MAKALAH SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK EKONOMI PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT, terima kasih Saya ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah mempermudah dalam pembuatan makalah ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu. Tanpa bantuan dari Tuhan, Saya bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, serta pasangan yang sudah mendukung hingga titik terakhir ini.
Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Sistem dan struktur Politik dan Ekonomi masa Demokrasi Parlementer”. Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.
Demikian Saya ucapkan terima kasih atas waktu Anda telah membaca hasil karya ilmiah Saya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dalam perjalanan sitem politik di
Indonesia banyak bukti menunjukan bahwa UUD tidak dapat dijadikan pegangan
dalam sistem politik maupun penegakan hukum. Telah terjadi empat periode
pemerintahan masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966),
masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang).
Periode antara
tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi
Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia
melaksanakan demokrasi parlementer yang liberal dengan mencontoh sistem
parlementer barat dan pada masa ini disebut masa Demokrasi Liberal. Indonesia
dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang –
undang Dasar Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal. Pada saat itu,
pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin
oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Sistem politik pada masa demokrasi
liberal telah mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam
sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari
pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan
sistem multi partai yang dianut, maka partai –partai inilah yang menjalankan
pemerintahan melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 –
1959.
1.2. Rumusan
Masalah
1.2.1. Bagaimanakah sistem pemerintahan masa demokrasi parlementer
di Indonesia?
1.2.2. Bagaimanakah sistem kepartaian masa demokrasi parlementer di
Inodenesia?
1.2.3. Bagaimanakah pemilihan umum tahun 1955?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem
Pemerintahan
Setelah dibubarkannya RIS, sejak
tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang disebut Masa
Demokrasi Liberal. Pada saat itu Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi
yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – Undang Dasar Sementara tahun
1950. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh
suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan
bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Presiden hanya merupakan lambang
kesatuan saja. Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun. Selama
itulah di Indonesia kerap kali terjadi penggantian kabinet hingga tujuh kali.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang
ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan
dengan baik. Berikut tujuh kabinet yang terbentuk pada masa demokrasi liberal.
2.1.1 Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951
Kabinet yang dilantik pada tanggal 6
September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar
dalam parlemen tidak turut serta. Sehingga PNI menjadi oposisi bersama PKI dan
Murba. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di
dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kabinet ini mempunyai program kerja
utama diantaranya: menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman, mencapai
konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan, menyempurnakan organisasi
Angkatan Perang, mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat, dan
memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet
ini adalah dalam memperjuangkan Irian Barat mengalami kebuntuan, dan terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII,
Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan Kabinet Natsir
adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai
masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet
disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi
tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh
kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
2.1.2 Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan
mandatnya pada presiden, Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik
Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan
berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI pada 26 April 1951.
Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI) yang
dipimpin oleh Soekiman.
Adapun
program kerja pada kabinet ini adalah: menjamin keamanan dan ketentraman,
mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai
dengan kepentingan petani, mempercepat persiapan pemilihan umum, dan
menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat
ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet
ini yaitu adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Hubungan Sukiman dengan militer
kurang baik karena kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan
di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. DPR akhirnya menggugat Sukiman
dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya pada 23 Februari 1952 kepada
presiden karena adanya pertentangan dari Masyumi dan PNI.
2.1.3 Kabinet Wilopo (PNI)
1952-1953
Pada 30 Maret 1952, Presiden
Soekarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur dan berhasil dibentuk
kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet
Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program
kerja kabinet ini terbagai menjadi program dalam negeri yaitu menyelenggarakan
pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat,
meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan dan program luar negeri
yaitu penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, pengembalian Irian Barat
ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Banyak sekali kendala yang muncul
antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis ekonomi, terjadi defisit kas
negara, munculnya gerakan separatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai
alat sipil sehingga munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Akibat
peristiwa 17 Oktober 1952 pula, kabinet Wilopo gagal melaksanakan tugas
pokoknya yaitu mengadakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan
anggota konstituante.
Konflik semakin diperparah dengan
adanya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera
Timur (Deli). Peristiwa bentrokan yang melibatkan aparat kepolisian dengan para
petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan. Akibat peristiwa Tanjung
Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap
kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953.
2.1.4 Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI)
1953-1955
Kabinet Ali Sastroamidjojo,yang
terbentuk pada tanggal 30 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang
cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk
partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro
dari Partai Indonesia Raya (PIR).
Adapun
program kerja kabinet ini adalah meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta
segera menyelenggarakan Pemilu, pembebasan Irian Barat secepatnya, pelaksanaan
politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB, dan penyelesaian
pertikaian politik
Hasil atau prestasi yang berhasil
dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum yang
akan diselenggarakan pada 29 September 1955, menyelenggarakan Konferensi
Asia-Afrika tahun 1955.
Kabinet ini menghadapi masalah
keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952
yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD menjadi faktor utama krisis
kabinet. Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya
korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan serta memudarnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Selain itu, munculnya konflik antara
PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali
menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 24 Juli 1955.
2.1.5 Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
1955-1956
Pada tanggal 11 Agustus 1955
diumumkan terbentuknya Kabinet Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi,
sedangkan PNI membentuk partai oposisi. Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai
tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Selain itu, kabinet ini
mempunyai program kerja utama lain: mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu
mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah,
masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi, perjuangan pengembalian
Irian Barat, dan menyelenggarakan politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan
politik luar negeri bebas aktif.
Tugas utama kabinet ini berhasil
dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada
tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen
berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada
15 Desember 1955. Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27
partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh
suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Kabinet ini juga berhasil
memperjuangkan diplomasi penyelesaian masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Selain itu berhasil melakukan pemberantasan korupsi dengan
menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer, terbinanya
hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin, dan menyelesaikan
masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel A. H. Nasution sebagai
Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Masalah yang dihadapi oleh kabinet
ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan
ketidaktenangan. Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin
dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap
kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Maka, akan dibentuk kabinet baru yang harus
bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
2.1.6 Kabinet
Ali Sastroamijoyo II (PNI)
1956-1957
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi
mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini
merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Hasil atau prestasi
yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini
mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari
periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian
KMB.
Program
kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut: memperjuangkan pengembalian
Irian Barat, membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD, mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai,
menyehatkan perimbangan keuangan negara, dan mewujudkan perubahan ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat. Selain itu,
program pokok kabinet ini adalah pembatalan perjanjian KMB, pemulihan keamanan
dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas
aktif, dan melaksanakan keputusan KAA.
Sedangkan, masalah yang dihadapi
oleh kabinet ini diantaranya berkobarnya semangat anti Cina di
masyarakat, muncul pergolakan atau kekacauan di daerah yang semakin menguat dan
mengarah pada gerakan separatisme dengan pembentukan dewan militer, pembatalan
KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal
pengusaha Belanda di Indonesia, timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI,
dan puncaknya pada mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet
hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden pada tanggal
14 Maret 1957.
2.1.7 Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet)
1957-1959
Pada 9 April 1957 berhasil dilantik
sebuah kabinet dengan nama Kabinet Karya atau sering disebut Kabinet Djuanda.
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar
yang ahli dalam bidangnya yang diipimpin oleh Ir.Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda
adalah program yang disebut dengan Panca Karya yaitu: membentuk Dewan
Nasional, Normalisasi keadaan RI, melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB,
perjuangan pengembalian Irian Jaya, dan mempergiat atau mempercepat proses
pembangunan.
Pada
masanya, kabinet ini berhasil mengatur
kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut
pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah
terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu
kesatuan yang utuh dan bulat. Selain itu, berhasil membentuk Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan
menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan
presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi
terpimpin. Serta pada kabinet ini berhasil mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Adapun
kendala maupun masalah yang dihadapai kabinet ini adalah gagal menghadapi
pergolakan di daerah seperti munculnya pemberontakan PRRI/Permesta. Hal ini
menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Selain itu, keadaan
ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan. Serta terjadinya peristiwa Cikini,
yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan
Perguruan Cikini saat sedang menghadiri pesta sekolah tempat putra-purinya
bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan
negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Kabinet
Djuanda berakhir saat presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI
yaitu Demokrasi Terpimpin. Berakhirnya kabinet ini juga
menjadi simbol berakhirnya masa demokrasi liberal yang ada di Indonesia yang
mampu bertahan hingga sembilan tahun.
2.2 Sistem
Kepartaian
Sistem politik pada masa demokrasi
liberal banyak melahirkan partai-partai baru, seperti NU, PIR (Partai Indonesia
Raya) sehingga sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah
multipartai. Partai-partai tersebut berlomba agar mendapat kursi di parlemen,
namun ada dua partai kuat dalam parlemen yang silih berganti memegang kekuasaan
dalam empat kabinet, yaitu PNI dan Masyumi.
Partai politik merupakan suatu
kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh,
merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya
partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan. Keberadaan parlemen, dalam hal
ini DPR dan MPR pada masa demokrasi liberal, tidak terlepas dari kebutuhan
adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik.
Pada 23 Agustus 1945 Presiden
Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai
tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan
pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Maklumat Politik 3 November 1945, yang
dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah
Indonesia yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Adapun isi
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang dimaksud ialah :
a. Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya
partai-partai politik untuk menjadi media dalam menyalurkan dan
mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang terdapat di Indonesia
b. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa
pembentukan partai-partai politik telah tersusun secara rapi sebelum
dilaksankannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dilakukan pada
bulan Januari 1946
Melalui maklumat inilah gagasan
pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan berhasil membentuk
partai-partai politik baru. Beberapa partai politik yang didirikan antara lain
sebagai berikut. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan pimpinan Dr.
Sukirman Wiryosanjoyo didirikan pada 7 November 1945, Partai Nasional Indonesia
(PNI) dengan pimpinan Sidik Joyosukarto didirikan pada29 Januari 1945, Partai
Sosialis Indonesia (PSI) dengan pimpinan Amir Syarifuddin didirikan pada 20
November 1945, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pimpinan Mr. Moh. Yusuf
didirikan pada 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) dengan pimpinan
Nyono didirikan pada 8 November 1945, Partai Rakyat Jelata (PRJ) dengan
pimpinan Sutan Dewanis didirikan pada 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) dengan pimpinan Ds. Probowinoto didirikan 10 November 1945, Partai
Rakyat Sosialis (PRS) dengan pimpinan Sutan Syahrir didirikan pada 20 November
1945, Persatuan Marhaen Indonesia (Permai) dengan pimpinan JB Assa didirikan
pada 17 Desember 1945, dan Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI) dengan
pimpinan IJ Kassimo didirikan pada 8 Desember 1945
Partai-partai politik yang tidak
memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam
parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan
partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering
terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga
program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan
terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan
keamanan. Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk
membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari
sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.
2.3 Pemilihan
Umum 1955
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan untuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan
Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan
terhadap konstitusi negara). Adapun sistem Pemilu yang digunakan dalam Pemilu
1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem ini, wilayah negara
RI dibagi dalam 16 daerah pemilihan (dimana Irian Barat dimasukkan sebagai
daerah pemilihan ke-16, padahal Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda,
sehingga Pemilu tidak dapat dilangsungkan didaerah tersebut).
Pesiapan
Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954,
Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo
dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan
umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman
dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai
untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap
desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing.
Masing-masing partai beruasaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.
Meskipun
Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet
Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar
39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya.
Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan
tekanan dari pihak manapun.
Oleh
karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai
pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Keseluruhan
peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini,
anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang
berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi
16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan
43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang
wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat
itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke
dalam beberapa fraksi.
Sesuai
tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a) Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai
politik dan individu.
b) Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante.
Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Menurut
George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan
itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang
dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen
selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa
kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki
harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun;
wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi;
nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai
persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan,
pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan
wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang
pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai
berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya
mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per
satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih
yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada BAB II,
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu salah satu ciri yang nampak dalam masa
Demokrasi Parlementer adalah seringnya terjadi pergantian kabinet, mulai dari
Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I,
Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan Kabinet Djuanda.
Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai
yang tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem
kepartaian yang diterapkan memang bersifat multipartai. Adapun, pemilu pertama
di Indonesia berhasil dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer, dan
menampilkan empat partai besar dalam perolehan kursi pemilu: PNI, Masyumi, NU,
dan PKI.
3.2 Saran
Saran dari penulis
kepada pembaca adalah perlunya mengamati perkembangan-perkembangan politk yang
terjadi di Indonesia diantaranya perkembangan Politik Liberal di Indonesia
sebagai pembelajaran di kehidupan politik di saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
“Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal”
.http://www.ssbelajar.net/2013/12/perkembangan-politik-indonesia-masa-demokrasi-liberal.html. Diakses pada 20 September 2016.
“Perkembangan Politik
Indonesia Masa Demokrasi
Liberal”.http://www.ssbelajar.net/2013/12/perkembangan-politik-indonesia-masa-demokrasi-liberal.html.
Diakses pada 20 September 2016.
Comments
Post a Comment