjadi perundingan Renville yang dianggap merugikan pemerintah Indonesia
Pemimpin : Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo
Cara Penumpasan : Melakukan Operasi Militer taktik pagar besi menggunakan ratusan ribu tenaga rakyat untuk mempersempit ruang gerak
Hasil: Pada tanggal 4 juni 1962 kartosuwiryo berhasil ditangkap di
gunung beber oleh pasukan siliwangi. Dipimpin oleh Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo karena tidak setuju terhadap isi perjanjian Renville. Sewaktu TNI
hijrah ke daerah RI (Yogyakarta) ia dan anak buahnya menolak dan tidak mau
mengakui Republik Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila
sebagai dasar negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia dengan nama Darul Islam (DI).
2. Jawa Tengah
Waktu : 23 Agustus 1949
Latar Belakang : Mengurus penggabungan laskar-laskar masuk ke dalam TNI
Pemimpin : Amir Fatah
Cara Penumpasan : Pemerintah membentuk pasukan baru yang disebut
dengan bintang raiders
Hasil : Akhirnya dilakukan operasi guntur pada tahun 1954 gerombolan dapat
dicerai beraikan
Dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Selama Agresi Militer Belanda ke
II Amir Fatah diberi tugas menggabungkan laskar-laskar untuk masuk dalam TNI.
Namun setelah banyak anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan
menyatakan bagian dari DI/TII.
3. Sulawesi Selatan
Waktu : 30 April 1950
Latar Belakang : Banyak pemuda Sulawesi yang tergabung dalam PRI Sulawesi ikut bertempur untuk mempertahankan kota Surabaya
Pemimpin : Kahar Muzakar
Cara Penumpasan : Dilakukan penyergapan oleh pasukan TNI
Hasil : Kahar Muzakar tertembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di
Sulawesi dapat dipadamkan
Dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar. Dia berambisi untuk menduduki jabatan
sebagai pimpinan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan
menuntut agar Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dimasukkan ke dalam APRIS
dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab
hanya mereka yang memenuhi syarat saja yang akan menjadi tentara maka
terjadilah pemberontakan tersebut.
4. Aceh
Waktu : 20 September 1953
Latar Belakang : Setelah proklamasi Kemerdekaan RI , di Aceh terjadi pertentangan antara alim ulama dengan para kepala asla
Pemimpin : Tengku Daud Beureuh
Cara Penumpasan : Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada bulan Desember1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Hasil : Musyawarah ini mendapat dukungan dari tokoh – tokoh masyarakat aceh dan berhasil memulihkan keamanan .
Dipimpin oleh Daud Beureuh Gubernur Militer Aceh, karena status Aceh sebagai daerah Istimewa diturunkan menjadi sebuah karesidenan di bawah propinsi Sumatera Utara. Ia lalu menyusun kekuatan dan menyatakan dirinya bagian dari DI/TII. Pemberontakan ini dapat dihentikan dengan jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA).
5. Kalimantan Selatan
Waktu : Oktober 1950
Latar Belakang : Terjadi pemberontakkan kesatuan masyarakat tertindas
Pemimpin : Ibnu Hajar
Cara Penumpasan : Melakukan gerakan Operasi militer ke Kalimantan
selatan
Hasil : Pada tahun 1954 Ibnu Hajar di tangkap dan di hukum mati pada 22 maret
1955
Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan
kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak buahnya menyerang pos-pos kesatuan
tentara serta melakukan tindakan pengacauan yang pada akhirnya Ibnu Hajar
sendiri ditembak mati.
2.1.3 Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Pada tanggal 30 September 1965 jam03.00 dinihari PKI melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan berhasil membunuh 7 perwira tinggi. Mereka punya tekad ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan Komunis-Marxis. Setelah jelas terungkap bahwa PKI punya keinginan lain maka diadakan operasi penumpasan :
1. Menginsyafkan kesatuan-keasatuan yang dimanfaatkan oleh PKI
2. Merebut studio RRI dan kantor besar Telkom dipimpin Kolonel Sarwo Edhy Wibowo dari RPKAD
3. Gerakan
pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung maupun yang
mendalanginya
Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak boleh lagi tersebar
di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SK Presiden yang ditandatangani
pengemban Supersemar Ltjen Soeharto yang menetapkan pembubaran PKI dan
ormas-ormasnya tanggal 12 Maret 1966.
2.2 Konflik dan
Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan (vested interest)
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz.Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri.
Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.
2.2.1 Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda : KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan terhadap Westerling. APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan ingin membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.
2.2.2 Peristiwa Andi Aziz
Waktu : 5 Januari 1950
Latar Belakang : Menyerang gedung tempat berlangsungnya sidang cabinet
Pemimpin : Kapten Raymond Westerling
Cara Penumpasan : Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum
bahwa dalam waktu 4×24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya
Hasil : Pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua
tawanan harus dilepaskan
Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi
Selatan karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra
terhadap negara federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor
telkom, dan pos pos militer TNI.
Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 kali 24 jam ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2.2.3 Pemberontakan Republik
Maluku Selatan (RMS)
Waktu : 25 April 1950
Latar Belakang : Tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke NKRI
Pemimpin : Dr.Christian Robert Steven Soumokil
Cara Penumpasan : Diselesaikan secara damai dengan mengirimlkan misi
dipimpin Leimena gagal sehingga kemudian dikrimkan pasukan ekspedisi militer
pimpinan Kawilarang
Hasil : Sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke pulau seram dan
membuat kekacauan akhirnya Soumokil dapat di tangkap dan jatuhi hukuman mati
Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert Stevenson Soumokil bekas
jaksa agung NIT (Negara Indonesia Timur). Ia menyatakan berdirinya Republik
Maluku Selatan dan memproklamasikannya pada 25 April 1950. Pemberontakan ini
dapat ditumpas setelah dibayar mahal dengan kematian Letkol Slamet Riyadi,
Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah.
2.3 Konflik dan
Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO (Bijeenkomst Federal Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta.
Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negara Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan.
Sedangkan pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
2.3.2 Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti :
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b.Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c.Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d.Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje
Sumual.
Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah di
wilayahnya masing-masing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka
bahkan bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin
Harahap dan Mohammad Natsir.
KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis
ini dengan jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum
pemerintah pusat, menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak
pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari
1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan
di Sumatera dianggap mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI
ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI.
Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
2.3.3 Persoalan Negara Federal dan BFO
Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat.
Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan
federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang
militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah
menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan
bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari
personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama
dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota
TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA
Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas
sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa
positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika
negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus
berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara bagian tersebut
bergabung ke RI.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warga negara bila ditinjau dari kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada akan terlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras dan antar golongan dijadikan pangkal penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa diterima begitu saja.
Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar
untuk kasus yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural
tertentu dalam masyarakat yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat
dari suatu proses sejarah atau peninggalan penjajah masa lalu, sehingga
memerlukan penanganan khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun
aspek hukum, keadilan dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu
pemikiran sendiri.
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional hingga
kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik yang
terjadi saat ini. Sedangkan peredaman konflik memerlukan tingkat
profesionalisme dari seluruh aparat hukum dan instansi terkait secara terpadu
dan tidak berpihak pada sebelah pihak.
Sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal ini terus terjadi dan tidak ada usaha dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut, bukan tidak mungkin disintegrasi yang selama ini dikhawatirkan akan terwujud. Pemerintah harus dapat merumuskan kebijakan yang tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak dan semua wilayah.
3.2 Kritik dan
Saran
1. Untuk
mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan
serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah
sebagai berikut :
Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus agar didapatkan
suatu rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural dapat dijadikan
ajaran untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan secara
sadar/tanpa paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan segala
perbedaannya.
2. Setiap pemimpin dari tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi, dalam membuat aturan atau kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua elemen masyarakat sebagai warga negara.
3. Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit yang akan menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan Undang-undang.
Comments
Post a Comment