MAKALAH KONFLIK PAPUA
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi ALLAH SWT yang telah memberika rahmat dan karunia-NYA yang senantiasa
memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak
luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih kepada orang
tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada guru yang telah memberikan motivasi dan kesempatan
kepada saya untuk mengerjakan makalah ini. Adapun makalah ini berdasarkan
berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan judul makalah ini yaitu “Konflik
Sosial Papua”. Harapankami,makalah dapat memberi tuntunan konsep yang
praktis bagi mereka,baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam memahami
tentang vector,kamimenya dari,ini maupun cara penyampaian makalah ini masih
jauh dari sempurna . untuk itu kami bisa mengembangkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata
semoga makalah ini dapat member manfaat bagi kita semua.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Papua
adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan
bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi dan termasuk pulau
terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di Indonesia.
Pulau
Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari
wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan
strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau
Papua.Kabupaten Puncak
Jaya merupakan kota tertinggi di
pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis
dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih
tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini
mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990
penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar
2,8 juta jiwa pada tahun 2006.
Belakang
Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar
warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang
asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum
diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh
adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera
bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum
diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua,
orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI.
Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan
separatis. Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang
Papua juga tidak mempercayai Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan
ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif tidak pernah akan
terjadi antara Pemerintah dan orang Papua.
Apabila berbagai masalah yang melatar
belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah
konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat
proses
pembangunan yang dilaksanakan
di Tanah Papua. Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama
Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye
perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai(PTD).
Dalam
perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai
sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjuangkan
secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua. Sekalipun diakui
oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang,
termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa
banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan
perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun
di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini.
Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin atau minimal
terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya.
Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam
upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah
leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya
menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian.
1.2 RUMUSAN MASALAH
`
1.Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2.Apakah penyebab konflik sosial di
Papua?
3. Bagaimana solusi
konflik papua?
1.3 TUJUAN
1.Untuk mengetahui bagaimana
dinamika masyarakat Papua.
2.Untuk mengetahui apa penyebab
konflik sosial di Papua.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA

Menurut
tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik
Papua ke dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah integrasi dan
status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan
pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan
nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke
Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan
status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di
terimanya hasil penentuan tersebut oleh majelis umum sidang PBB.
Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi
banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk
dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1
desmber 1961.
Kedua,problem kekerasan politik dan
pelanggaran HAM.
Lipi mencatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari
keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan memisahkan diri
merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di identifikasikan
secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan
pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat
Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat
pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya
hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang
berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan
pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi
akar konflik di Papua di karenahkan adanya ketimpangan yang terjadi. Gap
ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu
diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di
lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang
menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya,
data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah
sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah
dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli
dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
3
Terakhir, persoalan marginalisasi
orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di
singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim
lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial
politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan
kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru,
orang Papua tercatat beberapa kali
menduduki jabatan gubernur.
2.2 SEJARAH KONFLIK PAPUA

Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua.
Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu
provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah
Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah
Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara
Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan
dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia
tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju
bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun. Pada
bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka
sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat
sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa
kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua
Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi
angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai
kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota
di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal
Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan
Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak
menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Bendera
Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua Merdeka Karena
usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai
kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari
tahun 1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk
memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9
Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih,
23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel
pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan
Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada
tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan,
bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”),
dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan
untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18
November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi’pembentukan Dewan
Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan
pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan
Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah
untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air bangsa.
2.3
SOLUSI KONFLIK PAPUA
Hingga
saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil
Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi
dalam 18 bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota
di wilayah Papua.Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya
pembebasan Irian barat, pemerintah belum mengutamakan nation building.
Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building yang
hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari itu,
pengembangan state building erat kaitannya dengan motif
ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi salah satu
alasan utama konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik Papua dengan peristiwa Quiet Revolution di Kanada
(1960-1966).
1. Belajar dari Quebec
Quiet
Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana
periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal
menarik yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang
konfliktual antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya
konstruksi nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat
keturunan Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di
Kanada. Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di
Quebec, PM Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages
Act yang secara resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya
Official Language Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi
mendiskriminasikan, mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga
Quebecois. Kondisi ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai
berjalan seimbang dan adil. Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di
dalam sebuah negara demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai
jalan cepat penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi
merupakan jalan yang paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di
Quebec, pemerintah federal memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec
untuk berdebat dan mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari
upaya mereka menentukan arah masa depan negara.
2. Pendekatan Keamanan
vs Kesejahteraan
Pemerintah
Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan bahwa
tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi
oleh jaring konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan
kekerasan dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis,
yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima.
Pendekatan militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka,
setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay.Penulis menganggap
masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi pemerintah dalam
pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu mengakomodasi
kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap mereka.
Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi warga
keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin
kesetaraan bagi warga keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung
mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
Fakta
berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari dana
nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang
jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana
Otsus yang setiap lima tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua
sudah sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik
berarti ada salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK,
maupun pihak-pihak terkait.
Pijakan
pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara otomatis
menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan harus
mendapat akses ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat
memang penting, akan tetapi harus didampingi oleh orang-orang yang paham
metode-metode penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang
represif berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua. Dan
kondisi seperti ini harus direduksir dari hulu.
Tidak
ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil meredam
separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu menekan
secara total kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung gerakan ini
semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen
konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang
dunia sebagai sebuah model demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam
kasus pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.
Terakhir,
kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog
tidak akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan.
Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari
kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang
anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan
sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan
bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan
mengatasnamakan suku atau agama. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua
(JDP) berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
· Kebijakan Indonesia Tidak
Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak
Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik PapuaPada masa Orde
Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan
keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi,
pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah
mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan
Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan
bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui
implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian,
pemerintah meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002,
pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada
21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian
Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini
memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat
pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan
Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan
Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66
Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014. Pada 17
Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan
dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua
provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua,
kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik
Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan
yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan
kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah,
membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan
mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil
menyelesaikan konflik Papua?
· Solusi Komprehensif
Penyebab
utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang
ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua
mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya
sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah
dan setiap Presiden Indonesia.
Ada
juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan
penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga
merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh
karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas
dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah tidak
boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik
Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik
Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak
lain. Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung
dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun
kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak
berkonsultasi dengan kelompok OPM.
OPM
terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan di kota
dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri.
Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi,
dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi
penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif
untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku
kepentingan, termasuk kelom
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bias dimengerti bahwa konflik
social papua merupakanperistiwa yang sangat kompleks.
Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namunbukan berarti komplesiksisitas konflik
social papua harus mengurungkan niat pemerintahuntuk bersikap apatis terhadap konflik
yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan pula
bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusi-solusi
yang ditawarkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papuasehingga masyarakat papua
bisa merasakan perdamaian di tanahnya.
Comments
Post a Comment